Hello, pembaca semua. Chapter ini merupakan chapter terakhir dari Broken Wings. Nggak kerasa lebih dari satu tahun fict ini berjalan dengan segala kekurangannya. Thank you untuk semua review yang masuk untuk fict ini. Ucapan semangat, pujian dan flame menjadi memori tersendiri untuk Fuyu. Mungkin semua ini akan menjadi sebuah kisah klasik untuk Fuyu ceritakan pada anak dan cucu Fuyu di masa depan. Semoga diberi panjang umur untuk itu. Thank you untuk semua yang sabar menghadapi segala typos dan kekurangan dari fict ini. Sekali lagi thank you (:
Naruto belongs to Masashi Kishimoto. I don't take any material profit from it
Pairing : SasuFemNaru
Rated : T
Genre : Romance, Hurt Comfort, Family, Friendship, Angst
Warning : Gender switch, OOC, Oc, Typo (s)
Broken Wings
Chapter 16 : A New Beginning
By : Fuyutsuki Hikari
Tubuh Sasuke merosot jatuh, kakinya sudah tidak sanggup lagi menopang berat tubuhnya saat ini. Dia duduk di atas lantai dingin koridor rumah sakit. Tak dihiraukannya tatapan beberapa orang yang mengernyit kearahnya. Baru saja dia melaporkan masalah hilangnya Naruto pada pihak rumah sakit. Ia juga sudah menghubungi Gaara tentang masalah ini. Kepala Sasuke tertunduk dalam, sebelah kakinya menjulur ke depan sedangkan kaki kirinya ditekuk ke atas untuk menopang kepalanya yang terkulai lemas.
Semua ini terasa bagai mimpi buruk untuknya. Cahaya hidupnya seolah tertelan habis oleh selimut kegelapan yang menguasai dunianya saat ini. Kenapa Tuhan terus memberikan cobaan berat pada kita, Naruto? pikirnya sedih. Ia ingin berlari, berlari menyelamatkan diri menuju cahaya yang kini hanya berpendar kecil, dan semakin menjauh pergi.
Namun langkah kakinya seolah terperosok semakin dalam ke lubang tak berdasar, memaksanya untuk tetap tinggal dalam kegelapan. Lagi-lagi ia menghela napas lelah, matanya terpejam erat masih dengan kepala terkulai.
"Sasuke?" panggil seseorang, menggoyangkan bahu Sasuke pelan. Pria yang dipanggil sama sekali tidak merespon. Dia terlalu lelah menghadapi semua yang terjadi begitu cepat akhir-akhir ini. Yang sekali lagi dengan kejam memaksanya untuk berjuang merangkak kembali menuju cahaya itu.
"Sasuke?" panggilnya lagi untuk kedua kalinya.
Akhirnya Sasuke mendongak, mencari sumber asal suara. Kedua bolanya nampak rapuh dan kosong saat mata itu bertemu tatap dengan iris milik Gaara. "Kau baik-baik saja?" tanya Gaara nyaris berbisik, raut khawatir terlukis jelas di wajahnya yang tampan. Tangan kanannya masih berada dibahu Sasuke saat ini.
"Dia menghilang," sahut Sasuke parau tanpa menjawab pertanyaan Gaara. Ingin rasanya ia menjerit mengeluarkan semua perasaan frustasi dalam dirinya. Namun suaranya hanya tertahan di tenggorokannya.
Gaara mendudukkan diri di sampingnya. Memilih posisi duduk yang sama dengan Sasuke saat ini. Wajah pria itu menengadah, menatap langit-langit koridor rumah sakit yang terasa mencekam. "Kita pasti menemukannya," kata Gaara penuh keyakinan. "Naruto pasti baik-baik saja." Tambahnya lagi begitu tenang.
"Benar dugaanku, kau tidak pernah melewatkan detail sekecil apapun." Kata Sasuke terdengar berat. Ia menyandarkan kepalanya pada tembok koridor, sementara matanya menatap nanar langit-langit koridor itu.
Gaara menghela napas panjang. "Sebenarnya aku cukup kaget saat ditelepon tadi kau mengatakan jika Naruto menghilang. Kukira kau salah memanggil nama, karena itu aku memastikannya lagi."
Sasuke tersenyum tipis, "maaf aku merahasiakannya darimu." Katanya menyesal.
"Itu hakmu," sahut Gaara bijak.
"Kau selalu pengertian seperti biasa," kata Sasuke kagum.
"Aku belajar dari sang ahli," balas Gaara melempar tatapan penuh arti pada Sasuke. Pria di sampingnya tersenyum kecut, terlalu lelah untuk membalas ucapan Gaara.
Hanya ada keheningan di antara mereka setelahnya. Keduanya begitu sibuk pada pikirannya masing-masing. Sasuke memejamkan mata, memikirkan bagaimana keadaan Naruto saat ini. Dia sadar jika pada saat-saat seperti ini, dia harus tetap bisa bersikap tenang. Kejernihan pikiran sangat diperlukan untuk menghadapi masalah berat ini.
"Kapten?" panggil Goku pada Gaara. Dia berjalan mendekat dengan langkah tergesa-gesa.
Merasa namanya dipanggil, Gaara pun segera berdiri dari duduknya dan disusul oleh Sasuke kemudian. "Bagaimana?" tanya Gaara dengan suara penuh harap.
"Kami menemukan sesuatu di rekaman CCTV." Jawab Goku cepat mengulas senyum puas. "Mari, anda harus melihatnya sendiri." Tambahnya lagi sambil berbalik pergi menuju tempatnya semula. Gaara berjalan dengan Sasuke mengekor di belakangnya. Mereka berdua berjalan cepat menuju ruang kamera pengawas berada.
"Ini hasil rekaman pada jam Nona Naruko menghilang," terang Goku. "Lihat, dokter ini sangat mencurigakan." Tambahnya sambil menunjuk pada sosok yang terekam di kamera CCTV membuat Gaara menyipitkan mata, mencari suatu petunjuk yang mungkin penting.
"Tunggu," kata Sasuke bergerak maju. "Aku sempat berpapasan dengan dia," katanya cepat. "Brengsek!" umpat Sasuke kemudian, melirik ke arah Gara yang kini menatapnya lurus. "Dia mencuri tepat di bawah hidungku."Kedua tangan Sasuke terkepal erat hingga memutih karenanya.
Gaara terdiam, berpikir keras, mencoba untuk mengingat dimana dia pernah melihat tersangka itu sebelumnya. "Zetsu?" bisik Gaara tidak yakin. "Putar video itu lagi, dan perbesar wajahnya di menit dua puluh satu." Perintahnya tegas pada Goku.
Goku mengangguk mengerti dan segera mengerjakan apa yang ditugaskan oleh atasannya itu.
"Ternyata benar dia," kata Gaara menggeram menahan emosi. "Goku, segera hubungi Nibi dan kumpulkan personil inti untuk berkumpul di markas secepat mungkin. Kita harus menangkap tersangka malam ini juga, aku akan menjelaskan detailnya di markas."
"Siap laksanakan kapten," jawab Goku cepat, memberi hormat dan berbalik pergi. Gaara membawa barang bukti berupa rekaman itu bersamanya dan mengumpulkan hasil interogasi anak buahnya pada beberapa saksi mata malam itu sementara Sasuke mengekor dibelakangnya.
"Apa kau menemukan sesuatu?" tanya Sasuke ingin tahu.
