Author's note: ...telat dong. Udah tanggal satu dong. Tret di Shrine juga belum dibikin dong. /nempel ke lantai Urgh, setidak-tidaknya menurut FFN ini masih tanggal 28. #ditampar
Warnings: This is shounen ai, which means it's male x male story. Sekali lagi fic ini punya timeline maju mundur antara flashback dan present, ditandai dengan garis, bukan italic, jadi hati-hati sama keterangan waktunya ya! Bahasa pelangi (which means ada bahasa asing dan Indo yang dicampur baur jadi satu lalalala), dan character(s) death. If it's not your cup of tea, leave it.
Spring, Berlin, 1963
Setahun berlalu bagai meniup abu dalam sekam atau secepat membuka kedua telapak tangan yang tertangkup dalam doa. Keduanya memilih menikmati keheningan tepat di hadapan lingkaran air mancur dengan patung wanita menumpahkan air dari kendi yang dipeluknya berada tepat di tengah kolam. Petang hari yang hangat memberi waktu 'tuk para lili mengalami metamorfosa hidup. Segalanya tampak putih dengan suasana yang tidak terlalu ramai. Sempurna dan selaras. Hanya tampak segelintir orang yang berhilir mudik. Keduanya berdiri sembari memberi jarak.
"Kau tahu, ada legenda yang berkata jika kita melemparkan koin emas ke dalam kolam ini, maka untuk setiap satu koin akan ada satu permintaan yang terkabulkan. Mau mencobanya, Sasuke?"
"Kau hanya termakan isu para bocah," tukas Sasuke tak peduli. Kemeja keabuannya tampak tidak terlalu lusuh meski beberapa saat yang lalu ia dan Naruto baru saja mengalami hari yang teramat panjang di gedung serikat kerja dan kaum buruh, "lagipula, kau tidak pernah memiliki koin emas. Kau pernah berkata koin emas tak bisa membeli apapun di Berlin, bukan begitu?"
Naruto mendengus, namun tetap menyiratkan persetujuan melalui cengirannya. Kedua tangannya tersembunyi dalam saku celana dan dengan buru-buru dilonggarkannya beberapa mata kancing kemeja keabuan bergaris miliknya di area leher. Diam. Sesekali manik sebiru langit itu mengintip wajah pemuda yang entah bagaimana dikenalnya dalam suatu pertemuan abnormal di tengah-tengah persidangan. Mungkin, semua kebetulan ini adalah rencananya sejak awal. Tentu, ia tak menampiknya. Salah satu cara menghancurkan musuh adalah dengan mendekati musuh itu sendiri, 'kan? Namun, kenyataan lain selalu berwujud karma bagi mereka yang bermain-main dengan takdir dan perasaan manusia. Buktinya, ia terlalu terikat dengan sosok pemuda bangsawan itu.
"Hei, Sasuke."
"Hn?"
Clak. Clak. Clak.
Bukan koin emas, melainkan kerikil yang dilemparnya hingga memantul-mantul di permukaan air sebelum tenggelam sempurna. Tubuh lelah sang empunya surai mentari sedikit dimiringkan dan ia tahu ia telah menghapus jarak yang teramat jauh ini dengan sosok pemuda bermata setajam elang itu. Tanpa banyak pikir atau mungkin saja banyak pertanyaan yang muncul dalam benaknya, namun sulit diungkapkannya, Namikaze muda itu menyentuh sisi wajah Sasuke perlahan. Disentuhnya dengan lembut hingga di ujung bibirnya yang kemerahan. Ada hasrat yang kemudian ditumpahkannya melalui kecupan kecil di leher mulus Sasuke.
"Menginaplah di apartemenku malam ini, ok?"
"Hn? Tidak bisa."
"Kenapa? Kemarin juga kau bilang tidak bisa, masa' sekarang jawabannya tetap tidak bisa?"
Sasuke tertunduk. Kebingungan dalam batas yang sulit untuk dijelaskan olehnya. Sembari menatap intens kedua bola mata yang mencari sepercik harapan darinya, pemuda Uchiha ini berharap jika dengan kebohongan yang lebih lama, ia akan mampu melindungi sosok di hadapannya. Situasi yang dialaminya benar-benar buruk dan ia sulit berkelit sembari memberikan penjelasan yang sama setiap saat. Tepat saat manik kebiruan itu memerlihatkan gurat kesedihan, ada kenyataan yang perlu diujarnya.
"Mereka telah mencium pemberontakan kecil yang kulakukan akhir-akhir ini. Meski tidak secara langsung semuanya digerakkan atas dasar rencanaku, tetapi mereka telah mengirim surat ultimatum padaku beberapa hari yang lalu. Dan yang terburuk, Naruto, yang benar-benar buruk. Mereka—tahu aku selalu diam-diam mendatangimu dan—hubungan kita."
NAZI membenci perilaku seksual yang menyimpang!
Itu 'kan yang ingin kau katakan, Sasuke?
