of butterflies, umbrellas and Shim Changmin
part i
changmin/yunho; past yunho/jaejoong; pg-13; short-shot; 4987 words.
romance; drama.
.
"I love you. Do I still have a chance to get your heart?"
.
This love is difficult, but it's real
Don't be afraid, we'll make it out of this mess
It's a love story baby just say yes
Taylor Swift; Love Story.
Musim semi di Seoul tak sedingin yang ia rasakan saat masih berada di Kanada. Langit musim semi di penghujung Bulan Maret sangat cerah; lautan biru membentang luas di angkasa.
Ia menghirup udara segar dan menghembuskannya kembali perlahan melalui sela mulutnya. Memejamkan kedua matanya perlahan, ia dapat merasakan hal aneh muncul di sekujur tubuhnya, rasa aneh yang ia kenal, rindu; rasa kerinduan yang sama sekali tak bisa ia deskripsikan dengan kata-kata.
Ia, Jung Yunho, pulang kembali ke tanah kelahirannya, Korea Selatan.
Membuka matanya kembali, sebuah senyuman terbentuk di kedua belah bibirnya yang memerah.
"Minho, here we are!" (Minho, kita sudah sampai!) serunya pada anak kecil di dalam dekapannya, ia sedikit menundukkan kepalanya agar bisa melihat dengan jelas wajah anak yang dipanggil Minho itu. Ia menggigit bibir bawahnya, menahan sebuah teriakan kecil saat melihat betapa lugu dan lucu ekspresi yang terlukis di wajah mungil malaikat kecilnya.
Minho, anak kecil tersebut, sama sekali tidak memejamkan matanya; mata bening anak tersebut membulat sempurna dan bibir mungilnya membentuk huruf 'O'. Ciri khas anak kecil saat melihat sesuatu yang terlihat menarik di depan mata mereka.
"Do you like it here?" (Apa kau suka disini?) tanya Yunho sambil berharap cemas, cemas malaikatnya tidak suka akan pilihan rumah mereka untuk mereka tinggal di Korea. (Sebuah rumah bergaya Amerika khusus untuk keluarga kecil; tidak sebegitu besar dan tidak sebegitu kecil, sangat pas. Dan saat pertama kali melihat rumah itu di situs online Yunho sudah jatuh hati pada rumah keluarga itu, apa lagi lingkungan sekitar rumah baru mereka sangat ramah untuk masa perkembangan Minho.)
Sepasang mata bulat jenih bertemu dan menatap lekat pada miliknya.
"Min like it, Papa!" (Min menyukainya, Papa!) Minho langsung mengalungkan kedua lengan kecilnya di leher jenjang milik ayahnya setelah member ciuman singkat di bibir sang ayah serta membuat sebuah suara ciuman 'Mwuah'.
Yunho menghembuskan nafas lega, malaikat kesayangannya menyukai rumah ini. "Minho," Yunho memanggil lembut pada anaknya, ia menunggu hingga anaknya menatap kembali padanya, lalu berkata, "There are swings, sandbox, and slide at the backyard. You can play it whenever you want, baby." (Ada ayunan, kotak pasir dan perosotan di halaman belakang. Kau bisa bermain kapanpun yang kau inginkan, sayang.) Yunho yang sudah tak bisa menahan melihat betapa lucunya mata bulat Minho membesar pada setiap kata yang ia ucapkan, langsung mencubit sekilas pipi kiri Minho yang tembam dan merona.
"Swing!" (Ayunan!) teriakan khas anak kecil itu terdengar menenangkan di pendengaran Yunho.
"Yes, swing, Minho." (Ya, ayunan, Minho.) ucap Yunho ulang beberapa detik kemudian dia tertawa pelan.
"Papa, Min want play swing now," (Papa, Min mau bermain ayunan sekarang.) kata Minho penuh harap dengan mata berbinar-binar.
Yunho dengan terpaksa menggelengkan kepalanya tidak, "Min, you have to take your nap, we have just arrived here, you must be tired after the long trip," (Min, kau harus tidur siang, kita baru saja sampai disini, kau pasti lelah setelah perjalanan panjang tadi.) Yunho menghela napas panjang menyadari bibir bawah Minho bergetar, sepertinya si kecil menahan tangisannya.
"No nappy, Papa…" (Jangan tidur siang, Papa.) rengek Minho sambil mengerakkan tubuh mungilnya dalam gendongan sang ayah, membuat Yunho harus mengeratkan lengannya di ubuh mungil Minho, ia tidak akan memaafkan dirinya jika menjatuhkan putra satu-satunya ini.
"Papa promise will play with you tomorrow. So pinky promise?" (Papa janji akan menemanimu bermain besok. Jadi, janji?) Yunho mengulurkan kelingking kanannya dihadapan Minho yang tampaknya masih memikirkan perkataan sang ayah.
Minho menganggukkan kepalanya beberapa kali, "Pinky promise!" (Janji!) ia mengaitkan jari kelingking mungilnya pada kelingking besar Yunho.
Tak selang beberapa lama Minho menguap dan mengistirahatkan kepalanya di pundak tegas sang ayah, ia meringkuk manja sambil berguman dibawah nafas lembutnya, 'Mama, Mama'—kebiasaan Minho sejak ia mulai bisa berbicara dengan lancar saat ia mengantuk.
