Willy-Nilly
Naruto © Masashi Kishimoto.
Genre: Sedikir Misteri, Romace, Family
Warning: AU, OOC, kata-kata tidak baku, Don't like don't read :D
Sebenarnya aku bosan dengan kehidupanku saat ini. Sedikitpun aku tidak mempunyai keinginan untuk mencintai seseorang. Aku merasa belum membutuhkan itu. Mungkin kalau aku membuat suatu permainan yang baru akan membuat kebosananku teralihkan sementara—atau malah sebaliknya?
Prolog #1
Aku heran, mengapa kalau aku berada jauh dari saudara tiriku ini aku merasa jijik. Bukan jijik karena dia jelek atau apa, errr... mungkin lebih tepatnya aku iri! Tapi, tunggu dulu. Sekarang ketika aku berada di dekatnya aku malah merasa senang dan tidak ingin berbuat jahat atau semacamnyalah. Malah sekarang aku tengah menjadi dirinya dan berpura-pura menjadi gadis manis yang sangat terkenal.
Dengan wig dan lensa kontak aku berjalan penuh percaya diri saat mengitari kampusnya. Terasa sangat asing namun aku berusaha nyaman dengan kondisi ini. Samar-samar aku mendengar orang yang meneriaki namaku. Hahaha, senangnya jadi Hinata Hyuuga.
Tapi ngomong-ngomong aku tidak tahu dimana kelasnya, lagipula kemarin dia hanya memberikanku foto-foto teman sekelasnya. Aku kembali menengok sebuah foto milik saudara tiriku ini, ada banyak wajah yang memang tidak kukenal.
Tapi hanya satu yang disebutkan namanya. Seseorang dengan rambut berwarna kuning dan bermata biru. "Jangan terlalu banyak bicara pada orang, cukup dengan temanku yang satu ini saja, namanya Naruto."
Itulah pesan yang aku ingat dari Hinata. Dia tidak memberikan pesan lain seperti melarangku untuk berteriak atau semacamnya. Lagipula hubungannya dengan orang yang bernama Naruto katanya tidak terlalu dekat. Aku penasaran, apa dia tidak memiliki sahabat dekat?
"Hinata!"
Awalnya aku tidak sadar atas panggilan itu—mengingat aku masih belum sepenuhnya sadar atas penyamaran ini. Tapi saat ada sebuah tangan menepuk pelan bahuku—saat itulah aku baru tersadar.
Aku menoleh ke arah yang menepuk bahuku tadi lalu merengut kesal, "jangan sembarangan memegangku." Aku menepis tangannya dengan agak kasar.
"Heheheh, maaf Hinata. Aku hanya ingin memberikanmu ini." Beberapa surat dan kado ada di tangan pria itu. Aku memandangi kedua benda itu secara bergantian, dan aku baru ingat orang ini adalah yang dimaksud Hinata.
Aku mengambil alih benda-benda yang mungkin sering didapat Hinata—mungkin setiap hari. "Kau Naruto ya?" Aku tidak tahu bagaimana semua surat ini bisa ada padanya—mungkin orang-orang sudah tahu kalau Hinata agak dekat dengan Naruto, maka mereka menitip semua itu.
Dia tertawa sebentar, "kau lupa padaku ya?" Kemudian dia melewatiku pergi sambil berkata, "ayo masuk!"
.
.
"Sakura, aku senang sekali kamu mau pulang," Hinata berbicara dengan lembut. Tentu saja aku tidak bisa menjawab itu dengan bentakan. Jujur saja aku ini bukan gadis yang manis dan baik seperti dia.
"Yaaah, itu karena aku sedang malas membersihkan kosku." Aku langsung merebahkan diri ke atas ranjang besarnya yang berada di dalam kamarnya. Setiap kali aku pulang ke rumah, aku langsung menuju kamarnya, karena menurutku di rumah ini hanya kamarnya yang paling nyaman.
"Aku sarankan kamu enggak usah ngekos lagi, kita kan punya rumah."
Aku hanya terdiam mendengar kata-katanya, walau bagaimanapun aku tidak akan mau tinggal di tempat yang memiliki banyak kenangan sedih dan itu membuatku tidak ingin mengenang apapun. Lagipula memangnya aku mau tinggal bersama saudara tiriku ini? Bisa-bisa aku mati karena iri padanya.
"Permisi." Seseorang datang ke tempat kami, dan aku langsung duduk dari posisi tidurku.
"Iya, paman Kakashi?" Hinata menyahut dengan sangat sopan, aku berani bertaruh dia tidak pernah marah-marah pada Kakashi.
"Jam 3 akan ada pemotretan, saya hanya mengingatkan saja." Kemudian pandangan pria berambut perak itu beralih padaku, "ah, Nona Sakura. Apa kabar? Sudah lama kita tidak berjumpa." Pria itu nampak membungkukan sedikit badannya.
"Kabarku baik, lebih baik kau cepat keluar dan aku ingin istirahat." Aku selalu bicara seperti itu pada Kakashi—bahkan sebelum ayah dan ibu tiriku meninggal. Kakashi sudah memahami sifat aku dan Hinata. Aku rasa dia pun senang kalau aku jarang ada di rumah.
