Title : A Prince Who Turns Into a Deer
Main Cast : Sehun, Luhan, Kai
Pair : HunHan, side!Kaisoo Taoris BaekYeol Sulay Chenmin
Genre : Fantasy Romance
WARNING: siapkan dirimu untuk sebuah dongeng. kalau anda tertidur, yeah, memang itulah guna dongeng
A Prince Who Turns Into a Deer
Chapter 7
Dahulu kala, Bumi terbagi menjadi empat kerajaan besar. masing – masing membentang dari utara ke selatan dan timur ke barat. Keempat kerajaan ini hidup berdampingan dalam damai. Saling menghormati dan bersumpah tidak akan menjajah kerajaan lain demi tujuan memperluas daerah kekuasaan.
Kerajaan Barat sejak dahulu dikenal sebagai tempat lahirnya ksatria – ksatria handal. Terletak di semenanjung yang luas. Kuda seolah menjadi sahabat bagi para pemuda disana. Bukanlah seorang lelaki apabila ia tidak mampu beradu pedang. Jargon tersebut sudah terpatri di dalam benak setiap pemuda disana dan menjadikan mereka sebagai lelaki tangguh dan kuat. Meskipun masa – masa perang sudah lewat dan kesepakatan damai telah dicapai, tak membuat kerajaan ini lupa apa yang dipesankan oleh leluhur mereka. Ksatria – ksatria tampan dan handal dilahirkan setiap tahunnya. Kerajaan Utara dan Kerajaan Barat pernah terlibat sebuah perang besar yang akhirnya sepakat gencatan senjata lewat dipinangnya seorang putri dari pihak Utara oleh seorang pangeran dari Barat.
Kemudian ada Kerajaan Timur. Kerajaan kecil namun memiliki pesona yang tiada tara. Berbatasan langsung dengan Kerajaan Barat. Bisa dibilang, Kerajaan ini adalah saudara kembar Kerajaan Barat. Awalnya, kedua kerajaan ini merupakan satu kesatuan yang akhirnya pecah menjadi dua. Timur dan Barat. Perang kepentingan dan beda pendapat menjadikan keduanya musuh abadi selama beberapa abad, namun dewasa ini kedua kerajaan menjalin hubungan yang amat baik. Apalagi setelah secara resmi disuntingnya pangeran Timur oleh Barat belakangan ini. Ketegangan antara kedua pihak telah mencair. Terima kasih berkat kebijaksanaan dan kedewasaan para Raja.
Kerajaan Timur terkenal oleh para manusianya yang elok rupawan. Gadis – gadisnya cantik dan Pemudanya tampan. Selain itu, darah seni mengalir deras dalam darah mereka. Musisi – musisi handal sering berasal dari sini. Tampan dan Cantik disetiap belahan dunia itu relatif. Seperti di Utara yang menitikberatkan pada kecerdasan. Para pemuda tak akan dilirik apabila mereka tak mampu menunggang kuda di Barat. Dan di Timur, kau akan diagungkan bila memiliki suara yang indah. Desas – desusnya, Pangeran memilih rakyatnya yang memiliki kemampuan menyanyi paling hebat dan menjadikannya pasangan hidup. Generasi berdarah seni dipastikan tak akan habis di tempat ini.
Kini kita memandang jauh ke Selatan. Dimana sebuah benteng tinggi berwarna hitam langsung menghalangi pandangan kita. Seolah menyembunyikan apa yang terjadi didalamnya. Rumor kencang mengabarkan bahwa Kerajaan ini sudah lama runtuh. Perang saudara berkecamuk bertahun-tahun dan hanya menyisakan penderitaan bagi rakyatnya. Sang Raja sudah lama terbunuh dan kekuasaan dipegang oleh kaum mayoritas. Disini, yang kuat yang menang. Awan gelap selalu tampak menyelimuti negara ini. Awalnya, daerah ini tempat berkembangnya ajaran. Agama yang menuntun agar hidup lebih baik. Namun ilmu hitam juga berkembang pesat disini. Penyihir hitam bermunculan. Mengancam siapapun yang melawan mereka. Meremukkan tubuh siapapun dengan mantra asing yang belum pernah terdengar apabila keinginan mereka tidak terpenuhi.
Dalam keadaan genting seperti ini, dua orang penyihir memutuskan untuk pergi dari negara gelap ini. Muak oleh keadaan yang tak pernah berpihak kepada mereka rakyat kecil. Keduanya menempuh perjalanan jauh dari Selatan sampai kaki mereka lelah melangkah. Berhari- hari bahkan bulan. Jauh. jauh dari kegelapan yang sejak lahir menghantui. Berharap menemukan kehiupan baru yang lebih menjanjikan. Kelaparan dan kelelahan. Tanpa disadari, mereka telah sampai di tepi sebuah Hutan Lebat. Mereka tahu telah jauh dari Selatan.
Selamat datang di Kerajaan Utara.
.
Kerajaan Utara, Barat, Timur, dan Selatan. Dari keempat kerajaan ini, Kerajaan Utara memiliki wilayah yang paling luas. Terletak di ujung dan membelah bumi menjadi dua. Berbatasan langsung dengan samudera menjadikannya sebagai pusat perdagangan bagi para saudagar. Luas. Sangat luas hingga sebuah gurun dapat ditemukan di belahan lain kerajaan ini. Hutan Utara membentenginya dari ketiga kerajaan. Kerajaan kaya yang dihuni oleh mereka yang berjiwa niaga.
