Princess © Soulless-Fariz
Final Fantasy IX © Square Soft / Square Enix
Genre : Adventure, Romance
Rated : T
Warning : Typo(s), DLL.
Ice Cavern memang bukanlah tempat yang terlalu big deal –selain es-nya yang memang sangat terasa dingin. Disana mereka tidak terlalu kerepotan, hanya saja mereka sempat pingsan karena hawa dinginnya.
Perjalanan mereka melewati gua indah itu memakan waktu seharian penuh, pernah berpikir tentang melewati gunung melalui sebuah gua? Ya, sangat panjang, itulah mengapa.
Zidane yang juga pingsan namun sadar terlebih dahulu karena mendengar sebuah dering bel. Karena merasa penasaran, ia meninggalkan teman-temannya untuk mencari asal suara itu.
"Suara apa itu?" Zidane sayup-sayup membuka matanya yang masih terasa sulit dibuka, tangan kirinya terlipat didepan dadanya sedangkan tangan kanannya menghalau es salju yang menerpa wajahnya. Kemudian ia berdiri. "Suara ini berasal dari sana..." suaranya menggantung, Zidane berusaha memusatkan telinganya ke asal suara itu lalu kembali berteriak "Ada orang disana?
Zidane berjalan melewati badai salju itu dan menemukan seorang –lebih tepatnya seperti penyihir sedang terduduk diatas tebing yang berada diatasnya. Kemudian penyihir itu segera turun dari tempatnya setelah melihat Zidane.
"Kenapa kau tidak tertidur?" penyihir itu berjalan beberapa langkah kedepan "Kau seharusnya sudah mati sekarang." sepasang mata berwarna kuning dibalik wajah hitam yang tak terlihat itu menatap tajam kearah Zidane.
"Apa kau yang menyebabkan badai salju ini? Siapa kau?" Zidane bertanya dengan menatap balik kearah penyihir dihadapannya, bersiap menyerangnya kapan saja.
"Hehehe... Itu benar! Dan oh, namaku adalah Black Waltz." pertarungan terjadi dengan langkah pertama penyihir menyerang Zidane, namun dengan mudah dihindari.
Walaupun terhalang badai salju, Zidane masih dapat mengatasi penyihir itu dengan waktu yang cukup singkat, cukup kuat, namun tidak terlalu menyusahkan karena keahliannya.
Penyihir itu menghilang dihadapannya sesaat setelah Zidane berhasil mengalahkannya, tubuhnya lenyap begitu saja.
"Kau mungkin telah mengalahkan No.1, namun No.2 dan No.3 akan merebut kembali Sang Putri!"
"Siapa disana?" Zidane masih waspada ketika suara yang tak berbeda jauh itu muncul, melihat kembali sekelilingnya "Oh, terserahlah..." Zidane teringat dengan teman-temannya yang masih berada disana "Aku harus kembali dan mengecek mereka!" Zidane kemudian berlari kembali ketempat dimana ia meninggalkan teman-temannya.
"Zidane!" suara Garnet terdengar tepat setelah Zidane berada ditempat ia meninggalkan Garnet dan yang lainnya.
"Hei, kau yang disana. Apa semua baik-baik saja?" Zidane menatap Garnet dari ujung kepala hingga ujung kaki setelah melihatnya, syukurlah tidak apa-apa.
"Kau! Apa yang terjadi?" Steiner tiba-tiba saja muncul dari balik salju setelah ia sadar, mendekati Garnet yang berada didepan Zidane, khawatir kalau terjadi sesuatu dengan Putri yang sedang ia kawal.
"Bukan masalah besar." Zidane menjawab enteng sambil mengangkat kedua bahunya menatap Steiner lalu kembali menatap Garnet.
"Kau menyembunyikan sesuatu!" Steiner tidak puas dengan jawaban yang Zidane berikan kepadanya, ia merasa ada sesuatu yang Zidane sembunyikan dibalik jawaban entengnya barusan.
"Hei, tidak ada yang terjadi. Kau mendengar perkataanku barusan." Zidane mengelak pernyataan Steiner dengan sigap dengan memandangnya.
"Kau... tidak menyentuh Tuan Putri, 'kan?"
"Kau barusan menuduhku apa?" Zidane mulai naik darah dengan perkataan kasar barusan.
Garnet menghalau Zidane yang akan melangkahkan kakinya "Steiner, dia berkata tidak ada apa-apa. Kenapa kau bertingkah sangat kasar?" Garnet menatap Steiner yang mengurungkan niatnya untuk membuat Zidane mengaku dengan sesuatu yang disembunyikannya.