"Kuharap begitu," jawab Gaara menatap lurus lawan bicaranya tanpa ekspresi.
"Demi Tuhan, katakan padaku jika kau memang menemukan sesuatu. Bahkan jika itu petunjuk sekecil apapun!" desak Sasuke ngotot, Gaara tetap diam. Sasuke menghela napas lelah. "Paling tidak, tolong ijinkan aku pergi bersamamu." Katanya kini terdengar memelas.
"Baiklah, Sas. Kau boleh ikut, tapi berjanjilah kau tidak boleh bertindak gegabah!" Gaara memperingatkan dengan tegas.
"Hn." Sahut Sasuke datar.
Keduanya berpapasan dengan Fugaku, Itachi dan Mito saat akan keluar rumah sakit. Wajah Mito terlihat begitu pucat namun masih bisa bersikap tenang. "Bagaimana? Apa ada kabar tentang cucuku?" tanyanya pada Sasuke.
"Belum," jawab Sasuke menyesal. "Tapi kita pasti menemukannya," lanjutnya penuh keyakinan. Sasuke meremas tangan Mito lembut untuk meyakinkan wanita tua itu. "Sekarang, sebaiknya baa-san, Ayah dan aniki pulang untuk menunggu kabar dari kami."
"Sebaiknya begitu," timpal Fugaku.
Mito menghela napas panjang, mencoba untuk menekan perasaannya yang berkecamuk, cemas, sedih , marah menjadi satu. "Tolong bawa cucuku dalam keadaan selamat, Sasuke." Pinta Mito terdengar bergetar, mempercayakan masalah tentang hilangnya Naruto pada Sasuke.
"Aku berjanji," jawab Sasuke serak. Ia memeluk tubuh wanita tua itu penuh kasih sayang. Tanpa banyak bicara dia mengangguk pamit ke arah Fugaku dan Itachi sebelum berlalu pergi bersama Gaara.
.
.
.
Sementara itu disuatu tempat, Naruto masih tak sadarkan diri dengan keadaan kedua tangan terikat ke belakang kursi. Seorang pria memerhatikannya dari sudut ruangan. Bibirnya tersenyum licik melihat sosok wanita itu. "Kau milikku," kata Sasori terdengar menakutkan.
Ia kembali melepas asap rokok yang baru saja dihisapnya ke udara. Matanya masih menatap lurus pada wanita muda itu. "Jika kau tidak bisa mencintaiku, maka aku akan membawamu mati bersamaku." Ucapnya lagi kini tertawa puas. Suara tawanya menggema, memantul ke setiap penjuru ruangan yang minim cahaya itu.
Naruto yang merasa terganggu mendengar tawa keras itu mulai terbangun. Kepalanya pusing akibat efek obat bius, matanya juga masih terasa begitu berat untuk dibuka sedangkan pergelangan tangannya yang diikat ke belakang terasa begitu sakit. Perlahan dia pun mulai membuka matanya dan mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan penglihatannya dengan suasana ruangan.
"Sudah bangun, Princess?" suara itu terdengar menakutkan di telinga Naruto. Bulu kuduknya meremang, tubuhnya secara otomatis mengirim sinyal bahaya.
"Sabaku Sasori?" gumam Naruto datar, masih bersikap tenang walau terlihat sekali jika dipaksakan. Ia segera mengenali sosok yang kini menarik sebuah kursi kayu lalu duduk di depannya dengan seringai jahat.
"Senang kau masih bisa mengenaliku," desis Sasori masih dengan seringaiannya. Tangan priaitu terulur, membelai wajah Naruto pelan. Gadis itu melotot marah ke arahnya dan memalingkan muka.
"Tatap aku saat aku bicara denganmu!" perintah Sasori, menarik kasar wajah Naruto agar kembali bertatap muka dengannya. Naruto menatap pria itu dingin, menyorotkan kebencian nyata pada Sasori.
"Jangan melihatku seperti itu," kata Sasori tajam. "Aku tidak menyukainya." Tambahnya lagi.
Naruto memalingkan muka, keningnya sedikit berkerut saat indera penciumanya mencium bau yang dikenalinya. Bau bensin, bau itu yang diciumnya saat ini. Ia berusaha untuk tetap bernapas dengan normal. Ia perlu berkonsentrasi agar bisa melepaskan diri dari situasi ini.
"Kenapa kau memperlakukanku seperti ini?" tanya Naruto setelah terdiam cukup lama. Dia perlu mengalihkan perhatian Sasori dan memanfaatkan celah untuk melarikan diri. Sasori terdiam, menatapnya lurus. Ekspresi wajahnya begitu sulit dibaca saat ini.
"Apa salahku padamu?" tanya Naruto lagi terdengar hampa.
Sasori berdiri dan melangkah mundur. Ia menunduk, pandangannya menerawang kosong, menekuri lantai ubin dibawahnya.
"Katakan padaku, apa salahku?" suara Naruto tercekat. Matanya terasa panas, semua yang sudah terjadi padanya benar-benar tidak adil. Dan semuanya karena ulah pria yang berdiri tidak jauh di depannya. Tidak ada salahnya jika dia ingin tahu kenapa Sasori begitu jahat padanya.
"Karena kau mirip dengannya." Jawab Sasori kemudian setelah jeda yang cukup lama. Sasori tertawa namun tawa itu tak menjangkau matanya. Ia melirik ke arah Naruto dan senyumnya pun menghilang. "Karena kau mirip dengannya." Ulangnya lagi.
"Si-siapa?" tanya Naruto terbata. Nyatanya dia sudah tahu siapa yang dimaksud oleh Sasori saat ini.
"Namikaze Naruto, gadis yang sangat kucintai. Tapi dia menolakku," jelas Sasori perih.
"Dan kau melampiaskan kekecewaanmu padaku?" kata Naruto tak percaya.
Sasori menyalakan kembali sebatang rokok dan menghisapnya lama. Tatapannya kembali kosong, seolah memikirkan ucapan Naruto barusan. "Dulu, aku bukan siapa-siapa." Kata Sasori tiba-tiba tanpa menjawab pertanyaan Naruto.
Mata pria itu sesaat terpejam erat, tangannya bergetar saat dia kembali bicara. "Aku hanya anak haram, kakekku tidak mau mengakuiku sebagai cucu tertua dari keluarga Sabaku." Terangnya tersenyum miris. Buku-buku jarinya memutih karena dia mengepalkan tangannya begitu erat. Naruto tetap diam, menyimak apa yang dikatakan oleh pria itu.
"Aku dibesarkan oleh ibuku," Sasori kembali bercerita. "Hidupku jauh dari kata layak. Ibuku menjadi pecandu alkohol dan sering memukulku saat dia mabuk. Dia putus asa, dan akhirnya menyalahkanku karena ayah serta kakekku tidak mau mengakuiku. Ayahku terlalu takut untuk kehilangan hak warisnya, jadi dia memilih untuk mengabaikanku." Terang Sasori masih dengan nada tenang namun ekspresi wajahnya terlihat begitu tertekan.
"Orang tuaku, mereka menolakku. Teman-temanku juga menjauhiku karena aku hanya anak haram dan putera seorang pemabuk. Dan dia, gadis yang membuatku jatuh cinta, dia pun menolakku."Sasori mendengus pelan dan menghisap rokoknya lama. "Ibuku, dia pergi meninggalkanku demi lelaki hidung belang. Membuatku harus hidup dijalan, mengais belas kasihan orang lain agar bisa bertahan hidup. Kenapa aku harus hidup seperti itu? Padahal ayahku kaya raya. Katakan apa salahku?" tanya Sasori menatap dingin Naruto. Gadis itu hanya diam tak mampu bicara, dadanya terasa begitu sesak.
