Warnings: 8k+. OOC, OC[s]—nyempil, AR (alternative reality), typo, EyD yang tidak sesuai, nyelipin sedikit bahasa gaul, memakai alur yang RUSH, klise-aneh seperti biasa.

Disclaimer: Eyeshield 21 masih milik Yuusuke Murata dan Riichirou Inagaki. Saya tetap tidak mendapatkan keuntungan material apapun dari fanfiksi empat ini sudah di-beta oleh Kak Raf Kowalski, btw :")

Timeline; Setelah Mamori bergabung menjadi manajer Devil Bats, deite ambil dan tambahkan jeda sebelum pertandingan melawan Oujou.

Note; Fanfiksi ini masih terinspirasi dari promptThree Hours Between Plane milik Mikkadhira-san dan fanfiksi ini juga masih didedikasikan untuk hukuman Severable Challenge.

.

.


Carnadeite dengan bangga mempersembahkan—

"Paper Plane"

—sebuah fanfiksi sederhana yang dibuat untuk warga FESI yang nantinya akan Deite rindukan. Baca pelan-pelan saja dan silahkan dinikmati.

.

[Every person has something that value to them—

and for us ... it's just a little paper plane]

.

Bagian Empat—Cinta


.

.

.

.

Sebuah titik cerah dari timur sudah tiba di Kota Deimon.

Titik? Ya, jauh di ujung timur sana, matahari baru menyembul keluar—membuat langit di sekitarnya menjadi cerah. Tapi, keberadaan 'titik' itu belum bisa mengusir dingin yang masih membungkus kota, membuat orang-orang enggan keluar rumah untuk memulai aktivitas. Masih ada sepuluh sampai lima belas menit lagi hingga matahari mulai naik, yang berarti masih ada sepuluh sampai lima belas menit yang bisa dipakai untuk menggulung diri di futon yang hangat sebelum memulai aktivitas pagi. Bermalas-malasan sedikit untuk menghimpun tenaga tidak akan menjadi masalah besar, kan?

Tapi, ada anomali dengan salah satu penghuni lantai atas kediaman Anezaki.

Lupakan soal pagi musim semi yang terasa dingin, lupakan soal hangatnya bergelung di pelukan futon, lupakan juga soal bermalas-malasan menunggu matahari naik, ada hal penting yang harus dilakukan putri tunggal keluarga Anezaki ini. Wohoo, ia bahkan sudah mandi dan hampir siap dengan seragamnya. Wajah ayunya berseri penuh antusiasme—bukan ekspresi kebanyakan orang di pagi hari.

Gadis itu memasang dasi merah di kerah kemejanya. Dari pantulan cermin bisa dilihat lengkungan dari bibir tipisnya. Sesekali senandung merdu terlepas dari mulutnya, meramaikan pagi hari di kamarnya yang sudah rapi.

Kemeja, check.

Dasi, check.

Rambut—karena hanya dibiarkan tergerai, check.

Sekilas, penampilannya sudah rapi untuk ukuran pelajar SMA. Tetapi gadis itu masih belum beranjak dari cermin kecil di hadapannya. Matanya menatap cermin dengan serius. Ia mengepalkan tangannya.

"Yosh, hari ini aku harus melindungi Sena dari pengaruh jahat Hiruma!" sahutnya penuh semangat sambil melempar tangannya ke udara.

"Mamo-chan, kau sudah bangun?"

Suara ibunya terdengar dari lantai satu. Mamori berdehem sedikit sampai akhirnya menjawab 'iya' agak keras. Tanpa banyak melamun lagi, gadis itu mengambil tas dan blazer-nya dan turun ke bawah untuk mendapati meja makan yang sudah siap dengan sarapan.

Sang kreator sarapan hari ini terlihat masih sibuk di dapur. Pagi-pagi sekali Mami Anezaki sudah berkutat dengan segala pekerjaannya sebagai ibu rumah tangga. Well, buah memang tidak jatuh jauh dari pohonnya, bukan?

Setelah meletakkan tas dan blazer-nya di kursi, putri tunggal keluarga Anezaki itu menghampiri ibunya. Sang ibu rupanya masih membersihkan peralatan dapur yang kotor.

"Sini Mamo bantu," tawar Mamori sambil menyingsingkan lengan pendek kemejanya. Namun baru yang sebelah kanan tergulung, Mami Anezaki sudah menghentikan gerakan anaknya.

Wanita berwajah tenang itu tersenyum, "Nikmati saja sarapanmu, Mamo-chan."

Belum sempat gadis itu berkomentar, raungan telepon terdengar dari ruang tamu. "Kalau begitu Mamo yang angkat teleponnya, ya?" Tanpa repot-repot menunggu jawaban ibunya, gadis itu gesit mengangkat telepon tepat sebelum nada itu berhenti. Sang ibu hanya tersenyum melihat polah anak gadisnya.

"Moshi-moshi. Ohayou gozaimasu, kediaman Anezaki di sini," ucapnya sopan.

"Ah? Mamori? Ohayou, ini tante Mihae," sahut suara di ujung sana dengan riang. "Kebetulan sekali kamu yang ingin bicara sama kamu."

Dahi Mamori sedikit berkerut. Dari dapur, ibunya melayangkan pandangan heran. Ia pun mengeja nama ibu Sena tanpa suara dan ibunya mengangguk mengerti. "Ya, ada apa, Tante?" tanya gadis itu bingung. Bergaul lama dengan kawan ibunya tak lantas membuatnya dapat mengerti jalan pikiran wanita itu.

"Begini, hari ini sepertinya Sena tidak akan berangkat bareng denganmu," ujarnya—entah kenapa ada nada sedih di sela suaranya. Belum sempat Mamori bertanya kenapa, wanita di ujung saluran sana sudah menambahkan, "Hari ini dia sudah berangkat duluan."

Tidak tahu harus merespons apa, gadis itu hanya mengucapkan 'oh'. Sedikit kaget juga mendengar Sena yang sudah berangkat. Diliriknya jam yang masih menunjukkan pukul enam kurang. Eh? Ada apa dengan Sena?

"Tante tidak tahu dia kenapa, Tante cuman ingin memberitahumu supaya nanti kamu tidak perlu mampir ke sini dulu." Lagi-lagi ibu Sena menjawab pertanyaan yang muncul di benak Mamori dengan pas. Gadis itu tersenyum geli, jangan-jangan aku dan ibunya Sena bisa telepati, lagi.

"Baiklah, Tante. Terima kasih infonya. Semoga hari Tante menyenangkan!" ucap gadis itu lalu memutuskan sambungan telepon.

"Apa yang dibicarakan Mihae?" tanya sang ibu saat Mamori sudah bergabung di meja makan.

Gadis berambut cokelat kemerah-merahan itu mengambil nasi pada wadahnya sambil menjawab, "Ah tadi beliau bilang tidak usah mampir ke sana dulu karena Sena sudah berangkat duluan."

Ibunya mengangguk sambil melirik jam. Tatapan heran itu kembali dilayangkan. "Eh? Tapi kan ini masih lumayan pagi ..."

"Sena mungkin mau melihat-lihat klub ekstrakulikuler lain," jawab Mamori sekenanya. Klub amefuto'kan tidak cocok untuknya, pikirnya. Mamori pun memulai sarapan tenangnya dengan sang ibu. Berdua saja, ayahnya masih bertugas.

"Ah ... Kaa-san dengar dia masuk klub amefuto, ya? Sugoi ne ..." Sang ibu rupanya masih tertarik dengan topik itu. Mamori mengangguk tidak rela, hampir berkomentar apanya yang sugoi? Lah, curiga dia disiksa Hiruma di klub itu.

"Mamo juga masuk ke klub itu, kok," sahut gadis itu sambil meneguk susu vanilanya. Ritual sarapan paginya sudah selesai.

"Oh ya?" tanya sang ibu antusias. Mamori kembali mengangguk, meletakkan gelasnya yang telah kosong di atas meja."Iya, baru kemarin Mamo bergabung."

Mami Anezaki mengambil piring dan gelas bekas sarapan anaknya yang sudah kosong dan membawanya ke dapur. "Semoga harimu menyenangkan, ya Mamo-chan."

Mamori hanya bisa mengamini dalam hati.

.

.

.

Namun nyatanya, empat hari sudah berlalu dan do'a yang dipanjatkan Mami dan Mamori Anezaki pagi itu tidak bertuah sedikitpun.

Entah Kami-sama sedang berusil padanya atau bagaimana, akan tetapi kenyataan yang terhampar di hadapannya sungguh berbeda dengan yang gadis itu harapkan.

Mamori menghela napas, melanjutkan pekerjaannya membereskan berkas-berkas milik Hiruma. Disusunnya berkas itu sesuai dengan ketebalan dan menyimpannya di loker. Yap, tugasnya sudah selesai. Sambil melepaskan celemek merah mudanya, Mamori mengedarkan pandangan ke ruangan klub ini. Ruangan klub yang agak sempit itu sunyi padahal ada tiga orang di dalamnya; ia, Sena dan Hiruma. Tapi kedua lelaki itu juga sibuk dengan pekerjaannya masing-masing, tidak membuat keributan yang berarti.

Sena terlihat sibuk dengan entah-catatan-apa yang ada di tangannya, Hiruma masihlah setia menarikan jemarinya di atas keyboard VAIO-nya dan Kurita sedang dalam perjalanan membeli camilan untuk mereka—ngomong-ngomong, rapat strategi melawan Oujou akan dimulai setelah kedatangannya.