"Maafkan saya, Tuan Putri." ucap Steiner sambil membungkukkan bahunya.
Zidane membalikkan badannya, melangkah maju membelakangi ketiga orang itu.
"Zidane? Apa ada sesuatu yang mengganggumu?" Garnet bertanya lirih sambil mendekati Zidane yang beberapa langkah didepannya.
Zidane kembali membalikkan tubuhnya menghadap kearah tiga orang itu, ia pandang satu persatu secara bergantian "Tidak... tidak ada." elak Zidane lalu ia membalikkan kembali badannya dan bersiap berjalan kedepan.
Tidak terlalu lama dari tempat dimana mereka berada, akhirnya keempat orang itu menemukan jalan keluar. Sekarang mereka berada diatas kabut, dan, matahari bersinar terang dipagi hari itu.
"Kita berhasil berjalan melewati kabut!" Garnet terlihat sangat bersemangat ketika melihat matahari yang tepat sedang terbit dari sebelah timur, "Oh, rasanya sangat segar!" bisa dilihat, memang Putri itu terlalu excited dengan apa yang ia lihat, namun semua itu sangat masuk akal dari bagaimana selama ini cara dia hidup di kastil.
"Lihat! Ada sebuah desa disana!" Zidane yang daritadi sedang melihat-lihat mendapat sebuah pandangan, sebuah desa yang tidak jauh dari tempat dimana ia sedang berdiri, mungkin hanya memakan sekitar dua sampai tiga jam jika berjalan, "Kurasa aku pernah kesana sebelumnya..." ia kembali berpikir, desa itu memang terlihat familiar baginya.
"Ini terdengar seperti kau sudah pergi kemana saja, Zidane," Garnet kembali excited dengan Zidane, namun disamping itu dia terlihat sedikit sedih, "Satu-satunya tempat yang pernah aku kunjungi adalah melalui buku," jadi itulah alasan mengapa ekspresinya berubah, namun segera berubah lagi sebelum ia melanjutkan kata-katanya, "Kau mungkin sudah pernah pergi ke desa itu. Ayo kita kunjungi." Garnet mulai berjalan menapaki jalan yang berada di depannya sebelum sempat dihentikan oleh Zidane.
"Tunggu sebentar," Garnet berhenti, memandang Zidane yang berada beberapa meter dibelakangnya, "Kau adalah seorang Tuan Putri! Kau tidak bisa pergi seenaknya kesana-kemari," ia kembali berpikir, terlihat dari ekspresinya, "Orang-orang sedang mencarimu..." Zidane memandang sebentar Garnet dengan ekspresi berpikirnya, "...kamu butuh sebuah identitas baru." namun dengan seribu langkah pertama, Steiner menolak pernyataan dari Zidane itu untuk beberapa alasan.
"Kau orang bodoh yang kurang ajar! Tuan Putri tidak perlu pergi secara diam-diam!" Steiner dengan sikap khasnya melakukan serangan dengan kata-katanya dengan bertubi-tubi "Lagipula, kita pergi menuju kembali ke kastil. Kau jauhi saja dia," ucap Steiner "Dan kau akan memanggilnya dengan sebutan 'Tuan Putri' mulai dari sekarang, dasar rakyat jelata yang bodoh."
Dan seperti yang dapat diperkirakan, sebuah argumen tercipta dengan balasan Zidane.
"Sialan, Rusty! Kenapa kau tidak diam saja?" Zidane maju beberapa langkah mendekati tempat Steiner "Kau kira kau ini siapa? Aku tidak menerima perintah dari orang brengsek sepertimu!"
"Kalian berdua!" Vivi yang sudah tidak tahan dengan percakapan emosi dari kedua orang ini akhirnya membuka mulut.
"Hentikan, kalian berdua!" begitu juga dengan Garnet yang sudah merasa terganggu dengan ucapan kedua orang itu "...Steiner, aku tidak berniat untuk kembali ke kastil." ia memandang Steiner, lalu menunjuk kearah Zidane dengan tangan kirinya "Dan aku mengerti maksud Zidane... Aku butuh nama baru..." Garnet berjalan mengelilingi Zidane, sedangkan Steiner hanya bisa mengeram kesal sambil memandangi Zidane, ia mungkin beruntung karena Garnet mendukungnya. Lalu Garnet mengambil sebuah dagger dari kantung yang berada di pinggang Zidane, melihat dan terheran-heran dengan benda itu. "Zidane, apa nama benda ini?"