Banyak pendatang dari Kerajaan lain berdatangan tiap hari untuk membelanjakan uangnya. Keragaman barang – barang yang kadang tak pernah mereka lihat sebelumnya bisa ditemukan disini. Ini menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan. Kerajaan memastikan roda perdangan berjalan lancar setiap hari. Karena dari sinilah pundi – pundi uang berasal. Rakyatnya makmur. Rajanya bijaksana dan dipuja. Tetapi hidup bergelimang harta rasanya tak sempurna apabila kau tak memiliki sesuatu yang penting. Berharga dan akan kau lindungi sampai mati. Negara raksasa yang damai. Istana yang indah. Rakyat yang patuh. Bala tentara yang siap membelanya sampai mati. Istri yang setia dan cantik. Semua itu ia miliki. Namun, hanya satu yang sampai sekarang tak kunjung Tuhan percayakan padanya. Hanya satu yang tak dimiliki Raja Wufan.
Keturunan.
.
Menikah selama hampir sepuluh tahun, Raja Wufan dan Ratu Zitao belum juga dikaruniai anak. Seluruh keluarga kerajaan menunggu. Rakyat menunggu. Sebuah hari bersejarah dimana mereka akan menyaksikan raja yang akan memimpin negara mereka di masa depan.
Tetapi putra mahkota yang ditunggu tak juga datang.
Mereka bukan tidak mencoba. Segala upaya telah mereka lakukan. Obat mana yang belum mereka minum. Ritual apa yang belum mereka jalani. Tak ada satupun yang membuahkan hasil. Tak ada yang perlu disalahkan. Tidak juga Raja Wufan yang menolak untuk mencobanya dengan wanita lain yang mereka sebut selir. Tidak. Raja Wufan memilih setia. Ia percaya Tuhan akan memberikannya keturunan. Ia hanya percaya waktu itu tidak sekarang. Setiap malam ia terus membisikkan kata – kata untuk menenangkan sang istri, Ratu yang ia yakini akan melahirkan anak- anaknya. Mereka hanya perlu bersabar.
.
Suatu hari, Raja Wufan beserta pengawalnya mengadakan patroli ke wilayah perbatasan. Mereka sampai di Hutan Utara. Hutan ini juga menjadi sumber kehidupan mereka. Dengan menjaga hutan ini juga berarti akan menyimpan cadangan air untuk seluruh rakyatnya. Karena itu Raja selalu memastikan agar semuanya berada dalam kendali. Sumber daya alam yang amat penting harus mereka jaga. Satwanya beragam dan sehat. Juga satu yang Ratunya sangat sukai. Hewan gemuk berwarna hitam dan putih.
Karena itulah Raja amat marah ketika ia melihat bahwa beberapa hewan tersebut telah mati. Mereka menemukan bangkainya di tepi sungai. Ratu sedih, Rajapun murka. Ia bersumpah akan menangkap siapapun yang berani membunuh harta Kerajaan Utara tersebut. Tidak ditemukannya hewan tersebut di negara lain menjadikannya langka dan dilindungi. Siapapun yang membunuhnya akan dihukum mati.
Tentara kerajaan menangkap dua orang mencurigakan yang berkeliaran di hutan. Mereka membawanya ke istana untuk diadili. Dua orang tersebut mengaku sebagai pengelana yang berasal dari Selatan. Mereka juga mengaku bahwa memang merekalah yang membunuh satwa tersebut karena kelaparan. Selama dipenjara, keduanya mendengar bahwa kerajaan ini tengah dilanda kecemasan bahwa mereka tidak akan memiliki penerus. Ketidakmampuan Sang Raja dan Ratu dalam menghasilkan keturunan menjadi buah bibir bahkan diantara pegawai kerajaan.
Mendengar ini, kedua penyihir yang malang melihat suatu celah untuk keluar dari hukuman mati yang akan dijatuhkan kepada mereka. Keduanya meminta untuk menemui Raja dan Ratu untuk sebuah kesepakatan.
Kedua penyihir berjanji akan membantu Raja dan Ratu untuk memperoleh keturunan dengan sihir yang mereka miliki dengan syarat dibebaskan dari hukuman mati dan dijanjikan hutan utara sebagai imbalannya.
Kesepakatanpun dijalin.
Setelah mencoba sekali lagi, tak butuh waktu lama bagi Sang Ratu untuk berbadan dua. Seluruh rakyat bersorak. Mereka menantikan kelahiran putra mahkota pertama kerajaan. Kedua penyihirpun senang dapat membantu Raja dan Ratu. Kepala mereka selamat dari hukuman pancung. Mereka lega akhirnya bisa mendapat sebuah tanah baru untuk memulai hidup baru. Hutan Utara.
Tetapi bahkan setelah putra mahkota lahir, janji itu tak kunjung dipenuhi.
.
Janji tetaplah janji. Kedua penyihir bertanya kepada Raja kapan kiranya mereka bisa mendapatkan Hutan Utara untuk memulai hidup baru. Tetapi apa yang dikatakan Raja sama sekali beda dengan apa yang ia janjikan dulu. Raja Wufan mengatakan bahwa ia menolak memberikan Hutan Utara demi kedaulatan kerajaan. Ia tidak mau memberikannya pada siapapun apalagi kepada penyihir dari Selatan. Penyihir itu berbahaya dan harus dijauhi.