"Is my baby sleepy?" (Apa anakku mengantuk?)
Minho mengangguk kecil.
Yunho mulai menepuk punggung kecil Minho pelan sambil membisikkan lagu pengantar tidur untuk malaikat kecilnya.
Dengan perlahan, Yunho melangkahkan kaki jenjangnya masuk ke rumah barunya. Kedua bola matanya sempat menatap takjub pada isi dari rumahnya. Semua sudah tertata rapi dan sempurna sesuai yang ia inginkan untuk rumahnya itu. Dalam hati ia berjanji akan mengucapkan terima kasih pada seorang disainer interior yang sudah membantunya menghias rumah ini.
Yunho manaiki anak tangga dengan hati-hati, menuju kamar Minho yang berada di lantai atas. Kamar anak-anak yang khas dengan warna-warna cerah dan di dinding kamar Minho sudah terlempel banyak gambar karakter imajiner kesukaan Minho.
"Sleep, my little angel, Papa is here for you. Sleep sounds, my little angel." (Tidur, malaikat kecilku, Papa ada disini untukmu. Tidurlah yang nyenyak, malaikat kecilku.) dengan perlahan dan hati-hati Yunho merebahkan tubuh mungil Minho di atas tempat tidur. "Papa loves you my little one," (Papa sayang padamu, sayangku.) bisiknya sebelum mencium sayang pada kening Minho.
Untuk terakhir kalinya, Yunho menyempatkan dirinya untuk melihat sekilas malaikat kecilnya tertidur dengan pulas sebelum turun kembali kelantai bawah.
Berkeliling di sekitar rumah barunya, Yunho tak henti-hentinya mengucapkan serangkaian kata bentuk dari kekagumannya. Dengan langkahan terakhir di sekitar rumah barunya Yunho sampai pada ruang keluarga, ia menatap sebuah bingkai foto yang berukuran cukup besar menghiasi dinding yang bermotif bunga.
Sebuah foto keluarga—keluarga yang bahagia, setidaknya itulah yang ia pikirkan setiap kali menatap foto itu.
Tanpa ia sadari sebuah senyuman manis terlukis di bibirnya saat menatap lekat wajah mendiang istrinya yang tersenyum bahagia di dalam foto itu sambil memangku bayi Minho di pangkuaanya. Jemari-jemari lentik Yunho dengan sangat perlahan membelai wajah istrinya pada foto itu. Walau itu hanya sebuah foto, tapi ia masih hafal dan bisa merasakan betapa halusnya pipi yang selalu merona setiap kali ia sentuh. Ia masih ingat itu tanpa ia harus pinta, bahkan kalau boleh jujur, ia merindukan membelai pipi itu.
Merasakan matanya mulai memanas, Yunho menghentikan kegiatannya membelai foto mendiang istrinya.
Boo, wish you were here. I miss you that hurt. (Boo, seandainya kau ada disini. Aku merindukanmu itu menyakitkan.)
Mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru rumah, Yunho memandang sekali lagi pada bingkai foto dihadapannya.
.
Jung Yunho, duda beranak satu itu, merindukan mendiang istrinya, sangat.
.
.
Saturday, March 23, 20xx.
I'm home, we are finally coming home, Boo. (Aku pulang, kita akhirnya pulang, Boo.)
-00-
.
.
.
Sebuah tangan kecil terus mengusik tidur paginya yang damai; menusuk-nusuk pipinya, bermain—lebih tepat dikatakan menarik-narik—dengan rambutnya sampai mencubit-cubit pipinya. Itu semua memang tidak terasa sakit, hanya saja ia merasa tergangu, tidakkah orang yang mengganggunya itu tahu bahwa ia baru bisa tertidur jam tiga dini hari tadi setelah menangis semalaman karena terlalu merindukan mendiang istrinya, itu kalau ia mau berkata jujur.
"Papa, papa, wakey, wakey!" (Papa, papa, bangun, bangun!)
Tentunya orang yang menggangungnya sepagi ini adalah putra kecilnya, Jung Minho.
Menyadari bahwa sang anak mencoba untuk membangunkannya, membuat Yunho semakin enggan untuk beranjak dari ranjang hangatnya. Ia menarik sebuah bantal yang tergeletak disampingnya dan menutup kepalanya dengan itu, seditaknya untuk meredam suara dan tawa khas anak-anak yang memenuhi kamarnya saat itu ke pendengarannya.
"Papa, papa, wakey, wakey! Mr. Googoo waiting!" (Papa, papa, bangun, bangun. Tuan Googoo sudah menunggu!)
Minho pada dasarnya hanyalah seorang anak kecil yang masih polos dan lugu, mulai menaiki tubuh sang ayah dan melompat-lompat di atas tubuh sang ayah.
Rasa kantuk yang ia rasakan hilang begitu saja saat ia merasakan sakit dan nyeri di sekitar daerah perutnya, dimana Minho masih melompat-lompat kecil disana.
Oh, Jesus Christ.