"Tapi aku bukan salah satu dari mereka, Sasuke. Oh ya, kasarnya begini, aku bukan NAZI. Percayalah. Dan—"
"Hal itu tetap tidak akan berarti apapun, Naruto! Mereka akan tetap mencarimu! Kalau perlu menghukummu, menggantung kepalamu bersama kawanan hewan ternak di camp-camp konsentrasi! Kau—kau tidak mengganggap para hooligans itu hanya sekumpulan bocah ingusan yang membawa-bawa senjata karet, bukan?!"
Hal yang baru pertama kali terlihat di antara seribu ekspresi tak tertebak milik Uchiha Sasuke adalah kemarahan. Lebih tepatnya, keputusasaan. Jika saja Naruto dapat memutarbalikkan waktu, jika saja—nyatanya segala impian itu terlalu mustahil 'tuk diwujudkan. Di negeri ini segalanya selalu bernilai nihil.
"Aku tidak memintamu 'tuk mengerti posisiku saat ini. Karena baik kau maupun aku, kita berdua sama-sama berada pada titik yang terlalu gelap," imbuh Sasuke sebelum berbalik dan menjauhi Naruto dalam diam. Sebentar ia berhenti, "yang perlu kau lakukan hanya satu, Naruto."
Apa yang sebenarnya ingin kau sampaikan padaku, Sasuke? Kenapa semua yang kau katakan terdengar terlalu ambigu?
Kata yang terdengar kemudian terbisik oleh angin musim semi di petang hari. Sosok Sasuke mengabur selayaknya kabut. Sangat sulit bagi Naruto 'tuk menerka-nerka apa tujuan di balik seringai di kedua sudut bibir Sasuke. Namun, ada sebuah keyakinan yang membuatnya menyadari bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan Sasuke bagai racun yang tersimpan dalam keindahan lili gunung. Namun, candu akan racun itulah yang membuatnya bertahan hidup.
'Runtuhkan tembok Berlin.'
Dedicated to Sasuke & Naruto Shrine's Bloody Valentine; When Darkness Meets Romance,
a Naruto fanfiction,
Racun Tidur
[Chapitre II]
written by denayaira and ceruleanday
Berlin, 2012.
"Sudah bangun, anak muda?" sebuah kalimat terdengar tatkala Sasuke membuka matanya.
Sasuke mengubah posisinya dari berbaring menjadi duduk di atas bangku beton tempatnya sekarang, dan menyentuh dahinya sejenak. Ia berusaha mengumpulkan kesadarannya sembari—entah yang ke berapa ratus kalinya—terlebih dahulu berusaha mencerna keadaan sekitar.
Ia mendapati gedung-gedung pencakar langit terlihat dari balik rerimbunan pohon di kejauhan. Ia menoleh sedikit dan menemukan bekas-bekas Berlin Wall, beberapa potong beton yang berdiri sendiri layaknya monumen dan tidak membentuk dinding lagi, dan kini telah dipenuhi dengan beragam warna dari grafitti yang ditorehkan ke atasnya. Sementara, tidak terlalu jauh darinya, beberapa anak maupun remaja terlihat bermain di—ah, Mauerpark, salah satu taman kota Berlin yang didirikan di bekas Berlin Wall—tempatnya berada, ditemani oleh keluarga dan hewan peliharaan mereka, diramaikan juga dengan beberapa stand es krim maupun balon yang tersebar di beberapa titik.
Ia menghembuskan napas saat ia yakin bahwa ini bukan lagi salah satu bagian dari mimpinya.
"Aaah, my bad, bisa saja Anda malah lebih tua dariku, ya?"
Suara yang sama dengan yang menyambutnya saat terbangun tadi kembali terdengar, membuat Sasuke menyadari keberadaan seorang lelaki berambut panjang lurus berwarna abu-abu gelap keperakan yang duduk di atas bangku panjang yang tadi ia tiduri, hanya beberapa puluh senti dari bahu kirinya.
Sasuke baru menyadari apa yang janggal saat menyadari bahwa tidak ada orang lain lagi di sisi kiri lelaki yang kelihatan berumur setidak-tidaknya berkepala lima itu. Bahkan sama sekali tidak ada orang yang berdiri di dekat mereka dalam radius sepuluh meter, tidak pula salah satu dari anjing-anjing yang sedang bermain lempar-tangkap bersama para pemiliknya.
Tunggu. Apa mungkin dia—
Ah. Tidak. Tidak mungkin.
Tetapi baru saja Sasuke meyakinkan diri bahwa apa yang dipikirkannya salah, lelaki itu malah menoleh dan menatapnya tepat di mata saat mengatakan ini, "O-oh iya, Anda tidak keberatan kalau aku duduk di sini, 'kan?"
Butuh lebih dari tiga detik bagi Sasuke untuk menguasai keterkejutannya.
"Anda bisa—"
"—melihatmu? Ya, ya. Aku bisa," lelaki itu menyambung. Ia kembali menatap lurus ke arah anak-anak yang bermain lebih dari sepuluh meter dari bangku mereka.