Sang Raja ingkar janji. Sang Raja berkhianat. Kedua penyihir diusir dari wilayah Utara secara tidak terhormat.
Mereka tidak percaya. Setelah apa yang mereka lakukan, inilah yang mereka terima. Marah. Jelas itu yang mereka rasakan. Dan jangan sekali – sekali membuat penyihir marah atau kau akan diubah jadi kodok.
Sang Raja tidak pernah menyangka kebohongannya akan menjadi boomerang. Bayi mungil mereka diculik. Sebelum menghilang kedua penyihir sempat menemui Raja sekali lagi dan bersumpah dihadapan Ratu yang menangisi bayinya yang hilang.
"Terkutuklah! Wahai Raja Lidah Tak Bertulang. Kami telah dijanjikan tanah harapan dan kau mendustai ucapanmu sendiri! maka mengambil apa yang memang menjadi milik kami adalah adil hukumnya. Terimalah akibat dari perbuatanmu sendiri! manusia setengah hewan yang bahkan dewa tak sudi meliriknya! Pangeran malang yang menjadi korban kerakusan ayahandanya dan barangsiapa yang mampu mencintainya setulus hati, niscaya akan menjadi pengobatnya."
Sang Ratu menangis ketika bayinya yang tampan perlahan – perlahan menjadi monster mengerikan. Kulit yang tadinya putih bersih kini ditumbuhi bulu – bulu cokelat. Bayinya menangis ketika dari kepalanya tumbuh dua tanduk. Ratu Zitao tak sanggup melihat penderitaan bayinya dan jatuh pingsan. Ketika Sang Raja memerintahkan untuk menangkap dua penyihir itu, mereka telah menghilang.
.
Nasi sudah menjadi bubur. Penyesalan memang tak pernah berada diawal. Sang Ratu tak berhenti menangisi bayinya yang kini telah berubah menjadi monster bulu. Sang Raja hanya bisa mengusahakan agar bayinya sembuh. Sudah berkali – kali Sang Ratu mengatakan agar memberikan Hutan Utara kepada dua penyihir tersebut, tetapi Sang Raja tak pernah mendengarkan. Kini putra mahkota yang harus jadi korbannya.
Mereka tahu, tidak bisa memaksakan sang pangeran untuk tinggal di istana. Habitatnya adalah disana. Di Hutan Utara. Sudah dikatakan bahwa ia akan sembuh apabila berada di Hutan. Menunggu seseorang yang akan mencintainya dengan setulus hati. Maka, dengan berat hati Ratu Zitao mengantarkan Sang Pangeran ke tepi hutan. Ia akan belajar mandiri. Ia akan kembali dan sembuh. Pangerannya adalah pangeran paling tampan di bumi ini. Dengan kecupan terakhir di dahi, Raja Wufan membisikkan kata maaf. Ia tahu ia adalah ayah terburuk di dunia. Sampai kapanpun ia tak akan memaafkan dirinya sendiri.
Ratu Zitao tak beranjak dari tempatnya sampai bulu cokelat itu menghilang dari pandangan. Baru beberapa hari saja kebersamaan keluarga baru tersebut tapi kini mereka harus berpisah. Menangis, ia berdoa kepada Hutan Utara agar menjaga putra satu - satunya itu.
"Sampai jumpa, Luhan. Jaga kesehatan. Ibu akan merindukanmu."
.
Bersandar di sebuah pohon, Luhan merapatkan tubuhnya lagi. Mencoba mengenyahkan rasa dingin yang membuat jarinya mengerut. Ia menarik lutut sampai ke dada dan meletakkan dagu. Apa yang akan ia lakukan sekarang? tak ada baju. Luhan masih tidak habis pikir apa yang baru saja terjadi. Dikejar kawanan pemburu, tiba - tiba ditolong Sehun, lagi. Hanya memikirkan itu saja, pipinya kembali memerah. Luhan menyentuh bibirnya pelan. Disitu…Sehun baru saja menciumnya. Bukan itu saja, tetapi Sehun juga- Luhan menggelengkan kepala kuat – kuat.
"Kau jahat, Luhan! Sehun sedang kesakitan dan kau malah…," Luhan memarahi dirinya sendiri. Ya. Sehun terluka gara – gara dirinya. Meskipun ia sudah memastikan Sehun aman di tangan pengawalnya, tapi tak serta merta mampu membuat kecemasannya berkurang. Luhan menghela nafas.
"Aku… mencintaimu."
Sehun. Apa yang ada di otaknya sampai dia bisa berkata seperti itu? ia sudah melukai perasaannya. Memakinya saat emosinya meluap – luap. Seharusnya ia mendengarkan Sehun. Seharusnya ia memberi Sehun kesempatan. Kini, Sehun sudah membuktikan bahwa ia tidak memanfaatkan dirinya sejak awal. Ia sungguh – sungguh membuktikannya sampai bertaruh nyawa. Luhan tiba – tiba merasa malu.
