Bleach punyanya Tite Kubo.
If I Want to Cry
Bab 1
"Grimmjow? Oh, Grimmjow?"
Seorang pemuda yang terbaring di ranjangnya yang berantakan membuka mata dan mendesah panjang. Sial. Banyak tequila dan wiski tidak membuatnya lupa ini hari apa. Ia melirik jam elektronik di meja ranjangnya, dan memutar tubuhnya lagi. Bahkan dia tidak terlambat, kendati dirinya sangat berharap hal itu terjadi.
"Grimmjow Jeagerjaques? Aku tahu kau ada di dalam!"
Grimmjow berusaha menutup kepalanya dengan bantal, tapi hatinya tidak jadi semakin baik. Lagi-lagi sial. Semestinya dia minum alkohol saja tadi malam. Setidaknya ia bisa langsung mati, dan dengan demikian, membuat semua menjadi gagal.
"Grimmjow? Kau mau aku mendobrak pintumu atau tidak?"
Ya Tuhan! Cukup sudah! Kesal, si rambut biru melempar bantalnya ke seberang ruangan, sukses membuat istana kartu yang ia buat tadi malam sebelum mabuk hancur berkeping-keping. Pria itu diam sebentar, dan ketika suara gedoran itu kembali, ia langsung bangun, membuat kepalanya pusing tujuh keliling, dan isi perutnya berontak ingin keluar. Ia berlari ke kamar mandi, tapi sayang ia muntah di bajunya dulu sebelum berhasil mengeluarkan sisanya di pispot.
Pintu digedor lagi. "Halo? Grimmjow?"
"Kurang ajar," makinya sambil membersihkan pakaian dengan air wastafel. Tidak berhasil, akhirnya dia membuka pakaiannya, langsung menuju ke pintu, dan membukanya dengan satu kali sentakan keras.
"Tidak bisakah kau melihat orang lain tenang?" dia memberondong gadis berambut hijau yang tersentak melihat wajahnya.
Oke. Harus diakui, untuk beberapa saat Nel tertegun juga pagi-pagi melihat tunangannya bertelanjang dada. Meskipun dia sudah biasa menyaksikan Grimmjow telanjang dada di beberapa majalah. Beberapa puluh majalah, lebih tepatnya. Tapi kali ini dia tidak hanya tertegun karena melihat fisik Grimmjow yang terpahat sempurna, tetapi juga kenyataan bahwa bau alkohol menguar deras dari mulut pria itu.
Nel berdecak. "Kau minum lagi?"
Dan kemarahan Grimmjow langsung surut. Ia menunduk. "Y-ya, begitulah. Kau bisa lihat sendiri." Dia menyisih, mempersilakan kekasihnya masuk.
Nel cuma bisa menghela napasnya ketika sudah ada di dalam. Sebuah apartemen yang, berantakan dalam arti harfiah. Botol-botol minuman keras, banyak botol minuman keras, berserakan di dekat pembaringan. Sebuah bantal bersanding dengan meja berkaki besi yang ditumpuki banyak buku, kartu-kartu remi tersebar di dekatnya.
Neliel melongo menyaksikan kekacauan kamar tunangannya. Ia membuka tirai, memperbolehkan sinar matahari menghangatkan ruangan. "Kau tahu alkohol bisa membuat risiko hepatitis menjadi sepuluh kali lebih tinggi," ia mulai menggerutu. Belum menikah saja pria ini sudah seberantakan ini, bagaimana mungkin kalau mereka menikah kelak?
"Mm hmm," Grimmjow bergumam. Ia tahu tidak boleh menimpali perkataan Neliel kalau sudah menyangkut kesehatan. Tunangannya itu dokter, dan kalau Grimmjow membantah, Neliel bisa menceramahinya lebih dari ini.
Beberapa langkah di depannya, Nel mencoba membereskan sesuatu, tapi Grimmjow sudah menarik tangannya yang bebas dan langsung mendekapnya.
Ciuman permintaan maaf itu cuma bertahan tiga detik. Nel mendorong dada tunangannya. "Kau bau sekali, kau tahu? Sekarang cepat bersihkan dirimu dan bersiap-siap. Kita berangkat satu jam lagi."
Tapi pria itu belum mau melepas pelukannya. "Tidak mau," gumamnya.
"Cepat mandi. Akan kubuatkan teh hijau."
"Aku tidak mau pergi."
Barulah Nel tahu bahwa kekasihnya itu menangis setelah dia merasakan pundaknya basah. "Oh Tuhan," dia benar-benar mendorong dada Grimmjow, "kau pria terseksi di negara ini dan kau menangis? Biar kutebak," dia pura-pura berpikir padahal ia tahu betul apa jawabannya, "jangan-jangan kau masih tidak ingin melihat Ichigo menikah?"
"Bukannya aku tak mau melihatnya menikah," Grimmjow menyeka matanya yang merah. "Tapi tidak dengan perempuan itu. Aniki pantas mendapatkan yang lebih baik. Bukan Rukia Kuchiki."
"Dan kau minum-minum supaya kau punya alasan untuk terlambat atau tidak menghadiri pesta pernikahannya?"
Grimmjow diam saja, mengakuinya.