"Tapi aku juga tidak menyangka anda—berbeda, sampai saat aku berjalan mendekat dan duduk di sini. Tadinya kupikir Anda hanya tunawisma atau salah satu muda-mudi yang memang iseng tertidur di sini dari siang bolong, hahaha! Maaf, maaf!" Ia melanjutkan sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal dengan tangan kanan dan menepuk-nepuk lututnya yang berlapis celana linen berwarna darkgrey dengan tangan yang lain.
Sang lelaki berambut hitam memutuskan untuk tidak membalas, atau mungkin memang belum menemukan kata yang tepat untuk membalas. Ini adalah yang pertama kalinya setelah sebelas tahun lamanya. Sejak ia 'terbangun', ini pertama kalinya ada orang yang bisa—
"Memangnya Anda belum pernah bertemu orang seperti saya sebelumnya?"
Pertanyaan ini membuat Sasuke menegakkan lehernya lagi dan bertemu pandang dengan mata yang warna irisnya kelihatan seperti perpaduan antara hitam dan abu-abu itu. Ada senyum tulus di wajah yang telah memperlihatkan kerut-kerut usia itu. "Saya yakin saya bukan satu-satunya yang punya kemampuan semacam ini. Tapi mungkin orang yang lain memilih untuk diam atau pura-pura tidak tahu ketimbang menyapa."
"...Lebih baik Anda tetap menatap ke depan daripada menoleh ke saya," Sasuke membalas sambil mulai melakukan hal yang sama, meski matanya masih mengerling kepada pria di sebelahnya. "Tentu Anda tidak ingin dianggap kurang waras karena berbicara sendiri."
"A'ah! B-benar juga ya? " lelaki itu terkekeh salah tingkah sambil segera kembali menoleh tetapi malah lanjut menggaruk-garuk kepalanya lagi, lalu akhirnya ia terlihat menyadari kesalahannya dan menutup mulutnya sendiri, lalu memperbaiki posisi dengan menyandarkan siku di lutut dan menyatukan jemarinya.
Sejenak angin sore berhembus ke arah mereka, membuat Sasuke menyadari keadaan di sekitarnya dengan lebih seksama lagi. Warna langit yang sudah semakin memerah, cahaya matahari yang semakin merendah dengan warna jingga yang menyirami air mancur kecil yang berada tidak jauh dari sisi kanan mereka, membuatnya terlihat berkilau kekuningan. Semuanya tanda bahwa hari sudah semakin surut. Perkiraannya, mungkin kurang dari sejam matahari sudah akan benar-benar menghilang di ufuk barat.
"Omong-omong," suara barriton yang tenang itu kembali memecah perhatian Sasuke dari pemandangan yang sedang dilihatnya, "boleh kutahu namamu, Herr...?"
"Sasuke," ia menjawab cepat namun tetap tenang, tanpa mengubah posisi pandangnya. "Uchiha Sasuke."
Ya. Uchiha Sasuke. Atau setidaknya, ia rasa, itulah namanya.
"Ah, Herr Uchiha," lelaki itu menjawab. Meskipun tidak menyodorkan tangannya untuk bersalaman, ia lanjut memperkenalkan dirinya. "Senju Hashirama, senang berkenalan dengan Anda."
Saat Sasuke tidak menjawab dan memilih untuk menatap air mancur dari kejauhan, Hashirama kembali memecah kesunyian di antara mereka.
"Oh, ya, Anda bisa makan? Aku punya Red Velvet Cake di sini."
Mata oniks Sasuke akhirnya bergerak ke sisi kiri dan mendapati Hashirama sibuk meraih sebuah kotak kue berwarna lightblue, lalu meletakkan dan membukanya di atas bangku, tepat di antara mereka. Diperlihatkannya isinya, sepotong kue berbentuk segitiga yang sponge-nya berwarna merah tua, dilapisi dengan krim putih tebal hampir di setiap sisinya kecuali pada bagian yang jelas-jelas telah dipotong oleh pisau, dan dihiasi lagi dengan taburan keju sebagai topping.
"Cucuku yang membelikannya untukku." Dengan ibu jarinya lelaki bernama Hashirama itu menunjuk ke arah anak-anak yang sedang bermain tidak begitu jauh dari mereka. Sebuah senyum, kali ini diwarnai dengan rasa bangga, merekah lagi di wajahnya. "Aku sudah makan satu, cucuku juga. Jadi kurasa tak ada salahnya memberikan ini padamu."
Sasuke menahan diri agar tidak mengulum senyum.
"Entschuldigen Sie, Herr Senju,"(1) ia membalas datar namun dengan penuh hormat, tanpa sedikitpun sinis di dalam suaranya. "Saya tidak mau membuat keributan karena orang-orang melihat kue yang melayang sendiri di udara."
"E-eh? Ah... oh! Haaahhh...! Benar jugaaa... Mohon maafkan aku..." bahu lelaki itu terlihat turun dalam rasa kecewa. Sasuke hampir saja tak bisa menahan senyum sekarang. Sikap Hashirama entah mengapa mengingatkannya pada seseorang. Mengingatkannya pada—
Rasa-rasanya niat Sasuke untuk tersenyum sama sekali hilang saat nama itu terlintas lagi.