Dan tanpa disadari Mamori, hari berlalu begitu cepat dan tahu-tahu ini sudah hari keempat semenjak Mamori memutuskan menjadi manajer Deimon Devil Bats.

Sejauh ini tidak ada masalah yang terlalu pelik dengan posisi barunya itu. Hampir semuanya berjalan lancar. Ia bisa menghapal segala aturan mengenai amefuto, juga menjawab dua pertanyaan Hiruma—dua, karena pertanyaan ketiganya tidak kunjung setan itu tanyakan. Membersihkan ruangan juga bukan perkara yang berat, ia sudah biasa bersih-bersih di rumah. Bergaul dengan Kurita juga mudah, toh lelaki berubuh tambun itu sangat ramah. Berinteraksi dengan Hiruma juga tidak sulit—walaupun menyebalkan, ia sudah terbiasa dengan perangai kasar lelaki itu. Mengatur waktu antara komite kedisplinan dan klub amefuto-nya juga bisa ia lakukan. Dalam rapat strategi kemarin dan kemarinnya lagi pun ia bisa menyumbangkan banyak ide. Sejauh ini tidak ada masalah dengan klub barunya itu, sungguh.

Lalu, bukankah itu berarti do'anya dikabulkan Kami-sama? Kenapa di awal tadi disebutkan do'anya tidak bertuah?

Semuanya memang berjalan lancar, tapi ada masalah lain. Masalah yang selama ini tidak pernah terlintas di benak Anezaki muda itu.

Mamori menghela napas dramatis, melirik orang itu dengan tatapan sendu.

.

.

.

1. Hari pertama Mamori Anezaki menjabat menjadi Manajer Deimon Devil Bats

Mamori Anezaki baru saja akan keluar dari ruangan kelasnya saat Ako memanggilnya. Ia melirik ke belakang. "Mamo-chan, kantin yuk!"

Anggota komite itu hanya tersenyum sambil menunjukkan sebuah kotak makan di tangannya."Nanti deh, aku mau mengantarkan bento ini buat Sena."

Gadis itu pun berlalu. Langkahnya yang ringan membawanya ke koridor kelas melirik ke kiri dan ke kanan, mencari siluet adik kelasnya yang berambut cokelat jabrik itu. Ia pun tersenyum lebar, di depan pintu ruangan kelas 1-C, ia bisa melihat orang yang sedari tadi dicarinya.

"Sena!"

.

.

"Sena!"

Sena Kobayakawa berlari. Mendengar suara Mamori yang tengah memanggilnya, lelaki yang baru saja duduk di tingkat awal itu langsung berlari menghindarinya. Sambil melangkah cepat, sesekali ia melirik ke belakang, mencari keberadaan senpai-nya itu. Sena meneguk ludahnya. Sekitar beberapa meter di belakangnya, ia bisa melihat Mamori yang sedang melambaikan tangan ke arahnya. Ia meringis. Mamori-neechan tidak boleh mengikutiku!

Maka dengan menggunakan seluruh potensi kaki emasnya, Sena langsung saja menghilang di antara kerumunan yang tengah memenuhi lorong sekolah, meninggalkan Mamori Anezaki yang tersenyum kosong. Alisnya berkerut. Mau ke mana anak itu?Ah ... pasti semangat murid baru ...

Oke. Nanti saja deh menanyakan kenapa hari ini dia berangkat pagi, dan dengan konklusi itu, Mamori pun kembali menenteng bento itu tanpa merasa aneh sedikit pun dengan langkah cepat Sena yang bak melihat hantu.

.

.

2. Hari kedua Mamori Anezaki menjabat menjadi Manajer Deimon Devil Bats

Bagi Mamori Anezaki, ini adalah hari yang berbeda. Namun pagi hari yang dijalaninya tetaplah sama, hanya berbeda tanggal saja.

Tapi pagi itu, ada reaksi berbeda saat Mamori mendengar suara dering telepon dari ruang tengah. Bukannya bersemangat seperti hari sebelumnya, hari ini ada perasaan tidak mengenakan saat bunyi telepon itu memantul-mantul di langit-langit ruang tengah rumahnya.

"Ohayou gozaimasu, Kediaman Anezaki di sini," sahutnya ragu-ragu. Tangannya memegang kabel telepon dengan gelisah.

"Eh? Mamo-chan, ya? Ini Tante Mihae."

Bahunya langsung saja menegang ketika mendengar suara dari sahabat karib ibunya itu."Ah—halo, Tante. Ada apa?"

"Begini ... Sena hari ini juga sudah berangkat, jadi Mamo-chan tidak perlu menjemputnya."

"Lagi?" tanya Mamori heran. Entah pada siapa. "Eh ... iya, kalau begitu Terima kasih informasinya."

Telepon ditutup.

Dan ketika waktu istirahat tiba, lagi-lagi bento yang dibuatnya untuk Sena menjadi sia-sia. Teman masa kecilnya tidak terlihat di mana pun.

.

.

3. Hari ketiga Mamori Anezaki menjabat menjadi Manajer Deimon Devil Bats

Suatu pagi tiba lagi di daratan Jepang.

Dan satu hubungan telepon dari Mihae Kobayakawa diterima lagi oleh Mamori. Berisikan informasi yang sama; Sena sudah berangkat duluan.

Tidak ada yang salah sebenarnya, hanya saja ... Mamori tidak tahu harus menggambarkan perasaannya dengan kata apa. Ada rasa ingin tahu, cemas dan bingung yang menyelimuti hatinya.

"Kalau begitu, temui saja dia sepulang sekolah. Kalian ada dalam satu klub, 'kan?" Saran dari sang ibu pun ia lakukan.

Setelah diskusi di ruang klub Deimon Devil Bats selesai, Mamori langsung menghampiri Sena yang tengah sibuk dengan buku catatan kecilnya.

"Sena!" panggilnya seramah mungkin. Namun yang dipanggil melirik ke arah lain, ke arah Hiruma yang menunjuknya.

"Cebol Sialan, kemari! Aku mau melihat laporan yang kaubuat!"

Dan kesempatan untuk mengobrol dengan adiknya itu pun lenyap karena beberapa detik kemudian Hiruma sudah memonopoli Sena.

Terus, hingga malam sudah tiba.

Hari ini, Mamori menyerah. Ia pulang dengan harapan; besok mungkin do'anya untuk menjalani hari yang menyenangkan akan dikabulkan.

.

.

.

Pagi hari ini, hari keempat Mamori menjadi manajer, telepon dari Tante Mihae kembali datang. Nada yang sama, kalimat yang sama. Ibunya menimpali dengan nasihat yang sama, pengharapan do'a yang sama juga.

Namun do'a ibunya sama sekali tidak didengar Kami-sama.

Lupakan soal do'anya yang tidak dikabulkan, Mamori malah merasa do'anya diputarbalik sepenuhnya. Alih-alih klubnya menyenangkan dan semuanya berjalan lancar, masalah dengan tega menghimpitnya.

Dan masalah ini terjadi dengan Sena Kobayakawa. Bagi seorang Anezaki muda ini, masalah itu terbilang cukup serius.

Mamori menghela napas lagi.

Iris biru langitnya menatap sendu lelaki berambut cokelat yang kini tengah berbicara pelan dengan Hiruma. Kristal cokelat milik lelaki itu tidak melirik Mamori barang sekali pun, seakan eksistensinya tidak pernah ada.

Dan ini sudah hari keempat Sena Kobayakawa memperlakukannya seperti itu, malah semua kejadian tiga hari yang lalu kembali terulang pada hari ini dan itu jelas membuat Sang Malaikat Deimon itu bingung.

Mamori Anezaki tidak mengerti kenapa adiknya itu mendadak menjaga jarak. Sejauh ini, ia berpikir alasan Sena menjauhinya adalah karena Sena membencinya. Tapi putri tunggal keluarga Anezaki itu tidak mengerti. Kenapa Sena membencinya? Rasa-rasanya ia tidak pernah melakukan hal yang bisa membuat Sena membenci dan menjauhinya. Tetapi ia pun tidak menemukan alasan lain selain itu.

Sena mungkin membencinya, namun terlalu baik hati (atau penakut) untuk mengatakannya langsung. Ya, pasti begitu.pikir Mamori sedih.

"S-Selamat Sore semuanya! Maaf aku terlambat!" Pintu telah digeser dari luar. Ryokan Kurita pun langsung masuk sambil menaruh belanjaannya di ujung ruangan. Sena dan Hiruma pun menyambutnya dengan 'biasa'—Sena dengan gugup mulai membantu dan Hiruma dengan sindiran yang terdengar seperti kau-lama-sekali-Gendut-Sialan. Sementara itu, Mamori masih terdiam di posisinya. Matanya masih menatap Sena lirih, besok aku harus menanyakannya.

.

.

.

Keesokan harinya,

Dan di sinilah ia pagi hari ini. Berdiri celingukan di depan gerbang sekolahnya. Mencoba untuk tidak memerdulikan angin awal musim penghujan yang membuat bulu kuduknya berdiri.

Beberapa murid kelas tiga yang sedang giat-giatnya belajar mulai berdatangan, diikuti dengan segerombolan murid kelas satu yang juga sedang semangat-semangatnya membuka hari di masa SMA. Kemudian yang paling terakhir adalah murid-murid kelas dua yang notabene belum memiliki alasan mendesak untuk belajar.

Bel akan berbunyi beberapa detik lagi dan sampai sekarang Mamori Anezaki belum melihat batang hidung sang adik. Agak heran juga kenapa hari ini dia telat sementara beberapa hari sebelumnya dia selalu datang pagi-pagi sekali.

