Sakura menangis, menatap selembar kertas berwarna kuning gading. Motifnya indah, tulisannya pun rapi di sana. Rupa kertas itu memang memanjakan mata, tapi menyayat-nyayat hati. Sakura meringis meremas baju merahnya di bagian dada. Isak tangisnya tak kunjung redam.

Tidak pernah disangkanya, kalau kekalahan akan begini pedihnya. Ino mengelus punggungnya, bahkan memeluknya dari samping agar Sakura mau menangis di bahunya. Diucapinya kata-kata menengangkan untuk Sakura. Agar sahabatnya itu tegar dan merelakan kenyataan.

"Sudah lama aku tak bertemu dengannya. Aku amat merindukannya, Ino. Dan dia sekarang memberikanku ini…" Ino memeluk erat Sakura yang kini menggeram dalam tangisannya. Gadis bermarga Haruno itu pergi, melangkahkan kaki cepat-cepat.

Sakura sempat berteriak agar Ino tak mengikutinya. Ia membiarkan selembar kertas itu melayang dan mendarat lembut di atas tanah. Kertas yang kini dipungut oleh Yamanaka Ino, berisikan, undangan pernikahan Sasuke dan Karin.

.

.

Soulmate

Disclaimer: Naruto milik Masashi Kishimoto. Author hanya meminjam karakternya untuk 'main ken-barbie' dengan Kiba dan Sakura ;)

Chapter I: Imprint

.

.

Sepasang mata cokelat pemuda Inuzuka itu memperhatikannya. Di sana, gadis berambut indigo sedang dikecup bibirnya oleh pemuda pirang yang ia kenal bernama Naruto. Telinganya menegak, menajamkan pendengaran di balik semak-semak—tempatnya bersembunyi.

Ia dapat mendangarnya dengan jelas, suara halus Hinata terdengar bahagia menerima ucapan cinta Uzumaki Naruto. Mereka mengikat janji, untuk setia satu sama lain dan menyusun cita-cita hingga kelak akhirnya mereka menikah. Kiba menautkan alis mendengarnya. Rasanya ia sulit bernapas sekarang, seperti ada yang menghunus dadanya.

Hatinya telah patah.

Hyuuga Hinata, cinta pertamanya, kini tengah berada dalam pelukan sahabatnya sendiri. Pemuda bertato merah taring anjing itu lekas pergi, menjauh tanpa suara karena tidak ingin mengganggu. Seiring langkahnya, wajahnya benar-benar diselimuti penyesalan karena ia tak lekas menyatakannya terlebih dahulu pada Hinata.

Padahal, kesempatan yang dimilikinya sangat banyak dan dapat dikategorkan emas seluruhnya. Bertahun-tahun ia bersama menjadi rekan setim gadis rupawan dari klan Hyuuga itu, ia tak bisa menerima kenyataan bahwa dirinya telah membuang satu ton kesempatan hanya karena kepengecutannya.

Ia mendecih, melawan rasa sakit di dadanya. Ia cukup terpukul karena kini Akamaru sedang dirawat di rumah karena mengalama luka serius saat menjalankan misi dengannya. Sekarang ditambah dengan rasa sesak karena kehilangan kesempatan. Kiba merasa benar-benar di masa tersulit dalam hidupnya.

Telinganya tak sengaja menangkap isak tangis. Kiba menghentikan langkah. Di sini, di daerah hutan tipis dekat bukit Hokage, ia menajamkan pendengarannya, sementara hidungnya menangkap sesuatu yang…

Matanya terbelalak penuh, Kiba terkejut bukan main. Dilihatnya seorang kunoichi yang ia kenal bernama Haruno Sakura sedang merentangkan tangan di atas tebing. Bahkan dari kejauhan, wajah gadis itu terlihat amat sedih. Ck, apa yang dilakukannya? Batin Kiba berlari secepat mungkin yang ia bisa, tepat bersamaan dengan tubuh Sakura yang terjun bebas.

Tubuh ramping gadis itu kini terjatuh lurus, Kiba merasakan jantungnya berdetak kencang saat kaki-kakinya menapaki bebatuan untuk melompat cepat. Sementara Haruno Sakura memejamkan mata, merasakan tubuhnya kini membelah angin yang terasa dingin.

