Summary: Jika kau jadi Sakura, mana yang akan kau pilih? Menjadi isteri seseorang yang bersifat dewasa—yang mungkin tidak akan menyentuhmu sampai saat yang tepat—atau menjadi pacar seorang pemuda yang mungkin akan melakukan 'sesuatu' padamu sebelum saatnya tiba? Err, statuslah yang bermasalah di sini. Seandainya Sakura tidak mencintai Gaara, mungkin dia rela menjadi isteri Itachi. Sayangnya, Sakura masih sangat mencintai mantan pacarnya itu. Lalu, apa yang akan dipilihnya?

DON'T LIKE, DON'T READ

Title : Pilihan Menjebak

Disclamer : Masashi Kishimoto

Warnings : OOC, AU, Typo (s), Miss typo, Rumit, Rate M untuk bahasa, Chapter panjang, NO LEMON, dll

Maaf kalau jelek :)

Story by: Bii Akari

Enjoy~

.

.

.


"S-sakura-"

"Iya, Ibu? Tenang saja, Sakura ada di sini."

"S-saku-ra, m-maafkan Ibu."

"T-tidak, Ibu tidak punya salah apapun. Sakura mohon, jangan perg"

"T-tidak Sakura. Ma-af ka-arena Ibu tidak bisa bersamamu lebih lama lagi."

"Ibu, jangan bilang seperti itu, hiks."

"I-ibu punya satu permohonan, ka-au mau melakukannya, kan?"

"Tentu saja, Ibu! Sakura akan melakukannya, apa itu?"

"M-menikahlah, dengan keturunan Uchiha."

.

.

.


NORMAL POV

"Nona Sakura?"

"I-iya, maaf Anda siapa?"

"Maaf mengganggu, perkenalkan namaku Yamato. Dan aku adalah kepala pelayan keluarga Uchiha. Salam kenal, Nona Sakura."

Gadis bermarga Haruno itu tersentak ketika mendengar kata 'Uchiha' keluar dari mulut si pria bersetelan hitam tadi. Sakura teringat akan perkataan mediang Ibunya kemarin—sebelum pergi ke alam lain. Sakura ingat akan janji yang dibuatnya, akan kata-katanya sendiri yang menyanggupi permintaan terakhir satu-satunya keluarga dekat yang dia miliki itu. Ya, setelah kepergian Ibunya, Sakura hanya tinggal sebatang kara. Ayah Sakura sudah lama meninggal, begitu pula dengan Kakek beserta Neneknya. Keluarga jauh? Sakura tidak ingat memiliki itu.

"Ehm, Nona Sakura?" panggil sang pelayan dengan ramah, sembari tersenyum simpul. Diamatinya wajah lesu Sakura baik-baik, hingga seulas senyum tipis pun bersarang di sana.

"Baiklah, izinkan aku bertanya sesuatu. Apa keperluan Anda datang ke sini? Jika tentang masalah perjodohan itu, kumohon beri aku waktu beberapa hari lagi. Ibuku baru saja meninggal, dan aku butuh waktu untuk menenangkan diri, Yamato-san."

Sakura menatap Yamato dalam-dalam, seolah meyakinkan pria berambut gelap itu akan kesungguhan kata-katanya. Bibir Sakura yang pucat, rambut pink-nya yang berantakan, serta matanya yang sembab cukup untuk membuat Yamato merasa prihatin. Gadis di hadapannya benar-benar terlihat kacau.

Yamato kemudian tersenyum ramah, "Justru karena itulah saya datang ke sini, Nona Sakura."

Sakura yang terlihat bingung memaksa Yamato untuk kembali buka suara. "Ini perintah Fugaku-sama. Anda diminta datang ke kediaman Uchiha sekarang. Bagaimanapun, mediang Nyonya Haruno telah mempercayakan Anda pada Fugaku-sama. Kuharap Anda bersedia mengerti dan ikut denganku."

Tubuh Sakura serasa lemas seketika. Jika saja dia tidak berpegangan erat pada gagang pintu rumahnya sejak tadi, mungkin saat ini Sakura sudah terkapar di lantai. Belum genap seminggu sang Ibu pergi meninggalkannya, tapi Sakura sudah harus dihadapkan pada kenyataan yang menyakitkan.