"Itu? Itu sebuah dagger. Semua pedang yang panjangnya seperti itu disebut dagger..." Zidane menjelaskan "...pedang yang pendek namun sedikit lebih panjang. Kalau pedang yang kau pegang dengan kedua tangan disebut broadsword. Dan..."
"...Oh, baiklah, aku mengerti sekarang," Garnet menyela penjelasan Zidane "Jadi ini disebut 'dagger'."
"Tuan Putri! Itu senjata! Mohon berhati-hatilah!" Steiner salah tingkah ketika melihat Tuan Putri-nya memegang pedang itu, takut akan dimarahi jika ia mengambil pedang itu dari tangannya, lagipula ia tidak boleh, menurut tata krama seorang prajurit, sih.
Garnet menimbang-nimbang sesuatu sambil terus melihat kearah dagger yang ia pegang, tidak beberapa lama, ia memutuskan sesuatu "Mulai sekarang aku akan dipanggil Dagger. Bagaimana pendapatmu, Zidane?" Garnet meminta pendapat Zidane dengan keputusannya, ia memandang Zidane dengan sebuah senyuman sambil menunggu jawaban yang akan Zidane keluarkan.
"Apa kau tidak apa-apa dengan itu?" Zidane meminta keyakinan Garnet dengan pernyataannya, ia hanya mengangguk menyetujui serta mengembalikan dagger yang ia pegang "Bagus, Dagger. Sekarang, mari kita berlatih sedikit dengan kata-katamu..." Zidane berpikir "Cobalah untuk berbicara lebih santai. Sepertiku."
"Aku akan mencobanya." ucap Garnet –Dagger.
"Tidak, tidak, tidak," Zidane menggeleng dengan jawaban Dagger yang masih dengan bahasa bangsawannya "Coba bicara... 'Baiklah.'"
"B-baiklah!"
"Kau akan terbiasa dengan itu! Baiklah, ayo kita segera bergegas." setelah dirasa cukup, Zidane memutuskan untuk melanjutkan perjalanan mereka ke Desa Dali.
"Woah, sebuah kincir angin raksasa!" Vivi yang baru saja tiba berlari kedepan, melihat sebuah kincir angin yang berada di ujung jalan yang letaknya tidak jauh dari tempat ia berdiri sekarang.
"Vivi, penginapannya disebelah sini!" Zidane memanggil Vivi yang terlihat excited dengan apa yang ia lihat.
"Aw, apa kita harus?" Vivi memandang kembali kincir angin itu lalu melihat Zidane lagi, "...tapi aku ingin melihat kincir angin itu." suara Vivi setengah meminta.
"Aku tahu, tapi kita harus istirahat terlebih dahulu," Zidane mengalihkan pandangannya kearah Dagger setelah ucapannya "Kita juga harus memutuskan apa yang akan kita lakukan selanjutnya." tambahnya.
Dengan itu, mereka berempat akhirnya memasuki penginapan yang sedari tadi ada dihadapan mereka. Dengan ini, mereka secara resmi tiba di Desa Dali.
Zidane memasuki lobi terlebih dahulu, tidak terlalu luas untuk sebuah penginapan, disana ia bisa melihat pengurus penginapan sedang tertidur lelap diatas meja kerjanya.
"Tidur saat bekerja?" Zidane heran, ia maju beberapa langkah dan tiba tepat didepan meja lalu mengetuk meja itu beberapa kali sehingga pengurus penginapan itu tersadar dari tidurnya.
"Oh, maafkan aku." penjaga itu bangun, namun masih setengah sadar, sambil memandangi Zidane, ia mengalihkan pandangannya kepada satu-satunya gadis yang ada disana, Dagger. Zidane yang merasa aneh melihat pengurus itu memandangi Dagger segera membisikkan sesuatu ke pengurus itu.
"Hei, aku tahu dia itu gadis yang imut, tapi ini sedikit kasar untukmu memandangnya."
Ucapan Zidane kembali menyadarkan lamunan pengurus itu "Oh, aku tidak sedang melihat kearah gadis muda itu. Aku hanya..." pengurus itu terlihat berpikir, "Ruangannya tepat disebelah sana. Anggap saja rumah sendiri!" pengurus itu menulis sesuatu di meja tamunya lalu menyuruh keempat orang itu memasuki kamarnya.
Namun sebelum sempat membuka pintu ganda itu, Dagger menghentikan Zidane, "Um, Zidane? Dimana aku harus tidur?" Dagger memegangi lengan Zidane yang hendak membuka pintu.