Bagaimana keadaan Sehun? apa ia baik – baik saja? Luka di perutnya lebar dan…dan darahnya tak mau berhenti. Ia harus menemui Sehun dan minta maaf. Ia harus melihat keadaan Sehun…tapi sempatkah ia meminta maaf? bagaimana kalau-
Plak
Luhan memukul dahinya sendiri karena sudah berani berpikiran seperti itu. Benar. Ia harus ke Kerajaan Barat. Tapi bagaimana caranya kalau pakaian saja ia tidak punya?! Andai saja ia bisa berubah jadi rusa lagi. Konyol. Disaat kutukannya hilang, Luhan malah ingin jadi rusa.
Tunggu.
Kalau kutukannya hilang, itu berarti Sehun adalah orang itu. Orang yang mencintainya dengan setulus hati. Orang yang sudah mengenyahkan kutukannya dan kini orang itu sekarat dan semua itu gara – gara dirinya.
Ia harus keluar dari sini tapi tidak mungkin dalam keadaan telanjang. Tapi bagaimana caranya? Sejauh yang ia ingat, di Hutan ini tidak ada pasar.
"Kukira siapa, ternyata si rusa kecil!"
Luhan terperanjat dan mendongak. Matanya melebar takut begitu ia melihat si penyihir. Ia menunduk malu dan menyembunyikan wajahnya. Ia tidak mau bertemu mereka, apalagi dalam keadaan tanpa busana seperti ini.
"Apa yang kau lakukan disitu? Heeei jawab aku." Penyihir yang ia kenal bernama Jongdae membungkuk tepat didepannya dan mencoba mengintip wajah Luhan.
"P-pergi…aku tidak pakai baju…," isak Luhan. Jongdae tertawa terbahak – bahak. Ia malah mengambil posisi dan duduk di depannya. Luhan menangis makin kencang. Hanya ada tiga manusia yang menghuni hutan ini. Selain dirinya, ada dua penyihir Selatan itu. Jongdae dan Minseok. Luhan selalu berusaha menghindari keduanya karena meskipun mereka tidak pernah mencoba melukai dirinya tapi orang normal tidak akan mau dekat-dekat dengan orang yang sudah mengutuknya jadi rusa.
Rusa sudah cukup baginya. Terima kasih. Ia tidak mau dikutuk jadi kodok juga.
"Tunggu," ujar si penyihir seolah baru menyadari sesuatu. "Kau buang kemana tandukmu!?"
Luhan mengangkat wajah, ia ingin mengatakan sesuatu tapi mengurungkan niatnya. Ia tidak berpikir penyihir itu akan senang apabila mendengar kutukannya sudah hilang.
"Mana pangeranmu?" tanya Jongdae dengan nada lebih lembut.
Kali ini Luhan benar-benar terkejut. "Apa…? k-kau tahu soal Sehun?"
"Tentu saja," jawabnya kalem. "Dibutuhkan seseorang untuk mematahkan kutukan itu. Dan kalau dilihat dari keadaanmu yang mendekati wujud manusia…pangeranmu baru menyatakan cinta,ya?! apa kalian berciuman?!"
Luhan bersumpah ingin berubah jadi rusa lagi dan mennyerang penyihir didepannya ini menggunakan tanduknya. Tapi itu tidak mungkin. selain itu, ia tidak mau mengambil resiko dikutuk jadi kodok. Setelah berhasil jadi manusia lagi, mana mau ia jadi manusia kodok?! Luhan merinding membayangkan dirinya jadi kodok.
Jongdae masih memainkan alisnya dengan nakal. Luhan menyembunyikan wajah di telapak tangannya dan mengerang kesal.
"Tempat ini berantakan. Jadi pangeranmu kalah?"
Luhan terdiam. Ia ingin menjawab tapi itu hanya mengingatkan soal kebodohannya.
"Sayang sekali kalau begitu." Jongdae terpukau. "Kau sudah jadi manusia tapi dia malah mati-"
"SEHUN BELUM MATI!"
Luhan menahan keinginannya untuk berdiri dan memaki Jongdae. Tidak, ia masih telanjang. Setelah meluapkan emosinya, bahunya berguncang. Kini ia menangis seperti anak kecil. Suara tangisannya membuat Jongdae menutup telinganya.
"Dasar cengeng. Sudah sudah. Jangan menangis lagi," ujar Jongdae kesal. Ia beranjak dari rumput. "Minseok!"
"Hm?" entah sejak kapan penyihir itu mendengarkan pembicaraan mereka, tiba-tiba saja ia muncul.
"Ya, aku butuh itu. Berikan padaku." Jongdae menyambar jubah yang dipegang Minseok dan melemparkannya di atas kepala Luhan. Luhan meraihnya dan mendongak penuh tanda tanya. Apa ia baru saja dipinjami baju?
"Pakai itu dan pulanglah ke istana. Ibumu pasti merindukanmu."
Senyum lebar sedikit demi sedikit mulai menghiasi wajah Luhan.
"Apa kalian serius…"
"Yeah, yeah. Kurasa ayahmu sudah cukup merasakan akibatnya. Ini akan menjadi pelajaran berharga baginya."
"Terima kasih…," isak Luhan. Ia bangkit dan memakai jubahnya. Jubah itu menutupi tubuhnya sampai mata kaki, dilengkapi dengan tudung untuk kepalanya.
"Erm. Jangan berterima kasih. Karena rasanya aneh mengingat kamilah yang mengutukmu dari awal," ujar Minseok.