Sakura tahu ia sedang egois. Ia melupakan ayahnya, ibunya bahkan teman-temannya. Hari ini adalah hari ulang tahunnya, dan ia tersenyum sekarang jika mengingat kado yang didapatkannya dari Sasuke, pemuda yang dicintainya. Sebuah undangan pernikahan. Baiklah. Sakura bergumam dalam hati. Setidaknya di hari ulang tahunnya yang terakhir ini, Sasuke akan hidup bahagia bersama seorang wanita yang dipilihnya.

Sakura masih memejamkan mata, makin lama adrenalinnya terpacu karena ia tahu sebentar lagi tubuhnya akan hancur, terbanting di atas bebatuan besar di dasar tebing—yang kelilingi tingginya rimbunan pohon. Sampai ia rasakan tubuhnya diseruduk sesuatu.

Eh?

Sudah matikah ia?

Ragu, karena tak ada rasa sakit pun yang ia terima, Sakura membuka matanya.

Inuzuka Kiba tersengal-sengal mendekap tubuh ramping seorang gadis seperti menggendong pengantin. Jantungnya berdebar-debar hebat, gadis itu membuka kedua matanya dan menunjukan sepasang hamparan hijau yang entah mengapa membuat Kiba terdiam.

Ia merasa tersesat.

Detak jantungnya mulai kacau, sampai membuatnya merasa sekarat.

Masih dengan napas yang tersengal-sengal, Kiba mencium aroma manis bunga sakura yang menyita kewarasannya sekarang. Aroma yang sebelum ia menemukan wujudnya, sudah membuat hidung Kiba ketagihan untuk terus menghirup.

Aroma yang semakin menyerbak ekstrim namun nyaman baginya.

Ia merasa gila.

Ini bukan musim semi. Tak ada pohon sakura di sekitar sini.

Telinganya mendadak tuli, tak ada suara hembusan angin atau kicauan burung. Yang ada hanya detak jantung gadis dalam gendongannya ini. Debaran itu begitu keras, berisik, mengganggu!

Ada yang salah.

Ada yang aneh.

Mengapa wajah Sakura yang memerah itu mengintimidasinya?

Tidak, tidak.

Sakura tak menunjukan raut galak seperti biasanya, justru sebaliknya. Tapi itu membuat Kiba tersiksa. Rahangnya mengeras, dadanya terasa panas, rona-rona dan jejak air mata masih tercetak jelas di kedua pipi Sakura—membuat Kiba merasakan sesuatu.

Perasaan asing. Kiba tidak tahu.

Gadis temperamental itu mengapa terlihat begitu rapuh? Padahal, air muka Sakura tak lagi sedih, melainkan polos menatap Kiba tak mengerti. Mereka sama-sama terdiam, saling menatap dan terpaku.

Sakura merasa terjebak, Kiba menyelamatkannya?

Oh itu menjadi tak penting bahkan tidak diambil pusing olehnya. Karena yang membuat kesadarannya tersita adalah sepasang mata cokelat Kiba yang menjeratnya parah. Iris tajam pemuda itu terlihat dalam, menenggelamkannya.

Sakura merasa, ninja anjing yang tidak terlalu akrab dengannya itu kini terasa begitu dekat. Bukan, bukan. Bukan karena fisik mereka yang merapat seperti ini, tapi karena sesuatu yang lain. Apa?

Apa?

Sakura tidak menemukannya. Ia merasa begitu memahami, kenal, nyaman dengan pemuda ini jauh sebelum dirinya lahir di dunia. Tidak, itu gila. Bahkan berada dalam satu misi dengan Kiba bisa dihitung jari olehnya.

Ninja medis itu harusnya dapat mengalirkan cakra ke tangannya untuk meninju wajah Kiba yang entah mengapa mendekat padanya. Tapi Sakura tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan untuk mengatur napasnya saja terasa begitu sulit.

Sakura tidak mengutuk sama sekali ketika dengan lancangnya hidung mancung Kiba menyentuh bibirnya. Ia bisa merasakan pemuda itu menghirup kasar, Sakura menutup mulutnya rapat-rapat. Tapi justru membuatnya tidak sengaja menekan hidung Kiba—seperti membalas.

Salah. Ini tidak salah. Ada yang tak beres. Ya, ini yang sewajarnya. Perang batin itu melatar belakangi kegiatannya.

Sakura merasa aneh. Ia tidak marah, tidak tersinggung, bahkan dengan senang hati membuka mulutnya ketika Kiba menekan bibirnya. Membiarkan pemuda itu memasukan sedikit hidunya dalam mulut Sakura, lantas bergeser untuk digantikan dengan bibir.