Yunho melempar bantal yang menutupi kepalanya ke sembarang tempat, dengan malas ia membuka kedua matanya perlahan dan menemukan sepasang mata polos memandanginya dengan tatapan berbinar-binar.
Minho, anak berumur 5 tahun itu tersenyum lebar yang memperlihatkan deretan gigi susunya pada sang ayah yang sudah terbangun dari tidur lelapnya.
"Papa you up!" (Papa, kau sudah bangun!)
Minho menundukkan kepalanya untuk memberikan sebuah kecupan di bibir sang ayah; rutinitas yang tak boleh dilewatkan bagi si kecil saat ayahnya bangun di pagi hari. "Papa, morning." (Papa, pagi.)
Membisikkan 'Morning' kembali, Yunho bangkit dan duduk dengan Minho yang duduk manis di atas pangkuannya. Memejamkan matanya berkali-kali, Yunho menyapu indera penglihatannya ke arah dimana ia meletakkan jam dinding di kamarnya.
Jam 07.30 pagi.
Mengerang dibawah nafasnya, Yunho bukanlah tipe orang yang akan bangun sepagi ini dihari libur.
"Papa, Min hungry," (Papa, Min lapar.) ucap anaknya sambil menarik-narik ujung piyama miliknya.
Mengusap rambut halus sang anak, Yunho bangkit dari tempat tidurnya dengan Minho berada dalam gendongannya. Mereka berdua menuju ke kamar mandi yang berada di dalam kamar Yunho.
"We have to take a bath first. Then papa will make your favorite dishes!" (Kita harus mandi dulu. Lalu papa akan membuatkan sarapan kesukaanmu!) seru Yunho sambil membatu melepaskan piyama Minho.
"Omelette!" (Telur dadar!)
"Yes, Omelette!" (Ya, telur dadar!)
.
.
.
Sunday, March 24, 20xx
Boo, Good Morning. Today is our first morning in Korea. We love you. (Boo, Selamat Pagi. Hari ini adalah pagi pertama kami berada di Korea. Kami mencintaimu.)
-00-
.
.
.
Yunho memperhatikan dengan seksama bagaimana eksepresi wajah Minho selalu berubah-ubah saat menyaksikan tayangan kartun yang diputar pagi ini.
Sesekali anak kecil itu mengkerutkan kedua alis tebalnya, bingung. Memajukan bibir mungilnya dan melipatkan kedua lengan mungilnya di depan dadanya, menandakan bahwa ia sedang kesal.
Minho, anak kecil itu sama sekali tidak mengerti apa yang dibicarakan oleh karakter imajiner kesukaannya itu. Mereka semua berbicara dengan bahasa yang sama sekali tidak pernah ia dengar sebelumnya, sejauh yang ia tahu, kemarin saat masih berada didalam pesawat ia masih mengerti apa yang mereka ucapkan. Tapi tidak untuk hari ini, mereka seperti berbicara menggunakan bahasa alien.
Minho melenguh dan mata bulatnya membulat sempurna. Oh tidak, jangan-jangan semua karakter kesukaannya itu dimakan para alien seperti yang sering ia saksikan di layar kaca bersama pamannya.
Oh demi semua malaikat kecil yang selalu bernyanyi di malam kudus, Jung Minho, betapa polosnya pikiranmu itu.
Yunho menahan tawanya dibalik punggung tangannya, sepertinya ia tahu apa yang dipikirkan sang anak saat ini.
"What's wrong, Min?" (Apa ada, Min?) Yunho mengigit bibir bawahnya, berusaha keras agar tidak mengeluarkan suara tawa. Oh demi semua boneka bambi yang ada di dunia, ekspresi wajah malaikat kecilnya itu benar-benar menggemaskan hingga ia tak tahan lagi untuk mencubit kedua pipi tembam itu.
Minho menatap kembali pada layar kaca di hadapannya, tayangan kartun kesukaannya kembali muncul setelah jeda iklan yang cukup singkat. Ia mengembungkan kedua pipinya dan kembali melipat kedua tangannya di dadanya. Ia menoleh kearah sang ayah, berkata, "Papa, Min no get what they say. Aliens eat them all!" (Papa, Min tidak mengerti apa yang mereka katakan. Para alien memakan mereka!)
Ini semua jauh dari apa yang Yunho pikirkan atau bayangkan, ia sempat berpikir kalau Minho akan merajuk karena tidak mengerti apa yang dikatakan karakter imajiner kesukaannnya itu, bukan menangis seperti yang Minho lakukan saat ini.
Dengan segera Yunho menggendong Minho yang menangis cukup keras di pundaknya, sambil mengucapkan kata-kata manis yang akan membuat sang anak tenang.
"There, there, little one. Aliens don't eat them at all, they are just speaking in Korean, therefore you don't understand what they are saying, Baby. No aliens eat them. So don't cry, Minho." (Cup, cup, sayang. Para alien sama sekali tidak memakan mereka, mereka semua berbicara dengan Bahasa Korea, karena itu kau tidak mengerti apa yang mereka katakan. Jadi jangan menangis, Minho.)