"Tidak…terima kasih tidak mengubahku jadi kodok juga meminjami jubah ini…sungguh terima kasih."
"Kodok? Apa yang kau bicarakan?" Jongdae keheranan.
"Ahahaha lupakan! Aku…pulang dulu," Luhan berpamitan kepada para penyihir.
"Berapa tahun kau jadi manusia hutan? Kau harus belajar giat untuk jadi pangeran…"
"Aku tahu! karena itu aku harus segera pulang…juga untuk melihat keadaan Sehun…," ia menambahkan pelan.
"Baiklah. Kau boleh pergi dan jangan kembali lagi. Sana, sana."
Luhan tertawa. Ia tahu Jongdae hanya bercanda. Ia berbalik dan siap pergi ketika Jongdae memanggilnya lagi.
"Luhan! Erm, itu, kan, namamu?"
"Ya. Ada apa?"
"Sampaikan pada ayahmu, kami tidak akan pergi dari hutan ini. Kami harap setelah ini tak ada dendam. Kami hanya pelarian dari Selatan! Kuharap…ayahmu punya sedikit belas kasihan."
Luhan tersenyum dan mengangguk. "Tenang saja. Aku yang akan menjamin itu."
Jongdae dan Minseok tersenyum lega. Mereka menyaksikan Luhan berlari dan berlari. Menembus hutan utara yang lebat. Meninggalkan rumah menuju rumah. Rumah yang sebenarnya.
.
Raja Wufan telah terbukti sebagai pemimpin yang hebat. Siapa di Kerajaan Utara yang tidak takut padanya? Meskipun begitu, bukan ketakutan macam itu yang rakyatnya rasakan. Seperti 'kau akan dipenggal kalau tidak bayar pajak' atau 'dilarang menyuarakan pendapat' atau mungkin 'dilarang mengkritik pemerintah'. Kewibawaan Penguasa Utara tersebut terpancar secara alami lewat seluruh pori – pori tubuhnya. Meskipun fakta bahwa Sang Raja tidak sanggup membuahi Sang Ratu tanpa bantuan mantra itu sudah menjadi rahasia umum.
Kejantanannya dipertanyakan.
Menyeret langkahnya menyusuri koridor, Wufan menggertakkan lehernya yang kaku. Menjadi raja sangat melelahkan. Rapat, rapat, dan rapat. Memang, ia menikmati masa kepemimpinannya, tapi saat ini ia hanya membutuhkan sesuatu untuk melepaskan penat.
Atau lebih tepatnya, seseorang.
Wajahnya yang dingin berubah begitu cerah ketika ia sampai di depan sebuah pintu kayu besar. Ia mendorong pintu itu sampai terbuka. Ekspresi diwajahnya mirip orang yang sedang dimabuk cinta.
"Istrikuuuhmph-"
Bola bulu besar adalah yang hal pertama menyambutnya. Spontan Wufan memejamkan mata dan merapatkan bibir. Dengan bunyi 'oof' pelan, sebuah –atau lebih tepatnya kali ini- boneka naga seukuran torsonya menampar wajah Wufan dan kemudian mendarat di kakinya. Ia menghela nafas dan memungut boneka itu. Cukup berat ditangan, pantas saja wajahnya sempat nyeri tadi.
Berbaring di ranjang dan alih-alih menampakkan wajah-merasa-bersalah, si pelaku menggumamkan sebuah lagu sambil memainkan boneka ditangannya. Seolah tidak melihat Wufan yang kini berdiri di tepi ranjang dengan tatapan memelas.
Kewibawaan Penguasa Utara tersebut terpancar secara alami lewat seluruh pori – pori tubuhnya.
Well, tampaknya itu tak berlaku ketika ia berada di dekat Sang Ratu.
"Zitao, tadi itu sakit."
"Ups, tidak sengaja."
Wufan memutar bola matanya. Ayolah, ini bukan yang pertama kalinya ia dilempar benda. Biasakan dirimu.
"Lihat, Luhan. Ibu baru saja menendang ayahmu di wajahnya. Bisa bayangkan, tidak? oh benar, kau kan ada di hutan utara sana."
Wufan mengheal nafas. Sampai sekarang Zitao masih belum bisa merelakan kepergian Luhan. Putra semata wayangnya. Ia pernah minta dibuatkan berpuluh-puluh boneka panda dan rusa. Koleksi barunya belakangan ini, yang baru saja mencium wajah Wufan, naga. Zitao bersikeras bahwa rusa sudah memaafkan ayahnya. Tapi Wufan curiga kalau tujuan sebenarnya Zitao hanya ingin melempar boneka baru itu ke wajahnya. Oh, dan lihatlah! Kecurigaannya terbukti.
Wufan bergabung dengan sang istri di ranjang dan meraih pinggangnya yang langsing untuk dipeluk. Zitao mau tak mau bangkit dari posisinya. Mengerang manja ketika punggungnya menyentuh dada Wufan.
"Kita sudah membicarakan ini. Bersabarlah, Sayangku." Wufan berbisik dan Zitao cemberut. Masih memainkan boneka panda dan rusa dikedua tangannya.
"Sudahkah istriku berdoa hari ini?" tanya Wufan sambil mengecup pelipis Zitao.