"B-baiklah, tunggu sebentar," dan senyuman lemah—yang dipaksakan—itu menjadi akhir dari segalanya. Selamat datang di kediaman Uchiha, Sakura Haruno.

.

Hari telah menjelang sore. Dan Sakura hanya bisa duduk pasrah di jok belakang mobil, menikmati perjalanan panjangnya ke mansion milik Uchiha. Ah, dilihat dari fasilitas di dalam mobil mewah itu saja Sakura sudah tahu pasti betapa kayanya keluarga Uchiha ini. Dalam hati, Sakura terus memikirkan ucapannya kemarin—lebih tepatnya janji. Kira-kira bagaimana rupa pemuda yang dijodohkan dengannya itu? Dan lagipula, ada hubungan apa keluarganya dengan keluarga Uchiha? Sampai-sampai mereka membuat kesepakatan untuk saling menjodohkan anak mereka. Ah, apa jangan-jangan pemuda yang ingin dijodohkan dengannya itu, jelek? Atau mungkin cacat? Uh, Sakura tidak sanggup memikirkannya.

"Err, Yamato-san?" panggil Sakura pelan, sambil menatap pantulan iris Yamato di kaca spion.

Yamato membalas panggilan Sakura dengan sebuah senyuman kecil dan gumaman singkat, "Iya?"

'Tanya, tidak, tanya, tidak, tanya, tidak.. Sudahlah, lebih baik aku tidak bertanya saja...' batin Sakura gelisah. Ya, Sakura penasaran dengan sosok pemuda yang dijodohkan dengannya. Apalagi mulai saat ini Sakura harus tinggal di kediaman Uchiha, jadi mau tidak mau Sakura pasti akan bertemu dengan pria itu setiap hari—nantinya.

"A-haha, tidak kok, tidak ada apa-apa," elak Sakura lekas, sebelum perhatian Yamato semakin tercuri olehnya. Lebih baik Sakura bersabar saja. Toh, sebentar lagi mereka akan sampai dan Sakura bisa melihat sosok pemuda misterius itu sepuas-puasnya. Sekarang yang perlu Sakura lakukan hanyalah bersabar dan berdoa. Ya, berdoa semoga pemuda yang dijodohkan dengannya itu tidak mengecewakan.

.

"Kita sudah sampai, Nona Sakura."

Suara berat Yamato menyadarkan Sakura dari lamunanya. Dengan cepat, Sakura mengedarkan pandangannya dan menatap jalanan dimana mobil yang dikendarai Yamato melaju dengan leluasa. Ehm, di jalanan yang mulus dan sepi itu, tak terlihat satupun kendaraan lain. Tak ada, bahkan di sisi jalan hanya ada rerumputan pendek yang terlihat segar dan terawat—serta beberapa pos keamanan setiap beberapa meter sekali. Samar-samar, terlihatlah sebuah rumah—yang mungkin lebih tepat jika disebut kastil. Kastil—rumah—itu sangat besar, bagaikan kastil yang biasa dilukiskan di kisah-kisah dongeng. Ternyata keluarga Uchiha memang sangat kaya. Jujur, nyali Sakura sedikit ciut untuk masuk ke sana. Kekayaan keluarga Sakura tidak bisa dibandingkan dengan ini. Sungguh di luar dugaan.

Tanpa menunggu lebih lama lagi, Sakura segera keluar dari mobil hitam itu—sesaat setelah mobil itu berhenti di depan pintu kayu raksasanya.

Rumah itu terlihat bagaikan sebuah kerajaan. Di sisi-sisi pintu, telah berjejer puluhan pelayan dengan baju khas mereka yang terlihat selaras, serta senyum mereka yang nyaris sempurna. Yah, standar pelayan di keluarga Uchiha memang berbeda.

Yamato ikut keluar dan berjalan mendahului Sakura—guna memandu gadis itu. Di belakang mereka, para pelayan sibuk memindahkan barang-barang bawaan Sakura dari bagasi mobil menuju kamar yang akan ditempati oleh gadis itu nantinya. Sakura sendiri hanya sibuk celingak-celinguk, mengamati keadaan sekitarnya yang dipenuhi oleh prabot-prabot mahal dan antik.

"Silahkan masuk, Nona Sakura. Fugaku-sama sudah menunggu Anda di dalam."

