copyright and disclaimer on chapter 1

...

A/N : keterbatasan pemilihan kata, penggunaan kalimat yang terkesan berulang, typo, abal, alur melewati batas kecepatan maksimal dalam penulisan cerita dan kecacatan lainnya adalah bentuk ketidak-sempurnaan saya sebagai Author biasa. Mohon dimaklumi dan author akan lebih berterima kasih jika review yang diberikan bisa membangun. (meski saya tidak yakin bisa sempurna 100% tapi tak ada salahnya untuk mencoba.)


"Yang Mulia! Pasukan kita semakin terdesak!" Seru salah seorang staff yang bertugas mengamati bagaimana kondisi pertempuran yang tengah berlangsung di atas sana kepada Yuuma. Peluh yang bercucuran akibat ketegangan suasana semakin kentara merayapi sekian wajah yang tengah berkumpul untuk menentukan taktik selanjutnya.

Berjarak sekian ribu kilometer dari wilayah istana, sebuah mesin berukuran sebanding Mother Warship terlihat berjalan lurus menuju di mana Yuuma beserta para petinggi lainnya sekarang berada. Bukan hanya itu saja, semua penduduk kota ini turut berlindung di balik dinding Terra Aegis, bunker bawah tanah yang terhubung langsung dengan Goa laut, sebagai tempat bernaung sampai situasi bahaya yang tengah mereka alami mereda. Namun, melihat bagaimana senjata tempur kolosal itu menghancurkan segala hal yang menghalangi jalan, serta bumi yang terus berguncang oleh pijakan kakinya, tidak menutup kemungkinan nyawa semua orang akan terancam oleh bahaya.

"Tuan Putri Megurine beserta batalion 8, 13 dan 27 sedang berupaya keras untuk memperlambat mobilisasi mesin tersebut semampu mereka. Tetapi," Cara staff tersebut berhenti melaporkan informasi yang seharusnya dia sampaikan segera disambut oleh tatapan cemas oleh semua orang.

"Ada apa?!" bentak salah satu pihak akibat merasa tidak nyaman dengan keheningan yang datang seolah melipat gandakan atmosfir berat yang tengah mengurung mereka semua.

"Jumlah mereka," layar monitor markas pusat Limbum pun seketika dipenuhi oleh delapan gambar yang di ambil dari delapan titik berbeda. Mesin-mesin berwarna jelaga dengan dua kepala kerangka manusia bergerak serempak menuju tujuan yang sama. "lebih dari satu." Keputusasaan seketika meluap. Bergulung-gulung menghanyutkan setiap harapan yang tersisa untuk mempertahankan ibu kota ini dari invasi Alexandria.

Mereka hanya mampu menyaksikan bagaimana jantung dari tanah air mereka ini dicengkeram. Diremuk pelan-pelan. Lahan hijau serta tata letak kota yang dibangun sedemikian rupa oleh orang-orang yang mencurahkan seluruh jiwanya, sehingga terlahir panorama yang sanggup meleburkan keindahan alam dan kemajuan peradaban, berangsur-angsur berubah. Diinjak-injak. Diluluh-lantakkan. Di setiap detik dan menit yang berjalan, kobaran api bercampur awan gelap membumbung tinggi seakan-akan menunjukkan bahwa salah satu dari sekian taman surgawi di dunia ini tengah dinodai tanpa mampu memberikan perlawanan yang berarti.

Kota ini telah berada di ambang kehancuran.

"Nyalakan pelindung mikro cadangan sebagai antisipasi jika mereka sampai di tempat ini," tertunduk memejam mata, sang raja memberikan titahnya. Setelah mengambil kesimpulan dan menimbang-nimbang konsekuensi yang akan diperolehnya, Yuuma pun memutuskan, "sampaikan kepada seluruh pasukan untuk mempertahankan situasi."

"Ba-baik yang Mulia!" meskipun staff tersebut tampak ragu dengan perintah yang diberikan, dia merasa tidak berhak untuk mengutarakan pendapat berdasarkan firasat buruk yang akan menimpa jika mereka bersikeras melakukan perlawanan. Penyerbuan ini murni dimenangkan oleh pihak Alexandria hanya dengan kontes kekuatan; dugaan tersebut semakin menjelma mendekati kenyataan.

"Sementara itu, kita persiapkan OASIs." Berpasang-pasang mata segera teralihkan dari layar monitor. Saling berpandangan satu sama lain mempertanyakan apakah indera pendengaran mereka masih berfungsi dengan semestinya.