Yunho merutuki dirinya dalam hati yang tidak pernah menyempatkan diri untuk mengajarkan bahasa korea kepada Minho saat sang anak mulai berbicara, karena ia sempat berpikir tidak akan pernah tinggal di Seoul lagi dan menatap di Kanada—yang pada dasarnya menggunakan Bahasa Inggris sebagai media komunikasi utama.
"No aliens eat them?" (Bukan alien yang memakan mereka?) Tanya si kecil Minho memastikan.
Yunho mengangguk pelan, dihapusnya air mata yang membasahi pipi Minho yang mulai memerah dengan jari telunjuknya. "No aliens eat them, Baby." (Bukan alien yang memakan mereka, sayang.) ulang Yunho sekali lagi, menciumi satu per satu mata Minho yang masih basah dengan penuh kasih sayang.
Menyadari anaknya sudah mulai tenang, Yunho menjauhkan sedikit jarak diantaranya dengan Minho agar si kecil dapat melihatnya dengan jelas, bertanya, "Minho, how about we play swing right now? Papa will play with you today!" (Minho, bagaimana kalau kita bermain ayunan sekarang? Papa akan menemanimu bermain hari ini!)
Mata Minho langsung berbinar-binar dan tersenyum riang. "Swing!" (Ayunan!) seru Minho. Ia menggoyangkan tubuhnya didalam dekapan sang ayah, memberi isyarat agar menurunkannya. Dengan semangat, Minho menarik sang ayah menuju taman belakang.
.
.
Satu hari penuh, Yunho dan Minho habiskan untuk bermain di halaman belakang rumah mereka. (Yunho sempat kewalahan menyuruh Minho untuk tidur siang karena terlalu asyik membuat istana pasir—yang dengan polosnya Minho katakan istana itu untuk dirinya, Papa, dan Mama untuk tinggal nanti. Yunho hampir saja menitikkan air mata mendengar ucapan yang terlontar dari anaknya.)
.
.
.
Boo, when am I ready to tell that you are not here anymore to Minho? I couldn't lie anymore. (Boo, kapan aku siap memberitahu bahwa kau sudah tak ada disini lagi kepada Minho? Aku tidak sanggup berbohong lagi.)
-00-
.
.
.
Hari ketiga di Seoul bagi keluarga kecil Jung sangatlah hangat, tidak seperti saat pertama kali mereka tiba. Ia bisa merasakan cahaya matahari lebih hangat pagi ini, tapi mereka harus tetap menggunakan pakaian yang cukup tebal.
Pagi ini Yunho sudah merencanakan akan pergi berkeliling sekitar lingkungan tempat tinggalnya, yang beberapa hari lalu tidak sempat ia lakukan karena masih disibukkan untuk menata sedikit rumahnya kembali. Lagipula hari ini ia akan membeli beberapa kebutuhan mereka untuk seminggu kedepannya dan yang terpenting adalah membeli buku belajar Bahasa Korea untuk pemula.
Saat ini mereka berdua sedang menunggu kedatangan taksi yang sudah Yunho hubungi beberapa menit yang lalu di depan rumah mereka. Yunho berjalan mondar-mandir karena merasa bosan dan Minho yang berdiri di sampingnya mengikuti apa yang ia lakukan; mencoba menyamai langkahan lebar sang ayah dengan kaki kecilnya.
Melihat taksi datang menuju kearah mereka, Yunho segera membawa Minho ke dalam dekapannya. Taksi mereka baru saja tiba.
"Tuan, tempat mana yang akan anda tuju?" Tanya sopir taksi itu sopan sambil menoleh kebelakang pada Yunho.
Yunho sempat kebingungan mendengar ucapan sopir taksi tersebut, bagaimanapun juga ia tidak pernah lagi mendengar atau berbicara dengan menggunakan Bahasa Ibu-nya, rasa percaya diri untuk menggunakan Bahasa Korea pada dirinya sudah menurun bahkan ia lupa kapan terakhir kali ia berbicara menggunakan Bahasa Korea; sepuluh tahun lalu? Saat ia masih duduk di sekolah menengah pertama? Atau bahkan sekolah dasar?
"Tuan?"
Sebuah suara membuyarkan lamunannya, Yunho tersenyum sungkan pada pria paruh baya dihadapannya, ia menggaruk tengguk lehernya malu, "Maaf," Yunho menggigit lidahnya begitu mengucapkan kata tersebut, lidahnya terasa geli mengucapkan kata itu, bahkan ia tak mengenali suaranya sendiri saat mengatakannya. "I can't speak in Korean properly," (Saya tidak sebegitu lancar berbicara dalam Bahasa Korea.) ia mengatakan dengan pelan.
Sopir taksi itu tersenyum maklum pada Yunho, "Are you an immigrant, young man?" (Apa kau seorang imigran, anak muda?)
Yunho tersenyum lega supir taksi itu bisa berkomunikasi dalam Bahasa yang ia mengerti kemudian menangguk iya, "I just moved from Canada but I'm Korean though." (Saya baru saja pindah dari Kanada, tapi saya adalah Orang Korea.)
Sopir taksi tersebut kembali member senyum ramahnya pada Yunho, "Is that so? Then, welcome home, young man." (Begitukah? Kalau begitu, selamat datang kembali, anak muda.) Lalu ia tertawa pelan.