GLEK

Sakura pun memberanikan diri untuk masuk, meski sejak tadi dia terlihat enggan menyentuh gagang pintu itu. Bagaimanapun juga, Sakura belum pernah bertemu dengan Fugaku, jadi wajar saja jika Sakura merasa sedikit gugup untuk masuk ke sana.

.

"Permisi," sapa Sakura malu-malu, bersamaan dengan masuknya ia ke dalam ruangan yang megah itu.

Konsentrasi Fugaku yang sejak tadi tercuri oleh kertas-kertas di hadapannya seketika buyar begitu saja, saat mendengar suara yang lembut itu. Ya, suara gadis yang sejak tadi ditunggunya.

"Duduklah, Sakura," ajak Fugaku, sembari tersenyum ramah. Ah, ternyata Fugaku tidak sekejam kelihatannya.

Sakura pun tersenyum manis, sambil duduk di kursi yang berada tepat di hadapan Fugaku.

"Maaf membuatmu terkejut, Sakura. Jadi begini, biar aku jelaskan dulu. Ehm, kau sudah tahu siapa aku, bukan?" tanya Fugaku hati-hati, Sakura pun mengangguk sopan.

"Dan, kau sudah tahu tentang perjodohan itu, bukan?" tanya Fugaku lagi, dengan nada yang lebih berhati-hati—takut menyinggung perasaan Sakura. Ya, bagaimanapun juga Fugaku tahu ini bukan hal yang mudah bagi gadis remaja secantik Sakura.

"I-iya," jawab Sakura gugup. Berbicara tentang perjodohan selalu mengingatkan Sakura akan saat-saat terakhirnya dengan sang Ibu, dan itu sedikit membuatnya sedih.

"Bagus, sebelumnya aku turut berduka atas kepergian Ibumu, maaf."

"Tak apa, Anda tidak perlu minta maaf."

Fugaku tertawa kecil mendengar ucapan Sakura yang terlalu formal. Ah, sebentar lagi mereka akan menjadi sebuah keluarga sungguhan, seharusnya tata bahasa Sakura bisa sedikit lebih akrab.

"Ehm, kau bisa memanggilku Tou-san. Ah, bukan, kau harus memanggilku Tou-san," tegas Fugaku dengan wajah berseri-seri. Sejak dulu, Ayah dua anak itu memang sangat ingin memiliki anak perempuan. Dan sejak lahir, Sakura sudah dia anggap sebagai anaknya sendiri.

Sakura memekik dalam hati, 'Tou-san?!'

Tapi akhirnya, Sakura tetap menyanggupinya juga. Ah, kau benar-benar rumit Sakura.

"Jadi begini. Mediang Ayah dan Ibumu sudah bersahabat dengan kami jauh sebelum kau lahir. Kau tahu, mediang Ibumu dan Isteriku adalah sahabat dekat—sejak kecil. Dan itu bertahan sampai mereka berdua harus pergi dari dunia ini. Mungkin kau sudah lupa padaku, aku memang terlalu sibuk belakangan ini. Tapi, sewaktu kecil kau dan Sasuke sering bermain bersama. Ahya, dan jangan lupakan Itachi. Dulu kalian sangat akrab," jelas Fugaku panjang lebar, sambil mengenang kenangan dulu-dulunya itu.

"M-maaf soal mediang istr—Kaa-san, aku tida—"

"Tak apa, Sakura. Itu sudah sangat lama," potong Fugaku cepat, sebelum suasana berubah menjadi lebih canggung lagi.

"Jadi, sampai mana tadi? Ahya, aku pikir kau harus tahu ini semua. Kami berempat, sepakat akan menjodohkan anak kami suatu hari nanti. Dan, impian kami akhirnya bisa terwujud. Saat itu, Mikoto melahirkan bayi laki-laki, dan beberapa tahun kemudian dia kembali melahirkan bayi laki-laki lagi. Sesaat setelah itu barulah kau lahir. Sayang sekali, kau tidak punya kakak atau adik, seandainya ada, maka pasti akan serasi dengan kedua putraku."

'Kedua? Jangan bilang dia memintaku menikahi kedua putranya?!' pekik Sakura dalam hati.