—Naruto.
"Ah, ya. Kalau aku boleh bertanya—" Hashirama memotong pemikirannya lagi. Sasuke mengerling ke arahnya dan menemukan lelaki yang mengenakan kemeja kotak-kotak berwarna cokelat berlapis coat polos dengan warna yang senada itu cepat-cepat melanjutkan, "—y-yah, tentu Anda bebas menolak untuk menjawab kalau pertanyaan ini mengganggu,"—ia menggaruk kepalanya lagi— "Kenapa Anda bisa berada di sini? Maksudku—seperti ini?"
Hening.
Sasuke diam terpaku.
Kali ini karena datangnya pertanyaan itu yang sama sekali tidak diduganya.
"Eh, ah! J-jangan dijawab kalau ini membuat Anda tidak nyaman!" lelaki yang satu segera menyambung saat melihat reaksi makhluk di sebelahnya. "Aku hanya—penasaran. Maksudku—Anda tahu..." ia kemudian menurunkan tangannya, menangkupkannya di atas lutut. Matanya kembali menatap lurus ke depan saat mengatakan ini.
"Aku sudah cukup berumur, Herr Uchiha, dan... yah, manusia mana yang bisa menebak umur orang lain?" Dia terkekeh sejenak. "Nah, dengan kemampuanku ini, sejak dulu aku jadi bertanya-tanya ... apa yang akan terjadi setelah aku mati nanti? Apakah aku akan mati lalu hilang begitu saja, ataukah aku akan jadi salah satu dari kalian?"
Bibir Sasuke masih terkatup saat mendengarkan itu, tetapi ia tetap mendengarkan dengan seksama.
"Tapi, tentu, aku juga belum mau mati sekarang. Bahkan kalau bisa rasanya aku mau hidup sampai melihat Tsunade—cucuku—menikah nanti supaya aku punya kesempatan untuk meninju calon suaminya meski hanya sekali karena dia akan mengambilnya dariku!"
Selagi mendengar tawa hangat Hashirama, Sasuke masih belum berkata-kata. Kali ini, setelah mata abu-abunya mendapati warna langit yang semakin berubah, Hashirama cepat-cepat mengecek arloji.
"Sudah jam segini!" ia berseru penuh rasa terkejut setelah matanya melihat angka di arlojinya itu. "Maaf kalau aku jadi terlalu banyak bicara! Padahal sebenarnya kalau bisa aku mau mendengar lebih banyak ceritamu, hahaha." Ia kemudian bangkit berdiri dan mengambil beberapa langkah maju meninggalkan bangku, dari jauh memanggil sang cucu—"Tsunade!"— yang berada di sisi lain taman.
Saat Sasuke melihat lelaki tua itu berdiri menunggu cucunya yang malah terlihat singgah ke salah satu stand penjual balon sebelum datang mendekat dengan dua balon di tangannya, barulah Sasuke menyadari bahwa lelaki itu belum pula bergerak untuk membungkus kembali kue Red Velvet yang berada di atas bangku.
Sang Uchiha baru saja akan membuka mulutnya saat Hashirama kembali berkata, dengan mata yang masih mengikuti pergerakan sang cucu ke arahnya.
"Tapi, Herr Uchiha, pernahkah kau dengar ini? Katanya makhluk-makhluk sepertimu hadir karena ada satu hal yang kalian sesalkan atau ingin kalian lakukan, dan kalian bisa pergi dengan tenang jika sudah menyelesaikan itu."
Mendengar itu Sasuke menahan napasnya.
Hashirama kemudian menoleh dan akhirnya kembali memperlihatkan senyumnya yang sudah terasa familiar hanya dalam beberapa puluh menit terakhir saja.
"Viel Glück, Herr Uchiha!(2) Kuharap kau bisa melakukan itu secepatnya. Oh, dan kuenya kutinggal saja biar bisa kau makan saat taman ini sudah kosong. Enak, lho!"
Saat mata Sasuke mengikuti sosok punggung berlapis mantel berwarna cokelat tua itu berjalan semakin menjauh—kali ini ditemani oleh seorang anak perempuan yang rambut pirangnya diikat dua—Sasuke lalu mendapati tali salah satu balon berwarna merah hati yang tadinya digenggam oleh bocah itu melonggar dari tangannya. Balon itu pun melayang pelan, semakin tinggi dan semakin jauh, menuju langit yang berlembayung ungu, diikuti dengan rengekan pelan sang anak perempuan dan tawa sedih Hashirama—mungkin juga akan disusul dengan janji untuk membelikan yang baru nanti.
Sembari mata oniksnya sendiri mengekori sosok merah bulat yang makin mengecil itu, pertanyaan Hashirama kembali bergema di otak Sasuke.
Mengapa dia ada di sini sekarang?
.
.
.