"Namun, ternyata Tuhan berbaik hati padaku." Lanjut Sasori lagi setelah tidak mendapat tanggapan dari gadis di depannya. "Kakek dan ayahku meninggal dalam kecelakaan. Membuat pamanku menjadi kepala keluarga Sabaku. Beliau akhirnya mencariku, memungutku dari jalanan dan memberikan rumah layak untuk tempatku tinggal."
Sasori menatap Naruto seksama. "Setelah aku menyandang marga Sabaku, aku mulai diakui. Aku memiliki banyak teman. Para gadis pun berebut untuk mendapat perhatianku. Tapi dia menolakku, gadis yang berwajah sama denganmu itu, dia menolakku." Sasori mendesis sakit hati.
"Cinta tidak bisa dipaksakan," sahut Naruto pelan. Suaranya tercekat, tenggorokannya terasa sakit saat mengatakannya.
"Aku tidak sanggup untuk menerima penolakan lagi," raung Sasori marah. "Hanya dia gadis yang aku cintai sepenuh hati, tapi dia menolakku. Dia menolakku!" ulangnya keras. "Hingga akhirnya aku memperkosanya agar dia bertekuk lutut dan menjadi milikku. Tapi yang terjadi-" Sasori memberikan jeda sesaat. Napasnya bergemuruh, lidahnya mendadak kelu. Penyesalan itu terlukis di wajahnya saat dia kembali bicara. "Yang terjadi, aku kehilangan dia untuk selamanya." Katanya pelan, ia terduduk lemas. "Sekarang kau tahu bagaimana perasaanku?"
Bagaimana Naruto tahu tentang perasaannya. Bagaimana dia bisa mengerti tentang masa lalu Sasori. Jika dia pun sama kehilangan orang yang dikasihinya. Dia kehilangan kebahagiannya, dia kehilangan masa remajanya. "Itu bukan cinta, itu obsesi." Tukas Naruto berani.
Rahang Sasori mengeras mendengar penuturan Naruto. Matanya berkilat marah, lalu memukulkan kepalan tangannya ke atas meja. "Aku mencintainya, apa yang salah dengan itu?" raung Sasori tidak terima.
"Cinta bukan hanya tentang memiliki," balas Naruto parau. "Arti cinta adalah kebahagiaan bagi orang yang kita cintai. Jika kita bisa merelakan orang yang kita sukai pergi untuk meraih kebahagiaannya, maka itu adalah cinta yang sesungguhnya."
"Omong kosong!" kata Sasori tajam. "Jika kita tidak bisa memiliki orang yang kita cintai, lalu untuk apa ada cinta di dunia ini?" ujarnya menatap dingin Naruto. "Dan saat aku menemukanmu, gadis yang begitu mirip dengannya. Lagi-lagi aku ditolak dan kau lebih memilih pria brengsek itu." Sasori tersenyum mengejek dengan dengusan kasar. "Jika sekarang aku tidak bisa memilikimu, lebih baik kita mati bersama." Tambahnya dingin. Ia membuang rokoknya yang masih menyala ke pojok ruangan. Api dari rokok itu menyambar cepat gordyn yang telah disiram bensin oleh Sasori beberapa saat yang lalu hingga akhirnya api pun berkobar semakin besar, merambat ke seluruh ruangan.
Naruto mencoba untuk menahami pria muda di depannya. Sasori sakit, jiwanya dipenuhi oleh dendam. Karena itulah dia tidak pernah bahagia. Mulut gadis itu bergetar dengan air mata menggenang di pelupuk matanya. "Maaf karena aku pernah menyakitimu, dan aku pun memaafkanmu untuk segala kesalahan yang kau perbuat padaku, Senpai."
Kepala Sasori menoleh dengan gerakan lambat. Dia menatap wajah gadis di depannya dengan tatapan tak percaya. Apa mungkin pendengarannya terganggu, pikirnya. "Senpai?" beo Sasori berupa gumaman.
"Cinta sejati adalah jika dia mencintai orang lain namun kau masih bisa tersenyum dan ikut berbahagia karenanya." Lanjut Naruto kini dengan air mata berderai. Napasnya semakin sesak karena asap yang mulai mengepul hebat di ruangan itu. "Cinta tidak pernah meminta, ia sentiasa memberi, cinta membawa penderitaan, tetapi tidak pernah berdendam, tak pernah membalas dendam." Lanjutnya dengan perih.
Sasori tak mampu berkata-kata, napasnya tercekat saat akhirnya dia mengenali siapa gadis yang dihadapannya saat ini. "Na-Naruto?" panggilnya serak.
.
.
.
Berbekal koordinasi, informasi mengenai keberadaan Zetsu segera diketahui oleh petugas kepolisian. Pengejaran terhadapnya pun berlangsung dramatis. Nibi berusaha menghentikan usaha Zetsu yang berencana melarikan diri ke luar negeri dengan membawa lari uang milik Sasori yang disimpan di brankas kantor.
Kejar-kejaran antara mobil petugas dan Zetsu pun terjadi. Zetsu membawa mobilnya kencang, berusaha keluar dari kepungan polisi. Mobil Gaara pun ikut mengejar beberapa saat kemudian.
Mobil Zetsu sempat terkejar oleh mobil Gaara di pertigaan jalan menuju arah luar kota. Namun tiba-tiba Zetsu melakukan drift dan melarikan diri ke arah yang berlawanan.
Mobil petugas tidak kalah cepat bereaksi, mereka melakukan drift yang sama dan kembali mengejar. "Goku, tersangka kembali berbalik arah menuju jalan dalam kota. Hadang tersangka disana!" perintah Gaara pada Goku cepat. "Kita pasti mendapatkannya, Sas. Jangan khawatir," kata Gaara tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan gelap di depannya. Sasuke yang duduk di kursi penumpang hanya terdiam tanpa menjawab. Pikirannya kacau, memikirkan keselamatan Naruto.
Pengejaran dramatis itu akhirnya berhenti setelah Goku berhasil meghadang laju kendaraan yang dikendarai Zetsu dan tersangka pun berhasil diamankan. Dia segera mengorek informasi mengenai keberadaan Sasori darinya.
Setelah berhasil menemukan petunjuk, Gaara berbalik menuju kendaraannya untuk menuju tempat yang sudah disebutkan oleh Zetsu.
"Aku tidak bersalah!" teriak Zetsu sambil meronta, berusaha melepaskan diri dari kungkungan Goku. "Kakakmu otak dari semua kejahatan yang aku dan Kisame lakukan. Aku hanya korban," dia kembali berteriak tak terima.
Gaara terdiam mendengar. "Bawa dia!" perintahnya dingin dan berbalik untuk mencari lokasi Sasori. Dia baru saja menyalakan mesin mobil, sedangkan Sasuke baru mengenakan sabuk pengaman saat terdengar suara tembakan dari arah luar. Gaara melepas sabuk pengamanan yang dikenakannya dan berlari keluar dengan senjata terkokang.
"Apa?" teriak Gaara dari kejauhan pada Goku. Dilihatnya tubuh Zetsu yang bersimbah darah di atas aspal jalan yang gelap.
"Maaf, kapten. Tersangka mencoba melarikan diri dan berusaha merebut senjata milik petugas." Jelas Goku menyesal.
