Number
a naruto fanfiction by Pearl
Dedicated to Sasuke & Naruto Shrine's Bloody Valentine; When Darkness Meets Romance,
Prompt: Salju
Pada hari Minggu mereka benar-benar pergi ke pantai.
Naruto membawa mobil tanpa sepengetahuan ayahnya setelah berhasil mengendap-endap di kamar dan mencuri kuncinya dari rak. Jam dinding masih menunjukan pukul tiga dini hari, tapi Naruto telah berpakaian rapi dengan jaket kulit hangat dan sepatu boots. Ia akan menjemput Sasuke di depan gerbang masuk universitas. Naruto sudah menawarinya akan menjemput di rumah Sasuke, tapi pemuda itu tetap tidak memberi tahu alamatnya. Bahkan mereka tidak bertukar e-mail atau nomor telepon.
Sedikit rasa khawatir bahwa Sasuke akan melupakan janji mereka terbersit di sudut hati Naruto. Ia tak berhenti gelisah sepanjang perjalanan menuju univrersitas yang biasanya ditempuh dengan berjalan kaki. Sepuluh menit mengendarai di jalanan yang sepi membuat perasaannya campur aduk tak karuan. Bagaimana jika Sasuke tidak datang. Bagaimana jika rencananya gagal. Lalu―
Kekhawatiran Naruto lenyap seketika ia tiba di pintu gerbang dan melihat Sasuke telah berdiri di sana, melipat tangannya di depan dada, dagunya dinaikkan. Naruto membuang napas lega.
Si Pirang mempersilahkan Sasuke masuk dan duduk di kursi penumpag. Naruto mengemudi selama tiga jam penuh, sesekali ia melirik Sasuke yang duduk tenang di sebelahnya sambil mendengarkan musik.
Perjalanan menuju pantai tidak ada hambatan, tentu saja. Jarang ada orang yang berangkat ke pantai pagi-pagi sekali di akhir musim gugur, mereka lebih memilih bergelung dalam balutan selimut tebal dr ranjangnya masing-masing daripada harus berdingin-dingin ke pantai.
"Kau tahu, Sasuke…" Naruto mencoba memecah keheningan di antara mereka, "dulu aku sering ke pantai bersama keluargaku."
Pemuda di sampingnya tak menjawab, tapi Naruto tahu ia mendengarkannya karena sekilas melihat Sasuke menekan tombol pause di layar telepon genggamnya.
"Sekarang tidak pernah lagi… rupanya aku terlalu sibuk kuliah. Kita akan wisuda sebentar lagi, seharusnya aku tidak menyita waktu tidurmu seperti ini, maaf…"
"Tak apa, sesekali pergi ke tempat yang berbeda tidak terlalu buruk."
"Kau tidak akan menyesal pernah datang ke sana, Sasuke."
"Hmm…"
Sasuke kembali terdiam, menekan tombol play untuk menyudahi pembicaraan singkat mereka. Naruto kembali konsentrasi pada jalanan di hadapannya, sedangkan Sasuke melihat pemandangan dari jendela di sampingnya. Mereka tiba di pantai jam enam kurang, tepat saat cahaya kuning mulai muncul dari ufuk timur. Tanpa berkata apapun Naruto langsung berlari keluar, mendekati pagar yang membatasi jalan beraspal dan pasir putih.
Bau air laut, suara berisik ombak yang berkejaran di pantai, pasir putih yang hangat serta Sasuke menjadi saksi terbitnya matahari pagi itu. Naruto tidak melewatkan setiap detik sampai bintang terbesar di galaksi bima sakti itu sepenuhnya muncul, member warna biru pada air laut dan langit yang tadinya gelap.
Ketika Naruto tengah terperangah dengan pemandangan alam di hadapannya, Sasuke mematung di sampingnya. Ia begitu takjub, tidak tahu, tidak sadar bahwa melihat matahari terbit melalui pantulan bayangan di mata Naruto jauh lebih indah dibanding melihatnya secara langsung. Selama sekian minggu, ia baru sadar bahwa iris mata berwarna sangat biru. Sebiru langit di pagi hari. Biru yang mungkin bisa membuatnya tenggelam apabila terlalu lama menatapnya.
Dalam hati ia bertanya: bagaimana Naruto memandang dunia ini. Apa semuanya terlihat biru… apa warna langit dan laut menjadi jauh lebih indah?
Benar apa yang Naruto katakan, ia sama sekali tidak menyesal datang kemari.