"Putra pertamaku bernama Itachi, dia baru berumur 20 tahun. Masih muda, bukan? Ketahuilah, dia kini telah lulus kuliah dan bekerja di perusahaannya sendiri. Dia, jenius yang hebat," jelas Fugaku bangga, membuat Sakura menahan napasnya sejenak. Hei, dia seorang yang jenius, Sakura. Apa yang kau tunggu?

Melihat ekspresi Sakura yang masih terdiam membisu, Fugaku pun melanjutkan penjelasannya lagi. "Dan putra keduaku bernama Sasuke. Ah, dia itu seumuran denganmu, kau mungkin tidak mengenalnya karena dia berada di sekolah yang berbeda denganmu. Uhm, berbicara tentang sekolah, aku baru ingat sesuatu. Mulai besok kau akan pindah di sekolah Sasuke. Karena jaraknya jauh lebih dekat dari sini dibanding sekolah lamamu, kuharap kau tidak keberatan, Sakura."

Sakura hanya mengangguk pasrah. Ya, memang apa yang kau harapkan darinya? Penolakan? Sudah untung sekolahnya dibiayai.

Setelah itu, Fugaku terus-menerus mengoceh mengenai silsilah keluarganya, kebiasaan-kebiasaan uniknya bersama sepasang sahabatnya itu, dan tentu saja kedua putra kebanggaannya.

"Jadi Sakura, kau bisa memilih salah satu di antara mereka. Tak perlu terburu-buru, Sakura."

Dan sepatah kalimat dari Fugaku itu terus terngiang-ngiang di telinga Sakura. Memilih salah satu. Memilih. Memilih. Satu. Satu. Bagaimana mungkin Sakura bisa memilih? Di saat hatinya masih terpaut pada mantan kekasihnya yang tampan rupawan keren bak pragawan di luar sana? Ehm, berbicara tentang itu, sang mantan sekarang sedang sibuk kuliah di luar negeri. Ya, mereka putus karena alasan 'distance'. Sakura merasa tidak nyaman menjalin LDR (Long Distance Relationship) dengan Gaara, karena itulah mereka sepakat untuk putus. Tapi, tahukah kau bahwa sekarang Sakura menyesali perbuatannya? Sakura, tampaknya belum bisa melupakan sosok kharismatik itu.

.

Sakura berjalan dengan pelan—tidak bersemangat—menuju lokasi konon kamarnya berada. Dia dipandu oleh sang kepala pelayan—Yamato. Dengan malas, Sakura terus mengekor di belakang Yamato. Sementara Yamato tak henti-hentinya mengoceh mengenai ruangan-ruangan yang mereka lewati beserta sejarahnya.

Yaya, apapun itu, Sakura sudah mulai bosan. Apa pedulinya dia tentang asal mula didirikannya bangunan bak istana itu? Ha, kau harus peduli Sakura, sebentar lagi kau akan menjadi Nyonya Uchiha, kau lupa?

Sakura menepuk jidatnya dengan spontan, ketika baru menyadari semua itu. Rupanya otak encer Sakura belum terbiasa dengan kata 'Uchiha', jadi butuh waktu yang agak lama untuk merespon itu semua.

Mereka berdua terus berjalan dengan santai, tak menyadari bahwa sejak tadi di belakang mereka mengekor seorang pemuda tampan yang sibuk mengamati gerak-gerik Sakura. Ya, dia tahu siapa Sakura. Dan kini dia juga tahu berapa ukuran baju dan celana—luar dan dalam—Sakura.

'Bokongnya tidak rata, bisa dibilang lumayan. Tubuhnya juga berbentuk, bagus. Kaki dan tangannya sangat mulus, tipeku. Tapi anehnya, mengapa rambutnya berwarna, pink?' pikir pemuda berambut raven itu, masih sambil mengamati Sakura dari ujung kaki sampai ujung kepala—dari belakang.

"Dan ini adalah koridor utama lantai dua. Disebut begitu karena di sini adalah tempat kamar-kamar utama berada. Contohnya saja yang di depan itu. Dari sini Anda dapat melihatnya, bukan? Itu adalah kamar Fugaku-sama, lokasinya agak jauh karena Fugaku-sama tidak suka diganggu," jelas Yamato dengan lancar, bak seorang guide sungguhan. Sakura hanya ber oh-oh ria di belakang, tak tertarik.