"Dia mati," ujar Gaara setelah mengecek nadi tersangka, ia berjongkok di samping jenasah saat ini. "Laporkan hal ini pada kantor pusat, panggil tim identifikasi dan segera olah TKP. Aku dan Nibi akan bergerak untuk mengejar Sasori." Gaara kembali berkata tegas. "Nibi, kita bergerak!"
Nibi mengangguk sedangkan Goku memberi hormat dan segera mengerjakan apa yang diperintahkan oleh atasannya tersebut. Mobil Gaara diikuti oleh tiga mobil patroli menuju lokasi yang disebutkan oleh Zetsu sebelum kematiannya.
.
.
.
Sasori masih menatap Naruto dengan ekspresi yang sulit ditebak. Gadis di hadapannya itu balas menatapnya lurus, ekspresi terluka itu begitu terlihat pada wajahnya yang pucat.
"Kau, Naruto?" ulang Sasori tercekat membuat gadis itu kembali menangis karenanya. Tangan Sasori kembali terulur namun tangannya hanya menggantung di udara, bergetar dan akhirnya kembali jatuh lunglai. "Kau masih hidup?" tanya Sasori lagi masih tak percaya.
"Aku sudah mati, Namikaze Naruto sudah mati." Jawab Naruto parau. "Hanya ada Uzumaki Naruko, Uzumaki Naruko." Ulangnya berusaha untuk kembali tenang.
Sasori melepas napas pendek, terlihat lega. Sesaat sorot matanya berbinar gembira. "Syukurlah," katanya pelan. "Syukurlah..."
Naruto terbatuk keras kemudian, asap yang mengepul membuat dadanya sakit. Matanya memerah, api menjilat-jilat di sekitarnya. Rumah itu terbuat dari bahan yang mudah terbakar, hingga api pun merambat dengan cepat.
Sasori panik melihat Naruto yang terlihat begitu kesakitan. Ia melepas ikatan tangan gadis itu dan berusaha membopong tubuhnya yang sudah lemas. "Aku akan mengeluarkanmu dari sini," kata Sasori berupa bisikan.
Langkah Sasori terhalang oleh kobaran api yang semakin membesar, api melahap segala sesuatu yang menghalangi jalannya. Pria itu terbatuk keras, lalu melirik ke arah Naruto yang mulai hilang kesadaran. Sasori menampar pelan pipi gadis itu hingga beberapa kali, mencoba membuatnya sadar
Naruto juga terbatuk keras, "pergi. Selamatkan dirimu." Katanya berupa gumaman tidak jelas.
"Jangan bodoh, aku tidak mungkin meninggalkanmu." Balas Sasori, dengan susah payah dia kembali mencoba menerobos api yang berkobar. "Aku yang membuatmu berada disituasi ini, jika ada yang harus mati, akulah orangnya." Tambahnya lagi pahit.
Naruto terkekeh mendengarnya, Sasori meliriknya aneh. "Kenapa?"
"Aku senang karena akhirnya kau bisa berbuat baik juga."
Sasori menghela napas panjang. "Dulu aku selalu berbuat baik, tapi mereka selalu mengkhianatiku."
"Mulailah dengan memaafkan dirimu sendiri, aku yakin kau akan lebih bahagia karenanya." Naruto kembali terbatuk lama. "Percuma, tidak ada jalan lagi." Katanya setelah batuknya berhenti.
Sasori meletakkan tubuh Naruto yang melorot lemas, ia sendiri terbatuk hebat, keringat mengalir deras. "Kau pasti membenciku," katanya bergetar tanpa mampu menatap Naruto.
"Sudah kukatakan, aku memaafkanmu."
"Menurutmu, apa Tuhan akan mendengar jika aku berdoa pada-Nya? Apa Dia akan mendengar doa orang penuh dosa sepertiku?"
"Kenapa tidak kau coba saja?" kata Naruto sebelum matanya terpejam. Kesadaran dirinya mulai hilang sedikit demi sedikit.
"Aku harap kau panjang umur, bahagia dan melupakan semua kenangan buruk yang kusebabkan."
Naruto sama sekali tidak menjawab, kesadarannya sudah hilang sepenuhnya. Sasori kembali mengangkat tubuh Naruto di atas pundaknya dan susah payah mencoba menerobos kobaran api yang semakin membesar tiap detiknya.
Bunyi krak terdengar keras beberapa saat kemudian. Sasori menengadah sesaat. Di atas mereka, sebuah balok kayu jati yang dijilati api mulai jatuh. Sasori segera menghindar, namun karena asap yang tebal membuatnya tidak mampu melihat keadaan sekelilingnya dengan baik.
Ia terhuyung, dengan beban berat tubuh Naruto di pundaknya membuatnya tidak seimbang dan akhirnya terjatuh keras. Lagi-lagi terdengar bunyi krak, bukan dari kayu tapi dari suara tulang kakinya yang patah akibat terkena kayu balok yang jatuh tepat menimpa kakinya.
Sasori menjerit keras dibuatnya, ia meringis kesakitan. Ia mendorong sekuat tenaga balok kayu itu untuk melepaskan diri. Tak dihiraukannya tangan yang kini terbakar akibat usahanya. Dia menyeret kakinya untuk mencari Naruto setelah berhasil menyingkirkan balok kayu tersebut.
Sasori kembali terjatuh, kakinya terlalu nyeri untuk berjalan. Ia akhirnya merangkak maju, tangannya mencari-cari di dalam pekatnya kepulan asap. Dia mencari keberadaan Naruto yang terlempar saat ia jatuh.
Sasori lalu meraba-raba, mencari keberadaan wanita itu. Dia mengernyit saat tangannya menyentuh sesuatu yang basah dan anyir di bagian kepala Naruto. Gadis itu pasti terbentur keras saat dia terjatuh tadi. Sasori panik, ia mencoba melindungi gadis itu, namun sayangnya kesadarannya pun semakin hilang karena pasokan oksigen yang mulai menipis dan karbon dioksida yang membakar paru-parunya begitu menyesakkan.
.
.
.
Perasaan Sasuke semakin tidak tenang saat dia melihat kepulan asap dari arah yang ditujunya. Dan benar saja, kepulan asap itu berasal dari bangunan yang disebutkan oleh Zetsu sebagai tempat persembunyian Sasori.
Bunyi decit rem Gaara terdengar keras saat dia mengerem kendaraannya tidak jauh dari rumah berlantai dua itu. Keadaan sekitar yang gelap menjadi benderang oleh kobaran api yang menjilat-jilat hebat.
"Naruto?" teriak Sasuke frustasi. Tanpa pikir panjang dia berlari untuk merangsak masuk ke bangunan yang terbakar itu.
"Jangan gegabah, Sasuke!" teriak Gaara kencang, menghentikan langkah gila Sasuke.
"Aku harus masuk, Naruto ada di dalam sana." Kata Sasuke cepat, wajahnya sangat kacau.
Gaara kembali menarik tangan Sasuke dan mendorong tubuh sahabatnya itu ke belakang. "Kau bisa mati. Lagipula, bisa saja Zetsu berbohong. Mungkin ini jebakan. Kita tunggu pemadam kebakaran."
"Naruto bisa mati!" teriak Sasuke tepat di wajah Gaara. Matanya berkilat marah saat ini. "Aku harus menyelamatkannya, Gaara."
"Kau bisa mati," kata Gaara penuh penekanan.