"Thank you." (Terima Kasih.)
Orang-orang Korea ternyata sangat ramah dan murah senyum bahkan pada orang asing sekalipun. Pikir Yunho dalam hati.
"Where are you going to, young man?" (Kemana kau akan pergi, anak muda?) Tanya sopir itu sekali lagi.
Yunho segera mengeluarkan ponsel miliknya dari dalam saku jaket, memperlihatkan sebuah gambar pusat perbelanjaan yang ia peroleh saat mencari info tentang tempat-tempat yang berada di sekitar tempat tinggalnya.
Sopir taksi ramah itu mengangguk mengerti pada tempat yang akan dituju oleh penumpangnya itu. Lalu menghidupkan kembali mobil tersebut dan menuju ke pusat perbelanjaan tersebut.
-00-
.
.
.
Tidak sampai lima belas menit berselang mereka sudah sampai di pusat perbelanjaan yang dituju. Yunho dengan segera menyodorkan beberapa lembar mata uang Won kepada sopir taksi ramah tersebut dan mengucapkan terima kasih.
Yunho menatap takjub pusat perbelajaan dihadapannya, walaupun tidak sebesar yang sering ia temukan saat di Kanada tapi tetap saja itu membuat Yunho takjub melihatnya.
"Papa, what we doin' here?" (Papa, apa yang kita lakukan disini?) Tanya Minho kecil sambil bermain dengan bibir bawah sang ayah dengan jemari mungilnya.
"We are going to buy everything we need, Baby." (Kita akan membeli segala yang kita inginkan, sayang.)
"Milk too?" (Susu juga?)
Menganguk pelan, Yunho mencoba untuk menggoda anaknya dengan berkata, "And strawberries too." (Dan buah stoberi juga.) Ia tahu pasti malaikat kecilnya itu sangat tidak suka buah stroberi karena rasanya yang 'Yucky' menurut Minho.
Minho mengembungkan kedua pipinya kesal, ia tidak suka buah stroberi sama sekali. "No strawberry, Papa. Hate it!" (Jangan stoberi, Papa. Tidak suka!)
Yunho hanya tertawa lepas melihat wajah kesal sang anak.
.
.
Yunho segera melangkahkan kakinya mencari lift pusat perbelanjaan tersebut, karena memiliki insting yang kuat—setidaknya ia mengatakan itu sendiri—langsung menemukan dimana lift itu berada. Dengan segera ia menuju lantai tiga dimana terdapat tempat penitipan anak berada. (Ia sangat berterima kasih pada teknologi dunia maya yang memberitahu segalanya tentang yang ingin ia ketahui, termasuk pusat perbelanjaan ini.)
Setelah mendaftarkan nama Minho kedalam penitipan anak di pusat perbelanjaan tersebut, Yunho berusaha merayu anaknya agar mau ditinggalkan sebentar dan bermain dengan anak-anak yang dititipkan juga disana. Yunho bisa bernafas lega karena Minho bukanlah anak yang keras kepala dan tidak susah untuk diberitahu, (walaupun sedikit membujuk si kecil dengan membelikan boneka Bambi setelah pulang nanti.)
Berpikir sejenak tentang kemana ia akan pergi terlebih dahulu; toko buku atau membeli perlengkapan, Yunho memutuskan untuk membeli perlengkapan untuk mereka seminggu kedapan terlebih dahulu.
Karena keterbatasan dirinya dalam membaca dan memahami huruf Hangul, Yunho sempat beberapa kali merepotkan para kariawan disana; bertanya kata apa saja yang tertera disana. Yah, daripada ia harus kebingungan dan salah dalam memilih semua barang itu, lebih baik meminta bantuan—lebih tepatnya merepotkan—para pegawai, lagipula itu adalah tugas mereka; melayani para pelanggan.
Melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannnya, Yunho sempat terkejut, ia sudah hampir dua jam berbelanja segala perkelengkapan mereka bedua. Dengan melangkah terburu-buru Yunho segera menuju lantai tiga kembali, dimana toko buku berada.
(Yunho menyempatkan dirinya melihat ke tempat penitipan anak yang berada tak cukup jauh dari toko buku, untuk memastikan keadaan malaikat kecilnya. Yunho bernafas lega setelah melihat Minho sedang bermain dengan seorang anak yang sepertinya bukan Orang Asia.)
Jung Yunho, pria rupawan berumur 27 tahun itu, tengah kebingungan, sangat, menatap tumpukan buku yang sama sekali ia tak mengerti apa tulisan yang tertera di buku-buku tersebut.
Hangul, screw you! (Hangul, sialan kau!)
Umpat Jung Yunho kesal seraya mencari buku bilingual Bahasa Inggris-Korea untuk para pemula yang hingga saat ini belum ia temukan.
Oh, Hangul, sepertinya kau menjadi salah satu hal yang paling tidak disukai oleh Tuan Jung saat ini.
"Apa ada sesuatu yang kau butuhkan?"
Jung Yunho yang kaget setengah mati mendengar suara yang tiba-tiba muncul disampingnya melangkah mundur sedikit, karena menyadari er, jarang diantaranya dan pemilik suara tersebut sangatlah dekat dari rasa nyamannya.