Sakura mengerutkan alis, ada yang panas di dadanya. Ketika melihat pemuda itu memejamkan mata dan terus mencoba memasukan bibirnya ke dalam mulut Kiba. Tapi anehnya, bibir Sakura bergerak senada. Bibirnya balik menyerang, namun lembut.

Kontras dengan Kiba yang seperti kelaparan.

Alis cokelat pemuda Inusuka itu merapat, kedua tangannya mendekap Sakura erat. Ada yang bergejolak, entah apa. Tapi Kiba langsung menurunkan bibirnya untuk menyerang leher yang sudah Sakura sediakan ketika gadis itu mengangkat dagu dengan pasrah.

Sakura mengerang, menjerit kesakitan saat gigi taring Kiba menusuk kulit lehernya. Ada sesuatu yang menyakitkan mengalir ke dalam tubuhnya.

cakra?

Cakra yang menyakitkan itu menembus peredaran darahnya dan menyiksanya keseluruhan tubuh. Sakura merasa sekarat. Merasakan ajal sebentar lagi menjemputnya. Sakura hampir menangis ketakutan kalau saja Kiba tidak mencium bibirnya lagi.

Mendadak kesakitannya hilang.

Tak berbekas.

Yang ada hanya seberkas kenyamanan.

Dan gejolak haus saat Kiba membawanya ke bawah pohon beralaskan rerumputan.

"Maaf," Kiba berkata, air mukanya terlihat seperti orang tersesat, tidak menemukan dirinya sendiri. Jemarinya meraba leher Sakura, "Apakah ini sakit?" tanyanya ragu. Sakura tak menjawab, matanya sibuk menatap sosok Kiba yang begitu menawannya.

Sakura merasakan tubuhnya tidak mau diam. Jari-jarinya mencengkram rerumputan, "Apa yang barusan kau lakukan?" tanya Sakura balik dengan nada begetar. Kiba menautkan alisnya menatap tanah, rahangnya terlihat tegang dengan hidung yang kentara sedang menghirup sesuatu terus menerus.

"Aku tidak tahu," jawabnya menahan gejolak yang membuncah ingin menerjang Sakura dalam pelukannya. Gila. Pasti disekitar sini adalah tempat keramat atau apa. Pikir Kiba. Ia menatap Sakura yang sedang menjilat bibirnya sendiri penuh minat.

"Aromamu membuatku kepayang," ungkap Kiba dengan wajah yang Sakura tahu sedang menahan sesuatu, "Aroma yang jauh berbeda dengan orang lain. Kau begitu wangi."

"Kau pasti gila, Kiba. Ini bukan pertama kali kita bertemu. Kau tidak bisa gunakan alasan itu." sanggah Sakura masih tidak percaya dengan apa yang dialaminya, ia tidak marah dan itu membuatnya heran sendiri. Terlebih yang Kiba ucapkan soal aroma tubuh, Sakura ingat terakhir mandi kemarin sore.

Kiba pasti sedang flu.

Atau sakit.

Sakura mengelak perasaan anehnya. Lehernya yang bekas digigit Kiba tadi terasa geli menggoda tubuhnya seakan ingin merapat ke Kiba yang kini menatapnya dengan aura berat.

Aku pasti gila!

"Aku tidak tahu, Sakura!" jawab Kiba dengan nada berat, ia mendekat memojokan Sakura yang kini bersandar di pohon. Dada Sakura naik turun dengan mulut terkatup rapat. Kiba membuka mulutnya, "Ada sesuatu dalam dirimu yang membuatku gila."

Keduanya benar-benar tersesat sekarang.

Ya, ada sesuatu pula dalam diri Kiba yang entah mengapa membuat Sakura tertunduk. Sakura merasa ada yang mengendalikan tubuhnya. Otaknya tidak ingin melawan, hatinya menerima, parahnya tubuhnya menyambut perlakuan Kiba. Tapi sekali lagi, tidak ada perasaan marah. Ia merasa baik-baik saja meski kewarasannya terus meneriakinya untuk menendang pemuda Inuzuka itu yang kini merobek bajunya.

"Kiba!" Sakura memekik, tapi terlambat. Kiba menghajar leher dan kedua dadanya dengan lumatan. Kedua tangan ninja anjing itu mencengkram erat lengan Sakura agar tidak bisa lari darinya. Tubuhnya pun sudah menindih Sakura sedari tadi.