"Astaga!" Nel benar-benar kaget mendapati kekasihnya ini masih belum berubah. "Kau ini kenapa? Apa yang salah dengan Rukia? Apa yang salah dengan semua wanita yang mendekati Ichigo, kalau boleh kutambahkan? Kenapa kau begitu… egois?"
Grimmjow mencoba membuka mulutnya, tapi Nel sudah berkata lagi, "Ichigo bukan milikmu seorang, kau tahu?"
"Aku tahu!" tunangannya berteriak. "Aku cuma tidak mau melihatnya tidak bahagia! Kau tahu, dia sudah betul-betul berjasa dalam hidupku. Dia sudah menjadi kakak bagiku bahkan ketika kami masih sama-sama di panti asuhan. Dia mengorbankan segalanya padaku, aku bahkan berutang nyawa padanya! Dan sekarang aku harus melihatnya menandatangani perjanjian penderitaan hidupnya? Bagaimana bisa aku ikhlas kalau wanita itu, wanita yang akan menikah dengan aniki itu, akan membawa penderitaan padanya?
"Dan aku tak keberatan kalau aniki menikah dengan wanita mana pun!" Grimmjow menegaskan. Dengan wanita mana pun aniki akan menikah, aku ikhlas, asal jangan dengan Rukia Kuchiki!"
"Kenapa?" kali ini tunangannya menantang. "Karena dia menderita penyakit jantung? Karena Ichigo belum tahu hal itu? Atau karena Rukia berniat merahasiakannya dari Ichigo, setidaknya sampai dia mengandung, supaya kalau pun dia meninggal saat ia melahirkan, Ichigo tak akan menangis karena dia sudah memiliki anak?"
Grimmjow terdiam, kepalanya tertunduk. Ia takut. Takut apabila apa yang dikatakan Nel menjadi kenyataan. Nel jelas tahu, ia dokter yang merawat Rukia. Dan ia tahu, karena Nel memberitahunya kemarin. Tapi bagaimana dengan Ichigo? Dia tak tahu apa-apa. Yang ia tahu hanya mencintai Rukia. Hanya itu. Ia tahu, Ichigo tak akan meninggalkan Rukia, bahkan jika calon istrinya itu akan meninggal besok, tapi bagaimana mungkin Ichigo bisa bahagia dengan semua ini? Ini, ini yang membuatnya betul-betul tidak ikhlas melihat aniki-nya itu menikah dengan Rukia…
"Jangan terlalu banyak bengong."
Grimmjow mengangkat wajahnya. Selembar handuk dilempar Nel ke mukanya.
"Sekarang mandi dan bersiaplah. Kenakan setelan terbaikmu. You are the best man. Jadi kau tak boleh cemberut begitu menghadiri pesta pernikahan Ichigo." Tatapan tajam Nel membuat kaki Grimmjow langsung beranjak menuju kamar mandi.
"Dan aku tak mau dengar omong kosong tentang kau lebih tahu kebahagiaan Ichigo ketimbang dirinya sendiri. Yang menjadi Ichigo itu dirinya, bukan dirimu, jadi kau tak boleh terlalu egois dan ikut campur dalam kehidupannya."
Grimmjow membanting pintunya keras, menahan amarah.
Ia sudah tahu itu.
xxxxx
Grimmjow memarkir Porschenya di depan gereja. Sudah ramai mobil di sana, kebanyakan mobil katering dan dekorasi, meskipun mobil terbaik tetap miliknya yang berwarna biru metalik. Nel keluar setelah ia membuka pintu, gaun yang sewarna rambutnya berkilauan tertimpa sinar matahari musim panas.
Mereka bergerak dari tempat parkir menuju halaman belakang gereja, tempat acara diselenggarakan, tapi langkah mereka tiba-tiba saja terhenti ketika melihat seorang pria bersetelan lengkap, rambutnya jingga, duduk sendiri di tangga samping gedung gereja, sedang merokok santai. "Halo," sapa pria itu.
"Ichigo?" Nel menyapa. "Sedang apa kau di sini?"
Ichigo menatap ekspresi heran sepasang sejoli itu dan langsung tertawa kecil. "Merokok," jawabnya santai.
Wanita dengan rambut dan gaun hijau itu mengangguk pelan-pelan. Ia memberi isyarat pada tunangannya agar menemani Ichigo, sementara dirinya sendiri ingin mengecek keberadaan Rukia. "Aku mau lihat Rukia dulu," ia meniti tangga di sebelah Ichigo dan menghilang di balik pintu.
"Aniki," Grimmjow duduk di sebelahnya. "Kenapa merokok di sini?"
"Tidak ada. Cuma tegang saja," katanya. "Yah, aku sudah tanya Renji dan dia bilang, ini wajar. Perasaan tegang sebelum menikah." Ichigo mematikan rokoknya, kemudian melanjutkan, "Seperti ada yang salah dengan hari ini, dan kau harus lari dan menghentikan semuanya."
Memang kau harus lari dan menghentikan pernikahan ini, Grimmjow mencoba berkata. Tapi ia ingat harus menahan diri. "Itu… biasa," jawabnya kikuk.
"Ya, memang biasa. Hebat," Ichigo menepuk pundak Grimmjow, "kau bahkan bisa tahu sebelum menikah. Padahal aku baru tahu hari ini." Ia mengambil sebatang rokok dari dalam kotak dan mengangsurkan kotak itu pada Grimmjow.