Entah ia sedang terhipnotis atau apa, Jung Yunho sama sekali tidak bergerak atau mengedipkan kedua matanya saat kedua bola matanya dapat melihat dengan jelas objek dihadapannya, seorang pria yang sanat sempurna dengan bola mata yang besar, hidung mancungnya, bibir tebal yang sangat mengundang untuk dicium, dan er, kaki jenjangnya yang—
Okay, that's enough Jung Yunho. It's not the right time to think about other's perfection! (Oke, itu cukup Jung Yunho. Ini bukan saatnya memikirkan tentang kesempurnaan seseorang.)
Yunho mencoba untuk melihat ke segala arah bukan pada pria yang masih setia berdiri disampingnya. Yunho melirik sedikit ke arah pria tinggi disampingnya lagi, berguman pelan, pria yang mengenakan jas putih tersebut ternyata lebih tinggi dari dirinya beberapa senti. (Jung Yunho sedikit iri dengan kenyataan tersebut.)
"Aku bertanya, apa ada hal yang kau butuhkan?"
Lagi-lagi pria itu bertanya pada Yunho. Yunho menolehkan kepalanya ke arah pria tersebut dan menyadari senyuman ramah terlukis di bibir tebal pria itu. Mengkerutkan kedua alisnya, Yunho berpikir bahwa pria yang sedang tersenyum padanya terlalu rapi dan terkesan berkelas untuk menjadi seorang pegawai di toko buku ini, melihat betapa mahal material jas yang dikenakan pria asing itu.
Berdeham, Yunho mencoba membalas senyuman pria asing tersebut, dan bertanya, "Do you speak English?" (Apa kau bisa berbicara dalam Bahasa Inggris?)
Baiklah, ini sudah kesekian kalinya ia menanyakan hal yang sama pada setiap orang yang mencoba manawar pertolongan kepadanya di pusat perbelanjaan ini (dan ini membuatnya sedikit kesal). Yunho merasa bahwa ia adalah orang yang bodoh dan tidak berguna karena tidak bisa berbicara dalam Bahasa Korea dengan baik dan benar, meskipun ia adalah Orang Korea asli sekalipun.
Pria berjas putih itu hanya menganggukan kepalanya iya.
"Is there anything I can help you then? I noticed that you are in trouble just now." (Apa sesuatu yang bisa aku bantu? Aku menyadari kalau kau sedang kesusahan barusan.)
Yunho tertawa malu mendengar penuturan pria asing tersebut. Sebegitu jelaskan ia terlihat seperti orang yang kebingungan?
"No, that's, how do I say it?" (tidak, itu, bagamaina aku harus mengatakannya?) Ucap Yunho tidak jelas.
"You can't read hangul, can you?" (Kau tidak bisa membaca huruf Hangul, begitu?)
Pria dihadapannya bukan hanya tampan melainkan juga pintar. Secara otomatis otak Yunho menghafalkan hal itu.
Terdiam sejenak, Yunho menganggukkan kepalanya perlahan. Ia menolak untuk menatap kearah pria asing itu, menyiapkan dirinya untuk menjadi tertawaan pria tersebut. Tapi segala pikirannya sepertinya memang selalu tidak tepat, beberapa detik kemudian ia baru menyadari pria asing tersebut menyeretnya entah kemana sambil menggenggam pergelangan tangannya.
Wow, such a big and warm hand. (Wah, tangan yang besar dan hangat.)
Tanpa disadari sebuah senyuman kecil muncul di kedua belah bibirnya.
.
.
(Yunho dan pria asing—yang lupa ia tanyakan namanya—tersebut menghabiskan hampir sejam penuh untuk memilih buku belajar Bahasa Korea yang tepat untuk seorang pemula, karena pria tinggi tersebut banyak merekomendasikan buku-buku yang cocok untuknya dan Minho.
Dalam hati kecilnya Jung Yunho berharap dapat bertemu dengan pria yang sudah membantunya memilih buku untuknya, suatu saat hari nanti.
Kalau saja ia tidak teringat akan anaknya yang sudah ia titipkan di tempat penitipan anak selama berjam-jam, mungkin Jung Yunho akan terlalu terhipnotis mendengar suara halus pria asing tersebut yang membuatnya ingin lebih lama mendengarkan.)
-00-
.
.
.
Yunho baru saja selesai mengenakan piyama, mendengar suara yang begitu familiar di kedua telinganya.
"Yes, Minho? What's the matter, Baby?" (Ya, Minho? Ada apa, sayang?) Yunho memberi gesture pada anaknya agar mendekat pada dirinya dan Minho segera berlari kecil diatas kaki mungilnya.
Yunho meletakkan malaikat kecilnya diatas ranjang disebelah dirinya, bertanya, "What is it, Min?" (Ada apa, Min?)
Minho memeluk erat boneka Bambi yang baru saja ia peroleh dari sang ayah sore ini, ia menatap lekat pada sang ayah, berkata perlahan, "Min wanna sleep with Papa." (Min mau tidur sama Papa.)