Tanpa ada yang menyadarinya tangan Sasuke sudah tergenggam dan bertaut dengan Naruto.
.
.
.
"Naruto… Naruto…"
Naruto menoleh ke belakang ketika mendengar suara lembut Sakura memanggilnya, gadis itu setengah berlari menghampirinya. Hari ini ia pergi ke kampus dengan menggunakan rok pendek selutut dan sepasang sepatu hak tinggi, ada make up tipis dan natural di wajahnya. Gadis itu terlihat jauh lebih cantik dibanding hari-hari sebelumnya.
"Sakura? Ini benar-benar kau?" tanya Naruto dengan nada menggoda hingga gadis itu memukulnya dengan tas kain di tangannya.
"Aku ingin meminta bantuanmu, kumohon… sekali seumur hidup saja."
"Berkali-kali juga tidak masalah," ia tersenyum. "Memangnya apa?"
Sakura mengulurkan tangannya, lebih tepatnya mengulurkan tas kain di tangannya kepada Naruto. Pemuda itu mengambilnya dan memperhatikannya, karena penasaran ia hendak menginntip isinya namun segera dicegah oleh Sakura.
"Ja-jangan―" pekiknya. "A-aku minta tolong, bisakah kau berikan ini pada Sasuke, aku―"
"―akan mengantarkannya," Naruto menyambung, mengangguk paham sambil tersenyum nakal.
Sakura menunduk malu-malu sambil bergumam terima kasih.
Naruto menemui Sasuke saat istirahat makan siang hari itu juga dengan membawa tas kain yang diamanahkan Sakura padanya. Sasuke sedang duduk di bangku taman sambil memakan sebungkus roti yang dijual di kantin sambil membaca buku tebal. Ia tak melirik ke pada Naruto sedikitpun walau sudah tahu pemuda itu sedang berjalan ke arahnya, perhatiannya dipakukan ke atas lembar buku di tangannya. Hingga Naruto memanggilnya dua kali, ia baru menoleh.
"Aku membawakanmu sesuatu, sebenarnya ini hadiah."
Sasuke menerima tas kain dari tangan Naruto. Membuka isinya dengan sedikit -tiba dadanya berdegup kencang karena rasa senang. Sebuah syal berwarna merah dengan motif salju berada di dalamnya. Properti musim dingin. Apa hadiah ini dari Naruto―
"…dari temanku. Dia meminta tolong padaku untuk memberikannya padamu."
―salah. Hadiah itu bukan dari Naruto. Mendadak Sasuke merasa kesal tanpa alasan. Tidak berkata apapun lagi ia memasukkan syal merah tersebut kembali ke dalam tas kain dan mengembalikannya pada Naruto.
"Untukmu saja..." Sasuke berkata dengan suara dingin.
"Apa?"
"Jika kau selama ini kau mendekatiku hanya karena temanmu yang meminta, lupakan saja." Sasuke berkata tanpa melihat pada Naruto. "Katakan padanya untuk menyerah, dan jika kau tidak mau memakainya, kembalikan benda ini padanya."
Sasuke hendak melangkah pergi, namun tangannya ditarik oleh Naruto dengan sangat kuat hingga ia mundur beberapa langkah. Pandangan mereka bertemu, mata biru itu berkilat-kilat.
"Ini tidak seperti yang kau bayangkan, Sasuke... pada akhirnya aku memang sangat ingin berteman denganmu . Kau tahu, aku tidak begitu memiliki banyak teman, mereka suka mengejekku―tapi kau―"
Naruto berhenti berbicara, tenggorokannya tercekat saat Sasuke menghempaskannya dengan kuat. Pemuda itu mundur beberapa langkah, menjauh dari Naruto.
"―pada akhirnya, eh?" Sasuke tertawa sinis.
"Sasu―"
"Memang apa rencana awalmu mendekatiku?"
Naruto terdiam, entah tidak mau menjawab atau tidak mampu menjawab. Memberi alasan sesungguhnya mengapa ia mendekati pemuda itu hanya akan memperburuk keadaan. Syukur jika Sasuke hanya marah dan tidak menyapanya beberapa minggu. Apa yang terjadi jika Sasuke mengecapnya sebagai orang gila, pembohong, dan menyuruhnya untuk tidak muncul di hadapan pemuda itu lagi.
Lalu usahanya utuk mencegah kematian pemuda itu gagal, dan ia akan hidup dalam penyesalan seumur hidupnya.
.
.