Bulan belum tinggi saat Sasuke berbaring di bagian sepi tanah lapang Mauerpark malam itu. Ia tak menghiraukan rumput yang bergerak tertiup angin, menggelitik pipi dan sisi telapak tangan maupun kakinya. Matanya menatap ke arah langit malam kelam yang membentang luas di hadapannya tanpa bintang, membuat bulan separuh menjadi satu-satunya penguasa malam.
Lamat-lamat, dipejamkannya matanya.
Malam ini ia tidur dengan harapan tak terbangun. Malam ini ia tidur dengan ingin bahwa dia akan terus tertidur. Malam ini dan seterusnya, ia tidur dengan harapan bahwa ia tak akan tersadar lagi dari mimpi panjangnya. Ya. Malam ini, Sasuke mengizinkan racun tidur itu membiusnya, sambil berharap ia tak akan sembuh. Agar ia bisa bermimpi tentang kekasih di dalam mimpinya, tentang sentuhan hangat tangan berkulit sawo matang itu di jemarinya, tentang kecupan manis bibir itu di sudut wajahnya, tentang senyum cemerlang yang bahkan terpancar melalui cahaya mata biru itu.
Ia tidak ingin terbangun dan menghadapi hari-hari kosong penuh pencarian ini lagi. Ia letih. Ia bosan. Ia muak. Ia sudah tidak tahu apalagi yang harus ia lakukan, tapi juga tidak ingin terus terjebak dalam keadaan seperti ini.
Karena itu, malam ini, dalam matanya yang tertutup rapat, tanpa kata-kata Sasuke hanya bisa berharap bahwa entah siapa, entah apa, yang menjadi alasan keberadaan dirinya saat ini, akan membiarkan ia pergi menemui sang kekasih dalam mimpinya yang tanpa akhir.
Setetes air mata mengalir dari sudut matanya yang terpejam hingga ke pelipisnya, melengkapi kedua alisnya yang bertaut dalam rasa pedih. Digenggamnya erat rumput yang berada di bawah telapak tangannya.
Malam ini, jangan bangunkan aku lagi.
Christmas, Leipzig, Jerman Timur, 1964
"Aku membawa berita baik untukmu."
Pengasingan. Simbolisasi yang cocok untuknya. Berada dalam masa tahanan nyaris harus bertahan hingga berapa tahun lamanya, ia tidak peduli. Ia bercermin pada kaca-kaca yang pecah dan mengamati betapa wajah tampan itu berubah bagai monster hanya dalam hitungan bulan saja. Salju di luar sana tidak dipedulikannya jua. Ada warna kehitaman mewarnai kantung matanya. Banyak malam yang dilaluinya dengan mimpi buruk dan hal itu menyiksa raganya yang kosong.
Sesekali abangnya akan datang menjenguk. Mengantarkan surat dan buah tangan dari istana kecilnya di Berlin. Akan tetapi, kuasa Stalin jauh lebih berpengaruh dibanding nama yang tak lagi benar-benar disandangnya. Ayah dan Ibunya telah tiada semenjak perang mulai bergejolak di perbatasan dan untuk kesekian kalinya pula, ia selalu menyesali dan menghukum dirinya seolah semua kejadian buruk ini terjadi karena hukuman Fuhrer padanya. Banyak kaum spartisan membenci keluarga bangsawan dan dimulailah aksi pemberontakan masyrakat bawah pada penguasa dinasti Kekaisaran—kaum Emperor. Banyak yang kemudian ditemukan mati dalam keadaan mengenaskan di dalam rumah mereka, baik itu digorok lehernya atau ditembak kepalanya. Hal yang sama terjadi pada Fugaku dan Mikoto Uchiha. Kini, yang tersisa hanyalah kedua putranya yang memiliki ideologi berlawanan.
Itachi Uchiha, kaum spartan yang berjuang di bidang bisnis perputaran uang dunia, tengah meletakkan selembar amplop tepat di hadapan sang adik. Berlin mungkin melarangnya memberi apapun yang sanggup memberi harapan pada pemberontak, tetapi darah jauh lebih kental daripada air, bukan? Mengamati bagaimana wajah itu kian melusuh dan ruh yang seolah ditarik paksa membuat hati kecil Itachi merana. Adik kecil yang terlalu disayanginya telah pergi entah ke mana. Cinta memang buta dan terlalu sinting bagi mereka yang menyukai kebebasan.
"Kau ingin aku membacakan isi suratnya atau—"
Sasuke merobek surat itu dengan kasar. Menarik secarik kertas di dalamnya dan membaca dalam diam. Itachi menunggu hingga Sasuke siap memberi jawaban.
Anger—kemarahan.
Berikan dia satu kata 'tuk menggambarkan nuansa hatinya yang telah terpecah belah bagai penderita skizofrenia. Buku-buku jemarinya menegang dan mengeras, jantung dan paru-paru dalam tulang rusuknya seolah akan meledak, lalu segalanya menjadi runtuh seketika. Baik logika, karsa, rasa—segalanya mengabur—sehingga hanya teriakan memilukan yang terdengar kemudian.
"TCH! ARGHHHHHHHHHHHHHH!"
Clash.