"Aku tidak peduli," sahut Sasuke menggelengkan kepala cepat. "Aku harus menyelamatkannya walau dengan taruhan nyawaku." Katanya keras kepala. Sasuke kemudian berlari secepat mungkin menuju bangunan itu. Gaara yang masih terlihat kaget menjadi lambat bereaksi. Sabaku bungsu itu mengumpat pelan namun akhirnya berlari mengikuti langkah Sasuke menuju bangunan yang terbakar.
Sasuke melompati dua anak tangga teras sekaligus. Ia melepaskan pegangan tangannya pada kenop pintu saat dirasakannya panas yang membakar kulit. "Sial!" umpat Sasuke. Ia kemudian meletakkan tangannya pada daun pintu. Panas, pintu itu terasa sangat panas. "Minggir, Gaara! Aku akan membuka pintu sialan ini." Perintah Sasuke tajam. Tanpa berpikir panjang, Gaara segera merapat ke sisi rumah, menjauhi pintu.
Sasuke meludahi tangannya sebelum dengan cepat membuka kenop pintu dan menyingkir. Pintu itu terhempas membuat awan asap dan bunga api meyembur keluar, akibat tekanan panas dari dalam yang bertemu dengan oksigen di luar.
Setelah awan asap panas itu hilang, Sasuke dan Gaara merangsak masuk menembus kepulan asap pekat yang membatasi jarak pandang dan menyesakkan pernapasan.
"Naruto?" teriak Sasuke keras. Hanya ada suara derik api saja yang menjawab panggilannya itu. "Naruto?" panggil Sasuke lagi.
Sauke melangkah mundur ketika sebuah papan kayu yang dijilat api jatuh. Panas, ruangan ini begitu menyiksa. Ia kembali melangkah dengan tangan kanan yang menutup hidung. Oksigen di ruangan ini semakin menipis, dia harus segera menemukan tunangannya.
Mata Sasuke menyipit saat dia menangkap sesuatu tidak jauh dari tempatnya berdiri. Ia melompati api yang berkobar begitu perkasa untuk mencapainya.
"Gaara, Naruto disini." Teriak Sasuke. Dengan cepat dia membawa tubuh Naruto yang tak sadarkan diri ke dalam pelukannya. Sedangkan Gaara dengan susah payah membawa tubuh Sasori yang sama tak sadarkan diri di atas punggungnya.
Seluruh bagian dalam rumah telah terbakar sekarang. Sambil terbatuk-batuk Sasuke melangkah keluar untuk menyelamatkan diri. Langkahnya terhenti saat melihat reruntuhan yang terbakar menghalanginya.
Sasuke menendang reruntuhan itu ke samping, membersihkan akses jalan untuk dirinya dan Gaara. "Kau baik-baik saja, Gaara?" tanya Sasuke ditengah batuknya.
"Aku sudah tidak tahan, napasku sesak." Jawab Gaara cepat.
Sasuke dan Gaara mempercepat langkah. Tangga rumah sudah hangus sepenuhnya. Sasuke melompat diikuti Gaara untuk menghindari lubang dan kembali berlari kencang. Mereka akhirnya berhasil keluar dengan susah payah. Petugas pemadan kebakaran baru saja tiba di lokasi saat mereka berhasil keluar. Keempatnya pun segera dimasukkan ke dalam ambulans dan dibawa ke rumah sakit pusat untuk pemeriksaan intensif.
Diantara keempatnya, Sasorilah yang terluka paling parah. Ia menjadikan tubuhnya sebagai tameng untuk melindungi Naruto dari reruntuhan. Naruto sendiri terluka parah dibagian kepala akibat terjatuh. Sasuke mengalami luka bakar dibahu kanan, perut dan punggungnya. Sedangkan Gaara mengalami luka bakar dibagian tangan kanan dan perut kirinya.
.
.
.
"Kau mau kemana?" tanya Itachi saat melihat Sasuke bangun dari tempat tidur dan mencoba untuk berdiri sambil menahan rasa sakit akibat luka bakar di tubuhnya.
"Aku ingin melihat keadaan Naruto," jawab Sasuke meringis masih menahan sakit.
"Jangan coba-coba melepasnya!" Itachi memperingatkan dengan nada keras saat Sasuke akan melepas jarum infus yang terpasang di tangan kirinya. Seolah tuli, Sasuke melepas jarum infus itu, membuat darah mengalir dari tangan kirinya. "Dasar bodoh!" teriak Itachi kesal.
"Minggir!" desis Sasuke menatap Itachi tajam.
"Jangan keras kepala, kau terluka!"
"Aku harus melihat keadaan Naruto," kata Sasuke ngotot. Dia sama sekali tidak memperdulikan kondisi tubuhnya.
Itachi mendelik dan melepas napas lelah. "Tunanganmu masih ditangani dokter, percuma jika sekarang kau pergi kesana. Jangan keras kepala, untuk sekarang saja, tolong dengarkan ucapanku." Pinta Itachi frustasi.
Sasuke kembali duduk di samping tempat tidur, wajahnya tertunduk menatap ubin di bawahnya. Ia menekurinya lama seolah ada sesuatu yang menarik di bawah sana. "Jadi, Kakak sudah tahu siapa Naruto sebenarnya?" tanya Sasuke masih dengan kepala menunduk.
"Mito-sama sudah menceritakan semuanya pada kami," jawab Itachi dengan nada hati-hati. "Beliau menceritakan masa lau Naruto, kaa-san sampai menangis lama dibuatnya." Ujar Itachi menerawang, tubuhnya bersandar pada tembok di belakangnya.
Sasuke mendongak, "apa Sasori selamat?" tanya Sasuke kemudian dengan gigi gemertuk.
Itachi mengangguk dan menjawab cepat. "Dia selamat, tapi lukanya paling parah. Dia masih dalam penanganan dokter saat ini."
"Gaara?"
"Dia mengalami luka bakar sepertimu, sekarang dia sudah ada di ruang inap di samping kamarmu." Jawab Itachi mendapat helaan napas lega dari adiknya. "Ayah dan kaa-san masih menemani Mito-sama, mereka menunggu di depan ruang ICU. Ayah akan memberi kabar jika ada berita terbaru."
Pintu kamar Sasuke terbuka beberapa saat kemudian. Fugaku muncul dari sana dan berjalan pelan. Sasuke menoleh saat mendengar suara langkah kaki yang semakin mendekat. "Bagaimana keadaan Naruto?" tanya Sasuke dengan nada cemas.
Fugaku menepuk bahu kanan Sasuke, berusaha untuk menenangkannya. "Dia masih di ruang ICU," jawab Fugaku.
"Dia terluka parah?" tanya Sasuke semakin panik.
"Naruto banyak menghirup karbon dioksida, selain itu luka di kepalanya juga cukup parah hingga dokter memutuskan untuk merawatnya secara intensif." Jelas Fugaku panjang lebar. "Dia gadis yang kuat, Sas. Ayah yakin dia akan segera pulih. Jangan khawatir!"
"Percayalah, aku pun berharap seperti itu." Sahut Sasuke parau.
.
.
.
Satu minggu berlalu dengan cepat setelahnya. Hingga hari ini, Sasori dan Naruto masih belum sadarkan diri. Sasuke menatap sayu wajah kekasihnya yang kini terbaring lemah dengan segala peralatan medis terpasang di tubuhnya.