Lalu Sasuke pergi, meninggalkan Naruto sendirian. Berdiri di bawah pohon sambil memaki dirinya sendiri.
.
.
Hingga wisuda kelulusan, mereka tak bertegur sapa. Ketika berpapasan di jalan, mereka tetap berjalan lurus tanpa menyapa atau beradu pandang. Seperti orang asing bertemu orang asing.
Walau dalam hati Naruto berteriak, suaranya tak pernah sampai di telinga Sasuke.
Walau ia menangis, Sasuke tidak pernah tahu.
Hari demi hari. Mereka melanjutkan kehidupannya masing-masing. Menapaki jalan yang mereka tentukan.
Kadang Naruto menyesal… mengapa ia tak bisa berkata jujur hari itu.
Kadang Naruto menyesal mengapa ia tak bertukar e-mail dan nomor telepon, dengan begitu setidaknya ia bisa mengucapkan kata maaf yang tak berani disampaikannya secara langsung.
Satu demi satu penyesalan menenggelamkannya ke dalam kebencian. Ia membenci hidupnya, mengapa ia dilahirkan dengan kemampuan mengerikan seperti itu. Mengapa harus dia.
.
.
.
Naruto terbangun di akhir bulan Desember, tanggal 31 pagi.
Ia melompat menuju rak buku di samping mantan meja belajarnya―yang sekarang sudah tak pernah ia gunakan―mencari-cari buku bersampul hitam hardcover―buku tahunannya.
Bagaimana bisa ia tidak memikirkannya, bagaimana bisa ia lupa bahwa Sasuke ada di hari yang sama dengan hari wisudanya. Dan seharusnya, foto, profil dan alamat Sasuke ada di sana. Bagaimana bisa ia melupakan hal sepenting itu. Bagaimana ia bisa hanya menyesali hal yang telah diperbuatnya selama dua minggu di atas kasur, memikirkan jalan keluar yang tak kunjung ditemukannya karena ia tak tahu apapun tentang Sasuke. Sedangkan petunjuk itu telah ada, berada sedekat ini dengannya tapi―
Ketemu!
Naruto buru-buru mencatat alamat rumah Sasuke serta nomor teleponnya sebelum berlari tergesa-gesa mengambil kunci dari rak ayahnya lalu keluar menggunakan mobil. Bahkan ia lupa mengganti baju tidurnya dengan celana jeans, ia lupa masih memakai sandal rumah, tapi ia tak peduli. Semua itu tak lagi penting.
Masih jam 6 kurang, tapi Naruto sudah menggedor pintu apartemen Sasuke dengan membabi buta. Terdengar suara keluhan dari dalam sebelum pintu itu terbuka, Sasuke menatap tamunya dengan alis bertaut.
"Sasuke…" pemuda yang ia kenali merengek di depan pintu. Keadaannya sangat memprihatinkan, tubuhnya sedikit kurus, ada kantung hitam di bawah matanya, rambut pirangnya acak acakan dan pandangan matanya tidak fokus. Biru langit itu terlihat kusam, tertutup awan mendung sebelum akhirnya pecah menjadi tangisan. "Maafkan aku Sasuke… aku tidak bisa jujur padamu."
Sasuke terperangah. Ia melihat Naruto mulai ujung kaki hingga kepala. Ada serpihan salju di bahu dan kepalanya, Sasuke mengusap jejak benda kecil dan dingin tersebut dari badan Naruto. Empunya semakin terisak.
"Sas―"
"Masuklah, ganti bajumu."
.
"Aku berbohong." Adalah kata yang keluar dari mulut Naruto untuk pertama kalinya setelah ia berganti baju, selesai meneguk teh hangat yang dibuatkan Sasuke, mereka sedang duduk berdua di ruang tengah apartemen Sasuke. Keduanya tidak bertatap muka, tapi saling merasakan kehadiran orang di hadapannya.
"Aku tahu, maka dari itu kau kemari…" Sasuke berkata dengan tenang, menyamankan duduknya di sofa beludru dengan kaki diselonjorkan. "…kau akan menjelaskan semuanya, 'kan?―"
Menjelaskan. Semuanya. Tentu saja tidak semuanya. Tapi, ia sudah tak punya muka untuk berbohong pada Sasuke lagi setelah meminta maaf sambil menangis beberapa saat yang lalu.
"Aku bisa melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh orang lain."
"Hantu―"
"―bukan!" sanggahnya cepat. "Aku bisa melihat tanggal kematian seseorang."