"Tidak perlu disuruh."
"Anak baik!" Wufan mengencangkan pelukannya, membuat Zitao menjerit pelan.
"Wufaaan," Zitao tiba-tiba melempar bonekanya ke lantai. Bibirnya semakin mengerucut.
"Ah! Kenapa Luhan dibuang?!" tanya Wufan. Zitao menunduk. Marah.
"Aku bosan." Gumamnya pulan.
"Kalau begitu, ayo kita bermain."
"Ini konyol! Tidak bisakah kita mengirim seorang pangeran kesana dan memintanya menyatakan cinta pada Luhan?! Aku ingin bertemu putraku!"
"Kau tahu itu tidak akan berhasil, Zitao. Cinta tidak bisa dipaksakan."
Zitao menyerah dan menyandarkan kepalanya ke bahu Wufan. Tubuh mereka bergoyang kekiri kanan. Wufan menggumamkan sebuah lagu. Tidak ada yang mampu meredakan kemarahan Zitao, yah, kecuali dimanjakan seperti ini. Tetapi Wufan tidak pernah mengeluh. Sejak awal, ini memang salahnya,kan?
"Bukankah kau bilang sedang bosan tadi?"
"Hmm."
"Bagaimana kalau kita main?!"
"Malas. Kau payah. Bermain apapun selalu kalah," Ejek Zitao.
Wufan menyeringai. Ini masih sore. Memang masih terlalu dini. Tapi mereka tidak akan pernah lelah mencoba.
"Kali ini beda!" Wufan mengangkat tubuh Zitao yang bersandar padanya. "Dengar. Kita bermain seperti biasa, tapi kali ini setelah selesai main, kau bisa menaruh Luhan di balik bajumu!" ia menunjuk boneka rusa yang tergeletak di lantai.
Zitao memandang suaminya aneh.
"Apa?" tanya Wufan polos.
"Kau pikir aku anak kecil?"
Wufan menelan ludah.
"Ahahaha…" ia tertawa hambar.
Zitao menyingkir dari pelukan Wufan dan menyilangkan lengan didadanya. Matanya menyipit dan ia pun menyeringai. Sepertinya Wufan kenal mimik wajah itu.
Uh-oh.
"Bawakan aku rusa yang sedang hamil lima bulan. Waktumu sampai tengah hari esok."
Wufan meraung.
Sial.
.
Hari ini adalah Hari Ratu Mulai Ngidam. Bukan hari besar mengingat sepertinya tiap hari sang ratu mengidam-ngidamkan sesuatu layaknya orang hamil . Dan ketika Hari itu tiba, istana akan gaduh mencoba memenuhi apa yang –kali ini- diinginkan sang ratu. Wufan sudah mengabarkan bahwa kali ini istrinya minta dibawakan seekor rusa yang tengah hamil bulan. Wufan mencoba menahan tawa menyaksikan wajah pengawal yang akan memenuhi permintaan aneh istrinya. Sial. Wajah mereka sangat…layak diabadikan. Tapi Wufan bertingkah layaknya raja yang bijak dan menyuruh mereka segera berangkat ke hutan utara. Bahkan pasukan Hari Ratu Mulai Ngidam telah dibentuk khusus untuk saat-saat seperti ini. Ketika keinginan sang ratu tidak dipenuhi maka raja yang akan jadi sasarannya. Dan Wufan sudah cukup merasakan semua itu.
Wufan melambaikan tangan kepada pasukannya yang gontai. Rakyatnya bersorak, bahkan ada yang menangis haru menyaksikan kepergian mereka. Belakangan ia tahu kalau pasukan ini sudah berangkat entah kemana, rakyat menyimpulkan bahwa Ratu tengah hamil. Wufan hanya bisa geleng-geleng kepala. Ia meragukan itu. Tentu saja. Hamil macam apa yang ngidamnya bahkan bertahun-tahun? Zitao sudah menyiksanya dengan berbagai macam permintaan seperti: panda tanpa warna hitam, yang akhirnya ia dapatkan dengan bepergian ke kutub utara. Membeku dan gemetaran, ia menyerahkan beruang kutub putih bersih sebagai gantinya. Tetapi kemudian hewan itu mati. Jelas. Tidak mampu beradaptasi dengan udara tropis, Zitao menangis dan akhirnya minta beruang itu dimakamkan di tempat asalnya. Ya. Tempat asalnya. Sungguh perjalanan yang menyenangkan kalau mereka tidak bertemu beruang ganas.
Terakhir, Zitao minta dibawakan naga. Seekor. Naga. Ya. Meskipun hewan mistis itu sudah dijadikan simbol negara sejak nenek moyang mereka, Wufan tahu hewan itu tak pernah ada. Wufan sudah berusaha menjelaskan dengan sabar tapi Zitao tampaknya tidak mau mendengarkan apa yang disebutnya hanya dongeng. Dan itu menyisakan hukuman baginya berupa 'tak diberi jatah' selama sebulan dan lebam berwarna biru di matanya. Ya. Zitao sangat berbahaya ketika sedang marah. Wushu terkutuk, umpat Wufan.