"Di ujung koridor sana adalah kamar Itachi-sama, aku rasa kita tidak perlu ke sana. Itachi-sama pasti sedang sibuk. Dan sepertihalnya Fugaku-sama, Itachi-sama juga tidak senang diganggu," lanjut Yamato, masih dengan aksen a la guide profesionalnya.

"Yang ini adalah kamar Anda, Nona Sakura."

Eh? Sakura terbelalak begitu menyadari bahwa mereka ternyata sudah sampai di kamar miliknya. Ehm, lalu, di mana kamar sang bungsu Uchiha?

"U-um, aku rasa kau melupakan seseorang. Maksudku, kamar si bung—"

"—di sini. Kamarku tepat berada di depan kamarmu, Sakura."

DOR

Sakura segera menoleh ke arah datangnya suara dingin tersebut. Dan dia, mendapati seorang pemuda berdiri dengan gaya cool beberapa langkah di belakangnya. Ehm, pemuda itu terlihat sexy. WHAT? Dia tidak mengenakan atasan. Sekali lagi, tidak mengenakan atasan! Beruntung Sakura memiliki respon yang cepat, jika tidak mungkin dia sudah mimisan di tempat.

"S-siapa kau, dan k-kenapa kau tidak pakai baju?!" pekik Sakura malu, masih sambil menutupi matanya dari pemandangan indah di hadapannya itu.

Siapa? Sudah jelas, bukan?

Pemuda tampan berambut pantat ayam yang bertelanjang dada itu menyeringai tipis, lalu menatap Sakura tertarik bagaikan permen lolipop yang manis. Ya, Sakura memang cantik, ditambah lagi tingkahnya yang manis itu. Laki-laki mana yang tidak tergoda olehnya?

"Santai saja, Sakura. Aku baru selesai berenang tadi, lagipula jika kita jadi menikah nanti kau juga akan terbiasa melihatku tanpa busana. Tak perlu berlebihan seperti itu."

DUAR

Sakura menggigit bibir bawahnya dengan gemas. Pemuda di hadapannya benar-benar mesum!

"Ap—" ucapan Sakura tertahan di ujung lidah. Dalam seketika, tubuhnya terasa kaku. Ehm, ternyata pemuda di hadapannya itu tampan! Sekali lagi, tampan! Tidak cacat sama sekali—bahkan nyaris sempurna. Ya, dia tampan, dan MESUM, Sakura. Kau lupa?

"Berhenti menatapku seperti itu. Kau membuatku sedikit terangsang, Sakura."

GLEK

Yaya, Sakura sadar, makhluk tampan sekaligus mesum yang berdiri di hadapannya itu benar-benar menggoda. Tapi tidak, demi Fugaku sang calon mertua yang baik hati, Sakura tidak akan berbuat hal yang konyol—tidak.

"A-apa yang kau bicarakan? D-dan berhenti berbicara hal-hal kotor seperti itu, Sasuke-kun!" bentak Sakura. Berusaha menahan rona merah di wajahnya, Sakura berkecak pinggang seraya memandang tajam onyx yang menantang itu.

Moment ini digunakan Sasuke untuk memandang baik-baik gadis yang berdiri di hadapannya. Ya, Sasuke memandang Sakura dari ujung kaki hingga kepala, tak melewatkan satu inchi pun.

'Dadanya tidak terlalu besar, biasa saja. Tapi, kuakui, dia cantik,' pikir Sasuke santai. Hei, Sasuke bebas ber-mesum-mesum ria di pikirannya, bukan? Siapa yang berani melarangnya, eh?

"Terserah, tapi jika kau berubah pikiran, aku selalu siap di dalam kamar," goda Sasuke, lengkap dengan seringai nakalnya. Sakura pun bergedik ngeri memikirkannya.

Berniat mencari keamanan dari pria yang sejak tadi bersamanya, Sakura pun berbalik demi menemukan sosok Yamato. Tapi naasnya, Yamato tak ada di sana. Ke mana pria itu pergi? Lebih tepatnya, sejak kapan pria itu pergi?

Saat berbalik, Sakura masih menemukan wajah Sasuke di sana, lengkap dengan seringai seksi-nya. "Ah, kau juga bisa menghubungiku jika malas ke tempatku, Sakura. Aku akan datang ke kamar—"

"Stop. Aku tidak akan melakukan hal seperti itu, Tuan Mesum," bantah Sakura, sambil menatap Sasuke dengan tajam. Yakin, kau harus yakin Sakura. Jangan tergoda olehnya!