Kakashi tersenyum seperti biasa menanggapi juragan sepertiku. Aku lihat Hinata yang mendengar penuturan kataku seperti biasa tersenyum tidak enak pada pelayan setianya yang satu itu. Aku kembali merebahkan badanku membelakangi mereka berdua.
"Sepertinya aku tidak akan datang ke sana hari ini." Aku dengar Hinata bicara seperti itu, sepertinya juga Kakashi belum pergi dari sana. "Jarang-jarang ada Sakura di sini. Aku ingin mengobrol banyak kepadanya."
"Tapi..."
"Bilang saja aku sakit atau apa, aku sedang tidak ingin."
Entah mengapa aku menangkap sesuatu di kata-kata Hinata, seolah dia benar-benar bosan menghadapi pekerjaannya. Aku tidak merasa besar kepala karena ada aku dialasannya.
Aku merasakan Hinata duduk di atas tempat tidur yang tengah kukuasai sekarang sesaat Kakashi keluar dari kamar ini. "Kenapa enggak pergi? Aku sih enggak apa-apa kalau ditinggal. Lagipula sebentar lagi aku pulang dan mengerjakan segala tugas kuliahku." Aku kembali mengingat segala bentuk tugas kuliahku. Jujur saja saat ini aku sedang jenuh.
Hinata tampak menghela napas, "Sakura anaknya bebas ya?" Aku langsung menoleh ke arahnya. "Aku rasa kehidupan Sakura di luar sana sangatlah menyenangkan." Tambahnya lagi.
"Bukannya hidupmu itu yang sangat menyenangkan?" Aku langsung duduk kembali, dan melupakan istirahat sejenak. Perkataanku ini sepertinya sudah ke tahap menuding. "Kau model dan memiliki warisan dari ibumu, kau juga selalu dipuji-puji orang bahkan teman-teman dikelasku selalu mengidolakanmu. Seandainya aku ini kamu, pasti aku tidak akan sengsara seperti ini dari kecil." Aku mengeluarkan unek-uneku sekarang. Entah mengapa perasaanku saat ini benar-benar memuncak. mungkin besok atau lusa aku akan datang bulan.
Dia hanya tersenyum lemah sesaat, kemudian dia beranjak dari duduknya dan membuka lemari yang tidak jauh dari tempat tidur ini. Aku kira dia akan membalas perkataanku dan lagi kami akan bertengkar.
"Sakura, kemari," pintanya dengan sangat ingin. Mungkin dia mau menunjukan sesuatu padaku. Karena aku penasaran aku pun mendekat ke arahnya—yang tentunya perasaan kesal sesaat tadi sedikit menghilang.
'puk'
Dia langsung menaruh sesuatu di atas kepalaku yang membuat mataku bulat. Aku terkejut dengan apa yang gadis itu lakukan. Segera gadis itu memegang bahuku dan mendekatkanku ke kaca pada lemari itu.
"Aku sudah mengira, kita memang agak mirip." Hinata terlihat tersenyum riang dan aku hanya diam sambil melihat pantulan kaca di depanku ini. Itu aku dengan rambut palsu bewarna hitam seperti Hinata. Tanganku menyentuh rambut palsu ini.
"A-apa yang kau lakukan?" untuk pertama kalinya aku gagap, itu alasannya karena aku masih belum tahu maksudnya.
"Satu lagi." Gadis itu menyerahkan kotak lensa kontak yang ternyata bewarna senada dengan matanya. "Aku sudah lama membeli ini karena banyak yang jualnya."
Aku tahu memang banyak yang menjual rambut palsu dan lensa kontak seperti yang Hinata miliki, setiap wanita menginginkan rambut panjang indahnya, serta matanya yang indah. Tidak heran sebuah perusahaan membuat benda-benda itu dan menjualnya.
Aku hanya terdiam lalu memasang benda kecil itu ke mataku. Saat aku membuka mataku dan kembali menatap kaca semua ini serasa seperti sihir. Aku dan Hinata memang benar mirip! Aku juga tidak menyangka kalau kami mirip. Yah mungkin karena kami memiliki ayah yang sama dan ibu yang berbeda.
"Sakura bisa menjadi aku besok. Sakura juga boleh kalau ingin mencoba menjadi model."
Dengan penuturan katanya itu aku tidak banyak tanya. Memang aku sangat ingin menjadi Hinata, dan sekarang aku menjadi dirinya dengan persetujuannya. Tidak sadar aku menarik senyumku. "Aku ini bukan orang yang baik loh, mungkin saja aku bisa merusak harga dirimu tanpa sengaja saat aku menjadimu."
"Enggak apa-apa. Aku yakin Sakura orangnya sangat baik." Dia tersenyum penuh percaya diri.
"Oh, begitu ya?" dan aku pun tersenyum.
AN: Bagian yang drabble kedua itu adalah flashback cerita sebelum yang pembukaan :) give me spirit?