Mamori masih bersikeras untuk menunggui Sena sampai kemudian suara deritan besi gerbang terdengar. Waktu pelajaran pertama akan segera dimulai. Pada akhirnya, gadis itu memilih untuk masuk ke sekolahnya.

"Yah ..."

Baru saja beberapa langkah ia ambil, di belakangnya ia mendengar suara yang sudah amat dikenalnya sejak lama. Ketika berbalik, ia melihat sosok Hiruma Youichi (yang memasang wajah datar seperti biasa, sama sekali tidak repot-repot berusaha menyapanya) melewatinya begitu saja, sementara di balik gerbang, ia menemukan sang empu suara itu.

Sena Kobayakawa—

"H-hiieee!"

—dan lelaki itu tengah meringis karena dimarahi petugas gerbang karena terlambat. Sebelum ikut kecipratan omelan, sang gadis itu pun berlari seiring dengan bel yang mulai berdentang.

.

.

.

Kali ini aku harus menemui Sena, teguh Mamori Anezaki sambil menunggu bel berbunyi.

Selama hampir satu jam, pensil yang dipegangnya sama sekali tidak bergerak. Buku tulis dihadapannya masih kosong, sementara buku paketnya hanya memperlihatkan halaman indeks. Ekspresinya terbilang serius memerhatikan, akan tetapi penjelasan gurunya mengenai materi statitiska tidak menempel di otaknya. Lah, mendengarkan saja tidak. Mana bisa materi yang terbilang sulit itu mencapai otaknya?

Setiap lima menit sekali gadis itu melirik jam dinding. Matanya fokus pada gerak detik jarum jam yang seakan menghitung mundur menuju waktu istirahat. Refleks, bibirnya menyuarakan detik jam tanpa suara, membuat sang guru matematika berpikir; ah, Anezaki sedang mengerjakan soalnya, serius sekali dia, padahal sebentar lagi bel berbunyi.

Dan saat bel benar-benar berbunyi, ekspresi 'serius' yang diklaim sang guru pun luntur dari wajah Mamori. Wajah sang gadis seperempat blasteran itu nampak cerah luar biasa, tidak nampak sehabis mengerjakan soal latihan super sulit dan itu membuat sang guru kebingungan. (Toh, memang tidak mengerjakan, 'kan?).

Tidak seperti biasanya, gadis itu kini langsung melesat keluar, menghiraukan ajakan makan siang Ako dan Sara—untuk yang keempat kalinya dalam empat hari belakangan ini. Ia juga tidak membawa bekal makanan yang disiapkannya untuk Sena, sudah sangat terburu-buru memburu waktu.

Keluar kelas, berbelok di koridor, turun tangga, berbelok lagi, dan berhenti sejenak untuk mengambil napasnya yang satu-satu. Beberapa siswa tingkat satu mengangguk sopan saat melihat kakak-kelas-yang-katanya-baik-hati-itu. Yang bersangkutan hanya tersenyum simpul sambil melongok ke dalam ruang kelas 1-C.

Namun sejauh bidang pandangnya, kristal biru milik sang gadis tidak melihat keberadaan Sena.

Belum sempat gadis itu menghela napas kecewa, ia dikejutkan dengan tiga sosok adik kelasnya—yang mungkin hendak keluar. Gadis itu pun mundur dan membiarkan tiga orang itu lewat. Namun, baru mereka berjalan beberapa langkah, Mamori pun menyahut, "Hei, kalian."

Ketiganya menoleh dengan kompak, ekspresi terganggu yang ada pada wajah mereka pun serupa."Apa?"

"Maaf mengganggu istirahat kalian. Apa kalian melihat Sena?" tanya Mamori penuh harap. Mendengar nama Sena disebut, ketiganya mendengus tidak suka, kompak sekali. Membuat dalam hati Mamori bertanya-tanya apa hubungan mereka dengan Sena agak buruk.

"Mungkin dia ada di lapangan." Salah satu di antara mereka yang memiliki luka di pipi menjawab dengan ogah-ogahan, kemudian mereka pun berlalu, meninggalkan Mamori Anezaki yang tertegun di ambang pintu kelas mereka.

Di lapangan?

.

.

.

"Dia tidak mengikutimu, kan?"

Sena Kobayakawa mengangguk. Ia memberanikan diri menatap kapten timnya itu. Duh, melihat seringaian Hiruma sudah membuat Sena menciut duluan. Mana mungkin ia bisa menolak permintaan manusia seseram itu?

Kakak kelasnya itu tersenyum lebar, menampakkan giginya yang runcing—oh, apakah hal yang menakutkan itu bisa disebut senyuman? Sena merinding sendiri. Demi menghilangkan ketakutannya, ia mengalihkan perhatiannya pada kakak kelasnya yang lain. Dilihatnya Kurita-senpai yang baik hati sedang sibuk berlatih dengan alatnya sendiri.

Ini kan waktu istirahat dan seharusnya kita beristirahat di kelas, bukan malah latihan amefuto—ayolah, sebelum dan sesudah pulang sekolah juga ada jadwal latihan rahasia, kan? Pikir Sena sambil menundukkan kepalanya. Seharusnya aku sedang memakan bekal buatan Mamori-neechan dengan damai. Tapi ...

"Heh, Cebol! Kenapa kau diam saja? Cepat latihan sana!"

Lihat saja betapa tidak berdayanya ia melawan kakak kelasnya. Bagaimana mau mengeluh—apalagi menolak? Kalimat keluhan tadi saja hanya bisa tersimpan di otaknya, paling beruntung juga sampai di ujung lidahnya. Sena meneguk ludahnya pelan. Pemuda Kobayakawa itu tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi padanya kalau ia sampai mengeluh di hadapan kakak kelasnya itu.

Seandainya saja ada Mamori-neechan ...

Ah, Mamori-neechan.

"H-Hiruma-san, sudah lima hari ini aku menghindari Mamori-neechan dan rasanya tidak enak sekali. Apa aku benar-benar harus menyembunyikan identitasku sebagai eyeshield 21 dari Mamori-neechan?" tanya Sena takut-takut. Hiruma yang baru saja akan memulai latihan lemparannya menoleh sambil mengacungkan AK-47-nya dan tanpa ragu mengarahkannya pada kening Sena.

"E-eh, baiklah, Hiruma-san! Aku mengerti!"

Hiruma menyeringai. Bahasa AK-47-nya memang selalu efektif. "Ke ke ke ke ke, kita mulai latihan hari ini dengan lari seratus keliling!"

.

.

.

Setelah mengucapkan terimakasih pada adik kelas yang memiliki luka di pipinya itu, Mamori Anezaki langsung saja melangkahkan kakinya ke belakang gedung, menuju lapangan. Kenapa sebelumnya tidak terpikirkan, ya?

Waktu istirahat yang hampir usai membuat langkah Mamori Anezaki semakin cepat. Menjawab singkat beberapa sapaan dari beberapa temannya, gadis anggota komite disiplin itu pun langsung melesat ke lapangan—

Namun, langkahnya terhenti saat melihat lelaki yang sedari tadi dicarinya tengah menelungkup di lapangan. Berusaha bangun, namun tak mampu.

—dan itu bukanlah yang ia harapkan saat menemukan Sena.

"Sena!" panggil Mamori histeris setelah kembali menemukan suaranya. Setelah mencapai tempat di mana adik kesayangannya, gadis itu langsung membantunya bangun. "Kau tidak apa-apa?"

Sebelum Sena sempat menjawab, Mamori bisa mendengar ringisan dari mulut lelaki itu. Celananya yang sobek di bagian lutut kanan maupun kiri menunjukkan sedikit luka dan menahan sakit adalah ekspresi yang jelas tergambar di wajah Sena. Hiruma dan Kurita yang tidak jauh dari mereka saling bertukar pandang dalam diam.

"Apa yang sedang kaulakukan? Kenapa kau bisa terluka?" tanya Mamori sambil mengecek bagian tubuh lemah Sena. Hal itu membuatnya tidak menyadari adanya kilatan ancaman pada mata Hiruma yang ditunjukkan pada Sena. Berani membongkar rahasia kita, kubunuh kau.

Sena buru-buru menelan kembali kalimat aku-terjatuh-saat-latihan-lari-tadi dan memaparkan kronologi palsu yang sebisa dan secepat mungkin otaknya hasilkan. "A-aku hanya melaksanakan tugasku sebagai manajer, tapi aku membuat kesalahan lagi, jadi Hiruma-san menghukumku berlari dan aku terjatuh ..."

Mendengar nama Hiruma disebut, gadis itu seakan baru menyadari eksistensinya dan langsung menatap lelaki yang sedari tadi diam itu. Ingatan mengenai peraturan yang dilanggar Hiruma, detensi yang selalu dianggap angin lalu, serta keonaran yang selalu ia buat kini muncul dalam benaknya dan sudah sebisa mungkin ia hadapi itu semua dengan kesabaran. Tapi kini ... lelaki itu mencelakai Sena—orang yang sejak awal ia wanti-wanti pada Hiruma untuk tidak diganggu. Itu semua tanpa sadar sudah menyulut kemarahan Mamori. Rahang gadis itu mendadak mengeras.

"Kau yang memaksa Sena melakukan semua ini?" Pertanyaan dengan nada dingin itu terlontar. Kurita dan Sena saling memandang, uh oh ini akan menjadi buruk sekali.

"Hn."

"Membuatnya menderita selama aku tidak ada?" Pertanyaan dengan nada yang jauh lebih dingin itu terucap. Kurita dan Sena kembali bertelepati lewat kilatan mata, apa yang harus kita lakukan?