Sakura dan Sasuke saling bertatap-tatapan dalam waktu yang cukup lama. Hingga akhirnya Sasuke tersenyum. Hei, dia tersenyum tipis—sedikit membuat sakura menahan napas. "Baiklah, kuharap kau bisa membuktikan kata-katamu tadi."

Dan dengan itu, sang Uchiha bungsu resmi kembali ke kamarnya. Dengan gaya berjalannya yang cool dan menggoda iman.

Mari kita kembali ke tokoh utama kita—Sakura—yang kini tengah tercengang memandangi tampilan kamarnya yang super duper mewah dan indah. Belum sempat mengagumi kamar miliknya secara berlebihan, Sakura sudah lebih dahulu terhempas ke kenyataan yang sebenarnya. Ya, selamat datang di kehidupan barumu, Nona Sakura.

.

'Oke, coret si Sasuke itu dari daftar pilihan. Sekarang, harapanku satu-satunya hanya Itachi. Ya, kuharap Itachi tidak semesum adiknya. Semoga dia normal, semoga. Aku mohon, Kami-sama..' batin Sakura resah, masih sambil berguling-guling tidak karuan di atas ranjang queen size-nya.

Sakura lalu menggeram pelan dengan frustasi. Sekarang, hidupnya benar-benar berubah drastis. Kebebasannya telah direnggut, masa depannya telah ditentukan, bahkan kini dia harus meningalkan teman-teman lamanya. Ah, dan jangan lupakan bagian terpentingnya, Ibunya. Kini, sang surya telah pergi dengan damai.

"Hiks, I-ibu, hiks."

Tanpa sadar, Sakura menitihkan air mata. Gadis beriris emerald itu menangis, sedih jika harus mengingat tentang Ibunya lagi. Menangislah Sakura, menangis dan buat—

TOK TOK

—orang di kamar sebelah terganggu.

"T-tunggu sebentar!"

Sakura segera menghapus liquid bening yang tertinggal di sudut-sudut matanya, sedikit merapikan rambutnya dengan jari-jarinya lalu cepat-cepat membuka pintu kamarnya.

GLUP

Pemuda yang berdiri di ambang pintu itu, nyaris membuat Sakura pingsan. Yayaya, dia sangat tampan. Meski terlihat jauh lebih dingin dibanding Sasuke. Tapi demi kamar mewah Sakura, dia adalah pemuda tertampan yang pernah dlihat oleh gadis berambut pink itu.

"Kau kenapa, Sakura?" tanya sang pemuda dengan tampang datarnya—yang tetap terlihat tampan. "Kau menangis?" tanyanya lagi, kali ini sambil mengusap jejak-jejak air mata yang tertinggal di pipi kanan Sakura.

BLUSH

Sentuhan itu, begitu lembut. Lembut dan hangat, perpaduan yang pas untuk membuat gadis manapun jantungan.

"A-a-aa—" Sakura ingin mengucapkan sesuatu, tapi ucapannya itu tertahan setengah jalan. Matanya pun hanya bisa terkunci pada iris gelap pemuda di hadapannya itu.

"Kau, teringat pada Ibumu?" tebak pemuda itu spontan, sembari mengusap-usap lembut pipi Sakura yang sudah merona dengan sempurna. Tak sadarkah dia bahwa Sakura sudah berada di ambang batasnya? Tak sadarkan dia bahwa sentuhan kecilnya itu mampu membuat darah Sakura mengalir ke wajah semua?

GEESS

Dan dalam satu tarikan, tubuh Sakura sukses menyatu dalam dekapan pemuda itu. Ah, gadis mana yang tidak ingin dipeluk oleh pemuda tampan berstatus lanjang itu, hm?

"Maaf, seharusnya aku tidak berkata kasar seperti itu," desah sang pemuda berambut gelap, masih sambil memeluk Sakura.