"KIba, oh!"

"Mmmh."

"Kiba!"

Pendengaran Kiba selaku seorang Inuzuka amatlah tajam, apa lagi hanya untuk mendengar rengekan gadis dalam jeratannya. Tapi tubuhnya tak bisa berhenti. Ia haus. Haus sekali.

Semakin Sakura bergerak liar dan sering menyebut namanya, aroma itu semakin menyerbak menghantam kewarasannya. Ia bergerak cepat bagai kesetanan menelanjangi Sakura dan dirinya sendiri.

"Jangan menggodaku," bisiknya dengan suara parau, dibelainya wajah Sakura yang sedang menatapnya. Sakura tidak mengerti kenapa ia tidak bisa berontak. Bahkan dirinya tidak berminat berontak.

"Ya, menedekatlah padaku, Kiba." napas gadis itu menerpa wajah Kiba membuat pemudia Inuzuka itu meneguk ludah dan menjilat bibirnya sendiri. Sakura ikut menjilat bibirnya, ada yang bergejolak panas. Mengapa dalam keadaan sadar ia malah menggoda Kiba? "Sentuh aku, Kiba. Aku milikmu."

Sakura mencoba mengumpulkan cakra ke tangannya, mencoba meninju seperti biasanya. Tapi tak ada sedikit pun cakra yang berpindah. Ia sadar telah gila. Dibarengi remasan dan lumatan kasar Kiba, Sakura malah melenguh. Membakar Kiba yang benar-benar dikuasai napsu.

Ada yang tak beres, Sakura merasa tubuhnya lumpuh. Tak bisa mengendalikan cakra secuil pun.

Kiba memasukan dua jarinya tanpa ampun dalam kewanitaan Sakura. Gadis itu menjerit perih, harusnya ia bisa mendorong Kiba yang sedang berbaring di sampingnya. Tapi tubuhnya tak melakukan apa pun, bahkan kedua kakinya melebar saat Kiba memasukan tiga jarinya dan bergerak dengan kecepatan yang naik secara konstan.

"Ahh, ah, Kiba…" desah Sakura menatap pemuda yang sedang balik menatapnya berhasrat. Kiba membalasnya dengan gerakan tangan cepat. Pemuda itu menyeringai, segera mencabut dan menggantikannya dengan miliknya sendiri yang sudah keras. Jeritan pedih Sakura terdengar.

Kiba menggeleng menggurung Sakura dalam kedua tangannya. Ini bukan dirinya. Bukan. Bukan. Bukan. Tapi mulutnya mengeluarkan kata-kata diluar nalar dalam kesadarannya, "Ah… Sakura. Kau mencanduiku."

"Ohh!" Sakura membalas dengan erangan sakit. Tapi tubuh Kiba justru bergerak. Membiarkan darah mengalir dari milik Sakura karena gerakan tarik dorong Kiba tanpa pemanasan lebih lanjut. Kiba lihat, Sakura menangis.

"Sakit, Kiba…"

"A-aku tidak bisa berhenti. Hmf…"

Sakura menjerit lagi saat Kiba bergerak lebih kejam. Pemuda itu tak jarang menggeleng, seakan mengusir setan yang merasukinya. Tapi nyatanya, itu memang dirinya yang entah mengapa tak bisa ia kendalikan.

"Kiba! Kiba!"

Suara Sakura yang jarang didengarnya itu begitu memanjakannya, ia menatap Sakura yang berada di bawahnya berlama-lama. Terus bergerak. Menghentak-hentak. "Sakura… kau hangat…"

"Uh…"

Melihat gadis dalam kurungannya menggeliat klimaks, Kiba merasa semakin terusik. Ia bergerak liar kini, dan herannya Sakura seperti tidak kapok.

"Ah, Kiba! Terus," erangan manja gadis itu meluncur terus menerus. Padahal Sakura merasakan perih dan sakit pada kewanitaannya. Tapi melihat sepasang iris tajam cokelat menatapnya penuh hasrat membuatnya tertunduk.

Membuat Sakura memiliki keinginan besar untuk memuaskan pemuda yang terus bergerak mendominasinya. Kiba memendamkan wajahnya di leher Sakura, gigi taringnya lagi-lagi menancap dengan tubuh bergetar dan menekan pinggulnya rapat pada Sakura.