"Yang Mulia! Apakah kita akan meninggalkan kota ini?!" sahut seseorang yang tampak gusar dan tidak percaya setelah yakin bahwa perintah tersebut memang diberikan kepada mereka.

"Kami bersedia maju untuk menghadapi mereka jika perlu!" Sambung yang lain menambahkan. Diiringi jawaban setuju secara bergantian. "mereka belum melihat seluruh kemampuan prajurit Limbum yang sebenarnya!"

Sanggahan tersebut segera disambut oleh sang raja; tanpa berniat memutar tumit sedikit pun setelah menghadapkan punggungnya pada mereka. "Justru karena itu aku memutuskan untuk mundur. Sekarang bukanlah saat yang tepat untuk memutar-balikkan keadaan." jawabnya. "Limbum masih belum cukup mampu untuk menandingi mereka. Sementara itu jasa kalian masih sangat dibutuhkan di waktu yang akan datang."

"Tidak kah kau lihat bagaimana prajurit kita bersusah payah untuk mempertahankan diri serta sebisa mungkin melaksanakan perintah yang diberi?" seseorang berujar dengan latar monitor di belakang punggungnya. Tatapan matanya tajam seakan menantang semua orang untuk memberikan alasan masuk akal 'solusi apa yang kita butuhkan untuk menang?'; sementara tertampil jelas bagaimana pasukan mereka hancur oleh serangan bertubi-tubi dari ratusan wajah tengkorak yang menyatukan tubuh mesin tersebut dari balik layar kaca. "Bahkan tuan Putri Megurine pun masih belum mencapai tingkatan di mana seluruh potensi Soul Phoenix yang sebenarnya berada."

"Lebih dari ini, maka kita hanya akan mengantarkan nyawa."

x-0-x

"Yuuma! Apa kau sudah kehilangan akalmu?!" Bentak sang Putri tak lama setelah menerima kabar bahwa OASIs mulai dalam tahap pengoperasian dari kakak kandungnya sendiri setelah para staff menyambungkan komunikasi mereka secara langsung. "Tarik kembali perintah itu! Jika aku mau aku bisa mengatasi mereka seorang diri!" Terdengar suara alarm bersahut-sahutan di detik kemudian.

Pemuda beriris keemasan itu semakin mencermati tampilan visualisasi dari Soul Phoenix, hanya untuk mendapati bagaimana adiknya bergerak kesana kemari di dalam kokpit seperti yang dia lihat di taman belakang istana. Sepasang safir terbingkai oleh Alis yang menjorok tajam di antara kedua mata menekankan aksen tangguh dan menawan secara bersamaan. Parasnya yang masih belia kian basah oleh peluh yang bercucuran, membuat lelaki itu semakin khawatir dengan situasi di mana sang adik melibatkan dirinya di dalam pertempuran.

Gadis itu tidak pernah mengerti dan menghargai dirinya sendiri. Dia terlalu mengkhawatirkan orang lain, lebih dari dirinya sendiri. Hal itu adalah daya tarik yang dia miliki. Sayangnya, Luka adalah gadis keras kepala. Dia selalu bertindak sesuka hati tanpa mempedulikan apa akibatnya. Gadis itu belum sepenuhnya belajar bahwa banyak orang disekitarnya yang juga mengkhawatirkan dirinya.

Lelaki itu beranggapan bahwa dengan menempatkan Luka di situasi yang sedikit kurang menguntungkan bisa menjadi pengalaman berharga. Namun, tidak pernah terbayangkan bahwa apa yang dia lakukan justru menjerumuskan gadis itu ke dalam ancaman yang tidak bisa diprediksikan seberapa besar resikonya. Soul Phoenix memang bukan mesin sembarangan, tapi apa? Nasib buruk seseorang tidak mengenal pengecualian!

"Luka, jangan bertindak bodoh! berhentilah menguras tenagamu!" Yuuma hanya bisa mengerutkan wajah, menyesali keputusannya. Kakak macam apa dirinya?

"Kau tidak mengerti, Yuuma." sang pengendali unit legendaris, satu dari empat Elemental Beast tersebut, kembali berupaya mencincang target di hadapannya. Namun tetap saja, pedang yang dia pergunakan tidak menunjukkan hasil menggembirakan. Bahkan Amano Habakiri yang dilayangkan berulang-ulang, tidak sanggup menghentikan mesin tengkorak raksasa tersebut untuk terus berjalan. "Kau tidak akan pernah mengerti."