"Exactl—"

"Tidak cukupkah kenakalanmu selama ini?" sambar Mamori penuh emosi, cukup membuat bahu Kurita dan Sena menegang karena kaget, astaga—astaga—astaga! Pertengkaran mereka dimulai!

"Hentikan semua perilaku jahatmu!" Oh, Mamori sadar ia tidak pernah semarah ini pada seseorang.

"Semua? Kau yakin semua yang kulakukan itu jahat?"

Dan jelas, sikap innocent—yang lebih mengarah pada ketidakacuhan Hiruma membuat semuanya semakin parah. Mamori melangkah tanpa ragu mendekati Hiruma. Kemarahannya baru saja akan membludak saat ia kemudian merasakan tangan Sena menahannya. Ia menatap lelaki yang lebih pendek darinya itu dengan pandangan bertanya.

"Mamori-neechan, m-maafkan Hiruma-san—" Mamori mendengus, melemparkan pandangan kau-serius-mau-membela-dia pada Sena. "Ini hanya kesalahpahaman kecil..." lanjut Sena dengan suara yang mencicit.

"Tapi dia memang tidak punya hati, Sena!" jerit gadis itu kesal sambil menunjuk muka sudah memerah karena menahan marah.

"Mamori-neechan ..."

Gadis itu memijit pelipisnya, mencoba untuk meredam kemarahan dalam dadanya—walaupun faktanya sangat sulit, "Sudahlah Sena, lebih baik kita obati lukamu—" matanya melirik Hiruma tajam, "Setelah itu aku akan melaporkan dia dan klub mengerikan ini ke kepala sekolah." lanjutnya dengan nada yang sinis. Rasakan!

"Keh, silahkan saja," tantang Hiruma dengan enteng.

"Kau!" Mamori menggeram melihat sikap tenang yang kembali ditampilkan Hiruma. "Kau tidak keberatan kalau aku menutup klub ini sekarang juga?!" tanyanya kesal. Tanpa ia sadari, suaranya meninggi. Amarah kembali menguasai gadis itu.

Lelaki berambut pirang itu hanya mengangkat bahu, bibirnya masih mengunyah permen karet. "Terserah."

Kurita yang sedari tadi diam di belakang Hiruma hanya bisa meringis melihat perilaku temannya itu. Melihat gelagat Mamori yang sepertinya akan menabrakkan bahunya pada Hiruma, lengan besarnya mencoba memegang bahu Hiruma yang sepertinya sengaja diam untuk menerima 'labrakkan' itu. Tapi belum sempat ia menghentikan adu bahu itu—tanpa diduga pihak mana pun, Hiruma sudah berjalan meninggalkan tkp, membuat tiga orang itu sukses membelalakkan matanya tidak percaya.

Gelagapan tidak tahu harus melakukan apa, Kurita hanya bisa membungkuk dalam-dalam sambil berusaha meminta maaf atas kelakuan Hiruma. "Anezaki-san, maafkan Hiruma. Kau tahu 'kan dia bercanda? Sungguh, dia tidak bermaksud begi—"

"Ayo pergi, Gendut Sialan!" Lelaki itu berbalik dan tanpa ampun dia menarik kerah kemeja Kurita, membuat lelaki itu hanya bisa menangis sambil mempertanyakan nasib kenapa dirinya yang sudah baik-baik begini malah berakhir diseret. Dari perempatan yang muncul di pinggir dahi Hiruma, terjawab sudah kalau dia kesal dengan tindakan lembek Kurita. Sudah jelas 'kan aku nggak sudi minta maaf? Ngapain dia minta maaf atas namaku?

.

.

.

Sepeninggal duo pendiri Deimon Devil Bats yang diiringi oleh umpatan Mamori, keadaan menjadi terasa lebih damai. Sama sekali tidak ada tanda-tanda yang menandakan bahwa lapangan ini sempat menjadi tempat pertengkaran antara setan dan malaikat. Luka Sena tidak termasuk hitungan, tentunya. Luka itu terbuat sebelum pertengkaran maha dahsyat itu terjadi, bukan? Kali ini Sena tidak mengambil peran sebagai korban.

Berbicara soal luka, sang malaikat Deimon yang terjebak dalam tubuh manusia itu masih di TKP dan disibukkan dengan memeriksa luka juniornya. Berbanding terbalik dengan kekhawatiran di wajah Mamori, Sena—yang notabene terluka—malah terlihat lebih rileks. Lega. Dalam hati ia bersyukur pertengkaran itu tidak menimbulkan korban. Lebih bersyukur lagi karena rahasianya untuk saat ini tidak terbongkar dan nyawanya masih aman untuk beberapa saat ke depan.

Agak lama keduanya terdiam sampai Sena berinisiatif membuka pembicaraan. "Aku tidak apa-apa Mamori-neechan."

Mamori menatapnya tidak yakin sampai kemudian lelaki di hadapannya itu menggerakkan kakinya. Sinar penuh keyakinan dari mata cokelatnya sedikit-banyak menghilangkan rasa khawatir Mamori. "Yokatta, ayo kita obati dulu lukamu. Aku akan mengantarmu ke UKS."

Perjalanan ke UKS juga tidak banyak dihiasi oleh percakapan. Malah percakapan super ramai terjadi di sepanjang perjalanan mereka menuju UKS. Banyak siswa tingkat dua dan tiga yang membicarakan Mamori 'baik hati' Anezaki dan siapa yang hari ini beruntung mendapatkan pertolongannya. Gadis itu tidak menyadarinya karena sibuk membantu Sena berjalan menuju ruang kesehatan, sementara yang dipapah hanya bisa menunduk kikuk lantaran menjadi pusat perhatian mendadak.

Sesampainya di ruang kesehatan, Mamori sigap mengambil kotak obat dan membersihkan luka di kedua lutut Sena yang sudah duduk di pinggir ranjang. Mamori membersihkan luka itu dengan hati-hati, seakan sedikit sentuhan yang salah bisa membuat luka itu semakin parah. Sena memandang pelindungnya itu dengan tatapan ragu. Bibirnya ingin mengatakan sesuatu, namun sekali lagi kalimat itu tertahan di ujung tenggorokkannya.

"Jadi ... bisa kauceritakan kenapa kau bisa terluka?" tanya Mamori sambil menatap juniornya penuh afeksi. Melihat tatapan itu, Sena merasa bahwa saat ini bukanlah timing-nya untuk mengatakan sesuatu.

"Ya seperti yang kubilang sedang menjalani hukuman dari—" melihat perubahan ekspresi Mamori, Sena meralat kalimatnya, "eh, kemudian berlari dan terjatuh."

Mamori hanya menggumam tidak jelas atas respons penjelasan Sena. Ia tidak menginterogasi lebih lanjut karena selanjutnya ia mengingat sebuah topik yang sejak beberapa hari yang lalu ingin ia tanyakan. Namun bibirnya mendadak terasa kaku. Matanya bergerak gelisah. Pikirannya menimbang-nimbang apakah ini saat yang tepat atau tidak.

"Apakah kau membenciku?"

Lupakan timing, Mamori lebih memilih mengambil kesempatan yang katanya tidak datang dua kali itu. Matanya menatap iris cokelat hazelnut Sena, berusaha membaca pikiran lelaki yang selama ini ia lindungi. Namun nyatanya, ia tidak bisa membaca pikiran Sena dan diamnya lelaki itu membuatnya tercabik antara keingintahuan dan rasa takut yang besar.

Bagaimana kalau ternyata Sena memang membenciku?

Mata safir yang biasanya bersinar kini meredup. Jemarinya bertautan dan tanpa ampun gelisah yang selama beberapa hari terakhir ini dipendamnya kini meluap dan mengaliri setiap jengkal tubuhnya.

Dan ...

"Tidak," jawab putra satu-satunya keluarga Kobayakawa itu lugas. Lelaki itu tersenyum kecil pada Mamori yang nampaknya kaget dengan jawaban itu. Tapi sekali lagi, sinar penuh keyakinan dari mata cokelatnya itu berhasil meyakinkan Mamori.

Gadis itu kemudian menunduk seraya menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Pundaknya lemas seketika. "Syukurlah ... Kau membuatku takut, Sena!"

"Heee? Memang apa yang kulakukan?" tanya Sena dengan polosnya.

Mendengar pertanyaan dengan nada tanpa dosa itu membuat Mamori menurunkan kedua tangannya dan memandang lelaki itu gusar. "Beberapa hari ini kau menghindariku, 'kan? Kupikir kau membenciku!"

Ekspresi Sena sedikit mengeras saat pertanyaan itu diajukan kakak kelasnya. Ternyata Mamori sudah mulai curiga dengan sikapnya yang menjaga jarak. Sena menghela napas. Demi apapun, ia sebenarnya sudah tidak tahan dengan rahasia itu dan ingin sekali membaginya dengan perempuan yang sudah ia anggap sebagai kakak perempuannya itu. Akan tetapi suara letusan senjata AK-47 yang tiba-tiba muncul dalam kepalanya membuatnya sadar kalau sekarang bukanlah saat yang tepat.

"A-aku tidak menghindari Mamori-neechan, kok." Kebohongan pertama.

"Aku hanya sedang banyak pr." Ia melanjutkan dengan mencetak kebohongan kedua.

"Biasa, lah. Murid tahun pertama selalu banyak tugas, hehehehe." Kebohongan ketiga, tahun pertama di Deimon malah sepi tugas, berbeda dengan tahun kedua dan ketiga yang sudah mepet ke persiapan masuk universitas.