Grimmjow tahu, ia harus mengambilnya tanpa berkata apa-apa bahkan jika dia tidak ingin. Ia tidak boleh menolak apa yang diberikan dia mengambil satu dan menyulutnya. "Tamu yang lain sudah datang?" ia bertanya.
"Sudah. Mereka sedang bersiap-siap. Tinggal menungguku dan Rukia selesai dengan urusan kami masing-masing, kami akan memulai acaranya."
"Aniki tidak apa-apa, kan?"
Ichigo terdiam, kemudian menyeringai. "Tentu saja. Memangnya aku terlihat seperti apa? Seorang pria tua yang takut menikah?" Dia tertawa, kemudian menambahkan, "Bisa-bisanya kau bilang begitu. Padahal kita kan seumuran?"
Grimmjow tersenyum. "Siapa tahu aniki benar-benar takut menikah dan berniat menghentikan semua ini?"
Ichigo mengembuskan asap rokok yang membubung tinggi kemudian menghilang. "Takut, mungkin. Tapi kalau berniat menghentikan pernikahan ini… kurasa tidak. Aku cuma tegang, membayangkan hari esok saat aku bersama Rukia. Mulai besok dia tinggal di rumahku, bekerja bersamaku, dan selalu ada di sampingku, sampai aku mati. Mengingatnya saja membuatku bahagia, apalagi menjalaninya."
Ia menatap mata Grimmjow lekat-lekat. "Tentu saja aku tak akan menghentikan pernikahan ini," katanya mantap.
Dada Grimmjow terasa sesak lagi. Kemantapan yang tersurat di mata Ichigo begitu tulus, sehingga dia merasa tidak berguna bahkan jika dia tidak mengatakan kalau Rukia mengidap penyakit mematikan. Tangannya mendadak bergetar. "B-boleh aku memeluk aniki?" dia berkata dengan suara yang mulai pecah.
"Tentu saja," Ichigo yang duluan memeluk adiknya itu.
Dalam pelukan itu, Grimmjow berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis, meski ia sudah lebih cengeng daripada biasanya hari ini. Semestinya dia bahagia, tapi kenapa ia malah terharu? "Aniki harus berbahagia," katanya. "Aku harus melihat aniki berbahagia."
Ichigo melepas pelukannya. "Tentu saja aku akan bahagia." Ia juga sedikit terharu, jadi ia memutuskan untuk mengganti topik. "Bagaimana denganmu? Dengan Nel? Kapan kalian akan menikah?"
Grimmjow ingin menjawab 'hanya setelah dia melihat Ichigo berbahagia', tapi Ichigo pasti menertawakannya. "Mungkin… beberapa bulan lagi. Aku hanya menunggunya memantapkan hati. Sebenarnya, aku juga ingin meyakinkan diriku sendiri dulu," akunya sambil terkekeh. "Kadang-kadang aku merasa bersalah karena sudah terlalu kekanak-kanakkan dan egois di depannya."
"Tapi dia tidak pernah protes, kan?"
"Tidak pernah."
"Berarti dia menikmati keegoisanmu. Dengan kata lain, dia jodohmu."
Grimmjow menatap kakaknya tidak percaya, dan Ichigo langsung tertawa. "Benar! Aku selalu percaya bahwa kita diciptakan berpasang-pasangan. Dengan sifatmu yang egois tingkat tinggi dan meledak-ledak seperti itu, kau butuh sesuatu yang bisa meredam besi panas dalam dirimu itu. Mungkin memang mustahil, tapi aku tahu, itu ada.
"Dan aku bisa melihat itu di dalam diri Neliel," tambahnya.
Grimmjow diam. Sedikit banyak dia mengakui kata kakaknya. Pacarnya sebelum ini, atau pacar-pacarnya sebelum ini (tidak termasuk wanita yang sering diajaknya bercinta kilat satu malam), tidak pernah bisa tahan dengan sifatnya yang egois dan tidak penurut, serta pemarah. Sejauh ini, baru Ichigo yang bisa menenangkannya, tapi itu lebih karena Grimmjow tahu dia harus menurut pada pria itu.
Tapi kalau dengan lawan jenis… kelihatannya cuma Neliel yang bisa 'memegangnya'. Hanya wanita itu sajalah yang bisa menenangkannya. Sejauh ini.
Ia tidak sadar Ichigo sudah bangun dan mengibaskan debu di jas hitamnya. "Ayo, Grimm, bangun. Kita punya pernikahan untuk dihabisi."
Grimmjow tidak menimpali. Ia mematikan rokoknya, bangkit, kemudian mengikuti kakaknya berjalan ke halaman belakang gereja.
Tema pernikahan Ichigo adalah pesta kebun di awal musim panas.
xxxxx
Nel terdiam di depan pintu ketika mendengar potongan percakapan dari dalam sana menembus celah. Dia ingin masuk, tapi kakinya menahan dirinya untuk tidak ikut campur. Dia ingin pergi, tapi telinganya menahan dirinya untuk menguping, dengan alasan klise: bagaimanapun, dia dokternya Rukia, jadi kalau ada keluarga yang membahas tentang kesehatan wanita itu, dia mutlak tahu.