Ia duduk di samping tempat tidur Naruto, dia masih mengenakan baju rumah sakit. Sasuke menggenggam tangan kanan wanita muda itu erat. "Sampai kapan kau mau tidur?" tanya Sasuke serak. "Aku merindukan mu, bangun ayo bangun! Jangan buat aku semakin khawatir." Tambahnya lagi. Ia mengecup tangan itu mesra sebelum meletakkannya kembali di atas tempat tidur dan menggunakannya sebagai bantalan kepala.
Mata Sasuke baru saja akan terpejam saat ia merasakan pergerakan dari tangan Naruto. Dia kembali duduk tegap dan mengamati wajah kekasihnya. Bola mata Naruto bergerak walau matanya masih terpejam erat. Perlahan, matanya mengerjap-ngerjap sebelum akhirnya terbuka sepenuhnya. "Naruto?" panggil Sasuke pelan dan membelai lembut rambut pirang kekasihnya.
Naruto menoleh ke arah Sasuke, keningnya berkerut saat melihatnya. "Kau siapa?" tanyanya parau.
Sasuke menelan ludah yang terasa pahit. Dadanya sesak, Naruto tidak mengenalinya? Demi Tuhan, cobaan apa lagi ini? Tanyanya dalam hati. Pria muda itu bergerak maju, memencet tombol darurat di atas tempat tidur untuk memanggil dokter. Beberapa dokter datang dengan berlari masuk ke dalam ruangan. Seorang suster meminta dengan sopan kepada Sasuke untuk keluar ruangan, agar dokter bisa memeriksa kondisi Naruto.
Dengan enggan dia pun keluar dari dalam ruangan. Sasuke segera menghubungi Mito dan keluarganya, mengabarkan kondisi terbaru dari Naruto saat ini.
Dua puluh menit kemudian keluarganya datang dengan wajah penuh harap. "Naruto sudah sadar?" tanya Mito cepat. Sasuke mengangguk pelan dan berkata, "dokter sedang memeriksanya." jawab Sasuke dengan mata terpejam.
"Ada apa denganmu?" tanya Mikoto pelan, ia melihat wajah puteranya begitu sedih dan memilukan.
Sasuke melirik ke arah ibunya. Napasnya tercekat, tanpa dia sadari sebulir air mata jatuh berlinang meninggalkan jejak di pipinya yang kini terlihat semakin pucat dan tirus. Sasuke pun akhirnya menjawab, "dia tidak mengenaliku. Naruto tidak mengenaliku." Ulangnya lagi.
Mikoto tersentak mendengar penuturan putera bungsunya. Ia memeluk Sasuke penuh kasih sayang. Puteranya yang begitu kuat akhirnya menangis di bahunya. Fugaku dan Itachi yang melihat Sasuke seperti ini tidak mampu untuk berucap. Sementara Mikoto terduduk, kakinya bergetar hebat mendengar penuturan Sasuke.
Dokter menjelaskan jika Naruto kehilangan sebagian memorinya saat ini. Mungkin akibat benturan keras di kepalanya atau bisa juga dari trauma yang dialaminya, hingga otak Naruto menolak untuk mengingat.
Kemungkinan untuk sembuh itu ada, namun tipis. Dokter juga mengatakan agar keluarga dan orang-orang di sekitar gadis itu tidak memaksanya untuk mengingat. "Saya takut berdampak buruk," tukas dokter Kabuto dengan tegas. "Tolong dampingi dia dan berusahalah untuk menyesuaikan diri dengan kondisi Uzumaki-san." Tambahnya sebelum pamit pergi.
Naruto menolak untuk dikunjungi oleh siapapun saat ini. Dia bersikeras jika dia tidak mengenali mereka semua. Mito menatap sedih cucunya, lidahnya seolah terkunci. Ia tidak mampu menjelaskan apapun pada cucunya itu.
.
.
.
Keesokan harinya, semua teman dekat Naruto dan Sasuke datang untuk menjenguk. Sasuke menjelaskan secara singkat apa yang terjadi pada Naruto.
"Boleh aku masuk?" tanya Karin gugup memecah keheningan yang terasa mencekik.
"Dia menolak untuk bertemu siapapun," kata Sasuke datar.
"Biarkan aku mencobanya, karena seharusnya dia bisa mengenalku jika memang Naruto menganggap dirinya masih berusia empat belas tahun."
Sasuke mengangguk dan membukakan pintu untuk Karin masuk. Perlahan wanita muda berkacamata itu masuk ke dalam ruang inap Naruto.
"Sudah kubilang, aku tidak mau dijenguk kalian. Aku ingin ibuku yang menemaniku di sini." Kata Naruto terdengar seperti rengekan.
"Kau juga tidak mau dijenguk olehku?" tanya Karin hati-hati.
Naruto membuka selimut yang menutupi wajahnya. Matanya membulat sempurna sebelum menyipit, mencoba mengenali sosok yang berdiri di sampingnya. "Karin?" tanya Naruto tidak yakin.
Karin terpekik senang dan memeluk Naruto erat. "Syukurlah kau masih mengenaliku," katanya lega.
Naruto mengernyit dan balas berkata. "Kau terlihat tua," ujarnya kurang ajar membuat kening Karin berkedut kesal. Gadis berambut merah itu melepaskan pelukannya dan berkacak pinggang, tersinggung.
"Usiaku hampir dua puluh lima tahun, dan aku tidak tua." Protesnya keras namun hanya dijawab kikikan pelan dari Naruto.
Naruto berdeham setelah tawanya berhenti. "Hampir dua puluh lima tahun, huh?" beo Naruto serak. Ia kemudian bangkit untuk duduk. Kepalanya menunduk, matanya memandang jemari yang saling bertaut di depan perutnya. "Berarti usiaku pun sama sepertimu?" tanya Naruto melirik sekilas ke arah Karin.
"Ya," jawab Karin pendek.
"Apa yang terjadi padaku?" tanya Naruto lagi.
"Kepalamu terbentur, hingga menyebabkan sebagian ingatanmu hilang." Jelas Karin tidak detail.
Naruto mengangguk mencoba untuk paham. "Kau mengenal orang-orang yang datang untuk menjengukku?"
"Tentu," sahut Karin cepat. "Mereka keluargamu, teman-teman dekat serta tunanganmu."
"Tunangan?" beo Naruto lagi setengah berbisih. Ia menghela napas panjang, memijit keningnya yang berdenyut sakit karena mencoba untuk mengingat.
"Jangan memaksakan diri," ujar Karin.
"Semua ini membuatku bingung, Karin. Ini bukan duniaku," kata Naruto menatap keluar jendela kamar. "Yang kuingat, aku hanya murid kelas dua SMP. Itu saja," katanya yang disambut keheningan. "Lalu dimana ibuku? Kenapa beliau menjengukku? Apa beliau sibuk?" tanya Naruto kini menatap Karin lurus.
Karin terdiam cukup lama, pikirannya seolah tersumbat, tenggorokannya terasa kering hingga ia sulit menjawab. "Karin?" panggil Naruto.
"Apa?" jawab Karin terkesiap gugup.
"Kenapa? Kau terlihat aneh," seru Naruto mengernyit bingung.
Karin menggelengkan kepala cepat. "Bibi Kushina, beliau, beliau-"
"Kenapa dengan ibuku?" potong Naruto tidak sabar.
"Beliau sudah meninggal karena sakit," jawab Karin berupa cicitan.
"Kapan?" tanya Naruto tercekat.
"Saat usiamu lima belas tahun." Jawab Karin berkaca-kaca, dia tidak sanggup mengatakan kebenaran pada Naruto. Tidak mungkin dia mengatakan jika Kushina meninggal mengenaskan di penjara.