"Di ruang yang sama. Memangnya dimana lagi?"
"Tapi, Zidane, aku tidak boleh..." Dagger ingin menolak pernyataan Zidane barusan dengan sejuta alasannya, selain tidak siap, dia juga bingung harus berbuat apa.
"Aku tahu bagaimana perasaanmu, tapi penginapan di desa tidak mempunyai kamar yang terpisah," Zidane lalu melanjutkan kegiatannya yang akan membuka pintu tadi setelah tangan Dagger terlepas "Semuanya masuk."
Setelah sampai didalam, Vivi dan Steiner langsung menuju tempat tidur mereka, kecuali Zidane dan Dagger. Zidane sedikit khawatir dengan Dagger karena dia belum terbiasa hidup bebas seperti ini, jadi dia ingin sedikit menanyainya sebelum dia istirahat.
"Katakan padaku satu hal sebelum kita istirahat," ucap Zidane setelah menghampiri Dagger yang sedang duduk di ranjangnya, menghadap tepat kearah jendela, Dagger menoleh menatap Zidane dengan acuh "Kenapa kau ingin meninggalkan kastil, Dagger?"
"Jika kapal teater tidak mengalami kecelakaan..." suaranya lirih, terdengar sedikit menyesal dengan apa yang ia putuskan di waktu lalu.
"...kita sekarang pasti sudah tiba di wilayah Lindblum." ucap Zidane menyelesaikan maksud perkataan Dagger.
Dagger mengangguk. Zidane merasa kaget.
"Kau berniat meninggalkan Alexandria?!" Zidane terkejut dengan perkataannya, Dagger hanya terdiam, masih memandangi jendela yang bahkan hampir tidak bisa untuk melihat keluar karena debu yang menumpuk. "Aku mengerti. Jika saja kau tidak ketahuan, kau sekarang mungkin sudah sampai Lindblum. Tapi sekarang, kita harus melewati Gerbang Selatan dengan berjalan kaki. Melewati perbatasan, huh?" Zidane terkekeh dengan kata-kata terakhirnya tanpa menghiraukan pendapat Dagger yang mungkin tidak akan lebih baik setelah mendengar perkataannya.
"Zidane, tolong dengarkan. Ada alasan kenapa aku harus meninggalkan Alexandria dan aku tidak bisa mengatakannya padamu, tapi, tolonglah..." suara Dagger memohon kepada Zidane yang pada akhirnya menatapnya setelah jendela itu.
"Aku mengerti, aku akan mengantarmu ke Lindblum bagaimanapun caranya."
"Sudah cukup aku mendengarkan kata-kata itu dari mulut busukmu!" Steiner bangun dari ranjangnya, menghampiri Zidane dan menyisakan beberapa langkah saja, ia menatap Tuan Putri-nya "Tuan Putri, anda tidak bisa mempercayai kata-kata dari seorang pencuri! Dia mungkin akan membiarkanmu dalam bahaya lagi seperti yang ia lakukan di Evil Forest!" kemudian ia maju beberapa langkah, dengan tingkah memohon kepada Tuan Putri-nya yang terlalu keras kepala untuk mendengarkannya "Aku mohon kepadamu, Tuan Putri. Tolong kembali ke kastil denganku."
Sudah cukup Zidane mendengar celotehan Steiner yang seperti ia lakukan sebelumnya, "Aku tahu aku mengacaukannya di Evil Forest. Tapi sekarang aku tidak mempunyai keraguan di dalam pikiranku. Aku akan melindungi Dagger dengan nyawaku!" terdengar seperti kata-kata seorang pahlawan, eh? Memang, namun entah mengapa Zidane mengatakan itu kepada seorang gadis yang mungkin bahkan tidak akan lama bersamanya.
"Jangan membuatku tertawa dengan kata-katamu! Ini tugasku untuk melindungi Tuan Putri, sekarang dan selamanya. Bukan kau!" Steiner terlihat kesal, namun ia masih cukup bisa untuk menekan suaranya agar tidak terdengar keras.
"Lalu katakan padaku, bagaimana caramu untuk membawanya kembali ke kastil?" tanya Zidane dengan menyilangkan kedua tangannya didepan dadanya, sepertinya ini serangan telak untuk Steiner.
"A-aku aku memikirkan sebuah cara..." Steiner menjawab, namun tidak terlihat yakin dengan perkataannya.
Kemudian argumen kedua orang itu terhenti karena mendengar suara dengkuran Vivi yang sedang tertidur.