Naruto berhenti sebentar, melirik pada Sasuke―memperhatikan ekspresinya yang tidak berubah. Rupanya memberi waktu pada Naruto untuk berbicara semuanya. Selengkapnya.
"Pertama kali aku melihat angka itu di atas kepala ibuku, 14 Februari, empat―lima tahun yang lalu. Kukira aku hanya berimajinasi, tapi aku juga melihatnya di atas kepala orang lain… teman-temanku, guru, burung, kucing, segala sesuatu yang hidup memiliki angka di atas kepala mereka."
Naruto merasakan sendi-sendinya melemas, tulangnya terasa nyeri. Tapi bibirnya tidak bergenti bergerak.
"Kupikir angka-angka itu hanyalah sebuah angka, tapi ternyata―deretan angka itu membentuk serangkaian tanggal. Awalnya aku tidak percaya hingga aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Ada. Seseorang. Aku melihat seseorang mati di tanggal yang sama dengan deretan angka yang kulihat di atas kepalanya." Naruto berhenti, menelan ludah untuk membasahi tenggorokannya. "Lalu ibuku… mati di tanggal 14 Februari."
Mata Sasuke merah, bibirnya memutih.
"Bagaimana kau melakukannya?" Tanya Sasuke, setengah tidak percaya dengan apa yang dikatan Naruto.
"Entahlah, terjadi begitu saja saat aku membuka mataku di pagi hari."
Udara di sekitar mereka tiba-tiba menjadi sangat dingin.
"Kau pasti berpikir aku orang aneh, gila, mengada-ada―"
"Aku percaya padamu."
"Benarkah?"
"Bukankah alasanmu kemari untuk memberi tahuku alasanmu yang sesungguhnya?"
Naruto mengangguk pelan.
"Lalu? Mengapa kau mendekatiku?" Sasuke yang berbicara, ia tak bisa mengalihkan pandangannya dari Naruto walau hanya sedetik. "Apakah aku akan mati?"
"Tentu saja kau akan mati."
"Berapa lama yang tersisa?"
"A-apa?" Naruto pura-pura bertanya seolah tak mengerti.
"Angka di atas kepalaku… akan berakhir di tanggal berapa?"
Naruto membeku, batinnya teraduk aduk, terpecah menjadi kepingan kecil. Mati-matian menahan tangisannya agar tidak meledak di hadapan Sasuke dengan mencengkram kain beludru sofa dengan seluruh kekuatannya.
"Lima puluh… tidak… hampir enam puluh tahun lagi."
Naruto berbohong, ia memberikan senyum dengan mata berair pada Sasuke. Pria di hadapannya pun ikut tersenyum.
"Mohon bantuannya untuk enam puluh tahun ke depan, Naruto."
Ia tersenyum sekali lagi. Senyuman yang tak cukup mencapai sepasang mata obsidiannya.
.
.
.
One message received
Sender: Sasuke
Subject: (no subject)
Temui aku. 8 pm. Gerbang universitas.
.
Masih ada waktu dua jam lebih menuju ke jam 8 malam, Naruto memutuskan untuk berjalan-jalan sedikit sebelum pergi menemui Sasuke di gerbang universitas.
Berjalan sendiri menyusuri kawasan pertokoan di malam tahun baru merupakan kesalahan besar. Jalanan yang biasanya ramai menjadi sangat ramai. Lalu lintas padat merayap, mobil harus mengantri untuk mendepatkan jalannya. Naruto adalah salah satu dari sekian banyak manusia yang berlalu lalang sambil melihat-lihat barang yang dipajang di etalase toko.
Ia tidak menyadari bahwa ada seseorang yang sedari tadi mengikutinya, tidak sampai orang itu menepuk bahunya.
"Sakura?"
"Hai… Lama tak bertemu," gadis itu masih sama, rambutnya masih berwarna merah muda, suaranya masih tetap lembut, senyumnya tetap hangat. "Kau… kurusan."
"Hanya sedikit berpikir keras… kau tahu…"
"Aah…" Sakura mengangguk paham, lalu dengan tatapan menggoda ia bertanya, "berpikir soal Sasuke ya?"
Bagaimana kau bisa tahu?!
"Bagaimana bisa kau berpikir begitu?" Tanya Naruto diselingi tawa kaku.
Mendadak tatapannya mendingin. Naruto terkesiap.
"Kalau kau tidak keberatan, mau membicarakannya sambil minum kopi?"