"Begitu?" ujar Naruto getir. "Karin, maukah kau mengenalkan orang-orang itu padaku? Aku harua membiasakan diri bukan?" katanya mengalihkan pembicaraan dengan senyum dipaksakan.
Karin mengangguk dan berbalik untuk memanggil teman-temannya. Sasuke cs dan Hinata cs berdiri mengelilingi tempat tidur Naruto dengan ekspresi yang berbeda-beda.
"Baiklah, aku akan mengenalkan satu persatu." Kata Karin memulai. "Yang berambut pink ini adalah Sakura, di sebelahnya ada Hinata, lalu Ino. Mereka rekan setimku. Aku lupa mengatakan jika sekarang aku artis terkenal," katanya mengedip genit. Naruto tersenyum mengejek, sama sekali tidak percaya akan ucapan Karin.
"Baiklah, aku lanjutkan." Karin kembali bicara setelah memberikan tatapan mematikan pada pria-pria muda yang mencibirnya akibat ucapannya tadi. "Dia Gaara, sang kapten polisi." Karin mendengus, mengeluarkan aura tidak bersahabat sedangkan Gaara terlihat cuek. "Ini Neji, lalu Kiba, dia Shikamaru. Sedangkan dia-"
"Aku Sai," potong Sai cepat.
"Aku Shion," sahut Shion dengan mata berkaca-kaca. "Kita rekan kerja," tambahnya. Sai merengkuh Shion yang menangis ke dalam pelukannya. Ia tidak sadar jika saat ini, Ino menatapnya cemburu.
"Dan kau?" tanya Naruto yang ingat jika pria terakhir ini adalah pria yang pertama kali dilihatnya setelah sadarkan diri.
"Sasuke," jawab Sasuke tenang.
"Di-"
"Kita teman lama," kata Sasuke memotong ucapan Karin.
"Sas?" Gaara menatapnya tak mengerti. Sebenarnya apa yang dipikirkan oleh Uchiha bungsu.
"Aku lelah," kata Sasuke setelah terdiam cukup lama. "Nenekmu sebentar lagi datang, aku pulang dulu." Sasuke segera berbalik tanpa menunggu jawaban Naruto. Wajahnya masih terlihat datar, hanya orang-orang terdekatnya saja yang tahu jika pria itu sangat terluka saat ini.
"Berikan dia waktu," kata Shikamaru pelan, mencegah Neji yang mau mengejar Sasuke.
"Tapi, Shika?"
"Dia perlu menenangkan diri," sahut Gaara pelan pada Neji.
Neji akhirnya pasrah dan tetap tinggal beberapa saat disana sebelum akhirnya dia pulang bersama yang lain setelah Mito datang untuk menjaga Naruto.
.
.
.
Naruto akhirnya diijinkan pulang satu minggu kemudian. Ia tinggal bersama Mito sekarang. Keluarga Uchiha rutin berkunjung untuk melihat kondisi Naruto.
Setelah satu bulan berselang, dia akhirnya terbiasa dengan lingkungan barunya dan menerima kondisinya saat ini. Naruto tidak diberitahu secara rinci mengenai kejadian yang dia tidak ingat. Keluarganya sepakat jika gadis itu berhak untuk menjalani kehidupan baru dengan bahagia. Apalagi saat ini Sasori sudah mendapatkan hukuman dari Tuhan. Dia mengalami gangguan mental, menutup diri dengan dunia luar. Kakinya lumpuh hingga dia harus bergantung pada kursi roda. Terkadang keluarganya datang untuk menjenguk, namun Sasori sama sekali tidak memberi tanggapan. Pekerjaannya setiap hari hanya menatap keluar jendela dari atas kursi rodanya.
"Kak Itachi, anda datang seorang diri?" tanya Naruto terlihat kecewa.
Itachi mengulas senyum simpul dan membalasnya jail. "Shion akan menyusul kesini, atau yang kau maksud adalah Sasuke? Kenapa, apa kau merindukannya?"
"Bu-bukan begitu," sahut Naruto salah tingkah.
"Yakin?"
Naruto akhirnya mendesah pasrah dan menjawab dengan menggembungkan pipi sebal. "Aku hanya heran kenapa dia tidak datang menjengukku. Bukankah kalian bilang jika dia tunanganku?"
"Kau sudah mulai menyukai adikku lagi?" tanya Itachi menaruh harapan.
"Entahlah," tukas Naruto tidak yakin. "Hanya saja, hatiku merindukannya." Akunya jujur. "Apa aku aneh?" tanya Naruto menatap Itachi lurus.
"Tidak," jawab Itachi dengan gelengan kepala cepat. "Kau mungkin lupa, tapi hatimu tidak pernah lupa. Kalian berdua saling mencintai satu sama lain."
"Begitu?"
Itachi beralih untuk duduk di samping Naruto. Tangannya meraih remote televisi yang tergeletak di atas meja di samping sofa. "Hari ini Sasuke akan mengadakan pertunjukan secara live," katanya sambil menekan tombol on pada remote untuk menyalakan televisi layar datar berukuran jumbo di depannya.
"Live?"
"Ya, hari ini mereka akan membubarkan diri." Sahut Itachi tanpa mengalihkan pandangan matanya dari layar televisi. "Syukurlah, acaranya baru dimulai." Kata Itachi bernapas lega. "Aku sudah pernah bilang kan jika Sasuke dan teman-temannya itu boyband terkenal?"
Naruto mengangguk kecil. "Kenapa mereka membubarkan diri?"
"Yang aku tahu, Shikamaru harus bertanggungjawa untuk menangani perusahaan milik keluarga. Neji juga harus mulai belajar untuk mengurus perusahaan firma milik keluarga. Sedangkan Kiba memutuskan untuk melanjutkan S2, dia ingin jadi dokter hewan."
"Lalu Sasuke?"
"Aku belum selesai bicara, gadis cerewet!" Itachi mencubit pipi Naruto gemas, hingga membuat gadis itu meringis protes. "Sasuke akan berkarir solo," jelasnya kemudian.
Naruto merengut saat mendengar teriakan wanita yang berteriak memanggil nama Sasuke. "Apa mereka harus berteriak seperti itu?" tanyanya tidak suka.
Itachi melirik ke samping dengan sebelah alis terangkat. "Tentu saja, namanya juga fans."
"Dasar genit," dengus Naruto mencemooh.
"Diantara semua personil, Sasuke memiliki jumlah fans paling banyak." Itachi memperpanas keadaan.
"Benarkah?" tanya Naruto dengan mata menyipit tidak suka.
"Benar," Itachi menjawab dengan mengangkat tangannya membentuk simbol peace. "Bahkan ada beberapa fans fanatik yang tidak segan memperlihatkan buah dada mereka untuk mendapat perhatian Sasuke."
"Benarkah?" gigi Naruto gemertuk kesal. Dia tidak mengerti kenapa hatinya panas mendengar penuturan Itachi.
"Aku juga pernah dengar, beberapa artis wanita yang menjadi model MV mereka sampai memohon-mohon pada sutradara agar menambahkan scene ciuman dengan Sasuke."
"Gila!" raung Naruto marah.
"Well, namanya juga usaha." Sahut Itachi terkekeh puas melihat Naruto yang dilingkupi rasa cemburu saat ini.
"Ada apa dengannya?" tanya Shion yang baru saja bergabung.