Wufan menyadari bahwa kebiasaan minta hal-hal aneh itu muncul tidak lama setelah kepergian anak mereka. Tragedi yang diakibatkan oleh kebodohannya. Sekarang, setelah Luhan belum juga kembali, Wufan praktis menuruti semua permintaan Zitao. Seolah-olah Zitao tengah balas dendam padanya. Tapi Wufan tak bisa berkata apa-apa. Setelah lehilangan Luhan, Kehilangan Zitao tak pernah dimimpikan olehnya.
.
Pasukan khusus tersebut kini telah mencapai hutan utara. Mereka bukan tidak punya nama. Oh yeah, mereka punya. Pasukan ini begitu terkenal hingga rakyat menjuluki mereka. Tetapi mereka masih belum paham kenapa harus dengan nama F4. Serius? Nama macam apa itu?
Pasukan ini beranggotakan empat orang. Dao Ming Shi si berisik. Hua Zhe Lei si pendiam. Xi Men si playboy, dan Mei Zuo Ling si penggemar wanita lebih tua. Entah mereka termasuk beruntung atau sial ditunjuk sebagai pasukan khusus Hari Ratu Mulai Ngidam. Meskipun begitu mereka tidak bisa menolak, kan?
"Aku tidak percaya ini!" isak Dao Ming Shi dramatis, panggil saja dia A shi.
"Kau tidak berubah, ya. Kau tidak akan dewasa kalau begini terus," dengus Lei.
"Tutup mulutmu!" A Shi menghunuskan pedangnya kearah Lei, untung saja Lei cepat menghindar. Tidak ada bedanya juga. Pedang itu masih aman dalam sarungnya. Lei maju dan menjulurkan lidah.
"Argh! Aku bisa gila! Aku, Jenderal terhormat Dao Ming Shi, yang dilatih di atas gunung sejak kecil demi melindungi Raja, harus puas sebagai pemburu satwa liar!" sang jenderal berteriak frustasi.
"Yah." Xi Men berpikir. "Bukankah itu benar? kita melindungi raja, kan?"
"Apa melindungi kejantanannya juga termasuk dalam tugas jenderal?" tanya Mei Zuo.
"Apa yang kalian bicarakan?" A Shi tidak paham.
"Ratu Zitao pernah mengancam akan mengiris kejantanan Raja Wufan ketika ia tidak dibawakan Bunga anggrek bulan."
"Konyol. Bunga itu kan ada dimana-mana."
"Kalau aku menyebut Bunga anggrek bulan, maka yang aku maksud adalah bunga anggrek bulan."
Xi Men menatap Mei Zuo dengan tatapan apakah-kau-serius.
"Tapi ini sudah keterlaluan! Apa kalian tidak ingat kita nyaris mati beku di kutub utara kemarin?!" lanjut A Shi.
"Kurasa tidak. Tugas kali ini mudah," ujar Lei ringan.
"Apa?" tanya Lei, menyadari ketiga temannya berhenti dan menatapnya datar.
"Benar, kan! Ayolah, tunggu sampai ratu minta dibawakan semut yang sedang hamil lima bulan! Hahaha!"
Mereka sepakat menjauhi Lei.
"Kita harus mulai darimana?"
"Bukankah kita sudah mulai dari tadi?"
"Yeah, hanya kelinci yang aku temui sejak tadi."
"Aku heran. Yang perlu mereka lakukan hanyalah mencobanya dengan orang lain," ujar Xi Menm menerawang.
"Kalimat seperti itu hanya keluar dari mulut bedebah tidak setia seperti dirimu," A Shi menjulurkan lidah kearahnya.
"HEI!"
"Argh sudahlah.! Kita tidak akan selesai kalau kalian bertengkar disini!"
"RUSA!" seru Lei tiba-tiba.
"MANA?!" ketiganya langsung lompat dari kuda.
Lei muncul dari semak bersama seekor rusa gemuk. Senyum kemenangan tersungging di bibirnya. Di luar dugaan, ketiga temannya hanya menatapnya seolah kau-ini-bodoh-atau-apa.
"Kenapaaa?!" tanya Lei kecewa.
"Itu rusa jantan, Bodoh. Apa kau tak lihat tanduknya?" Xi Men meninggalkannya.
"Oh?" Lei menatap si rusa dan si rusa menatapnya balik.
Setelah perpisahan yang mengharukan, ia melambaikan tangan pada rusa jantan yang ia kira hamil.
"Rusa itu kelebihan berat badan," isak Lei. Ketiga temannya sepakat tidak menghiraukannya.
Setelah menyusuri hutan lebih ke dalam, mereka masih belum menemukan rusa.
Mereka benar-benar dikerjai.
"Kenapa tidak kita suruh Xi Men menghamili salah satu rusa disini saja?" tanya Mei Zuo.
"Hei! Apa yang kau katakan?!" Xi Men tersinggung.
"Bukankah benar? kau mau dengan siapa saja, kan?"
"Memangnya kau lebih baik dariku?!"
"Paling tidak aku sudah memutuskan batasan usia."
"Dasar gigolo." Gumam Xi Men.
"Oi, Teman! Bagaimana kalau kita tanya anak ini saja?" seru Lei.
"Anak yang mana?" tanya mereka bingung.
"Aku menemukannya duduk dibawah pohon. Entah aku salah atau tidak, tapi anak ini bau rusa!"
Ketiga temannya buru-buru menghampiri Lei dan anak itu.
"Nak, apa kau melihat rusa yang sedang hamil lima bulan?" tanya Lei langsung.