Pecahan gelas kaca memberi noda pada sepatu mahal Itachi. Sesegera mungkin, pria bangsawan itu membawa tubuh adiknya dalam pelukan hangat. Memberi perlindungan meski sebatas wilayah minor yang tentu dapat dengan mudah dipisahkan. Kegilaan yang membumbung di ubun-ubun sang adik telah melampaui batas. Sungguh ia tak bisa membiarkan Sasuke kecilnya menderita oleh permasalahan imbisil—cinta. Untuk itu, Itachi tak pernah berharap membina hubungan dengan siapapun meski ia paham sang veteran perang dahulu pernah menyuratinya akan dominasi kata hati terhadap perilaku.
Gelap seluruhnya menutupi pandangan obsidian Sasuke. Hitam dan tak lagi memiliki warna lain yang jauh lebih terang. Dulu—dulu sekali saat ia hanya menghabiskan akhir pekan di tepi kolam bersama sang matahari, ia merasa segalanya jauh lebih terang dari apapun juga. Ia membuka kedua matanya lebar-lebar, menyaksikan dunia yang sesungguhnya, dan memberi mereka harapan. Tetapi, dunia ini terlalu kejam. Jauh lebih menyeramkan dari kastil Drakula sekalipun.
Hanya satu nama yang membuat dunia di bawah kakinya hancur berkeping-keping.
"MEINE SONNE! MEINE SONNE! MEINE SONNE! MEINE SONNE!"
—matahariku.
...
...
...
Berdasarkan keputusan hakim yuridiksi yang memberi kuasa atas kasus pemberontakan di Berlin tahun 1964, maka dengan ini ditegaskan bahwa pemimpin kaum spartisan, Namikaze Naruto, akan dijatuhkan hukuman...
...
...
...
"Hei, Sasuke. Pernahkah aku berkata bahwa kau memiliki mata yang begitu unik? Bukan dari warnanya, melainkan mata milikmu seolah dapat membaca isi hati seseorang. Haha. Lucu ya. Kurasa aku hanya bergumam saja. Well, sungguh. Hal pertama yang kusukai darimu adalah—"
…
…
…
…mati.
Tertanggal, February 14th 1965.
Sasuke terlonjak bangun.
Keringat dingin membasahi pelipisnya. Dadanya sesak, napasnya terengah. Jantungnya—yang entah benar jantung ataukah hanya sugestinya dan keinginan dari ruhnya—terasa memukul-mukul dadanya. Pupil matanya yang melebar, namun kini ditemani dengan lapisan air mata di korneanya, bergerak panik mengamati keadaan sekitar—bagian taman yang berlapis rumput tempatnya tidur entah berapa jam yang lalu—namun otaknya tidak bisa berhenti menghapus kenangan dari adegan yang telah dialaminya.
Ya, dialaminya.
Karena ternyata mimpi-mimpi itu bukan sekedar mimpi. Dengan mimpi terakhir yang baru saja ia alami, Sasuke justru menyadari bahwa mereka bukan sekedar racun tidur baginya. Mimpi-mimpi itu merupakan potongan-potongan memorinya di masa lalu, kenyataan pahit yang dulu pernah dilewatinya sendiri. Kenyataan pahit dari masa lalu, entah berapa puluh tahun yang lalu, sebelum Sasuke—
Ah.
Naruto.
Naruto. Naruto. Naruto.
NARUTO. NARUTO. NARUTO.
...NARUTO!
Lelaki ini lalu bangkit berdiri dan mulai melangkah. Menapak hampir tanpa suara di atas rumput dengan kakinya yang tak beralas. Pelan. Perlahan. Tetapi semakin cepat di tiap menit yang menyusul setelahnya. Langkah-langkahnya yang semakin lama semakin banyak, semakin lebar, hingga akhirnya—ia melesat membelah angin.
Ia berlari.
Berlari.
Berlari.
Berlari secepat yang ia bisa, berlari dengan sepenuh tenaga.
Ia terus berlari dengan air mata yang menggenang, mengancam untuk menutupi penglihatannya. Ia terus berlari sembari hatinya terus meneriakkan nama itu. Ia terus berlari dengan otaknya yang terus memperlihatkan wajah itu.
Sasuke berlari karena akhirnya ia tahu apa yang harus ia cari.
Ia berlari karena ia harus menemukan Naruto.
Ia berlari karena ia harus menemukan...
...mataharinya.
Deine Auge—matamu.
Saat kau membukanya seolah aku memasuki sebuah dunia fantasi dengan kelinci-kelinci putih mengajakku bermain-main ke dalam lubang magis. Ah, aku sedang tidak membawa dongeng Alice ketika kau sulit tertidur oleh insomnia itu. Kau sebaiknya berhenti mencemaskan akan apa yang mungkin saja terjadi di esok harinya—kau terlalu visioner. Sungguh.