Naruto mengikuti kemana kaki Sakura melangkah: restoran fast food. Mereka berjalan beriringan, duduk paling pojok di samping jendela, sebisa mungkin menjauh dari keramaian. Setelah memesan minuman kepada pelayan, mereka berpandangan.
Keduanya membuat duduk mereka senyaman mungkin karena ini akan menjadi pembicaraan yang cukup panjang.
"Sasuke menemuiku, dua minggu lalu. Saat setelah acara wisuda selesai." Sakura melirik pada cangkir kopinya yang baru saja diantar oleh pelayan. "Lalu aku bertanya padanya, apakah dia menyukai syal pemberianku. Tapi jawabannya benar-benar menohok hatiku."
Gadis itu berhenti, meraih gagang cangkir kopinya dan membawanya ke depan bibir. Menyesap seperempat isi kopi itu untuk membasahi tenggorokannya.
"Dia berterima kasih padaku, dia menerima syal itu tapi tidak dengan hatiku." Gadis itu tertawa hambar, "dia juga berkata bahwa jika aku berteman denganmu hanya karena ingin mendekatinya, lebih baik hentikan saja."
Subjeknya kau, Naruto. Yang dia bicarakan adalah kau. Pemeran utamanya kau, sedangkan aku hanya figuran.Ringis Sakura dalam hati.
"Sakura, aku sama sekali tidak merasa―"
"Yang dikatakannya benar, Naruto." Sakura memotong, ia menggeser cangkir ke tepi meja untuk memberi jalan pada tangannya menggenggam milik Naruto. "Tapi yang harus kau tahu, aku sangat tulus berteman denganmu. Bahkan sebelum aku menyukai Sasuke."
"Aku mengerti."
"Bagus."
Sakura tertawa lagi, namun kali ini tawa itu muncul dari dalam hatinya.
Para pelayan berlalu-lalang di sekitar mereka, sibuk melayani pengunjuk dari meja satu ke maja lainnya. Lagu yang sedari tadi mengalun menemani mereka berbicara sudah berganti entah yang ke berapa. Lampu-lampu dengan berbagai macam warna dipasang untuk menghiasi sudut restoran.
Sakura dan Naruto masih duduk berhadapan dan tidak bicara sepatah katapun lagi.
Naruto meraih telepon genggam yang dia letakkan di atas meja untuk melihat jam.
7.49 p.m.
Sudah saatnya ia pergi menemui Sasuke di gerbang universitas.
Ia pun berpamitan pada Sakura, namun ketika hendak pergi dari kursinya Sakura menarik ujung jaket yang ia kenakan.
"Naruto…" gadis itu menatap si pirang dengan sorot mata tajam. "Jaga Sasuke baik-baik. Aku mempercayakannya padamu."
Naruto hanya tersenyum sebagai jawaban.
Pasti Sakura, aku akan menyelamatkannya.
.
.
8.06 p.m. Naruto tiba di gerbang universitas setelah berjalan lima belas menit dari restoran fast food. Sasuke telah ada di sana, bersandar pada bemper mobiln sambil melipat tangan di depan dada, dagunya dinaikkan.
Ketika Sasuke melihat sosok Naruto berjalan pelan mendekatinya, ia langsung masuk ke mobil mengisyaratkan agar si pirang mengikutinya.
"Mau ke mana kita?" tanya Naruto pada Sasuke sembari memasang sabuk pengaman.
"Lihat saja nanti,"
Sasuke menyalakan mesin mobilnya. Pemuda itu membawa Naruto menjauh dari keramaian kota. Lampu-lampu yang menerangi setiap sudut bangunan di sana terlihat kecil seperti titik-titik yang bercahaya. Langit malam di tempat yang jauh di keramaian sungguh suram, serta terlalu lama berada di mobil tanpa berbicara membuat kelopak mata Naruto terasa berat. Satu jam berlalu hingga mata itu sepenuhnya tertutup, ia tertidur. Ketika mobil akhirnya berhenti, Naruto terbangun oleh guncangan kecil di bahunya.
Suara ombak.
Pantai.
Benar, Sasuke membawanya ke pantai yang ia tunjukkan beberapa minggu lalu.
Naruto berjalan di belakang Sasuke, sedikit tergelincir ketika ia mencoba menaiki pagar pembatas antara jalan beraspal dan pasir. Ia harus mengeluarkan cukup banyak tenaga untuk berhasil menapaki pasir pantai, mengejar Sasuke yang telah berada jauh di depannya. Kesal karena langkahnya terhambat oleh pasir, Naruto melepas sepatunya dan berlari ke arah Sasuke tanpa mengenakan alas kaki.