"Hah? kalian siapa?" tanyanya balik.
"Kami adalah F4 dari kerajaan utara," ujar Lei bangga.
Ketiga temannya meraung penuh malu.
"Kerajaan utara?! Bolehkah aku menumpang kuda kalian?! Aku harus kesana dan aku tidak menyangka kalau hutan ini begitu luas! Selama tinggal disini, aku tidak pernah keluar sampai wilayah ini."
"Tinggal disini?! Siapa kau?!" tanya A Shi kaget.
"Ah, aku Luhan. Putra mahkota kerajaan utara."
F4 mengerjap dramatis seketika. Luhan mengernyitkan dahi.
"Erm, bagaimana? Bolehkah aku menumpang kuda kalian?" tanyannya lagi.
Tampaknya mereka bisa melupakan rusa bunting terkutuk itu.
.
"Buka pintu gerbang! F4 telah datang!"
"Aku mohon. Lei! Jangan sebut-sebut F4 lagi!" Xi Men frustasi.
"Kenapa?" tanya Lei. Ia terlihat kecewa sekali.
"Lei, F4 sudah tidak diperlukan lagi. Pangeran sudah pulang dan kita tidak perlu berurusan dengan permintaan-permintaan konyol ratu lagi." Mei Zuo menangis bahagia.
"Tuan Muda, mari saya antar ke istana!" A Shi berjalan didepan dengan gagah. Luhan terlihat bersemangat. Ia melihat halaman istana yang indah dengan antusias dan memutuskan akan melihatnya lagi nanti. Ia masih punya banyak waktu. A Shi melihat raja Wufan di atas jembatan yang ada di atas kolam. Raja menyadari kedatangannya dan berbalik.
"Kalian sudah datang? Cepat sekali. Mana rusanya?" tanyanya.
"Yang Mulia! Kami gagal menemukan rusa bunting itu! tapi-"
"Apa? berani sekali kalian pulang! cepat kembali ke hutan! Dan siapa anak berjubah hitam ini?!" seru ratu Zitao kejam. Ternyata keduanya berada diluar. Tepat sekali, pikir A Shi.
"Ampuni kami telah membangkang! Tapi kami telah membawa putra mahkota sebagai gantinya!"
"Apa!?" seru Raja dan Ratu bersamaan. Luhan membuka tudung yang menutupi kepalanya dan mendongak. Tersenyum lebar sekali.
"Ibu, ayah, aku pulang."
"Lu-"
Zitao berlari dari tempatnya dan memeluk Luhan hingga ia terjengkang. Wufan mengikuti dari belakang dengan tidak percaya.
"Luhan! Putraku! Lihatlah dirimu, kau nyaris setinggi ibu!"
Zitao menangis bahagia, masih mendekap Luhan. Meskipun kesulitan bernafas, tetapi Luhan balik membalas pelukan ibunya dengan sama eratnya. Mereka bangkit dari tanah. Tersandung dan nyaris jatuh lagi. Semuanya menjadi kabur oleh air mata. Setelah beberapa menit penuh haru, Zitao mengangkat wajah dan melihat wajah Luhan lagi.
"Aku memang tidak pernah salah. Seperti dugaanku, kau tampan sekali, Luhan!"
Luhan tersedak ketika ingin membalas. Wajahnya memerah. Ia memutuskan untuk menyembunyikan wajah di bahu sang ibu. Terdengar suara langkah dari belakang dan iapun mendongak.
"Bukankah kau melahirkan seorang putra, Sayangku? Kenapa dia jadi cantik begini?" tanya Wufan.
"Aku ini pria sejati!" protes Luhan.
Ayahnya begitu jangkung. Sepertinya ia mewarisi rambut sang ayah. Tangis sang raja pecah, lututnya nyaris mencium tanah ketika Luhan menahannya.
"Jangan! Tidak perlu, Ayah."
"Tapi gara-gara kebodohanku-"
Luhan menggeleng. "Kau adalah raja, bukanlah dewa. Aku tidak akan memaafkan kalau ayah berlutut didepanku!"
Zitao menghambur kearah dua orang yang paling dicintainya dan merengkuhnya erat. Wufan meraup keduanya ke dadanya yang bidang.
"Maaf…maaf…" isak Wufan.
Tangan Zitao melingkari pinggangnya. Pelukan Luhan di tubuh ibunya mengetat. Zitao menghapus air mata suaminya. Mereka bertukar pandang dan tersenyum. Luhan mendongak dan disambut dengan ciuman di kedua pipinya. Luhan terdiam sesaat kemudian senyumnya merekah lagi.
Akhirnya.
"Selamat datang, Putra Mahkota."
-to be continued-
Tanpa motivasi readers, author nggak akan mampu menyelesaikan chap ini. sungguh. Maaf sudah menunda terlalu lama. I miss y'all my lovely readers. I miss you so damn muuuuuch. chap ini basically Cuma tentang Luhan, kerajaan utara, taoris, dan…F4. Yeah. Humor gagal. Tapi Luhan nggak bisa tiba-tiba muncul begitu saja kan? Author memang pernah bilang kalau ini chap terakhir tapi ya namanya manusia. Oke, yang masih ingin tahu nasib Sehun di chap selanjutnya, silakan review!
-HZTWYF-