Sena menutup akting awkward-nya dengan tawa yang sama awkward-nya juga. Tapi ajaibnya Mamori hanya membuang napas lega, percaya mentah-mentah pada tiga kebohongan yang dibuat secara impulsif itu.

"Ne, Mamori-neechan," sahut Sena.

"Ya?"

Setelah menimbang-nimbang, akhirnya ia pun menanyakan pertanyaan yang sedari tadi bergaung dalam pikirannya. "Mamori-neechan tidak akan melaporkan kejadian tadi ke kepala sekolah, kan?"

Wajah penuh kelegaan Mamori tadi kini berubah menjadi kesal dalam sekejap. Mamori memutar bola matanya keki. Itu saja sebenarnya cukup untuk membuat Sena menelan paksa kata 'tidak' atas pertanyaannya. Tapi rupanya gadis itu masih berbaik hati memberikan argumen, "Setelah kejadian tadi? Hmph, aku pasti akan melaporkannya! Kupikir setelah kemarin aku memberikannya kesempatan**, dia akan berubah. Tapi? Lihat, kau terluka. Ini sudah kelewatan!"

"Hiruma-san orang yang baik, kok," bela Sena. Entah setan macam apa yang merasukinya. Suruhannya Hiruma, mungkin?

"Baik apanya? Yang selama ini dia lakukan hanya melanggar tata tertib dan mengancam orang!" timpal Mamori ketus. Melihat Sena yang masih teguh dengan kalimatnya, Mamori pun menghela napas. "Oke, coba katakan satuuu saja hal baik yang dimiliki orang-tanpa-hati seperti dia," tantang Mamori.

"Kurita-san pernah berkata padaku bahwa Hiruma-san tidak pernah menyerah soal mimpinya untuk membawa timnya ke Christmast Bowl. Kurita-san selalu merasakan bahwa dibalik sikap Hiruma yang seperti itu, ia yakin Hiruma-san sangat menghormati mimpi teman-temannya. Mana mungkin orang yang seperti itu tidak memiliki hati, kan? Lagipula, Kurita-san kan orang yang sangat baik, mana mungkin dia berbohong? Mamori-neechan, aku percaya pada Kurita-san. Jadi ... mohon pertimbangkan lagi, y-ya?"

Duh, jangankan mempertimbangkan keputusannya, mendengar nama Hiruma disebut empat kali dalam semenit saja sudah membuatnya memutar bola matanya kesal.

.

.

.

"Kalian harus tahu bahwa dunia sastra Jepang ini tidak lepas dari jasa orang-orang terampil yang kita sering sebut penulis. Kalian tahu kenapa karya penulis itu sangat dihargai?" tanya guru mata pelajaran sastra di kelas Mamori.

Waktu istirahat sudah yang telah melaporkan insiden tadi ke kepala sekolah juga sudah bergabung dengan teman sekelasnya. Kali ini mereka sedang mendengarkan penjelasan awal semester guru mereka. Guru yang sudah beruban itu mengedarkan pandangannya ke seluruh kelas. Wajahnya yang cerah tampak semangat membawakan materi awal di semester ganjil ini, membuat kantuk hilang dari wajah murid-muridnya. Ia tersenyum, melanjutkan.

"Sebuah karya yang baik dari seorang penulis itu dihasilkan dari proses pemikiran yang panjang. Bahkan tak jarang penulis melakukan riset untuk membuat karyanya terasa nyata. Tapi, apakah kalian tahu apa unsur yang paling memengaruhi bagus atau tidaknya suatu karya?" tanyanya lagi. Berbeda dengan tadi, kali ini pertanyaannya mendapat respon.

Salah satu siswa yang duduk di ujung, Matsuyama, mengacungkan tangannya. Senyuman jahil terukir di wajahnya. Ia menjawab dengan keras. "Cinta, Pak!"

Sekelas pun tergelak akibat jawaban ceplas-ceplos itu. Siswa-siswa lelaki kemudian menyoraki Matsuyama yang hanya nyengir.

Guru itu pun ikut tertawa, membuat gelambir di dagunya bergoyang. "Hahaha, kau benar, Matsuyama."

Kalimat dari gurunya itu membuat sekelas terdiam sambil berpandangan, agak sangsi. Matsuyama yang menjawab tadi pun membulatkan matanya, ikut menatap gurunya dengan pandangan bertanya, benarkah? Tadi 'kan aku cuman melawak ...

Guru itu mengangguk. "Sebuah karya yang baik pastinya mengandung cinta di dalamnya. Bisa cinta dalam arti denotatif, bisa juga dalam arti yang konotatif. Keduanya sama saja. Tapi yang paling penting tentulah cinta dari si pembuatnya. Coba saja kalian bayangkan, sebuah karya yang tidak ditulis dengan cinta penulisnya pasti tidak akan menjadi karya yang bisa menyentuh hati para pembacanya. Maka dari itu, benar jawaban Matsuyama. Unsur yang paling memengaruhi bagus atau tidaknya suatu karya adalah cinta."

Ia berdehem sedikit, kemudian melanjutkan, "Oleh karena itu, untuk membuka semester awal ini, saya akan memberikan tugas untuk kalian."

Mendengar kata tugas, semua murid pun refleks mengerang. Kesan menyenangkan dari pelajaran sastra tadi langsung menguap begitu saja. Guru mereka kembali tergelak melihat ekspresi murid-muridnya. "Tidak sulit, kok. Keningmu jangan berkerut seperti itu, Matsuyama. Tadi saja kau bisa menjawab pertanyaan saya, pastilah tugas ini juga bisa kaukerjakan."

Yang disebut namanya kemudian cemberut, agak menyesal karena sudah menjawab pertanyaan sensei-nya itu.

"Nah, tugasnya adalah membuat sebuah esai singkat mengenai 'cinta'. Saya tidak akan membatasi kalian, silahkan interpretasikan 'cinta' menurut diri kalian masing-masing. Setelah itu, baru saya bisa menyimpulkan sejauh mana pemahaman kalian tentang 'cinta' dan bagaimana tugas yang cocok untuk kalian ke depannya. Tugasnya dikumpulkan di pertemuan lusa, terima kasih anak-anak. Sampai jumpa lusa."

"Makasih, sensei!"

Dan setelah itu ruangan kelas yang sudah ditinggalkan gurunya pun langsung ramai. Beberapa siswa masih saja mengeluhkan tugas yang baru diberikan, yang lain langsung membuka forum percakapan, sebagian lain menggunakan waktu kosong ini untuk tidur, yang lainnya lagi sudah sibuk dengan ponsel mereka.

Mamori sendiri termasuk ke golongan terakhir. Ia kini sedang mengutak-atik ponsel merah mudanya. Daritadi ia tidak fokus pada materi yang sedang diajarkan. Pikirannya terapung jauh pada luka di lutut Sena. Walaupun ia sudah mengobati lukanya, tapi tetap saja ... ia harus memastikan kalau Sena baik-baik saja.

Saking seriusnya, gadis itu tidak menyadari keramaian di kelasnya mendadak terhenti. Helaan napas saja bahkan tidak bisa terdengar.

Buk

"Eh?" gumam Mamori heran saat melihat setumpuk arsip berkaver biru muda dijatuhkan ke meja. Ia mendongak dan melihat wajah yang berada di urutan pertama dari daftar orang-yang-paling-menyebalkan-yang-pernah-ada-di-muka-bumi. Wajah yang juga berhasil membungkam mulut-mulut yang sedari tadi sibuk mengoceh.

Yep. Siapa lagi kalau bukan Hiruma Youichi?

Lelaki itu tengah menatapnya bosan, seakan kedatangannya itu terpaksa. Idih, siapa juga yang ingin didatangi setan macam dia? pikir Mamori sebal. Gadis beriris biru secerah langit itu mengalihkan pandangannya, enggan sekali menatap Hiruma.

Tapi tetap saja dari ujung matanya, ia bisa melihat lelaki itu menaruh pesawat kertas di atas arsip tebal itu. Mamori mengambilnya dengan cepat—semakin cepat ia bertindak, semakin cepat urusan ini selesai, setidaknya itulah yang Mamori pikirkan. Di dalamnya ada sebuah pesan—seperti biasa***.

.


Ini kerjaan pertama lo.


.

"Udah ngerti?" Hiruma memecah keheningan di antara mereka.

"Apaan?" tanya Mamori datar. Gadis berambut sebahu itu mengernyit, menatap tidak suka pada arsip-arsip tebal di atas bangkunya. Firasat buruk menghampirinya.

"Ini kerjaan lo, Kuso Mane," jawab Hiruma dengan penuh penekanan. Nada bicaranya terdengar ogah-ogahan.

Mamori mengerjap, kedua kristal safirnya menatap Hiruma heran. "Kerjaan apa?"

"Kau belum terlalu bodoh untuk lupa posisimu sebagai Manajer Sialan, kan, Cewek Cerewet?" Hiruma malah berbalik bertanya, nada sarkastik masih saja terselip dari ucapannya.

"Manajer?" tanya Mamori dengan nada apa-kau-sudah-lupa. Gadis itu tertawa kecil sebelum melanjutkan, "apa maksudmu? Sebentar lagi klubnya juga kan akan ditutup."

"Kau bodoh, ya?" hina Hiruma tanpa berniat menyensor kalimatnya. Mamori meliriknya kesal.

"Belum ada verifikasi soal penutupan klub amefuto. Dan dari tingkahmu ..." lanjut Hiruma sambil menatap Mamori, meremehkan, "Heee, kau yakin sekali kepala sekolah sialan itu akan mengabulkan permintaanmu. Dasar Bodoh, itu tidak mungkin! Ke ke ke ke!"