Sasuke berjalan hingga mencapai garis antara pasir dan air laut, ia merentangkan tangannya selebar mungkin. Menghirup udara pantai malam hari yang dingin, terutama di musim dingin. Naruto meluncur ke samping Sasuke, ikut berdiri sambil merentangkan tangannya hingga ujung jari mereka bersentuhan.
"Kau tahu," tak biasanya Sasuke yang memulai pembicaraan. Karena ini adalah kejadian langka, maka Naruto benar-benar memperhatikannya.
"Pantai ini adalah tempat kesukaan seseorang, ia bercerita bahwa dulu ia sering datang kemari bersama keluarganya,"
Mengetahui siapa subjek dalam cerita Sasuke, membuat Naruto sangat ingin tertawa. "Oh ya? Lalu bagaimana?"
"Beberapa minggu lalu dia membawaku kemari, apa kau tahu apa artinya?"
"Apa?"
"Dia membawaku ke tempat yang biasa ia gunakan untuk menghabiskan waktu bersama orang-orang terdekatnya." Kata Sasuke pelan, suaranya hampir tertelan deru ombak dan hembusan angin. "Apa artinya itu?" Ia menoleh, mempertemukan pandangan matanya dengan Naruto.
"Artinya dia menganggapmu orang terdekatnya,"
"Oh ya?"
Dari kejauhan mereka bisa mendengar orang-orang berseru, mereka yang tinggal di tepi pantai sedang menghitung mundur menuju pergantian tahun.
Tiga. Dua. Satu. Lalu terdengar suara ledakan kembang api. Sejuta warna cemerlang menerangi langit malam.
Naruto berjinjit dan mempertemukan bibir mereka, matanya menutup dalam kegembiraan sekaligus rasa gugup.
Ciuman pertama mereka terjadi di bawah sinar kembang api tahun baru. Ciuman sempurna seperti semua hal yang Sasuke inginkan.
Ketika bibir mereka terpisah, keduanya berpandangan
"Aku tahu kau berbohong, Naruto…" ujar Sasuke tenang, tangannya diselipkan pada pinggang pemuda pirang di hadapannya agar tubuh mereka berdekatan. "Tak peduli jika aku mati sekarang, besok atau lusa. Aku tidak takut."
Naruto mengigit bibirnya.
.
.
Ciuman berikutnya mereka berlangsung saat Naruto mengunjungi apartemen Sasuke di pertengahan bulan Januari. Mereka melakukannya di bawah pohon sakura yang daunnya telah gugur, digantikan oleh tumpukan salju putih.
Naruto mengajak Sasuke membuat manusia salju hari itu. Awalnya Sasuke menolak karena manusia salju hanya dibuat oleh anak taman kanak-kanak, tapi karena Naruto mengancam akan menghancurkan koleksi novelnya akhirnya Sasuke mengalah.
Mereka membuat manusia salju bersama-sama kemudian menyimpannya dalam freezer.
.
Ciuman selanjutnya terjadi ketika Naruto mencoba membangunkan Sasuke yang masih bergelung dalam selimutnya padahal jam dinding sudah menunjukkan pukul 12 siang hari. Udara di awal Februari masih beku, terlebih ketika semalam ia baru saja begadang karena menemani seseorang yang mengoceh di teleponnya. Siapa lagi jika bukan Naruto.
Baru saja Sasuke akan menindihnya namun Naruto segera mendorongnya hingga terjungkal jatuh dari ranjang. Mereka tidak bicara apapun lagi sampai sore. Bahkan sampai Naruto pulang ke rumahnya tanpa pamit kepada Sasuke.
Tapi pada malam hari, tepat sebelum Naruto memejamkan matanya. Ia menerima pesan 'good night' dari Sasuke dan kemarahannya lenyap begitu saja.
.
Ciuman keempat mereka bersamaan dengan ciuman ke lima, keenam, dan ketujuh.
Mereka sedang berbaring di sofa sambil menonton televisi sementara di luar sedang hujan salju.
Selama ini hubungan mereka memang terlihat harmonis, namun sebenarnya Naruto menyimpan kegelisahan yang luar biasa setiap ia bangun tidur. Setiap pagi ia mengecek kalender. Hari demi hari berlalu. Waktu terus berjalan, tak pernah berhenti.
Setiap ia memandang wajah Sasuke, ia selalu dihantui oleh rasa takut. Takut kehilangannya.