Sakura memejamkan matanya kuat-kuat saat Kiba mendorongnya lebih, air matanya mengalir seiring cairan kental nan panas memenuhi rahimnya. Longlongan kenikmatan mereka berdua terdengar menggema di sepanjang hutan dasar tebing.

Lamat-lamat, seiring desah napas tersengal mereka. Kesadaran keduanya mulai kembali. Kewarasan mereka kini hadir bagai mengejek keduanya. Sakura mengigit bibirnya. Air matanya makin banjir menderas, isakan tangis penyesalan kini mendatanginya.

Begitu pula Kiba, mendapati kesadarannya, ia cukup shock dengan apa yang sudah ia lakukan pada gadis yang bahkan tak terlalu dekat dengannya.

"Maaf," Kiba bangkit dan mencabut dirinya seraya mengambil cepat pakaian mereka yang dilemparnya sembarangan. "Aku tidak mengerti apa yang terjadi," ucapnya menyesal, "Kau mungkin tak percaya, Sakura. Aku pun sama."

Kejadian barusan seolah melegakan Kiba, ia merasa tidak lagi bernafsu segila sebelumnya setelah melampiaskan diri pada Sakura. Gadis itu manangis mencengkram bajunya yang belum dipakai. Kiba tahu, baju itu robek karenanya. Maka ia putuskan untuk memakaikan Sakura baju abu-abunya.

"Tidak perlu repot-repot," Sakura menepis, "Kau sudah mendapatkan yang kau mau. Pulanglah. Aku juga akan meneruskan apa yang akan kulakukan."

Pemuda yang hampir delapan belas tahun itu bangkit setelah berpakaian dengan lengkap. Ia labil, selayaknya remaja seusia dirinya. Ia merasa bersalah, tapi ia juga tidak mau tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Perasaannya bimbang, saat ia berjalan menjauhi dan meninggalkan Sakura di sana. Ia tahu, Sakura akan bunuh diri. Rasanya ia ingin menangis, memegangi dadanya yang kesakitan. Tapi ini gila! Pasti ada yang ghaib di sana.

Perasaan aneh ini pasti hanya sementara karena muncul dengan tiba-tiba. Pasti setelah menjauhi area tersebut, perasaan ini hilang dan kembali normal. Kiba terus berjalan dengan ling-lung. Ternyata ia salah, semakin jauh ia melangkah semakin gelisah tak tertahankan melandanya.

Langkahnya berhenti dengan tangan mengepal. Pemuda berambut cokelat itu menghirup napas sambil memejamkan mata. Sial, aroma manis gadis itu menipis, membuat Kiba merasa marah dan ingin menghirup lebih. Dengan debaran jantung yang mulai kacau, Kiba membalikkan tubuhnya kembali ke tempat di mana tadi ia meninggalkan Sakura.

Sementara Sakura di sana berjalan tertatih-tatih, keadaannya begitu sengsara sepeninggalan raga Kiba beberapa saat yang lalu. Gadis itu sewajarnya putus asa, ditinggal Sasuke menikah, kini ternodai oleh pemuda yang bahkan tidak terlalu akrab dengannya, Kiba.

Gadis itu kembali memanjat, melompat cepat tak peduli selakangannya semakin berdarah karena tindakannya. Bajunya telah robek pun ia kenakan, memperlihatkan kulit bahunya yang putih bersih. Di ujung tebing, gadis itu kembali merentangkan tangannya dan memejamkan mata.

"Sakura."

Suara itu, Sakura tidak menghiraukannya.

"Sakura!"

Pejaman mata Sakura terbuka, tanpa menoleh ke belakang ia sudah tahu siapa yang memanggilnya.

"Kemari, Sakura."

Suara berat itu dengan mudahnya mendominasi akal Sakura. Gadis itu membalikkan badan dan melangkahkan kaki ketika Kiba mengayunkan telapak tangan seperti mengundangnya datang.

Jantung Sakura berdebar-debar, kaki-kakinya melangkah karena dirinya telah terlena oleh pemuda itu. Apa yang spesial? Tidak ada. Sakura sadar, hanya satu alasan mengapa ia bisa merasa begitu bahagia saat Kiba membungkusnya dengan baju abu-abu laki-laki itu:

Sakura pun berhasrat untuk terus dikuasai oleh Kiba. Rasanya mendebarkan saat tubuh tegap pemuda itu mendominasinya seperti tadi.