"Kenapa aku tidak boleh tinggal dengan suamiku?"
Nel mengenal suara yang menyahuti sebagai suara Byakuya, ayah Rukia. "Kau harus diobati. Dan aku tak mau kalau Ichigo sampai tahu. Aku tak mau kau bergantung padanya."
"Tapi dia suamiku!"
"Aku tak pernah merestui anak itu untuk menjadi suamimu!" seru Byakuya, resah. "Ya Tuhan! Lihat dirimu! Apa kau tak cukup hanya dengan kami? Penyakitmu itu hanya akan membuat Ichigo sedih saja pada akhirnya, dan kau ingin melakukan hal itu? Kenapa kau begitu… egois? Apa kau tak pernah memikirkan dia? Kalau kau mencintainya, semestinya kau membatalkan pernikahan ini, atau memberitahunya bahwa kau tak akan pernah bisa memberinya anak tanpa mengorbankan nyawamu!"
Langkah-langkah kaki yang mendekati pintu membuat Neliel minggir sedikit, tapi terlambat, karena Byakuya sudah keburu menjeblakkan pintu hingga terbuka dan tatapan mereka bertemu. Warna merah di muka Byakuya langsung berusaha dihilangkan.
Tapi Neliel sudah lebih tahu. "Maaf," katanya sambil menundukkan kepala.
Byakuya tak berkata apa-apa, dia cuma mengangguk sekali dan berlalu. Sepatunya bergema di sepanjang lorong. Entah dia mau pergi ke mana.
Nel melihat Rukia yang duduk di dekat meja rias, dan untuk beberapa saat dia terkesima. Wanita itu betul-betul cantik, bahkan dari kacamatanya sebagai seorang dokter yang memiliki pekerjaan sampingan sebagai pacar seorang model. Profilnya mengenakan tudung pernikahan betul-betul membuat benda itu tampak sakral, dengan gaun lebar berwarna putih yang murni, seputih kertas yang belum ternoda.
"Halo," Nel mendekat.
Rukia, yang sedang menyeka riasannya dengan tisu, mendongak, sedikit terkejut. "Oh, hai," katanya. "Maaf kau mendengar semuanya."
Sahabatnya menggeleng, kemudian menarik sebuah kursi dan duduk di depan Rukia. "Tidak apa-apa," katanya. "Ngomong-ngomong, kau cantik."
Rukia membuang tisu itu ke tempat sampah, kemudian tersenyum. "Terima kasih. Kau juga," katanya. Dia menatap, sedikit iri pada gaun Nel yang menunjukkan tubuhnya yang bagus.
Nel mengibaskan tangannya untuk mengalihkan perhatian. "Apa kau dan ayahmu ada masalah lagi?"
Rukia tertawa. "Biasa," akunya. "Dia selalu tak setuju dengan semua pria yang dekat denganku. Terlebih sejak penyakit jantung sialan ini menurun padaku. Dia ingin aku selalu ada di dekatnya, menjadi anak kecil Ayah. Alasannya sih, dia tak rela aku membuat siapa pun yang menjadi suamiku bersedih, dan dia bilang aku egois kalau melakukannya, tapi aku tahu kalau sebenarnya dia yang egois."
"Kalau kau tanya pendapatku, sebenarnya niat ayahmu itu baik."
"Aku tahu, aku tahu," Rukia menatap dengan mata ungunya yang sendu. "Kau pikir aku sengaja mencari pria agar bisa menangis atas kepergianku?" Dia terkekeh. "Tentu saja tidak, Neliel. Aku mencari pria yang tidak akan menangis kalau aku mati. Dan jujur, aku juga kepingin punya keturunan. Aku ingin sekali punya anak. Aku menggabungkan semuanya, dan semua ada dalam diri Ichigo."
"Kau egois, tahu?"
"Oh ya?" Rukia tertawa. "Yah, mungkin… tapi kau sendiri yang bilang kalau hidupku tidak akan lama, masa kau tak memperbolehkanku ini egois sekali-sekali?"
Nel terdiam. Dia memutuskan mengalihkan pembicaraan. "Dan apa yang ayahmu tadi minta padamu?"
Rukia meneguk air dalam cangkir gelas yang ada di atas meja, kemudian menunduk lagi, kehilangan senyumnya. "Kupikir kau tahu alasannya."
"Jangan bilang… dia tahu soal rekomendasi perawatan di rumah sakit itu?"
"Aku tak mungkin menyembunyikannya, kan?" katanya. "Bagaimanapun, ya, dia memang benar, selama Ichigo belum tahu, dan Ichigo tak akan tahu, aku akan selalu bergantung padanya. Yah, begitulah, dia memintaku berangkat ke Sapporo, dan menjalani perawatan di sana, sesuai saranmu."
"Tapi kau menolak?"
"Aku cuma tak mau pergi ke sana terlalu cepat. Setidaknya biarkan aku menikah dulu, oke?"
"Jadi kau toh pada akhirnya tetap akan pergi?"
Rukia berdiri dan merapikan gaunnya. Ia menatap halaman belakang gereja, tempat pernikahannya akan diselenggarakan. Ayahnya sudah ada di sana, sebagaimana keluarga Ichigo, menyambut para tamu yang mulai berdatangan. Ia melihat ke arah dekat bangunan kecil yang menjadi pusat upacara nanti, dan darahnya tiba-tiba tersirap.