14 Februari hanya tinggal menghitung hari. Ia tak siap jika harus berkata selamat tinggal pada Sasuke.
Ia harus menyelamatkannya, apapun yang terjadi.
"Apa yang kau pikirkan?" tanya Sasuke melihat dahi Naruto yang berkerut. "Soal kematianku?"
"Bukan! Tentu saja bukan… kau masih punya waktu sangat lama…" Naruto bersikukuh bahwa Sasuke memiliki kesempaan hidup masih lama, sekalipun Sasuke sudah tahu dirinya berbohong. "Aku hanya berpikir… apa yang akan kita lakukan di hari valentine."
"Kau ingin aku memberimu coklat?"
"Tidak…" ia menggeleng, "bagaimana jika kita menonton film di rumah?"
"Membosankan,"
"Memasak di rumah?"
"Aku ingin makan di restoran."
Naruto menatap Sasuke nervous, "bagaimana jika kita… bermain video game di rumah?"
Sasuke memutar bola matanya, "kita sudah menamatkan semua video game minggu lalu."
Ia mulai kehabisan ide. Otaknya berpikir cara ampuh macam apa yang bisa membuat Sasuke tetap tinggal di rumah.
Kemudian terlintas sesuatu yang gila di pikirannya, "aku ingin kita… kau tahu…. Memberimu sesuatu yang berharga di rumah."
Jawaban yang ia dapatkan hanya tawa Sasuke yang membuat pipinya semakin merah,
.
.
"Omong-omong, Sasuke. Besok adalah hari valentine."
.
.
.
Malam itu Naruto tidur dengan perasaan gelisah. Lebih gelisah dari malam-malam sebelumnya. Karena besok adalah hari dimana Sasuke―
―tidak! Ia harus bisa menghentikannya.
Naruto tidak bisa tidur matanya meski telah memejamkan matanya sejak berjam-jam yang lalu. Meski tangan Sasuke melingkar di pinggangnya dan wajah mereka berhadapan, ia tak juga merasa aman. Meski Sasuke tepat berada di hadapannya, ia sangat takut. Takut pemuda itu akan meninggalkannya.
Ketika Naruto melirik angka di atas kepala Sasuke, perasaan takutnya semakin menjadi-jadi.
14:02:13
Besok.
Besok.
Beso―TIDAK!
Tubuh Naruto bergetar, ia menggerakkan tangannya untuk menangkup pipi Sasuke. Mengusap rahangnya yang tegas, bibirnya yang lembut, hidung mencungnya… lalu turun ke leher… dada… merasakan detak jantungnya.
Jantungnya masih berdegub, badannya juga masih hangat. Sasuke belum mati.
Sasuke belum mati.
Tidak akan mati.
Lalu Naruto memejamkan matanya, tertidur. Setetes tangis menggantung di sudut matanya mulai turun, meresap di atas bantal.
.
Ketika Naruto terbangun, ranjangnya telah kosong dan dingin. Sasuke tidak ada di sampingnya. Ia meloncat turun dari kasur, keluar kamar dengan berlari membabi buta. Mencari―memanggil―meneliti seluruh sudut rumah tapi Sasuke tidak ada. Ketika Naruto hendak mengambil minum di lemari es, ia menemukan secarik kertas berwarna kuning berisi tulisan tangan Sasuke.
'Aku pergi membeli sesuatu, jangan lupa sarapan. Jangan minum air es di musim dingin, nanti kau bisa sakit.'
Tanpa sempat memakai pakaian hangat ataupun mengganti pakaian tidurnya Naruto keluar dari apartemen Sasuke. Ia berlari mencari-cari pria itu di sepanjang jalan dari apartemen Sasuke menuju pertokoan. Tangannya tidak berhenti mengirim sms dan menelepon Sasuke.
"Hallo?" Suara Sasuke terdengar dari seberang sana.
"Ya Tuhan, di mana kau Sasuke? Aku sangat khawatir padamu, apapun yang kau lakukan sekarang tinggalkan dan segera pulang ke rumah." Naruto meracau, ia terus berlari menuju pusat pertokoan meski kakinya terasa beku karena lupa tidak memakai alas kaki apapun saat berlari kemari. "Sasuke, apa kau mendengarku? Di mana kau?"
"Ya…ya… aku sedang dalam perjalanan, tenang saja."
"Bagaimana aku bisa tenang disaat kau―" Naruto tidak melanjutkan kalimatnya.