"Tapi—"

"Cerewet! Aku nggak mau tau, besok laporan itu harus ada di meja club jam 15. 35 tepat. Kau telat atau tidak mengumpulkan, kulempar Sena ke kandang Cerberus!" potong Hiruma tegas. Setelah bertukar pelototan, lelaki itu pun berlalu dengan AK-47-nya.

Belum sempat Mamori menghela napas, satu lagi pesawat kertas sudah mendarat di bangku tidak sabaran gadis itu mengurai lipatannya.

.


Rasakan! :P

Ke ke ke ke ke!


.

"KAU—!"Gadis itu mendengus tidak percaya, kemudian meremas pesawat kertas sudah siap memuntahkan rasa kesalnya sebelum kemudian menyadari bahwa sosok tinggi itu sudah hilang dari hadapannya.

Meninggalkannya dengan rasa jengkel yang sudah mencapai ubun-ubun kepala.

.

.

Tanpa disadari, satu hari sudah hampir berlalu berjalan begitu cepat hingga rotasi bumi pun hampir tidak terasa. Saat tadi sang raja siang masih bersinar cerah di atas kepala, kini benda yang menjadi titik pusat dalam teori heliosentris itu mengambil posisi miring. Sinarnya yang keemasan itu tidak sepenuhnya dapat mencapai bumi. Segerombolan awan mendung tebal tengah berarak di sekitarnya, menutupi sebagian besar bola panas itu, membuat bumi di bawahnya minim cahaya.

Sesore ini, sebagian besar siswa-siswi SMA Deimon sudah mulai berkemas dan pulang ke rumah masing-masing. Sebagian kecil mungkin terpaksa tinggal lebih lama di sekolah karena kegiatan ekstrakurikuler, sebagian lainnya mungkin saja enggan pulang karena ada urusan lain. Lembaga pendidikan tingkat menengah atas itu pun kini praktis berisikan beberapa orang saja.

Hal itu juga berlaku untuk perpustakaan—oh, apalagi perpustakaan. Di dalamnya mungkin berisi seribuan buku, tetapi homo sapiens di dalamnya hanya tinggal tiga orang saja; sang penjaga perpustakaan dan dua orang murid yang sama-sama berada di tingkat dua.

Salah satu dari murid itu adalah Mamori Anezaki. Gadis itu berjalan menyisiri rak-rak penyimpanan buku. Sesekali jemarinya ikut menelusuri buku-buku tersebut, merasakan tekstur halus berlapis debu yang menempel di pinggirnya. Remangnya ruangan tidak membuat langkahnya terhenti. Pikirannya sedang melayang kepada tugas yang diberikan gurunya tadi siang dan berada di sinilah ia untuk mencari jalan keluarnya.

Cinta.

Ia harus menulis esai tentang cinta dan sayangnya, otak cerdasnya kurang familiar dengan kata itu; hatinya apalagi. Hidup selama tujuh belas tahun tanpa pengalaman berpacaran membuatnya merasa asing dengan hal itu. Tidak tahu harus bertanya kepada siapa, logika gadis itu menuntunnya ke perpustakaan. Masa' sih dari seribuan buku tidak ada satu pun yang bisa membantuku menyelesaikan tugas ini? pikirnya.

Aha. Tugas. Kata itu seperti mendendangkan sesuatu dalam otaknya yang berkaitan dengan setan berambut jabrik itu. Helaan napas kemudian terdengar. Pelan, sebenarnya, tapi ya di ruangan sunyi seperti ini, suara di bawah 40 desibel seperti itu masih bisa terdengar.

Menghiraukan suara 'ssh' dari ibu penjaga perpustakaan yang terkenal galak itu, ia melangkah ke rak bagian novel dan mengambil dua buku secara acak. Melewatkan kesempatan untuk menemukan bacaan yang menghibur, ia langsung melangkah menuju meja peminjaman. Hatinya sudah terlalu lelah (mengeluh, mengutuk, mencaci maki lelaki itu) dan itu membuat organ lain di tubuhnya merasakan hal yang sama. Mamori memijit pelipisnya. Ia ingin segera pulang dan menyelesaikan semua tugas-tugasnya.

"Kurita-kun?" panggil Mamori refleks saat melihat lineman Deimon Devil Bats yang sedang berdiri di dekat meja peminjaman. Oh, meminjam buku juga, rupanya.

"Tugas sastra, kukira?" tebak Kurita saat melihat dua buah novel bergenre roman di tangan Mamori. Gadis itu mengangguk, tidak berniat untuk memperpanjang percakapan. Akan tetapi lelaki di hadapannya tidak berniat melakukan hal yang sama. Ia berkata ringan, "Sulit ya menjadi orang tanpa pengalaman sepertiku ini."

"Seperti kita," koreksi Mamori sambil tersenyum geli dan Kurita pun mengangguk setuju.

"Aku baru tahu kalau jomblo bisa berpengaruh pada pelajaran. Sebaiknya kita harus mulai mencari pacar sebelum mendapatkan nilai jelek. Sudah jomblo, remidial pula. Itu menyedihkan banget." Gadis itu berkelakar, membuat tawa kecil mereka terdengar. Mood Mamori sedikit terangkat.

Ya, mengobrol dengan teman yang menyenangkan seperti Kurita bisa membuat suasana hati menjadi lebih baik, bukan? ("Tidak seperti seseorang yang menyebalkan seperti dia itu." batin Mamori jengkel).

Giliran Kurita sudah selesai ketika Mamori meletakkan dua novelnya untuk didata. Lelaki bertubuh besar itu berkata, "Apa setelah ini Anezaki-san sibuk? Ada hal yang ingin kubicarakan."

Mamori menggelengkan kepalanya, kemudian berterima kasih pada ibu petugas perpustakaan yang telah memproses peminjaman bukunya. Keduanya pun beranjak dari perpustakaan dan berdiri di beranda gedung itu.

Gerimis sudah mulai membasahi bumi, ternyata. Iris biru terang Mamori sedikit berkilat senang. Ada keinginan yang besar untuk berlarian di bawah guyuran hujan gerimis itu. Siapa tahu dinginnya air hujan bisa mendinginkan pikirannya. Akan tetapi keberadaan lelaki berpipi tembam di hadapannya membuatnya mengurungkan niat kekanak-kanakkannya itu. Dalam hati Mamori bertanya-tanya apa yang hendak Kurita bicarakan.

Seakan dapat membaca pikiran Mamori, lelaki itu pun membuka pembicaraan dengan suara pelan. "B-begini, ini soal kejadian tadi siang ... Aku harap Anezaki-san bisa mengerti sikap keras Hiruma."

Gadis itu menoleh dan mendapati tatapan serius raksasa berhati lembut itu menatapnya penuh harap. Kenapa sih semua orang membela dia? pemikiran itu masuk saja ke dalam otaknya, membuat pikirannya semakin keruh oleh rasa tidak suka.

Sebisa mungkin ia bersikap sopan dan menahan keinginannya untuk mendengus di depan pria sebaik Kurita. "Aku malah ingin orang sebaik Kurita-kun bisa berteman dengan orang macam Hiruma, sih? Aku tidak mengerti kenapa kau bisa tahan dengannya."

Mendengar nada tidak suka saat menyebutkan nama sahabatnya, Kurita hanya tersenyum maklum. "Kurasa Hiruma tidak sejahat seperti yang orang lain nilai. Kalau kita sudah dekat dengannya, kita pasti berubah pikiran."

"Benarkah?" tanya Mamori setengah malas, sudah tidak terkejut dengan pembelaan Kurita terhadap sahabat karibnya itu.

"Aku sudah mengenalnya sejak lama sekali, Anezaki-san. Dan sampai sejauh ini penilaianku padanya tidak pernah salah. Kuharap Anezaki-san mau melihat Hiruma dari sisi yang lain. Nanti pasti kau akan mengerti alasan kenapa aku bisa tahan dengannya," paparnya dengan pandangan menerawang dan senyuman lembut. Ia pun melirik hati-hati gadis yang terdiam di sebelahnya itu.

"Dan soal penutupan klub amefuto, tak bisakah Anezaki-san mempertimbangkannya lagi?"

.

.

.

"Kenapa Setan itu selalu banyak yang membela, sih?" Merasa tidak berdaya, Mamori hanya bisa menggerutu sambil menjatuhkan kepalanya ke atas meja. Bibirnya mengerucut, jemarinya dengan lemas menelusuri tumpukan kertas di hadapannya.

Ia sudah kembali dari perpustakaan dengan buku yang dibutuhkannya. Tapi, mood-nya tidak berubah. Semakin BT, malah. Di luar hujan semakin deras dan karena payungnya ada di kelas, praktis saat perjalanan kembali ke kelas ia pun kehujanan.

Ia menolak tawaran baik hati Kurita yang ingin meminjamkan blazer-nya—Mamori merasa lelaki baik seperti Kurita tidak pantas untuk kehujanan. Dan beginilah akhirnya; seragamnya kini basah, membuat dingin merambati kulitnya. Pembicaraan singkat dengan Kurita yang baik hati itu pun tidak bisa memutarbalikkan suasana hatinya. Mendengar nama Hiruma yang dibicarakan Kurita tadi membuat Mamori terus mengumpat pelan. Untung saja kelas sudah kosong, hanya bangkunya saja yang masih berantakkan.