Ichigo dan Grimmjow sudah berdiri di sana.
"Aku sebetulnya tak rela, sangat tak rela kalau harus pergi," ia mendapati dirinya bicara sendiri. "Tapi mau bagaimana lagi? Kalau aku tidak pergi, berarti aku sama saja menjerumuskan Ichigo dalam kesedihan. Kalau aku tidak pergi, Ayah akan makin sedih dan aku tak suka itu. Aku tak mau melihat mereka berdua tidak bahagia karena keegoisanku."
Nel tidak berkata apa-apa ketika Rukia berbalik dan menatapnya, dengan sinar-sinar mentari membias di sekelilingnya, menjadikannya seperti permata kemilau dalam balutan gaun pengantin.
"Aku akan menemukan cara terbaik agar tidak menyakiti semua orang, Nel," katanya.
xxxxx
Ketika pengantin pria dan pendampingnya muncul, para hadirin tahu, acara pernikahan akan dimulai sebentar lagi.
Musik dari orkestra dadakan yang ada di sudut taman sudah mengalunkan lagu-lagu bertempo riang sejak tadi, dan kini, tiba-tiba saja, alunannya berubah menjadi khidmat dan syahdu. Lagu-lagu pentatonis klasik dari Inggris abad ke-18 dengan suasana pernikahan yang kentara berkumandang, menandakan momen itu akan semakin dekat.
Momen. Betapa Ichigo sudah menantikan momen yang satu ini; momen penting di mana dia akan mengubah segalanya, mengubah kehidupannya. Dan momen itu bernama pernikahan.
Sekelilingnya sudah sangat mendukung. Inilah pesta impiannya. Para tamu undangan duduk dalam bangku-bangku panjang yang berjejer menghadap altar. Di belakang ada tempat hidangan. Orkestra klasik kecil tersembunyi di sudut belakang altar, tidak terlalu mementingkan penampilan yang jelas suaranya mesti terdengar. Hiasan pita-pita dan konfeti putih berkilauan, desau angin terdengar dari beberapa pohon besar di belakang sana. Dan di hadapannya, membentang dengan kain putih terhampar, lorong rumput yang memisahkan tempat duduk menjadi dua lajur, tempat pengantin wanita beserta para pendampingnya berjalan menuju ke altar.
Menuju altar pernikahan.
Menuju dirinya.
Rukia melangkah menuju dirinya.
"Apa pengantin wanitanya sudah siap?"
Ichigo langsung menoleh, akan membuka mulut, tapi Grimmjow mendahuluinya.
"Sebentar lagi."
Pendeta itu memainkan rambut putihnya yang panjang, kemudian tersenyum. Jasnya yang berwarna hitam tampak gerah bagi Ichigo, tapi mungkin juga tidak soalnya dia sendiri mengenakan jas hitam.
Anak-anak kecil yang disuruh duduk secara tiba-tiba memberi tanda bagi semua orang bahwa acara akan segera dimulai. Ichigo menatap ke kejauhan, ke ujung jalan hijau berlapiskan kain putih itu…
Dan pengantinnya pun datanglah. Mengenakan gaun putih berenda, diiringi musik kepengantinan, Rukia benar-benar cantik, nyaris secantik malaikat. Para pendampingnya yang mengenakan gaun hijau mendahului, sedangkan ayahnya, pria paruh baya berambut hitam panjang, menggandeng tangan putrinya melangkah, menembus kerumunan penonton yang menatapnya terkesima. Ichigo menatap mata ungu calon istrinya. Mata ungu yang bersinar cerah, memancarkan vitalitas.
Sama sekali dia tak menduga ada sesuatu di balik mata ungu calon istrinya itu.
Tapi di lain pihak, Grimmjow sudah menduganya. Ia melirik Nel yang berjalan di depan Rukia, dan wanita itu mengangguk. Beberapa saat mereka bertatapan penuh makna sampai perhatian mereka teralihkan dengan deheman sang pendeta. Satu hal pasti mereka ketahui: ada sesuatu yang terjadi, meskipun dia harus menanyai Nel untuk tahu apa itu.
Sebelumnya mereka harus menyaksikan pernikahan ini sampai selesai.
Sang pendeta memulainya dengan sebuah pertanyaan: "Bolehkah aku tahu siapa yang mengantarkan mempelai wanita kemari, dan apa tujuannya?"
"Aku ayahnya, dan aku ingin menikahkannya dengan pria ini." Ia melirik Ichigo.
"Bisakah kau mempertemukan tangan putrimu dengan tangan calon suaminya?"
Byakuya tertegun sebentar, senyum menghilang dari mukanya. Tapi itu hanya terjadi sepersekian detik, karena ia sudah menyentuhkan tangan anaknya pada Ichigo, dan mereka berdua menggenggam tangan satu sama lain.
Ia harap dirinya tidak melakukan sesuatu yang salah…
"Berdirilah berhadapan," perintah sang pendeta. Pasangan kekasih itu menurut, masing-masing menyunggingkan senyum penuh makna satu sama lain.