"Cemburu," bisik Itachi di telinga Shion.
Shion mengangkat kedua alisnya dan menutup mulut dengan tangan. "Benarkah?" tanyanya tak percaya.
Itachi hanya tersenyum simpul menjawab pertanyaan Shion. Dan benar saja, pertanyaan Shion akhirnya terjawab oleh desisan Naruto yang terus mengomel, mengomentari para fans Sasuke yang menurutnya kecentilan. Naruto terus berkomentar sinis hingga acara berakhir.
.
.
.
Keesokan harinya, Naruto memutuskan untuk datang menemui Sasuke di apartemen pria muda itu. Naruto sudah mengorek informasi tentang kegiatan Sasuke hari ini dari Asuma.
Naruto dikenalkan dengan Asuma oleh Kurenai. Keduanya sedang menjalani hubungan serius saat ini. Dari Kurenai, Naruto tahu jika Asuma adalah manager group Sasuke.
Gadis itu hanya menunggu beberapa saat hingga pintu apartement Sasuke dibuka dari dalam. "Boleh aku masuk?" tanya Naruto gugup. Pipinya bersemu merah saat melihat Sasuke bertelanjang dada dengan sebuah handuk putih di tangan kanannya untuk mengeringkan rambut yang masih setengah basah.
"Apa kau mau diusir?" balasnya dengan senyum mengejek. Naruto mendesis dan melangkah masuk dengan wajah ditekuk. Sasuke mengekorinya dari belakang, ia lalu mempersilahkan Naruto untuk duduk di sofa terdekat sementara dia kembali masuk ke dalam kamar untuk mengambil kaos.
"Jadi, apa yang membawamu kesini?" tanya Sasuke kini berpakaian lengkap. Ia kemudian menuangkan jus jeruk dari dalam lemari pendingin dan membawa dua gelas berisi jus jeruk itu ke ruang tamu.
"Apa aku tidak boleh datang berkunjung?" tanya Naruto. Ia menerima gelas yang disodorkan Sasuke dan meletakkannya di atas meja.
"Aku hanya terkejut," sahut Sasuke datar. "Kau tidak bilang akan datang berkunjung."
"Apakah seorang tunangan harus meminta ijin terlebih dahulu sebelum datang berkunjung?" Naruto kembali bertanya dengan raut terluka. Sasuke terdiam dan lebih memilih untuk menyesap jus jeruknya nikmat. "Boleh aku bertanya lagi?" kata Naruto setelah tidak mendapat jawaban dari Sasuke.
"Hn."
"Pertunangan kita, apa orangtua kita yang mengaturnya?"
"Kenapa kau ingin tahu?" Sasuke balik bertanya dengan dingin.
"Jawab saja pertanyaanku, sialan!" raung Naruto emosi.
Sasuke menaikkan sebelah alisnya dan meletakkan gelas di atas meja. "Sejak kapan kau bicara kasar seperti tadi, Dobe?"
"Kau membuatku kesal," sahut Naruto dengan kedua tangan terkepal. Dia menggigit bibir bawahnya keras hingga berdarah.
"Kau sebenarnya kenapa?" Sasuke menanggalkan topeng dan terlihat cemas melihat bibir Naruto yang terluka. Dia mengambil beberapa lembar tisu dan mengelap darah yang mengalir dari bibir Naruto.
"Aku juga tidak tahu," sahut Naruto mulai menangis membuat Sasuke semakin kalang kabut. "Aku tiba-tiba kesal saat melihatmu di TV tadi malam. Fansmu itu menyebalkan! Kau sibuk meladeni mereka hingga mengabaikanku."
"Naruto, kau cemburu?" tanya Sasuke nyaris tak percaya akan penuturan tunangannya tangannya terulur untuk menyentuh wajah wanita yang sangat dicintainya itu.
"Jangan mengalihkan pembicaraan," Naruto menepis kasar tangan Sasuke yang terulur ke wajahnya. "Kau tidak datang menjengukku, kau menghindariku."
"Aku sibuk," jawab Sasuke pendek kembali memasang wajah datar.
"Sibuk atau jijik padaku?"
Rahang Sasuke mengeras mendengar pernyataan Naruto. "Apa maksudmu?"
"Aku tahu jika aku itu aneh. Aku orang dewasa yang hanya memiliki ingatan gadis empat belas tahun. Kau pasti jijik padaku." Naruto menangis keras setelahnya.
"Demi Tuhan, aku tidak pernah berpikir seperti itu." Sasuke menangkup wajah tunangannya dan menatapnya sendu. "Aku mencintaimu, tanpa syarat."
"Lalu kenapa kau menghindariku?"
"Aku ingin memberimu waktu," sahut Sasuke lalu merengkuh Naruto ke dalam pelukannya. "Tidak," katanya kemudian dengan menggelengkan kepala pelan. "Sejujurnya, aku takut ditolak olehmu." Aku Sasuke jujuri, dia mengecup puncak kepala Naruto mesra setelahnya.
"Baka!" seru Naruto masih menangis dalam pelukan Sasuke.
"Hn."
Mereka hanya saling berpelukan setelahnya. Tidak ada satupun yang bicara, hingga keheningan menggantung untuk beberapa saat.
"Sasuke, ayo kita mulai dari awal lagi." Naruto menyibak keheningan diantara mereka.
"Hn." Sahut Sasuke tidak jelas.
"Kau tidak mau?" Naruto melepaskan diri dari pelukan Sasuke. Ia kembali menatap Sasuke dengan kecewa.
"Jika itu berarti kita memulainya dari tahap pertemanan, ya, aku tidak mau." Jawab Sasuke dalam.
"Kenapa?" Naruto kembali bertanya dengan ketus, kedua tangan dilipat di depan dada.
"Aku sudah menunggu selama sepuluh tahun hingga akhirnya kita bertunangan. Jadi, aku tidak mau memulai dari awal lagi." Ujar Sasuke keras kepala.
Naruto mencibir dan berdecak pelan. "Ok, kita akan tetap bertunangan. Tapi ada syaratnya," tambah Naruto dengan nada sing a song.
"Apa?"
"Jangan meladeni fansmu yang kecentilan itu," ujar Naruto berapi-api. Sasuke masih memasang wajah datar andalannya walaupun saat ini hatinya bersorak gembira mendengar pernyataan tunangannya. "Tidak ada scene ciuman dengan model-model genit yang mencari kesempatan dalam kesempitan. Kau hanya-"
Mata Naruto membulat sempurna saat Sasuke menutup mulutnya dengan ciuman. "Kau terlalu banyak bicara," desis Sasuke dengan seringaian puas, lalu kembali menyerang mulut Naruto. "Aku akan mengikuti semua keinginanmu," kata Sasuke setelah ciuman mereka berakhir. "Tapi, aku juga memiliki syarat."
"Apa?" tanya Naruto dengan mata nanar.
"Pernikahan kita akan tetap digelar akhir musim semi nanti."
Naruto tidak bisa menjawab pernyataan Sasuke karena pria itu kembali mencium mulutnya lama. Sasuke melimpahkan rasa rindu yang dia simpan pada ciuman ini. Naruto menerimanya dengan sukarela. Tubuhnya bergelenyar aneh, seolah ada ribuan kupu-kupu berterbangan di perutnya saat ini. Otaknya memang tidak ingat, tapi tubuhnya mengingat pria ini dengan baik.
'Ya, aku akan memulai lembaran baru bersamamu, Sasuke Uchiha.'
.
.
.
E N D