"Pr banyak ... nambah tugas dari Hiruma pula! Apa hidupku tidak bisa lebih sial dari ini?" keluhnya pelan. Seakan mengejek, hujan di luar sana turun semakin deras. Dahi Mamori mengerut. Belum sempat ia mengerjakan tugas 'super sulit' dari gurunya, ia juga harus menuntaskan tugas pertama dari setan yang menyebalkan itu, ditambah lagi sekarang ia tidak bisa pulang karena intesitas hujan yang semakin tinggi.

Mamori menghela napas, refleks melirik tumpukan data pertandingan Oujou White Knights. Matanya menyipit tidak suka, tangannya mengetuk-ngetuk permukaan halus meja dan wajahnya—jelas—menunjukkan keengganan.

Tes tes tes

Suara tetesan hujan membangunkan Mamori dari lamunannya. Ia mengangkat kepalanya dan mengerjapkan matanya pelan, kenapa suaranya begitu dekat?

Gadis itu bangkit dari tempat duduknya untuk kemudian menyadari salah satu jendela kelasnya terbuka. Dengan lemas, calon siswi teladan SMA Deimon itu menghampiri jendela yang terletak di sebelah kiri ruangan. Di sekitar jendela itu, ia bisa melihat air yang mulai menggenang di lantai.

Saat ia hendak meraih pengait jendela, secara tak sengaja ia melirik ke bawah—ke arah lapangan. Dan Mamori tertegun. Rasanya ia tidak bisa memercayai apa yang dilihatnya.

Lihatlah, di bawah sana, kala langit sedang sibuk menumpahkan air matanya, lelaki itu—ya, Hiruma Youichi yang itu tengah melemparkan bola amefuto ke arah papan target yang ditentukan.

Tidak ada yang aneh dengan pemandangan itu, sebenarnya. Semenjak masuk SMA Deimon dan bertemu Hiruma, ia sering sekali melihat pemain amefuto yang berlatih keras walaupun dalam cuaca yang sekali, malah.

Namun, karena kejadian tadi siang dan kini melihat Hiruma yang masih saja berlatih keras membuat pikirannya mau tak mau berubah.

Jemarinya mencengkram erat kusen terkatup rapat.

"Dia itu ..."

Dari posisinya saat ini, Mamori bisa melihat ekspresi Hiruma. Berbeda dengan biasanya, kali ini lelaki itu menampilkan sisi lain dirinya—serius, bekerja keras, dan tidak mau menyerah. Sisi lain dari Sang Komandan yang sebelumnya tidak pernah gadis itu lihat. (Atau tidak pernah ia mau akui, mungkin?)

Apa maksudnya ini?

Kenapa dia keras kepala seperti ini?

Kenapa dia tetap latihan walau tahu lusa klubnya akan ditutup?

Mamori mengerjapkan matanya.


"Hentikan semua perilaku jahatmu!"

"Semua? Kau yakin semua yang kulakukan itu jahat?"

"Mamori-neechan, maafkan Hiruma-san. Ini hanya kesalahpahaman kecil."

"Tapi dia memang tidak punya hati, Sena!"


.


"Kurita-san pernah berkata padaku bahwa Hiruma-san tidak pernah menyerah soal mimpinya untuk membawa timnya ke Christmast Bowl. Kurita-san selalu merasakan bahwa di balik sikap Hiruma-san yang seperti itu, ia yakin Hiruma-san sangat menghormati mimpi teman-temannya. Mana mungkin orang yang seperti itu tidak memiliki hati, kan? Aku percaya pada Kurita-san."


.


"Aku sudah mengenalnya sejak lama sekali, Anezaki-san. Dan penilaianku padanya tidak pernah salah. Kuharap Anezaki-san mau melihat Hiruma dari sisi yang lain. Nanti pasti kau akan mengerti alasan kenapa aku bisa tahan dengannya."


.

Tidak punya hati, eh? Mamori tertawa hambar, menggelengkan kepalanya pelan.

"Aku salah menilai orang, nih." Mamori bergumam sendiri—suaranya terdengar lirih. Tanpa disadari, ia mulai memijit pelipisnya sambil melirik lagi lelaki yang ada di bawah sana. Lelaki itu kini terlihat berlari mengejar bolanya. Samar-samar Mamori bisa mendengar umpatan semacam, 'Cih, jangan menggelinding terlalu jauh, bola sialan!'

Hal itu—dan mungkin hal lainnya—membuat lengkungan mulai terbentuk di wajah Mamori. Tanpa takut ketahuan atau semacamnya, Mamori tetap berdiri di situ, bahkan kini tangannya sudah menopang dagunya dengan nyaman. Tingkahnya macam orang yang sedang menonton pertunjukan saja.

Dan seakan menjadi keberuntungan pertama Mamori, Hiruma terlihat sama sekali tidak menyadari keberadaan gadis itu. Ia asyik berlatih, mengabaikan hujan yang sudah membasahi seragamnya, mengabaikan detik sang waktu yang terus melaju. Namun, bagi mereka berdua, waktu berlalu begitu lambat. Ditambah lagi rintikan hujan yang syahdu membawa keduanya terlarut dalam pikiran masing-masing hingga membuat tak sadar bahwa matahari sudah hampir terbenam.

Dalam jangka waktu itu, Mamori telah merenungkan banyak hal. Terutama segala yang terjadi di antara dirinya dan Hiruma. Sekarang ia bisa menilai Hiruma dari sisi yang berbeda, bukan dari satu sisi—benci—seperti biasanya. Pikirannya lebih terbuka, dan hatinya jelas bisa mempertimbangkan segala perlakuan Hiruma padanya.

Dan di atas segalanya, ia merasa begitu lega.

Bersamaan dengan datangnya rasa 'damai' itu, sebuah senyuman muncul di wajah ayu gadis itu. Ia melirik Hiruma yang masih bersikeras berlatih sendirian.

"Ah! Aku tahu apa yang akan kutulis untuk esai nanti."

Mamori hanya mengangguk kemudian menutup jendela kelasnya. Berniat pulang menembus hujan dan mengerjakan semua tugasnya.

.

—Esoknya, sore, Clubhouse Deimon Devil Bats—

.

15. 34

"Cih."Hiruma Youichi mendecih, ekspresi wajahnya dingin—bad mood, sepertinya. Sesekali ia melirik pintu abu clubhouse yang sampai saat ini belum terbuka.

15. 36

"Ke ke ke ke, Si Cerewet itu terlambat!" Hiruma menyeringai puas dan kemudian berbalik ke arah loker untuk mengganti bajunya. Ia sempat melirik bagian atas lokernya yang kosong, tidak ada satu pun permen mint yang tersisa. Sial, aku lupa ke Sun-Sun.

Latihan akan dimulai empat belas menit lagi dan sebagai kapten yang baik, ia pun sesegera mungkin memersiapkan diri dan mengenyampingkan urusan permen karet itu. Sambil bersiul, lelaki berperawakan ramping itu melepaskan kemejanya dan ketika tangannya hendak meraih seragam amefuto merahnya—

Srek

Dalam sepersekian detik, pintu silver di belakangnya itu terbuka dengan cepat, tidak menyisakan waktu bagi Hiruma untuk menutupi badan bagian atasnya—

"Hiru—"

Dan ya, tidak juga memberikan waktu bagi Mamori Anezaki untuk sekedar menyadari bahwa kaptennya itu sedang berganti pakaian..

.

.

"—KYAA—!"

"KAU!"

"—ma-maaf!" pekik Mamori sambil membalikkan badannya. Sontak pipinya bersemu merah, sementara dalam hati ia sudah merutuki kesalahannya yang tidak mengetuk pintu terlebih dahulu.

"Mau ngapain datang ke sini? Bukannya kemarin kau bilang mau menutup klub ini?" sindir Hiruma ketus, jemarinya pun cekatan memakai seragam merahnya.

"A-aku datang untuk menjelaskan hal itu! Lagipula kau kan yang menyuruhku datang ke sini jam 15.35," kata Mamori membela dirinya sendiri. Pikirannya terasa kacau karena kejadian memalukan tadi.

"Ini sudah 15.37, Kuso Mane. Kau terlambat." Hiruma mengelaborasi hal yang sudah gadis itu ketahui.

"Gomen," sahut Mamori sambil menggaruk pipinya yang terasa panas. "S-sudah?" tanya Mamori ragu. Wajahnya sudah tak keruan lagi.

"Sudah apanya?" Hiruma membalikkan pertanyaan dengan nada serius. Sungguh berbeda dengan seringai geli yang terpahat di wajah tampannya.

"G-ganti pakaiannya!" pekik Mamori malu. Ia menggelengkan kepalanya, berusaha menyingkirkan citra yang matanya tadi tangkap.

"Hn."

Mamori kemudian berbalik, tapi tidak berani mengangkat kepalanya.

"Kau sih telat. Pakai tidak mengetuk pintu segala lagi," tegur Hiruma sambil mengintimidasi lawan bicaranya dengan tatapan tajam.

"Ma-maaf ..." Suara gadis itu semakin mengecil saja. Ekspresi wajahnya terlihat menyesal.

Tak kuasa menahan tawa akibat ekspresi menggelikan teman seangkatannya, Hiruma buru-buru berkata, "Cih, 'maaf, maaf', menjijikan. Cepat katakan apa yang mau kaukatakan!"

Mamori menelan ludahnya, kemudian memberanikan diri mendongak dan menatap bola mata hijau cemerlang milik Hiruma. "B-begini, kurasa keputusanku kemarin terlalu gegabah. Seharusnya aku tidak berkata seperti itu ... dan untuk ucapanku kemarin, kurasa aku harus menarik ulang semuanya."