Darah bangsawanmulah yang membuatmu seperti tertekan oleh kehidupan seorang anak kecil yang begitu kau idamkan. Tetapi, aku pun membuka mata—melakukan hal yang sama dengan yang saat ini kau lakukan—mengamati tubuh mulusmu tak tertutupi oleh selapis sutra apapun. Kemudian, kau memarahiku dan berkata agar aku sebaiknya segera bergegas menemui 'Fuhrer' di dalam istananya. Kurasa, kau berusaha bergurau sebab Fuhrer telah mati, mon cher.
Tenang saja, mon cher. Kita takkan berlama-lama hidup di dunia gila ini. Kewarasan tentu tidak akan memberi apapun kepada dua anak manusia semacam kita. Deduksi dan segala macam rasionalisasi mereka mungkin menghentikan jasmaniku, tetapi aku masih memiliki mimpi yang teramat besar. Sungguh.
Mon cher. Waktu akan memisahkan begitu banyak manusia yang dimabuk cinta. Tetapi, pisau taring sang Fuhrer takkan sekalipun mampu membelah kepalaku menjadi potongan-potongan kecil. Sebab, jiwa kita akan selalu bersama camar-camar yang terbang bebas di angkasa. Percayalah itu.
Berlin, February 14th 1965
Mata itu. Digunakannya 'tuk memandangi bekas-bekas saksi bisu akan kematian yang mengenaskan. Ia masih memiliki dua bulan masa tahanan di Leipzig, namun atas tuntutan terakhir Itachi, pemuda ini terbebas meski dalam belenggu yang akan menjatuhkannya dalam tebing yang curam. Memandangi apa yang telah tersaji di hadapannya membuat cairan asam berusaha menerobos dari dasar perutnya. Lalu, muntahan itu membuatnya berpikir bahwa tak ada satupun makhluk hidup yang bisa bertahan lebih dari sepuluh menit saja di kubikel pembunuhan terkeji sepanjang era.
Ia tak ingin berlama-lama di tempat itu. Tidak ingin memori-memori tua berputar dengan indahnya di atas pemutar piringan hitam. Ia memilih bersandar pada dinding yang rapuh, kemudian merasakan dunianya goyah. Berputar-putar selayaknya kosmo yang mengikuti rotasi bumi. Rasa pening dan nyeri di tengkuknya membuat refleks muntah itu menyembur kembali. Ia merasa sudah tak ada gunanya lagi mengisi lambung itu dengan apapun juga sebab sudah pasti ia akan memuntahkannya kembali. Ia berusaha keras menoleh meski rasa tremor dan getar-getar abnormal mulai tampak di sekujur tubuhnya.
Berulang-ulang kali ia meyakinkan dirinya bahwa matahari miliknya telah mati. Mati. Mati. Mati. MATI.
'Meine Sonne—matahariku—telah mati. Mati. Ha—haha.'
Manusia-manusia berzirah hijau—begitu alam pikirnya menerjemahkan—mengelilinginya seolah ia sedang kesetanan. Tetapi, sebaliknya. Halusinasi visual member efek psikologis buruk baginya. Para militer yang menggenggam senjata di balik zirahnya hanya memikirkan cara untuk membuat tubuh ringkih sang bungsu Uchiha itu terbangun dari sisa-sisa kegilaan semunya. Sikap awas mereka menurun sesuai dengan tingkat bahaya yang sanggup ditangani. Namun, selalu ada banyak bagi iblis 'tuk menemukan teman baru. Selalu ada banyak cara, tentu.
'Mati selalu tak berarti buruk, bukan?'
"Ya, Naruto. Mati tidak pernah berarti buruk."
Iblis membuatnya mengikuti bisikan-bisikan itu.
Tergesa-gesa, hanya ada satu pistol tangan tampak bergantungan tak terurus oleh sang empunya berbaju zirah hijau. Lalu, bisikan iblis itu semakin keras berujar di kedua liang pendengaran miliknya.
'Akan jauh lebih menyenangkan bila kau hidup dalam kematian.'
'Mati tak selalu berarti buruk, 'kan?'
'Kau bisa berbahagia dalam kematian.'
Darah menjadi lautan yang meluas serta member polikromatis atas kebusukan dunia di era mereka.
Uchiha Sasuke memilih hidup bersama iblis jika itu sama saja dengan memberinya tujuan lain 'tuk hidup.
DOR! DOR! DOR!
Tiga peluru. Tepat menembus tulang tengkoraknya.
Darah berceceran. Jerit demi jerit membias perlahan-lahan. Kemudian, hitam sepenuhnya membayang-bayang di antara sebuah sosok yang tengah menunggunya di ujung sana—mataharinya.
'Jadi inikah yang Naruto rasakan saat kematian menjelang? Kabut dalam salju, huh?'
Sasuke tidak tahu sudah seberapa lama ia berlari—Beberapa jam? Hari? Minggu?—ataupun sudah seberapa banyak—Puluhankah? Ratusan? Ribuan?—dari benda ini yang telah dibacanya satu per satu.