"Master Vivi..." ucap Steiner lirih, menggantung.
"Dia lelah, namun kau tetap mengeluarkan kata-kata marah yang berlangsung lama itu." ucap Zidane memandang Vivi kemudian Steiner, kemudian dia berjalan menuju ranjangnya.
"Apa?!" Steiner memandang kesal Zidane, rasanya ingin dia hajar Zidane ditempat itu sekarang juga, namun itu semua tidak bisa ia lakukan.
"Istirahatlah." ucap Zidane yang sekarang sudah berbaring di ranjangnya, bersiap untuk menutup matanya.
Beberapa jam setelahnya...
Zidane POV Start
Aku...mendengar seseorang bernyanyi... Suaranya indah. Aku tidak pernah mendengarkan suara indah seperti itu untuk beberapa saat. Apa aku sedang bermimpi? Tapi ini terdengar sangat indah dan nyata.
"Siapa yang bernyanyi?" gumamku, aku membuka mataku perlahan.
Kupandang sekitarku, kosong.
"Aku tidak pernah mendengar lagu seperti itu sebelumnya..."
"...apakah Dagger yang bernyanyi?"
"Oh, semuanya sudah bangun. Aku berpikir kemana mereka semua pergi..."
Aku berjalan keluar, membuka pintu yang menuju lobi itu, kupandang pengurus penginapan masih tertidur seperti tadi. Tak kuhiraukan dia dan terus berjalan keluar. Sekarang sudah siang, mungkin segera sore.
Aku berjalan ke ujung jalan, kulihat Vivi ada disana. Kuhampiri dia dengan segera.
"Zidane!" Vivi memanggilku ketika menyadari aku akan menghampirinya.
"Hei, Vivi. Ada apa?" tanyaku setelah sampai disebelahnya.
"Ti-tidak, aku hanya sedang berpikir." seperti biasa, ia menundukkan kepalanya.
"Ah, aku tahu." tebakku asal.
"Hm?"
"Kau bertemu seorang gadis!" tebakku sambil menunjuknya dengan kedua telunjukku dan senyuman simpul yang dapat kubuat,
"Bukan, bukan! Bukan seperti itu!" elak Vivi.
"Apa? Jangan beritahu aku kalau kau tidak suka gadis!" aku merasa curiga dengan melemparkan kata-kata itu, dan memang, sih, aku belum pernah melihat seorang Black Mage berpacaran atau semacamnya, namun kurasa itu tidak terlalu aneh, kok.
"Aku hanya tidak pernah memikirkan sesuatu seperti...itu." pandangannya beralih lagi ke kincir angin yang memang daritadi ia pandang sejak aku berbicara dengannya.
"Aku selalu memikirkan tentang gadis-gadis. Aku terkenal diantara semua gadis di Lindblum. Datanglah padaku jika kau mempunyai masalah dengan gadis, oke?" tawarku, walaupun terdengar sedikit sombong, namun memang kenyataannya memang begitu, tidak ada gadis di Lindblum yang tidak mengenalku.
"Tentu, setelah ini aku akan kembali ke penginapan."
"Jadi, apa yang sedang kaulihat?" aku bertanya padanya lagi tentang hal yang ingin kutanyakan daritadi.
"Tidak ada. Tapi aku hanya terus mendengar suara seperti 'kweh'." ucapnya, itu suara yang familiar bagiku.
"Itu suara chocobo..."
Hening untuk beberapa saat.
"Sampai ketemu lagi di penginapan!" ucapku dan berlalu begitu saja.
"Oke!" suara Vivi samar-samar kudengar karena suara kincir angin itu dan juga aku sudah berjalan beberapa langkah.
Sekarang aku sudah berada di depan penginapan lagi.
"Lupakan Steiner. Aku berpikir dimana Dagger berada. Mungkin dia ada disana." aku kembali berjalan lagi menuju sebuah toko yang berada diseberang penginapan, dan ternyata dia memang berada disana.
"Dagger..." panggilku lirih setibanya didalam toko. Apa yang sedang ia lihat?
Kemudian aku berjalan dan berada disampingnya namun dia belum sadar bahwa aku ada disampingnya, aku hendak menoleh untuk melihatnya dari dekat.
Namun tidak kusangka, dia juga memalingkan kepalanya, sehingga sekarang kami bertatap muka, hanya terpaut beberapa senti saja.
"Zidane?!" dia terkejut sewaktu melihatku bebarengan dengan wajahnya yang berubah menjadi merah, apakah dia sakit?