Yunho tersenyum mendengar perkataan anaknya dan member kecupan hangat di atas kepala Minho, "Alright, Min sleeps with Papa tonight." (Baiklah, Min tidur dengan Papa malam ini.)
Yunho merebahkan dirinya disamping anaknya dan mendekatkan tubuh mungil Minho kedalam dekapannya, sambil mengusap perlahan punggul kecil Minho.
"Papa," panggil Minho.
"Yes, Baby." (Ya, sayang.)
Yunho menunggu sang anak sampai berbicara lagi.
"Miss Mama." (Rindu Mama.)
Ucapan polos yang terlontar dari bibir Minho sukses membuat tubuh Yunho membeku. Dadanya terasa nyeri mendengar kata itu semua.
Yunho menelan ludahnya, ia membuka mulutnya perlahan mencoba untuk berbicara, "Do you?" (Benarkah?) suara yang ia keluarkan bergertar dari yang ia harapkan.
Minho hanya mengangguk kecil.
"Min miss Mama, Papa. Min wanna play with Mama again, Papa." (Min merindukan Mama, Papa. Min mau bermain sama Mama lagi, Papa.)
Itu terdengar seperti tangisan penuh kerinduan dipendengaran Yunho.
"When Mama come play with Min again, Papa?" (Kapan Mama akan datang untuk bermain bersama Min lagi, Papa?)
Jung Yunho hanya terdiam, ia tak sanggup menjawab pertanyaan sang anak.
Yunho malam hari itu tidak bisa tertidur lagi setelah mendengar ucapan sang anak, menangis dalam diam.
.
.
.
Monday, March 25 20xx
Boo, do you hear that? Our little angel misses you so much, so do I. Boo, am I too egoist wishing for you to be here with us once more even just for an hour? Is that too much to ask for? We miss you so much. (Boo, apa kau mendengar itu? Malaikat kecil kita sangat merindukanmu, begitu pula dengan diriku. Boo, apa aku sangat egois mengharapkanmu berada disini meski hanya untuk satu jam saja? Apa itu sangat sulit untuk dikabulkan? Kami sangat merindukanmu.)
-00-
.
.
.
Siang harinya Yunho menemani Minho kecil menonton animasi imajiner kesukaannya lagi, tapi kali ini Yunho sudah mempersiapkan semuanya; membeli CD animasi tersebut yang di-dubbing ke dalam Bahasa Inggris. Ia hanya tidak ingin Minho kecil berpikir bahwa karakter imajiner kesukaannya itu dimakan oleh elien atau semacamnya lagi, yang artinya ia harus melihat Minho menagis lagi.
Yunho membalikkan halaman berikutnya pada buku yang berada diatas pangkuannya; Buku belajar Bahasa Korea untuk pemula. Dalam 4 hari belakangan ini ia sudah menghafal setidaknya bagaimana cara mengucapkan salam, nama-nama hari dan bulan, angka (walau hanya sampai angka ke-15), ia sangat mensyukuri memiliki IQ yang tinggi disaat-saat seperti ini. Menyombongkan diri sedikit tak berdosa, tidak?
Mendengar suara bel yang berbunyi, Yunho menghentikan kegiatannya sejenak, mencoba memastikan kalau ia tidak salah mendengar. Terdengar suara bel lagi, Yunho segera mencari pembatas buku dan menyelipkannya diatara halaman yang ia baca.
"Wait a moment!" (Tunggu sebentar!) teriaknya dari dalam ruang keluarga dan langsung berlari kecil menuju pintu masuk rumahnya.
Betapa terkejutnya Jung Yunho saat mengetahui siapa orang yang berdri dihadapannya saat ini. Pria ramah itu! Pria yang sudah membantunya memilih buku beberapa hari yang lalu di pusat perbelanjaan.
Namun sedetik kemudian, ia mengerutkan alisnya, bagaimana bisa pria ini bisa mengetahui kediamannya? Seingatnya mereka tidak sempat membicarakan hal yang bersifat pribadi. Atau jangan-jangan pria ini diam-diam mengikutinya sampai sini? Menggeleng kepalanya cepat, ia tidak ingin berpikir yang negative terhadap pria yang sudah menolongnya ini. Dengan segera ia mempersilahkan pria tinggi tersebut masuk kerumahnya.
"Please sit down. I'm going to make some drink for you. A cup of Tea, coffee or probably a glass of orange juice. Which one you would like to drink?" (Duduklah. Aku akan membuatkan minuman untukmu. Secangkir teh, kopi, atau mungkin segelas jus jeruk. Yang mana yang ingin kau minum?) Tanya Yunho dengan ramah layaknya seorang pemilik rumah.
"Ah, if you don't mind, tea please." (Ah, kalau tidak merepotkan, tolong teh saja.)
Dengan itu Yunho segera menuju dapurnya untuk membuat secangkir the untuk tamunya itu.
Dengan secangkir teh hangat diatas nampan kecil, Yunho kembali ke ruang tamunya untuk menyuguhkan minuman hangat itu pada tamunya.
"Here," (Silahkan.) ucap Yunho saat meletakkan teh hangat tersebut.