Saat itulah Yuuma kembali mendapati sosok rapuh dari sang putri. Gadis itu berdiri di seberang sana tanpa berbuat apa-apa. Merapatkan genggaman tangan sekaligus bersikeras menyembunyikan air mata yang mulai berlinang di balik naungan anak rambutnya. "Pernahkah dirimu membayangkan perasaan orang-orang yang menjadi korban Alexandria!?" menaikkan nada bicara seraya mengibaskan kepalan tangan, suara logam berdesing diikuti goncangan pada tampilan visual, semakin mengusik hatinya.

"Aku paham."; aku memahamimu lebih dari yang bisa kau bayangkan. Perasaan tulus dari seorang kakak yang kerap menjumpai adik semata wayangnya menitikkan air mata ketika menyaksikan berita mengenai pergolakan di dunia. Safir samudra itu terpaku pada puing-puing yang berserakan dan orang-orang yang menderita karena menjadi korban perang.

"Apa yang kau pahami!? kau bahkan hendak menelantarkan sesuatu yang seharusnya kau lindungi!" selama ini, gadis itu selalu membayangkan diri bagaimana seumpama nasib serupa akan dia alami di kemudian hari. Oleh sebab itulah, salah satu pewaris marga Megurine tersebut rajin berlatih. Misi pertama di mana Luka memaksa sang raja untuk diijinkan mengambil bagian sejak Soul Phoenix diwariskan, sukses memperoleh kemenangan. Kabar tersebut memang menggembirakan; dan disaat bersamaan menjadi benih yang menanamkan kecenderungan,

Bahwa, selama Soul Phoenix berada di tangan, dia mampu mendatangkan keajaiban.

"Jack Frost." lelaki itu tertegun bagaimana sang adik mengucap nama tersebut dengan penuh penekanan. Selama ini Luka tidak pernah menunjukkan tatapan haus darah pada seorang pencuri sekali pun. Sebegitu bencikah dirinya pada sang malaikat maut Alexandria? "Dia."

"Luka! Tenangkan dirimu!" gadis itu tidak seharusnya melihat dunia. Bukan, Luka tidak seharusnya membiarkan lingkaran kebencian menguasainya. Luka tidak seharusnya menempatkan dirinya sebagai seorang Messiah; di mana takdir dan keberuntungan selalu berpihak kepadanya.

"Ini pasti salah satu dari siasat liciknya. Setelah Alvaros dan Bibi Anna, sekarang manusia terkutuk itu..." apakah ini adalah karma karena Yuuma terlalu mengalah? Perang yang terjadi di sini. Lawan yang belum waktunya untuk gadis itu hadapi. Ketidak-berdayaan Soul Phoenix. Kehancuran yang mulai mengambil alih. "mengincar segala yang ku punya." Lelaki itu terlambat untuk mengajarkan bagaimana caranya menghadapi pedihnya suatu kekalahan yang belum pernah dia rasakan satu kali pun seumur hidupnya.

Sambungan transmisi itu terputus, menyisakan kepahitan di ujung lidah sang raja Limbum.

"Sampaikan, tekankan kepada Gumi Kojima untuk memastikan Luka tidak akan berbuat gegabah."

"Baik yang Mulia!"

x-0-0-x

Perih. Mungkin satu kata itu tidak cukup untuk mewakili dera'an kebencian dan kesedihan yang bergulung-gulung seperti gelombang pasang tinggi dan arak-arakan awan hitam. Inikah... inikah yang menjadi cikal bakal peperangan di seluruh penjuru dunia; serta di saat yang sama, sumber tenaga dari bayang-bayang kegelapan yang tertidur jauh di masa lampau?

Orochi?

Gadis itu, belahan jiwa dari sang penjaga empat penjuru mata angin, sudah tak sanggup lagi menghitung berapa kali emosinya diombang-ambingkan seperti bongkahan kayu di tengah badai lautan. Namun, seakan-akan inti dari eksistensinya itu sendiri terpahat langsung dari segumpal cahaya yang tidak memiliki definisi bentuk dan warna, yang sanggup dia lakukan hanya terpuruk di dalam kesedihan. Tidak sekali pun terbersit pikiran untuk membalaskan dendam dan amarah meski, seperti kasus Kaito sebagai contohnya, gadis berkuncir itu berkata bahwa Alexandria lah yang harus bertanggung jawab atas menjadi apa dirinya.