Pendeta Ukitake pun ikut tersenyum. "Rekan-rekan, dan para hadirin sekalian," dia memulai dengan suaranya yang lantang, "hari ini kita berkumpul di sini untuk menyaksikan penyatuan sepasang sejoli dalam ikatan pernikahan. Ichigo Kurosaki dan Rukia Kuchiki. Apa yang kita lakukan sekarang adalah sebuah upacara sakral, yang sudah diselenggarakan selama beribu-ribu tahun, untuk mengikatkan pasangan ini dalam menjalani hari-harinya."
Beberapa hadirin mengangguk tanda setuju. Tak ada yang berkata-kata, mereka semua hampir bisa mendengar desau angin menembus celah-celah daun di deretan pepohonan.
Si pendeta memulai pekerjaannya. "Ichigo Kurosaki, dan Rukia Kuchiki, kalian berdua telah memintaku untuk menikahkan kalian. Apakah kalian melakukan kegiatan ini atas keinginan sendiri?"
Ichigo menatap calon istrinya sekilas, dan mereka berdua menjawab bersamaan, "Ya."
"Adakah paksaan dari pihak mana pun, untuk melakukan pernikahan ini, baik secara langsung maupun tidak langsung?"
Mereka berdua lagi-lagi menjawab pada saat yang sama. "Tidak ada."
Ukitake tersenyum. Kali ini ia menatap para pengiring pengantin dan para hadirin. "Apa ada seseorang di sini, yang punya alasan kuat mengapa pasangan ini seharusnya tidak menikah?"
Pertanyaan itulah yang membuat Grimmjow terperanjat. Seketika air mukanya mengeras. Haruskah dia berseru bahwa Rukia mengidap penyakit jantung dan tidak akan bisa membahagiakan Ichigo? Jantungnya tiba-tiba saja berdegup kencang. Selama beberapa saat dia tak mampu berkata, padahal dari sesi latihan kemarin, dialah yang harus menjawab pertanyaan ini.
"Apakah ada seseorang di sini yang punya alasan kuat untuk membatalkan pernikahan ini?"
"Tidak ada," Grimmjow bersuara, keras. "Tidak ada," ulangnya, lebih pelan. "Tidak ada."
Sang pendeta menatapnya penuh arti. "Baiklah. Lalu mari kita lanjutkan. Ichigo Kurosaki," dia menatap sang mempelai pria, "kalau kau memang berniat menjadikan Rukia Kuchiki sebagai istrimu, maka nyatakanlah sumpahmu."
Inilah saatnya. Ichigo menggenggam tangan Rukia erat-erat, kemudian dia berbicara.
"Aku, Ichigo Kurosaki," katanya, "dengan ini mengambilmu, Rukia Kuchiki, sebagai istriku. Mulai detik ini, aku bersumpah dengan disaksikan langit dan bumi, untuk mencintaimu, menjagamu, dan melindungimu dengan segenap jiwaku. Aku menerimamu, dengan segala kelebihan dan kekuranganmu, dan sebagai gantinya, aku ada di sini dengan kelebihan dan kekuranganku. Aku berjanji untuk melindungimu, dan aku berjanji akan datang padamu jika aku butuh perlindungan. Aku memilihmu… sebagai satu-satunya orang dengan siapa aku akan menghabiskan hidup."
Saat itu, air mata langsung merebak di mata Rukia. Astaga. Janji itu begitu membekas dalam benaknya, dan detik ini ia sudah melanggar janji itu sendiri secara tidak langsung dengan tidak memberitahukan apa yang seharusnya…
"Dan kau, Rukia Kuchiki, kalau kau memang berniat menjadikan Ichigo Kurosaki sebagai suamimu, maka nyatakanlah sumpahmu."
Rukia tak bisa menjaga suaranya agar tidak pecah, tapi genggaman Ichigo seolah memberinya kekuatan. "Aku, Rukia Kuchiki, dengan ini mengambilmu, Ichigo Kurosaki, sebagai suamiku."
Sebutir air mata membasahi pipinya. Entah itu air mata haru karena bahagia, atau air mata kesedihan…
"Mulai detik ini, aku bersumpah dengan disaksikan langit dan bumi, untuk mencintaimu, menjagamu, dan melindungimu dengan segenap jiwaku. Aku menerimamu, dengan segala kelebihan dan kekuranganmu, dan sebagai gantinya, aku ada di sini dengan kelebihan dan kekuranganku."
Untuk sesaat ia berhenti. Jantungnya berdegup kencang. Mengapa ia tiba-tiba merasa ini sangat salah? Tapi, pada akhirnya dia melanjutkan. "Aku… berjanji untuk melindungimu, dan akan datang padamu jika aku butuh perlindungan. Aku memilihmu, sebagai satu-satunya orang… dengan siapa aku menghabiskan hidup."
Dia tak mendengar apa kata-kata sang pendeta selanjutnya karena mendadak kegembiraan menguasai seluruh relung hatinya. Ada beban yang terangkat, tergantikan kebahagiaan. Untuk sesaat, ia lupa akan semua persoalannya. Ya Tuhan, kini dia sudah berjanji untuk menjadikan Ichigo sebagai satu-satunya temannya menghabiskan hidup…
"Dan apa kalian memiliki cincin untuk dipertukarkan pada saat bahagia ini?"