"Sakura," Kiba kembali memendam hidungnya di leher gadis yang dipeluknya erat. Sakura bisa merasakan bagaimana hidung mancung pemuda itu menghirup kasar seperti kehausan. "Sakura, kau harus menjadi milikku."

Mereka bertatapan dengan posisi kedua tangan Kiba melingkari tubuh Sakura. Sakura tidak bisa berkata-kata, membuat Kiba kembali berucap, "Dengar, kau membuatku candu. Aku tidak bisa jauh-jauh. Jantungku seperti remuk saat aroma tubuhmu tidak bisa kuhirup."

Aroma dan suhu panas tubuh Kiba pun sejujurnya mulai menjadi candu Sakura. Ia suka Kiba mendekapnya. Ia senang Kiba tidak melepaskan justru mendesak lebih erat. Bibir Sakura terbuka, "Semuanya begitu tiba-tiba." Ia menghela napas dengan iris hijau yang bergerak menatap iris tajam Kiba bergantian, "Aku tidak mengerti dan aku takut."

"Aku juga," Kiba menyela, "Aku sama ketakutannya denganmu. Meski aku tak memahami rasa takut ini. Tapi kurasa, yang kita rasakan adalah sama." Jantung Kiba berdetak kencang saat mengatakannya. Baik ia mau pun Sakura bisa merasakan itu. "Aku tidak mau mendengar penolakanmu Sakura. Aku juga tidak memintamu. Aku memaksa."

Sakura tersenyum, "Kalau begitu paksalah aku. Karena aku pun tidak bisa menolak kemauanmu."

.

.

"Ya, Tuhan!" Hana menjatuhkan baskom berisi sayurannya ketika melihat wajah adiknya babak belur. "Kiba! Apa yang terjadi?" tanyanya panik dan memboyong Kiba ke dalam, kemudian meneriaki ibunya untuk datang.

Tsume keluar dari dapur dan menghampiri anaknya yang sedang meringis sakit karena sudut bibirnya robek. "Aku dihajar paman Kizashi, Bu." Ucap Kiba.

"Haruno Kizashi maksudmu?"

Kiba mengangguk. Tsume terlihat marah, "Haruno Kizashi hanyalah warga sipil biasa! Kau seoarang chuunin, mengapa tidak kau hajar balik, hah?!"

"Tidak, Bu. Tentu saja aku bisa dengan mudah melindungi diriku sendiri atau setidaknya menghindar." Kiba mendesis sebentar merasakan perih di sudut bibirnya, "Aku memulangkan anaknya dalam gendonganku dalam keadaan memakai bajuku dan selakangan berdarah."

Hana yang baru saja kembali sehabis mencuci tangan kini ikut melotot bersama Tsume, sang ibu. "Memangnya apa yang kaulakukan kepada Sakura, hah?" tanya Hana galak kini sambil memancarkan cakra penyembuh di luka-luka lebam wajah Kiba.

Sepasang mata tajam Kiba terlihat bingung menjelaskan. "Bu, aku merasa aneh. Tadi aku mencium aroma kuat yang memabukan. Ketika aku mencari sumbernya, aku melihat Sakura yang sudah siap-siap terjun dari atas tebing—"

"Apa?" Tsume dan Hana bersamaan.

"—ya, ia akan bunuh diri dan beruntung aku sempat menyelamatkannya."

"Lalu?" kali ini Tsume memasang wajah tak sabar. Sementara Hana sempat saling tatap dengan Ibunya itu.

"Saat aku berhasil menangkap tubuhnya, aroma itu semakin ekstrim menyita kesadaranku. Dan ketika aku melihat kedua matanya pula, detak jantungku mengacau. Ada perasaan aneh yang memanjakan sekaligus menyiksaku. Aku tidak tahu apa—"

Tsume dan Hana kembali bertukar pandang.

"—dan aku tidak tahu apa yang kulakukan sampai terus mengendus tubuhnya bahkan mencium bibirnya." Kiba menunduk, wajahnya agak merah dan kini menepis halus tangan Hana yang sedari tadi menyembuhkan lukanya. "Aku juga menggigitnya, sepertinya cakra-ku lolos tembus ke dalam tubuhnya lewat gigi taringku yang menancap di lehernya."