Apa yang terpantul di kedua mata itu hanyalah sekelompok manusia; dibutakan serta diadu-domba oleh segala bentuk hal negatif yang meracuni pikiran mereka. Kawan atau lawan, kedua pihak sama-sama dimanfaatkan. Dipermainkan. Yang mereka butuhkan adalah luka yang harus segera dipulihkan.

Kaito masih berusaha berkomunikasi dengan Aoki meski dirinya harus meladeni serangan yang semakin ganas dan presisi. Entah itu sorotan particle beam, kuku-kuku tajam Echidna, atau mesin tanpa awak yang mengorbit mengelilingi induk mereka.

Kokpit Liger kembali redup oleh warna merah akibat begitu banyaknya serangan yang berdatangan dari berbagai sudut dan arah. Pemuda itu dengan cekatan memainkan tongkat berantai di genggaman kucing besi ini, menangkis mereka dengan paduan gerakan ilmu beladiri dan manuver akrobatik di udara; tiga belas tengkorak hancur di dalam prosesnya.

"Aoki! Ada apa denganmu?!" Ujar Kaito begitu semua serangan berhasil dia netralisirkan. Beberapa particle beam sempat menggores tubuh kendaraan tempurnya, tapi selebihnya, luput dari sasaran. Variable phase shift armor sendiri semakin meminimalisir dampak kerusakan yang ditimbulkan. "Mengapa kau melakukan semua ini?!"

"Diam!" gadis yang belum menyadari bahwa tubuhnya semakin lama semakin melebur dengan Echidna, secara beruntun melayangkan serangan berikutnya. "Kau tidak berhak menyebut namaku!" Sepasang sayap Echidna terkembang, berkilau keemasan. "Serta hentikan cara mu memperlakukanku seperti adikmu!"

Menyambut serangan yang akan Aoki lancarkan, Liger pun membuka rahang dan sekali lagi memampatkan energi fusi dari core di pangkal tenggorokan.

"Armageddon Eyes!"

"Liger Cannon!"

Cahaya putih menyilaukan untuk kesekian kalinya menumpahkan warna ke sekelilingnya, membuat Miku di belakang kursi kendali utama Liger memicing memejamkan mata. Begitu intensitas berangsur pulih ke sedia kala, gadis berkuncir dua itu melihat bahwa di antara mereka berdua tidak ada satu pun yang berhasil memberikan pukulan telak. Suasana hening kembali untuk sejenak.

"Padahal," Terdengar suara gertakkan gigi dari sang pilot Liger dari headset yang gadis bernuansa hijau aqua itu kenakan; terselip oleh intonasi penyesalan dan kekecewaan. "Aoki yang dulu ku kenal tidak lah seperti ini."

Sebuah tengkorak mencoba mengambil kesempatan tersebut, hanya untuk remuk terhantam ujung tongkat yang dicambukkan. Debu-debu bintang bertaburan dari celah rangka luar Liger seperti tiada habisnya, menandakan bahwa performa kucing besi itu kini dalam keadaan terlipat-lipat Ganda.

"Cukup!" guratan wajah mesin tersebut berangsur-angsur berubah semakin dalam dan mengerikan. "Berhenti!" Diikuti puluhan tengkorak besi di sekelilingnya, Aoki sekali lagi melesatkan Echidna serta mengarahkan cakar-cakar tajam di kedua lengan pada King Liger yang tidak sedikit pun berpindah dari jangkauannya. "Berhenti!"

Tidak menggubris jeritan yang dia dengar dari adiknya sendiri, lelaki itu melanjutkan apa yang ingin disampaikannya. "Apa kau lupa dengan janjiku saat kita bermain di ladang bunga di dekat areal peternakan Kakek Ueki?"

Mendengar nama yang sudah lama tidak didengarnya, netra safir gadis tersebut seketika membulat. Kedua rongga mata Echidna terbuka lebar, menterjemahkan keterkejutan sang pilot yang mustahil sanggup disembunyikan.