"Apa?"
"Di mana. Kau. Sekarang?"
Naruto berhenti untuk beristirahat sejenak. Dari kejauhan ia bisa melihat beberapa orang berlari kebingungan menghampirinya, beberapa dari mereka menunjuk-nunjuk sebuah truk pembawa semen yang melaju kencang di jalan raya. Setelah jarak mereka lumayan dekat, barulah Naruto sadar bahwa truk itu melaju tanpa supir. Ekor matanya memandangi truk itu melintas di hadapannya beserta orang-orang yang melewatinya selama sepersekian detik sebelum ia kembali berbicara pada Sasuke.
"Aku berada di toko perhiasan,"
"Untuk apa kau ke sana, bodoh. Mengapa kau tidak mengajakku, kau membuat jantungku hampir copot karena tiba-tiba menghilang begitu saja. Awas kau ya kalau nanti―"
"Naruto! Naruto―" suara Sasuke di seberang terdengar sedikit tidak jelas, tiba-tiba saja terdengar bunyi gemuruh lewat speaker telepon genggam Naruto.
"Sasuke? Sasu―"
"―aku mencintaim―"
DUARK!
"Sasuke?!" Naruto berteriak pada telepon genggamnya setelah suara keras terdengar dari speaker. Ia menoleh ke belakang dan menemukan truk pembawa semen itu berhenti setelah menabrak toko.
Dengan sekuat tenaga Naruto berlari kesetanan menuju tempat kecelakaan, betapa terkejutnya dia ketika melihat bahwa yang ditabrak oleh truk itu adalah toko perhiasan. Lalu matanya mencari-cari sosok Sasuke, ia menyibak kerumunan orang dengan tubuh bergetar. Seluruh sendinya luruh, pikirannya melayang-layang.
Ia melihat Sasuke terbaring di tanah dengan menggenggam telepon genggam―yang masih melakukan panggilan dengan teleponnya―serta tas kertas kecil. Naruto mengambil tas itu dan membukanya, sebuah kotak beludru berwarna merah berisi sepasang cincin perak dengan ukiran nama masing-masing di baliknya.
Naruto menutup matanya kali ini, tak memiliki keberanian untuk membukanya lagi. Yang terakhir kali ia lihat pada sosok Sasuke hanya pandangan matanya yang kosong, bibirnya memutih, irama napasnya yang terhenti. Ia tak lagi melihat angka. Tidak ada lagi angka di atas kepalanya.
Tidak lagi.
Karena hidupnya telah berakhir.
Karena Naruto gagal menyelamatkannya.
Ini tidak sampai Naruto akhirnya berhasil keluar dari kerumunan sambil membawa kotak beludru berwarna merah di tangan kanannya, serta telepon genggam di tangan kirinya. Ia masih berusaha memanggil nama Sasuke dan mengharapkan jawaban dari orang yang sedang tersambung dalam jaringan telepon bersamanya. Tapi semakin Naruto memanggil dan tak mendapatkan jawaban, seluruh tubuhnya hancur menjadi kepingan yang tak bisa direkatkan kembali. Ia masih tidak percaya bahwa Sasuke benar-benar pergi sampai sambungan telepon itu terputus. Entah karena petugas pmi yang mematikannya, atau operator yang memutusnya.
Ia sendiri tak tahu mengapa dia menangis di tengah jalan sepanjang perjalanan pulang seolah matahari takkan terbit lagi esok hari.
Semua orang yang berpapasan dengannya memperhatiannya dengan tatapan heran. Beberapa dari mereka menawarkan bantuan, tapi tak ada yang digubris oleh Naruto.
Hingga ia sampai di apartemen Sasuke, tangisannya tak juga berhenti.
Atau mungkin takkan berhenti.
.
.
.
.
.
.
Hidup ini dimulai dengan angka, dijalani menggunakan angka dan berakhir dengan angka.
Atau mungkin… di dunia lain, atau di tempat yang tersembunyi di bumi ini. Apakah ada kehidupan yang dijalani tidak berdasarkan angka?
Number (part 3) end
Terima kasih atas semuanya. Kesabarannya menunggu saya mengedit fanfic ini. Terimakasih review dan favoritenya.
Maaf untuk para sesepuh (ngikut bahasanya mbak Nad) Shrine, saya sudah sangat telah menyerahkan karya ini. Mohon dimaklumi yaa… *sembah sujud*
Sekali lagi, terima kasih sudah membaca. Mind to review, flame and concrit?