DEG DEG DEG

Sakura gugup, sangat gugup. Tapi dekapan pemuda itu berhasil membuatnya merasa nyaman. Hmm, apalagi aroma maskulin yang menguar dari balik tubuhnya, membuat Sakura benar-benar terlena dan menikmati perlakuan manis pemuda itu padanya. Sakura membalas pelukannya, sambil menangis dengan pilu. Sejak Ibunya meninggal, Sakura belum pernah menangis dengan tenang di pelukan seseorang. Yang Sakura butuhkan hanya ini, pelukan yang memberi ketegaran, dimana pada saat yang sama juga menjanjikan perlindungan. Ini pertama kalinya mereka bertemu semenjak terpisah beberapa tahun yang lalu. Dan, ini pertama kalinya mereka berpelukan bagai sepasang kekasih yang saling menghibur. Err, Sakura, tampaknya sekarang kau tidak akan sulit mengambil keputusan, bukan?

.

"Kau sudah merasa baikan?"

Pemuda berambut gelap tadi menggiring Sakura ke taman belakang—tempat favorite-nya. Dan, di sanalah mereka sekarang. Sakura tengah menggenggam erat cangkir mungil berisi teh hangat itu. Sementara pemuda tadi asyik mengamati Sakura dari samping. Mereka berdua duduk berdampingan di sebuah kursi taman.

Matahari perlahan turun dari singgasananya, menyadarkan Sakura dari lamunan singkatnya tadi. "I-iya, aku baik-baik saja," jawab Sakura cepat, sambil menundukkan kepalanya dengan malu. "Maaf untuk yang tadi," lanjutnya lagi, menahan rasa malu yang berkobar di dalam dirinya.

Pemuda di sampingnya tersenyum tipis. Ah, seandainya kau melihat ini Sakura, dijamin kau pasti akan kehabisan napas.

PUK

Lagi-lagi, sentuhan lembut lainnya. Sang pemuda berambut gelap kini mengusap pelan pucuk kepala Sakura, menimbulkan sensasi nyaman dan hangat yang menggerogoti gadis berusia tujuh belas tahun itu. "Jangan sedih lagi, ya?"

BLUSH

Pemuda ini, amat sangat romantis. Sungguh beruntung gadis yang berjodoh dengannya. Ah, tunggu. Bolehkah Sakura berharap pemuda itu adalah... Itachi?

"U-uhm," Sakura memberanikan diri untuk bertanya. Ya, sekarang atau tidak sama sekali, Sakura. "B-boleh aku tahu, darimana kau tahu namaku?" tanya Sakura berbasa-basi, sambil memandang pemuda itu dengan ragu. Sakura takut larut dalam pesona pemuda tampan itu lagi.

"Ah, aku lupa memperkenalkan diri. Namaku Itachi, kakak Sasuke."

BOOM

Itachi? Kau dengar itu 'kan, Sakura?

.

.

.

TBC


Author's line:

Another SasuSaku MC fic (again) GOMEN~ *nunduk-nunduk* Saya mohon maaf, fic yang lain masih belum selesai, eh nambah lagi nih satu #plak

Ficnya SasuSaku, tapi kok lebih kerasa ItaSaku ya? *jleb* hahaha, Sasuke akan memulai aksi-aksi-nya di chapter depan, tenang saja, wahai Savers XD Tapi maaf, kedepannya, PM akan jadi makin rumit dan mungkin akan sedikit panjang (8-9 chapter) :/ Ohya, dan satu lagi, di sini tidak ada LEMON/LIME atau apapun hal itu biasa disebut—Itulah pokoknya #dijitak

Gomen~ author ini sangat tidak berbakat untuk hal itu. Jadi, hanya untuk bahasanya yang (mungkin) vulgar, saya memakai rate M. Oke? Kuharap semua bisa mengerti *grin*

Readers, sekali lagi saya mohon maaf yang sebesar-besarnya, ini karena tanganku yang gatal pengen publish fic ini di ffn. Hiks, padahal innerku sudah berbaik hati menasehatiku *jleb* Kisah pasaran, alur lambat banget, dan ke-OOC-an karakternya sungguh tidak bisa diampuni. Adakah yang rela menunggu kelanjutannya? Kemungkinan terparahnya akan kulanjut setelah UN nanti (akhir bulan April) Jadi, jangan terlalu berharap saya bisa meng-update-nya pada minggu-minggu belakangan ini *pundung*

Ada saran? Ide? Masukan? Keluhan? Silahkan isi kotak review di bawah ini~ Sudikah kalian menghadiahkanku, sekotak review rasa coklat? #eh

REVIEW yaaa~ ^^

Arigatou :)