Setelah mimpi terakhir yang ia alami malam itu—tanpa disusul dengan tidur lain apalagi mimpi lain lagi—semuanya terasa blur bagi Sasuke. Ia bagaikan kesurupan, tidak benar-benar bisa mengingat ataupun menyadari detail dari apa yang sedang ia lakukan sebenarnya, hingga akhirnya ia sampai di sini dan langkahnya yang cepat namun tertatih itu berhenti. Benar-benar berhenti.
Fajar baru menyapa kala itu, hanya membantu sedikit dengan cahaya matahari yang masih mengintip, ditambah dengan kabut yang agak membatasi penglihatannya, tapi itupun ternyata tidak mampu menghentikan Sasuke dari menemukan apa yang ia cari.
Tulisan yang tertera di sana hanya dua baris, tapi nama yang diukir dengan huruf yang agak besar pada batu pipih itu—meskipun agak koyak dimakan waktu, hujan, dan debu—cukup untuk membuat Sasuke akhirnya menghentikan langkahnya. Ia mendekat untuk memastikan bahwa ia tidak salah baca, dan membaca tulisan itu dengan lebih jelas.
NAMIKAZE NARUTO
Okt 10, 1941 - Feb 14, 1965
Ya. Sebuah nisan yang bertuliskan namanya. Peristirahatan terakhir Naruto. Tempat yang tidak juga mampu ia kunjungi hingga akhir hayatnya, tidak peduli seberapa banyak ia meraung dan memohon pada Itachi, menginginkan untuk bertemu dengan Naruto tidak peduli bagaimana caranya.
Sejenak, Sasuke hanya berdiri, beberapa puluh senti di depan benda batu sederhana berbentuk balok tipis dengan sisi atas yang menyerupai lingkaran dan berwarna abu-abu kusam itu.
Satu langkah.
Sasuke tak lagi menahan diri, tak menahan bibirnya yang semakin bergetar. Tak mampu mengontrol sesuatu yang terasa menekan di dalam wajahnya, di balik dahinya, menarik keluar cairan yang membuat indera penglihatannya terasa semakin kabur saja.
Selangkah lagi.
Meskipun rasanya ia gemetar—dengan haru, sedih, lega, kasih, sesal, rindu, rasa tak percaya dan ribuan lagi emosi tak bernama yang bercampur jadi satu dan mengoyak-ngoyak isi dadanya, membuatnya serasa tak mampu menghirup udara, andaikata ia masih benar-benar butuh bernapas—Sasuke tetap mencoba melangkah. Karena sedikit lagi, sedikit lagi, hanya sedikit lagi, ia akan sampai.
Lalu satu langkah terakhir.
Dan ia jatuh berlutut, tepat di hadapan benda itu, memeluknya erat sebagaimana ia ingin memeluk Naruto, menyandarkan kepalanya di lapisannya yang dingin dan kasar, membiarkan air matanya membuat warna abu-abu pada benda itu semakin gelap sementara ia bergetar terisak dalam bisu.
Naruto. Naruto. Naruto.
Ia sampai. Sasuke sampai. Sasuke telah sampai. Setelah belasan—puluhan, puluhan—tahun ia mencari, dan mencari, dan mencari, akhirnya ia menemukannya.
Dengan gemetar Sasuke menegakkan lehernya, kemudian dikecupnya lembut nisan itu dengan bibirnya.
Lalu, sembari menyandarkan dahinya pada dingin di batu itu dan memejamkan matanya yang masih basah, Sasuke akhirnya bersuara.
"Ich dich endlich gefunden, Meine Sonne," ia berlirih. Berlirih. Pelan, pelan sekali, seakan tidak ingin membiarkan dunia yang kejam ini mendengarnya, hanya ingin memperuntukkan apa yang ia katakan kepada benda yang berada di hadapannya.
"Akhirnya aku menemukanmu—" Sasuke kemudian mengulang, masih dengan mata terpejam, namun kali ini sembari tersenyum tipis saat merasakan ada hangat yang perlahan tapi pasti mulai membungkus seluruh tubuhnya. "—Naruto."
Lalu sosok lelaki berkemeja putih itupun perlahan memudar, berangsur menghilang bersama dengan cahaya mentari yang telah hadir dan menghapus kabut di areal pemakaman.
Sepanjang hari itu, matahari bersinar cerah sekali.
[La Fin]
.
.
.
Vocabs:
1) Pardon me, Mr. Senju; 2) Good luck, Mr. Uchiha!; 3) I've finally found you, My Sun.
.
.
.
Segala kesalahan grammar, terlebih untuk bahasa Jermannya, bukan kesalahan mata anda melainkan kekurangan dari authornya. #dzing Kalo ada yang tahu grammarnya dan kalimat-kalimat ~pelangi~ kita ada yang salah, feel free buat mengoreksi! Ejaan dan yang salah-salah juga bakal saya edit kalo sudah lebih fresh besok.
Anyhow, makasih buat yang udah ngerepiuuu! ;;w;; *peyuk cipok atu-atu* Review reply-nya bakal nyusul besok. Yang lain yang belum review jangan khawatir, belum ketinggalan kereta kok. :"D #desh
Once again, last but not least, thanks for reading!