Ichigo menunggu Rukia untuk menjawab. Sebuah senyum tersungging di bibirnya. "Ya, kami punya." Tak ada yang mengomandoi tapi mereka berdua berkata pada saat yang sama. Mungkin inikah yang namanya sehati?
Ichigo menerima cincin Rukia dari Grimmjow yang sudah berdiri di belakangnya sejak tadi. Ia tak melihat ekspresi adiknya itu berubah… tapi ia tentu saja tak bisa memikirkan hal lain-lain selain pernikahannya ini, kan? Ini 'momen' yang dia sangat nantikan, tentu saja pria itu tak berniat mengabaikannya barang sekejap mata.
Pendeta Ukitake tersenyum. "Ichigo Kurosaki, maukah kau memberikan cincin itu pada Rukia Kuchiki dan menyatakan sumpah cincinmu?"
Ichigo mengangkat tangan Rukia dan menyelipkan cincin di jari manisnya. Tangan itu sedikit gemetar, berkeringat, dan dingin, tapi Ichigo tersenyum saja. Dieratkan genggamannya pada tangan wanita itu. "Aku memberimu cincin ini sebagai pengingat bahwa hari ini kita mengikat janji."
"Dan kau, Rukia Kuchiki, maukah kau memberikan cincin itu pada Ichigo Kurosaki dan menyatakan sumpah cincinmu?"
Rukia sama sekali tidak merasa bahwa Ichigo tegang ketika dia menyelipkan cincinnya. Itu membuatnya, secara tidak langsung, semakin merasa bersalah.
"Ichigo, aku memberimu cincin ini… sebagai pengingat bahwa hari ini kita mengikat janji."
Ichigo kini sudah bagai meremas tangan Rukia. Mungkin itu caranya agar tidak tampak terlampau tegang.
"Ichigo Kurosaki, dan Rukia Kuchiki," sang pendeta mengalihkan perhatian mereka.
"Kalian berdua telah saling bertukar janji dan bertukar cincin di hadapanku. Berdasarkan itu, kalian telah resmi menikah. Dan berdasarkan kekuasaan yang telah diberikan padaku sebagai pendeta, dengan ini aku menyatakan kalian sebagai sepasang suami istri."
Tepuk tangan bergemuruh di seantero taman. Beberapa orang bahkan berdiri dan menyiulkan sesuatu.
"Kau boleh mencium pengantin wanitanya," sambung si pendeta.
Oh ya. Ichigo tidak menunggu lama. Dia membuka tudung penutup wajah Rukia dengan cepat, dan langsung menyentuhkan bibirnya kepada kekasihnya itu. Rasa ceri yang manis masuk ke dalam mulutnya, tapi dia juga merasa bibir itu sedikit dingin. Ia mengadu keningnya dengan sang istri dan bergumam, "Kau tegang, eh?"
Rukia berniat menjawab, tapi suara musik yang mengalun mendadak menarik perhatiannya.
"If there were no words, no way to speak… I would still hear you."
"'Valentine'?"
Ichigo menarik tangan istrinya, mengajaknya berdansa dalam gerakan-gerakan pelan. Ia mengadu kening dengan sang istri, dan bernyanyi mengikuti si pelantun lagu dengan suara lirihnya, "If there were no tears, no way to feel inside, I'd still feel for you…"
"And even if the sun refuse to shine, even if romance run out of rhyme… You would still have my heart, until the end of time. You're all I need, my love, my valentine…"
Para hadirin mulai bangkit dari tempat duduknya dan bergerak menuju lantai dansa. Angin mengibarkan gaun-gaun mereka, membuat orang-orang yang sedari tadi agak kegerahanmerasa sedikit sejuk. Grimmjow berdansa dengan Nel, tentu saja, sementara ayah Rukia masih setia duduk di tepi meja minuman, tidak mendapat pasangan. Untung saja Rukia tidak melihat semua itu, karena dia masih terlalu terkejut akan pilihan lagu ini.
Ini lagu saat Ichigo melamarnya!
Ichigo membuainya dalam gerakan-gerakan nyaman, yang anehnya, membuat tubuh Rukia sedikit gemetar. Dia takut, dia sedih. Dia tak mau meninggalkan Ichigo! Tidak sedetik pun…
"K-kau tak bilang kalau lagu ini ada di playlist-nya," dia mencoba bersuara sedikit kesal.
"Tak bolehkah aku menyiapkan kejutan untuk istriku? Kejutan yang membahagiakan, mungkin?"
Rukia menggenggam tangan Ichigo kuat-kuat. Ini semua benar-benar mengharukan. Tidak mungkin dia tak menitikkan air mata…
"You've opened my eyes, and show me how to love unselfishly…"
Rukia memejamkan matanya, dan sebulir cairan bening itu lolos kembali. Tuhan, dia akan menukarkan apa pun demi penyakit jantung itu tidak ada. Dia akan melakukan apa pun asal bisa terus bersama Ichigo, menemaninya, melihatnya tua, menyaksikan anak-anak mereka lahir dan tumbuh…
Tanpa sadar, Rukia ikut bernyanyi, "I've dreamed of this a thousand times before, in my dreams I couldn't love you more…"
Dan suaminya menimpali. "I would give you my heart, until the end of time… You're all I need, my love, my valentine…"
Terisaklah Rukia. Betul-betul tersedu. Ia memeluk Ichigo erat-erat. Bahkan dia bisa mendengar detak jantung pria itu, tersembunyi di dalam kebidangan dadanya yang hangat. Ia ingin terus seperti ini! Ia ingin terus mendengar detak jantungnya, bersandar nyaman di kekokohan dadanya , dan merasakan keamanan bahkan dari figurnya…
Tapi toh, ia sadar, musik akhirnya harus berhenti. Ia tidak sadar sudah menjadi pusat perhatian sampai suara tepuk tangan riuh rendah menelusup menggetarkan genderang telinganya. Ia mendongak, dan Ichigo mengecup keningnya sayang.