"Tidak mungkin," gumam Tsume pelan nyaris tak terdengar. Sementara Kiba melanjutkan, "Dan aku tidak bisa mengendalikan diriku yang tiba-tiba menginginkan tubuhnya. Aku… menodainya detik itu juga—"

"—Gila!" Komentar Hana menggeleng-gelengkan kepala. Kiba menjambak rambut cokelatnya pelan, sambil tertunduk, "Aku tidak bisa berhenti, Bu! Maafkan aku!" pemuda itu mulai terdengar depresi. "Aku kehilangan pengendalian diriku sendiri. Aku takut, Bu."

Kini Kiba dipeluk oleh sang Ibu yang memasang raut wajah tak percaya menyadari sesuatu sejak anaknya menjelaskan. "Aku takut kalau Sakura tidak menjadi milikku. Jantungku terasa akan hancur, dadaku panas. Aku memintanya untuk menjadi milikku tadi, dia menerimaku. Aku bahagia—tapi aku tidak yakin aku mencintainya."

Suara pemuda itu kian rapuh dalam pelukan Ibunya. Tsume yang biasanya galak itu kini melembut mengelus rambut cokelat Kiba yang masih tidak tenang, "Maafkan aku, Bu. Ibu boleh menghajarku seperti paman Kizashi. Tapi tolong biarkan aku mempertanggung jawabkan apa yang sudah terjadi. Maafkan aku. Maaf—"

"—tenanglah, anak bodoh." Tsume mengelus punggung anaknya itu. Tak dipungkiri kalau jantungnya sendiri sudah terpacu dan cukup shock mendengarnya. "Berapa usia Sakura?"

"Mengapa Ibu menanyakan itu?" Kiba protes, "Aku semakin merasa bersalah karena hari ini hari ulang tahunnya yang ke tujug belas—"

"Ya, Tuhan!" Tsume dan Hana lagi-lagi bersamaan.

"Tidak mungkin!" Tsume menggeleng sementara Hana terlihat begitu shock.

Kiba mengangkat kepalanya dan mengerutkan alis menatap wajah tidak percaya kakak dan ibunya itu.

"Ibu… apa kubilang." Hana bergumam, bertatapan dengan Ibunya. Tsume mengigit bibirnya, "Ini mustahil."

"Tapi sudah terjadi, Bu." Sahut Hana. Kiba merasa agak gemas tidak mengerti, "Apa yang kalian bicarakan sebenarnya?"

Tsume menghela napas, wanita bertato merah taring anjing—serupa dengan Kiba itu menatap lurus pada kedua mata anaknya, "Dengar Kiba, kau hampir delapan belas tahun. Kau sudah diharuskan menjadi dewasa—"

"—aku memang sudah dewasa."

"Dengarkan dulu!" gertak Tsume, "Dulu bukankah pernah kudongengi kalian berdua soal nenek moyang Inuzuka memiliki silsilah dengan likan."

"Likan?" Kiba membeo, "Maksudmu Ibu seperti werewolf yang ada di novel milik Kak Hana?"

Hana mengangguk, "Dulu kau tidak tertarik dengan dongeng tersebut. Kau tidak mendengarkan bagaimana Ibu menceritakannya dengan detail—"

"—apa hubungannya, sih?"

Hana mendengus agak sebal, Tsume menahannya untuk berbicara lebih lanjut. "Bawa saja Sakura ke sini, besok. Hana, pergilah ke kediaman para tetua Inuzuka untuk memberikan kabar ini."

Hana tersenyum tipis dan mengangguk patuh lalu berpamitan pergi bersama ketiga partner anjingnya. Kiba semakin tak mengerti, menatap penasaran Ibunya yang kini menaruh buku tua tebal di atas meja. Buku yang sampulnya hampir robek, bahkan kertasnya sudah menguning dengan aroma yang begitu berumur.

"Dahulu kala, sebelum tercipta marga Inuzuka. Komplotan shinobi kita ber-partner dengan serigala—bukan anjing seperti sekarang. Namun dikarenakan banyak anggota yang berbuat kejahatan—menyalah gunakan kekuatan. Kelompok kita dikutuk, seperti Uchiha beberapa dekade silam.

Kita yang tersisa, sudah terbiasa ber-partner dengan binatang pun memutuskan untuk ber-partner dengan anjing. Karena anjing adalah sahabat manusia. Mereka setia dan mencintai partner-nya—tidak seperti serigala yang terus haus darah dan kekuatan—obsesi kemangangan. Lantas membentuk sebuah klan yang kita beri nama Inuzuka, yang berarti 'rumah anjing'.