Melihat lawan bicaranya hanya diam saja, Malaikat Deimon yang satu itu melanjutkan, "Maafkan aku, Hiruma-kun."

"Hn. Terserah lah. Berikan laporannya!"

Kalimat Hiruma barusan seperti menyadarkan Mamori akan eksistensi map biru dan bungkusan cokelat yang sedari tadi ada dalam pelukannya. Dengan wajah (dan pikiran) yang bingung, Mamori menyerahkan map biru itu ke tangan Hiruma.

"Ke ke ke ke, kau membuatnya? Ternyata kau penurut juga, ya?"

Mamori tidak merespons. Gadis itu hanya diam di tempatnya sambil sesekali melirik Hiruma. Ekspresinya seakan sedang menghadapi dosen killer yang tengah memeriksa skripsinya. Hiruma sendiri terlihat lebih tenang dengan kaki yang diletakkan di atas meja dan jemari yang ringan membolak-balikkan hasil pekerjaan Mamori.

"Bagaimana?"

...

Buk

Hiruma melemparkan map biru ke atas meja di depannya. Lemparannya tidak berlebihan, tepat di tengah meja—menunjukkan kualitasnya sebagai 'pelempar'. Akan tetapi Mamori yang kaget hampir saja memekik dan merutuki Hiruma (dalam hati, tentunya) karena telah membuatnya hampir terkena serangan jantung ringan.

Mamori mengerjap khawatir. Apakah laporan buatanku segitu buruknya sampai dilempar segala? Aduh, pemikiran buruk Mamori semakin terbukti saat melihat lelaki itu menyeringai—seringai yang dikenal Mamori sebagai salah satu seringai pertanda hal buruk.

"Lumayan."

Satu kata dari Hiruma itu membuat Mamori rekfleks menggumamkan yokatta pelan. Kelegaannya sama sekali tidak disembunyikan. Kini, setelah beberapa menit terakhir ia hanya bisa tegang dan tegang, akhirnya bibirnya bisa menggurat senyum lega.

"Ke ke ke ke! Jangan senang dulu!" Melihat gelagat Mamori yang senang karena melewati tantangan dari Hiruma, ada rasa gatal di lidah lelaki beranting itu untuk menghancurkan kebahagiaan perempuan di hadapannya. Dan sesuai yang diharapkannya, ekspresi Mamori berubah layu. Gadis itu langsung cemberut.

"Besok sepulang sekolah langsung datang ke sini, ada video yang harus kau edit. Dan jangan berani telat lagi atau Sena benar-benar akan kulempar ke kandang Cerberus!"

Mamori mengangguk semangat—masih senang karena pekerjaannya dinilai tidak terlalu buruk, tidak begitu memerhatikan ancaman yang Hiruma katakan. "Oke—ah ya, ini." Ia pun meletakkan bungkusan coklat di meja klub.

Hiruma tidak berkata apa-apa, tidak juga mencoba melihat apa isinya. Matanya menyipit curiga pada kertas cokelat di hadapannya.

"Tadi sebelum ke sini aku mampir ke Sun-Sun dulu. Kupikir stok permen karetmu habis, jadi kubelikan dulu."

Melihat gelagat Hiruma yang hendak menyela, Mamori buru-buru menambahkan, "dan—ah, tidak usah diganti." Kemudian tersenyum riang pada lelaki di hadapannya.

Hiruma mendecih—lebih ke menahan tawa, kemudian menatap Mamori dengan tatapan angkuh. "Siapa pula yang mau menggantinya? O-g-a-h!"

Gadis itu tidak marah, ia hanya memutar matanya gerah. Yah namanya juga berhadapan dengan Hiruma, seharusnya sudah tidak aneh lagi, pikirnya."Terserah, deh. Boleh aku pergi? Aku ada rapat komi—"

"Ya ya ya, pergi sana," sela Hiruma cepat sambil meng'hush-hush' Mamori dengan tangannya. Yang bersangkutan hanya melotot sambil meleletkan lidahnya. Tanpa basa-basi lagi, ia langsung membalikkan badannya dan membuka pintu clubhouse.

Tapi, alih-alih pergi dengan ketus sambil membanting pintu seperti yang Hiruma terka dalam pikirannya, manajer Deimon Devil Bats itu hanya terdiam. Hiruma mengangkat alisnya. Gadis itu membalikkan tubuhnya dan tersenyum riang pada Hiruma. "Oh, ya. Aku akan melaksanakan tanggung jawabku sebagai manajer klub ini. Jadi ... kuharap kita bisa bekerja sama sampai Christmast Bowl nanti, Kapten."

Hiruma tidak merespons, matanya melirik ke arah lain walaupun jelas telinganya mendengar kalimat yang diucapkan Mamori. Pintu kemudian ditutup.

Setelah yakin bahwa gadis itu sudah pergi, Hiruma Youichi lalu bangkit untuk mengambil bungkusan cokelat yang dibawa Mamori. Di dalamnya benar-benar terdapat beberapa bungkus permen mint yang sudah sangat ia kenali.

"Cih, tumben dia perhatian gini?" gumamnya heran sambil melemparkan permen mint itu ke udara. Lelaki beranting itu kemudian membuka bungkus permen itu dan mengunyah isinya. Lidahnya kemudian mengecap kembali rasa mint yang sudah familiar. Ia menutup matanya, merasakan sensasi pedas tapi menyegarkan yang menyerbu mulutnya, sensasi yang selalu membuatnya nyaman. Tapi kemudian ia membuka matanya dan menyeringai, "Ah ... ini pasti gara-gara essai yang dia tulis kemarin."

Siswa dengan catatan detensi terbanyak itu pun mengambil akuma techou-nya dan mendapati selembar kertas yang ia pinjam dari guru sastra Mamori—guru sastra mereka juga, sebenarnya. Dalam hati, quarterback Deimon Devil Bats itu membaca ulang tugas buatan manajernya itu. Sesekali dia terkekeh kecil, kemudian meletakkan kembali kertas itu ke dalam akuma techou-nya.

"Dasar cewek."

.

.

—OWARI—

NOTE;

*Kesempatan; Dulu kan Mamori mau nutup klub juga, tapi karena mempertimbangkan Devil Bats yang lagi berkompetisi di turnamen musim semi, jadi klubnya nggak jadi ditutup.

**Seperti biasa; di universe Paper Plane, komunikasi HiruMamo menggunakan pesawat kertas.

Sedikit Author Note—Bohong;

Gimana? Nggak memuaskan, kan? deite juga nggak puas kok. Buat deite ini beneran klise, nggak ada feel-nya, ngebosenin (iya gak, sih? #iya) dan ... sangat panjang. 34 halaman ms. word broo! Ini oneshot pertama deite yang panjangnya sampai lebih dari 8k! maklumin kalau abal gini hasilnya :") #alesan. Oh ya ada yang percaya nggak ini dari pertengahan tahun 2013 udah beres? maaf tulisannya kaku dan aneh :")

Btw, di bagian 4 ini deite sengaja masukin hal-hal kecil kayak jam belajar. Kepingin banget soalnya ngerasain cara belajar di Jepang sana—ada yang mau sharing? dan materi yang ada di atas itu murni karangan deite wkwkwkwk. Soal essay karangannya Mamori ... ada yang penasaran, nggak? kalau ada, di chapter selanjutnya (entah bagian 7/8) bakal dibahas, kok.

But still, apresiasi terbesar dari deite buat yang udah baca sampai ke bawah ini. Makasih banyak, semuanyaa :")

feel free to drop some review~

(or critics? I really need them ;_;)

.

.

.

.

.

—OMAKE—

Mamori melangkah keluar ruangan klub dengan hati yang terasa ringan. Senyuman tak bisa luntur dari wajahnya. Rasanya menyenangkan sekali bisa sedikit berdamai dengan Hiruma, batinnya. Dalam hatinya, ia sedikit menyesali langkah akomodasi yang telat ia ambil—mungkin saja 'kan kalau mereka berdamai lebih awal mereka bisa menjadi teman yang cukup akrab? Tapi terlambat sedikit juga bukan sesuatu yang buruk. Bisa sedikit lebih akrab dengan orang semacam Hiruma juga sudah lumayan beruntung.

Di samping itu, berkat Hiruma juga Mamori akhirnya menyadari bahwa cinta tidak mengambil bentuk yang itu-itu saja. Melihat lelaki yang—kemarin sore masih berstatus sebagai musuhnya itu—sedang berlatih di bawah guyuran hujan membuatnya sedikit-banyak sadar bahwa cinta bisa mengambil banyak bentuk. Salah satunya adalah dedikasi, dan ia sadar, Hiruma bukanlah setan yang selamanya mengikuti kehendak hati. Lelaki itu mungkin hanya mencoba memberikan dedikasi terbaik pada klub yang ia cintai. Well, rupanya menyatukan Hiruma dengan cinta dalam satu kalimat yang sama bukanlah hal yang sulit.

Sebelum mengingatkan Sena akan jadwal pertemuan klub amefuto mereka, gadis itu pun menatap langit musim semi yang cerah. Awan putih di atasnya berarak dengan tenang. Angin yang bercampur harum bunga menyapu pelan rambut sebahunya. Sinar mentari yang lembut membuat hatinya ikut dilimpahi kehangatan dan cicit burung dari kejauhan membuat suasana damai memenuhi hatinya. Tubuhnya terasa ringan dan entah mengapa semua hal yang dilihat kristal safirnya terasa begitu indah.

Mamori tertawa kecil, menengok gedung kecil milik klub amefuto di belakangnya, aku juga akan belajar mencintai.

.

.

.

.

.


END