"Kenapa kau menangis?" ia bertanya. "Ini hari bahagia kita."
Rukia memaksakan seulas senyum. "Y-ya."
Ichigo berniat untuk membalas perkataan istrinya itu, tapi kerumunan wanita di depannya sudah menarik perhatian. "Buketnya!" mereka berseru. "Buketnya! Buketnya! Lempar buketnya!"
Pasangan suami istri baru itu tertawa. "Baiklah," Rukia mencoba berkata keras. Ia berbalik dan mulai menghitung. "Satu… dua… tiga!" Rukia meloncat sedikit, melayangkan buket bunga itu ke udara. Mengikuti gerakan parabolik, buket itu melayang makin tinggi, sebelum akhirnya berhenti selama sepersekian detik dan bergerak turun…
Dan mendarat di atas kepala seorang pemuda yang berambut biru.
"Ack!" pemuda itu berseru, tak menyangka akan kejatuhan bunga. Di hadapannya, semua wanita bersorak menyayangkan.
"Apa?" Dia memungut benda yang menjatuhi kepalanya, dan seketika mengerti apa yang dimaksud.
"Grimmjow?" Rukia berseru dari ujung sana, sebelum terbahak.
Grimmjow tak berkata apa-apa, dia sedang sibuk dengan pikirannya dan kali ini dia sibuk dengan buket bunga yang mendadak jatuh di atas kepalanya. Ternyata Rukia melemparnya terlalu ke kanan; ditambah dengan angin yang bertiup, jadilah. Pada akhirnya dia cuma terkekeh. "Yah, terima kasih banyak…"
"Kalau begitu kau harus mengajak Nel berdansa lagi!" seseorang di ujung seberang berteriak.
Grimmjow menurut, dia mencari Nel yang sedari tadi ternyata sudah memerhatikannya. "Bagaimana kalau kita berdansa?" tawarnya.
Nel tak menjawab, dia meletakkan gelasnya dan mengambil buket beserta lengan Grimmjow sekaligus. Mereka melangkah ke tengah, sebagai pusat perhatian, bersama dengan kedua mempelai. Setelah pasangan-pasangan itu siap, lagu kedua pun dimainkan…
"Who's that girl in love? Who's that girl in love?
Hey, Lucia, the lonely days are through. No more sorrows, and teardrops on your face.
Hey, Lucia, so smile and look at yourself. You're the prettiest, the happiest in this world…
He came to you just for love you, hold you, and kiss you. Don't ever be afraid anymore…
He can be strong when you're weak, right when you're wrong, and will guide you where to go, taking your hand…
Hey, Lucia, the sunshine of your eyes, makes you brighter than any other girl.
But, Lucia, before you walk away, just remember…"
Sayang lagu itu tidak selesai. Begitu pun dansanya…
Karena sang mempelai wanita sudah terkulai lemas, pingsan di tengah panggung, pada acara pernikahannya sendiri.
to be continued.
balasan review anonim
alcohol is my enemy (di if i want to cry 1)
yang tanya km frustrasi: ehehe. makasih banyak. peristiwa kmaren mbawa banyak pelajaran sama saya. akan mncoba mnjadi orang yg nggak payah, jelek, dan sombong lagi. mohon dukungannya, ya.
voidy: mm hmm, iya mb. ya, ini ya begitu, hehe. masuk kategori flashfic juga kali ya mb. iya kasian ichigo. makasi banyak mb.
takumi-kun: ini mah coba-coba mb, hehe. terserahlah gaya menulis mau kaya apa, saya udah ga mikirin itu lagi sekarang, kapok. makasih banyak, mb.
cim-jee: masalah tersinggung sudah sy slesaikn lwt sms ya jee :p tapi ya saya minta maap juga kalo ada yg mbuat sy tersinggung. kita lupain aja, ya. sy juga udah tw d mana salah sy, dan skrg lagi berusaha (catet, berusaha, jadi kalo kadang khilaf ya maapin aja) jadi orang baik. soalnya sy slama ni udah jd org jahat bgt. 11-12 sama aizen lah, kecuali gantengnya soalnya sy jauh lebih ganteng dari si ijen haha. bergayut ada kok jee, kalo bergelayut mah tinggal diselipin sisipan 'el' doang (sama dengan sisip selisip atau gigi geligi gitulah).
curio ga login: oh, momen-momen mbabu, ya. heran ada yang inget. berarti seneng jadi babu. terima kasih banyak. dan maap, saya melanggar janji sendiri dengan mublish ini sbelum ceritanya tamat. ga munafik, saya kangen reviewer. jadi maap yah.