Dulu, kelompok tak bernama kita memiliki insting seliar binatang. Efek karena hidup dengan liar di hutan. Dan yang kau alami hari ini adalah apa yang sering dialami mendiang kakek moyang kita terdahulu." Jelas Tsume panjang lebar.

"Aku masih tak mengerti. Apa maksudnya? Memangnya yang aku alami sering dialami bagaimana oleh generasi terdahulu?"

Tsume menghela napas, "Likan, werewolf atau manusia separuh serigala yang dahulu menjadi partner kelompok kita. Menularkan satu ciri yang ada dalam diri mereka kepada kita-kita yang manusia."

"—aku benar-benar tidak mengerti, Bu."

"—dengarkanlah hingga aku tuntas!" Tsume kembali menghela napas kecil, suaranya tetap tegas seperti ia yang biasanya, "Apa yang ditularkannya adalah naluri seorang pemimpin besar tapi… naluri itu lebih mirip seperti naluri hewan—"

Nampaknya Kiba mulai mendapatkan maksudnya, tapi ia lebih ingin mendengarkan ibunya sampai selesai.

"Dimana sosok besar dalam jiwamu akan bangkit setelah menemukan mate-mu."

"—mate?"

"Ya, pasangan. Pasangan yang sudah dilahirkan hanya untuk kau. Ditakdirkan untuk menjadi kekasih sehidup sematimu. Yang akan kau lindungi raga dan batinnya. Satu-satu-nya yang bisa mengendalikanmu, menenangkanmu kalau kau tidak terkontrol suatu saat nanti."

Wajah Kiba memanas, ingatannya telah disambangi wajah cantik Sakura yang menatapnya damba tadi siang. "Tapi, aku sudah bertemu Sakura sedari dulu, Bu. Mengapa baru sekarang?"

"—karena dia baru menginjak umur tujuh belas tahun hari ini. Ini semacam hukum alam, Kiba. Jika bangsa likan atau werewolf bisa bersabar menunggu waktu yang tepat untuk 'menandai' mate-nya, tidak dengan kelompok kita yang ditularkan, kita manusia. Sesungguhnya hasrat manusia lebih kurang ajar dibanding segala hal. Seperti yang kau tahu, satu-satunya makhluk yang tak pernah puas adalah manusia."

Kiba masih diam, wajahnya masih panas, "Jadi tadi yang kualami adalah rasanya menemukan mate. Aku tidak terkendali…"

"Ya, itulah hukum alam yang Ibu maksud. Mate seorang pemimpin besar manusia Inuzuka akan melepaskan aromanya selepas-lepasnya ketika sudah berumur tujuh belas tahun. Kalau likan atau werewolf akan mendapatkan tanda-tandanya melalui tatapan mata, tidak dengan Inuzuka. Inuzuka akan mengetahuinya lewat aroma, baru kontak mata—dan masa itu disebut imprint."

"—imprint?"

"Semacam istilah saat kau temukan belahan jiwamu saat kau menghirup aroma tubuhnya. Kalau seluruh likan atau warewolf dapat mengenalinya. Tidak dengan Inuzuka. Inuzuka yang dapat mengalami imprint adalah seorang Alpha."

" Alpha—pemimpin maksud Ibu?"

Tsume mengangguk, "Shinobi terkuat yang dapat melindungi kelompoknya dan mutlak memiliki darah terpanas yang berarti kekuatannya bisa dikembangkan hingga tak terkira."

Kiba menahan napasnya.

"Kau tahu, Kiba. Sudah ratusan tahun Inuzuka dipimpin shinobi biasa. Sekarang seorang alpha telah ditemukan dan aku tak percaya alpha itu lahir dari rahimku—"

Kiba masih tidak percaya akan kata-kata ibunya.

"—yang artinya, Inuzuka bekesempatan mejadi klan besar seperti dulu lagi. Klan yang akan dihormati dan disegani, klan yang akan memiliki desa besar untuk mereka sendiri." Tsume bergejolak masih tidak percaya, "Astaga, ternyata alpha itu adalah anakku! Anakku yang bodoh dan ceroboh—"

Kiba menggeleng, hari ini dipenuhi kegilaan!

"Kita tinggal menunggu konfirmasi para tetua, besok kau harus membawa Sakura kemari—oh jangan khawatir anakku, aku akan berbincang dengan Mebuki dan Kizashi nanti malam!"

.

.

BERSAMBUNG

A/N : MCanon : Modified-Canon; Multichapter-Canon; Mature-rated-Canon.