"M-Mu..." gambaran kenangan tersebut sedikit demi sedikit mengikis amuk amarah yang membutakan matanya; mencemari pikirannya. Cairan berwarna gelap kembali berkubang, bercucuran keluar dari wajah. "Mustahil!" Kakek Ueki, peternak domba dan sapi sekaligus tetangga mereka tersebut adalah seseorang yang sudah mereka anggap sebagai Kakek mereka sendiri. Beliau berjasa cukup banyak sejak sang ayah pergi untuk selama-lamanya. "Kau...!" bagi sebagian besar orang, nama Kakek Ueki mungkin tidak memiliki arti apapun. Tetapi, bagi keluarga Shion... "Bagaimana mungkin...!?" seseorang bernama Ueki mungkin lebih dari satu orang, bukan? tetapi, mengapa sosok asing tersebut mengungkit-ungkitnya? Apakah...

"Hamba akan selalu ada untuk melindungi anda," Serangan yang menghampiri Kaito dengan hawa membunuh, puluhan unit tak berawak berbentuk tengkorak manusia di sekitar mereka, mesin yang seakan mencuri paras Aoki untuk menggoyahkan dirinya, serta ujung cakar yang hanya berjarak satu jengkal dari kepala Liger; kokpit di mana Kaito sekarang berada,

Saat itu juga tertahan di udara.

Waktu seakan-akan kehilangan eksistensinya di antara mereka, menyisakan deru angin dan gumpalan-gumpalan awan yang bergerak mengabaikan sekian objek yang dilaluinya. "Tuan Putri."

"Ka-," Kenangan dan kenyataan saling berbenturan di dalam benak sang pilot Echidna. Saling bercampur aduk. Bertumpang tindih. Mengusir kabut-kabut hitam yang membuat segalanya tampak seperti dunia mozaik dengan warna kelam menghiasi setiap sudut dan panorama. "Kakak." mengapa dia tidak mampu mengenali Kaito lebih awal? Apakah dia sudah lupa dengan suara kakaknya sendiri? "Kakak!" panggilnya, parau dan putus asa.

"Benar, Aoki. Aku adalah Kaito Shion. Kakakmu."

Sepasang lengan dari mesin yang dia kendarai pun kembali berupaya meraih objek di hadapannya. Kali ini, tidak ada setitik pun niat untuk menghancurkannya. Dia ingin melihatnya. Dia ingin memastikan bahwa pemilik kendaraan tempur tanpa identitas itu sungguh-sungguh adalah sang ksatria.

Namun, gadis itu tersentak.

Terdapat keganjilan pada dirinya. Persepsi yang dia peroleh terasa berbeda dari sebelumnya. Echidna memang memiliki ukuran yang cukup besar, tetapi bukan berarti Aoki tidak menyadari bahwa mesin tempur lainnya termasuk objek berukuran berkali-kali lipat dari tubuh manusia.

Gadis itu mencoba memalingkan perhatiannya pada sepasang lengan berkuku tajam di setiap ujung jemarinya. Sensasi yang dia rasakan di sana seketika memunculkan ketakutan yang luar biasa. Dia meraba wajahnya sendiri, dan apa yang dia dapati adalah sebuah noda serta helaian rambut; yang saat itu juga dia kenali sebagai miliknya.

"Ada apa," bahkan dia bisa rasakan bagaimana sepasang bibir ini turut bergerak mengikuti setiap ucapannya. "denganku, kakak?"

Sebagai salah satu makhluk yang memiliki kemiripan dengan manusia. Terlebih lagi, sejak awal memang ditanamkan informasi yang salah. Bahkan menjalani hidup selayaknya orang-orang biasa; Hatsune Miku bisa merasakan kengerian macam apa yang tengah dihadapi oleh sang pilot kendaraan tempur di hadapan mereka di saat gadis itu baru saja menyadari apa yang telah menimpanya.

.

.

.


Thanks for read. n_n

Mind to review?


A/N : Terima kasih untuk pembaca sekalian yang telah menyempatkan waktu untuk mengikuti fanfic saduran ini. Akhirnya, setelah lebih dari tiga chapter (dan mager lebih dari berbulan-bulan.) bagian penyerbuan Limbum ini akhirnya mendekati akhir (ga nyangka bakalan melar sebegini panjangnya. "orz.). Mohon maaf dengan segala macam penurunan kualitas serta proses peralihan dari satu adegan ke adegan lain yang menjadi lebih singkat (lupa caranya baperin chara. ini saja sudah berjuang sampai CPU imajiner terasa pingin pecah. T-T)

Selebihnya, yah, hehehe, sampai jumpa.

( n_n) v

Semoga masih bisa update estafet tanpa kendala, ( =_=)".