Keheningan menyelemuti diatanya mereka berdua. Yunho memperhatikan dengan seksama pria yang duduk dihadapannya. Penampilan pria itu lebih kasual daripada hari pertama kali mereka bertemu, pria itu hanya menggunakan T-shirt biru langit polos dan celana jeans yang membalut kaki jenjangnya, rambut yang ia ingat ditata begitu rapi sekarang sedikit berantakan yang menambah kesan sempurna pada tamu yang belum sempat ia tanyakan namanya tersebut.
Oh, speaking of it. (Oh, ngomong-ngomong soal itu.)
"Pardon, May I ask what's your name? It may be rude to me for not asking your name first." (Maaf, boleh aku bertanya siapa nama anda? Ini akan terkesan tidak sopan karena tidak menanyakan nama anda terlebih dahulu.) Tanya Yunho dengan sopan. "I'm Jung Yunho, nice to meet you." (Saya Jung Yunho, senang bertemu dengan anda.)
Pria yang sekarang bertamu padanya itu meletakkan kembali cangkir teh hangat yang disuguhkan padanya, dan berkata dambil tersenyum, "I'm sorry, I have not told my name yet to you. I'm Shim Changmin, nice to meet you too." (Maaf, sebelumnya saya belum sempat menyebutkan nama saya. Saya Shim Changmin, senang bertemu dengan anda juga.)
Tersenyum, Yunho menimpali tamu yang baru ia ketahui namanya tersebut, "May I know why were you coming to my house?" (Kalau boleh tahu apa yang membuat anda datang kemari?) Yunho memang sangat penasaran akan kedatangan secara tiba-tiba dari Shim Changmin tersebut.
"Honestly, I have been waiting for this moment to meet with you in person, Jung Yunho." (Sejujurnya, Saya sudah menanti kesempatan ini untuk bertemu dengan anda secara langsung, Jung Yunho.)
Itu membuat rasa penarasan Yunho semakin bertambah.
"There is an important thing I have to tell you." (Ada hal penting yang harus saya katakana pada anda.)
Bolehkah Yunho katakan bahwa dirinya sedang tegang dan merasakan firasat yang tidak enak sekarang?
"I want to meet with my son. I'm the birth-father of your son, Jung Minho or his birth name is Shim Minho." (Saya ingin bertemu dengan anak saya. Saya adalah ayah kandung dari anak anda, Jung Minho atau nama aslinya adalah Shim Minho.)
Tanpa mempedulikan pria yang baru saja ia ketahui namanya itu, Jung Yunho langsung berlari ke ruang keluarga dimana si Kecil Jung Minho sedang asyik menonton kartun animasinya. Ia benar-benar harus melihat anaknya sekarang juga. Dia, Jung Yunho, tidak ijinkan seorangpun merebut atau mencoba menjauhkan anaknya darinya. Tidak seorangpun; meskipun seseorang yang mengaku sebagai ayah kandung dari malaikat kesayangannya.
Tidak seorangpun, karena Jung Minho adalah putra sah dari Jung Yunho dan mendiang istrinya Kim-Jung Jaejoong sejak lima tahun yang lalu.
.
.
'Yunho, this is my last wish, can you grant it for me?
'Anything for you my Boo.'
'Yunho, please take care of our Minho for me. Make him smile everyday when I'm not here for him, sing him a lullaby everynight when he can't sleep. Please, always by his side, Yunho. You are the only one whom Minho has now, so have you.'
('Yunho, ini adalah permintaan terakhirku, bisakah kau mengabulkannya?'
'Apapun untukmu, sayangku.'
'Yunho, aku mohon jaga Minho kita untukku. Buatlah ia tersenyum setiap hari saat aku tidak ada untuknya, nyanyikan lagu penghatar tidur untuknya saat ia tidak bisa tertidur. Aku mohon, kau harus selalu berada disisi Minho. Kaulah satu-satunya yang ia miliki sekarang, begitu pula denganmu.')
.
.
Friday, March 29 20xx
Boo, what should I do now? I can do nothing without you here. I don't want to be separated with our son. How can I grant you last wish? Boo, I'm confused. (Boo, apa yang harus aku lakukan? Aku tidak bisa melakukan apapun tanpamu disini. Aku tidak ingin berpisah dengan anak kita. Bagaimana caranya aku mengabulkan permintaan terakhirmu itu? Boo, aku bingung.)
.
.
.
-to be Continued
a/n: this is my first Indonesian fic ever, I created this since I got a challenge from my Bahasa Teacher to write a story in Indonesian, so here it is!
Since this is the first long story in Indonesian ever, please notice me if there are some typoes or mistakes in my story, my bahasa isn't on the level superior yet, so pardon me, if this is a bit lame to read, this mostly likely some kind of word-vomit story.
(I do notice there are some of you who are Top!Yunho/Bottom!Changmin bias'/shippers here and out there, but in this case—MinHo/HoMin pairing—I'm an every-fuckable-Ho pairings which means I prefer Yunho bottoms the most than he tops. Everyone does have their liking for their OTP/s. Albeit, I really am sorry if my fic is far from your liking, I just want to write down what I like or what I imagine it has to be in words.)
Criticism and suggestions are welcome to me.
.
'Mama no raises you to say bad words.'
.
-thank you; hissinfullips.