"Kau sakit atau apa? Wajahmu merah semua." tanyaku tanpa dosa.
"Ti-tidak. Aku baik-baik saja." jawabnya memalingkan wajah. Dia bertingkah aneh sekali.
"Kau bertingkah aneh..." ucapku menggantung di akhir kalimatku.
"Apa?" dia menoleh, mungkin pertanyaanku tidak terdengar atau dia saja yang memang bertingkah aneh. Aku berpikir sejenak.
"Aku tahu!" ucapku tiba-tiba, dia sedikit terkejut dengan ucapanku "Kau mengganti cara berbicaramu!" ucapku yakin, "Kau melakukannya dengan bagus!"
"Terima kasih!" dia tersenyum "Aku bermain cukup bagus dalam teater, benar 'kan?" tanyanya tiba-tiba. Memang, sih, dia bermain cukup bagus dalam teater sebelumnya. Namun kurasa itu semua hanya dia yang pintar memalsukan itu semua.
"Oh, ya, aku berpikir, kau tahu bagaimana cara memalsukan sandiwaramu!" ucapku dengan acungan jempol.
"Memalsukan?! Kau sangat tidak sensitif!" dengusnya kesal dengan menyilangkan kedua tangan didepan dadanya, "Aku suka drama teater Lord Avon. Aku sudah menontonnya semua." dia menurunkan tangannya "'I Want To Be Your Canary' adalah salah satu drama favoritku. Aku bahkan hafal semua jalan ceritanya!" ucapnya bangga, " Aku akan...aku akan mempelajarinya nanti." tambahnya. Nampaknya dia marah.
"Ya ampun, tidak usah marah," ucapku, "Maafkan aku," tambahku, "Kita harus memutuskan apa yang akan kita lakukan dari sekarang. Maukah kau kembali ke penginapan?" pintaku dengan nada datar.
"Bagaimana denganmu?" tanyanya balik.
"Aku akan kembali nanti."
"Baiklah. Sampai ketemu nanti!" dia berlalu setelahnya. Bagus, sekarang dia sudah terlihat seperti gadis desa biasa. Melewati perbatasan mungkin tidak sesusah yang aku bayangkan selama ini.
"Terima kasih. Aku sudah cukup bersenang-senang!" Dagger melambai kepada penjaga toko sebelum meninggalkan toko.
"Dia aneh sekali." ucap penjaga toko itu memaklumi.
Kemudian aku juga ikut keluar toko.
"Akan kubiarkan Steiner dan kembali saja ke penginapan." ucapku. Jika dipikir-pikir memang mengapa aku harus peduli dengan prajurit tambun yang sok tahu itu?
Aku kembali ke penginapan setelahnya. Membukan pintu ganda yang cukup besar itu dan hanya mendapati Dagger saja didalam sana, kemana Vivi?
"Aku sudah meminta Vivi untuk kembali. Dia seharusnya akan kembali dengan segera," ucapku setelah menutup pintu ganda itu, mendekati Dagger yang duduk di ranjangnya, memandang keluar jendela yang masih tidak dapat dilihat itu. "Bagaimana, kau menyukai desa ini? Sangat berbeda dengan di kastil, aku berani bertaruh itu." tanyaku.
"Ya," jawabnya "Anak-anak disini sangat bersemangat, dan banyak hal yang dapat dilihat. Aku tidak pernah bisa jalan-jalan dengan bebas dalam hidupku sebelum ini!" senyumnya merekah, bisa kulihat dari tekukan pipinya, "Tapi..." senyum itu tiba-tiba hilang digantikan dengan ekspresi penasaran "...kemana semua orang dewasanya?" tanyanya.
"Ya, aku juga berpikir seperti itu. Dulu aku biasa melihat mereka sedang merapikan tanaman di kebun disebelah desa." jawabku.
"Tapi kebun itu terlalu kecil."
"Ya. Ada sesuatu yang aneh sedang terjadi disini..." ucapku "...kita harus pergi dari sini setelah Vivi kembali," aku berpikir sejenak "Aku punya rencana yang bagus untuk menyeberangi Gerbang Selatan. Ini akan menjadi mudah! Mereka tidak akan mengecek semuanya, jadi kita hanya harus menyembunyikanmu!" ucapku, rencana itu terlihat sangat mudah dalam imajinasiku.
"Tapi, bagaimana dengan Steiner?"
"Lupakan tentang Rusty. Serahkan semuanya kepadaku!"
Beberapa saat kemudian.
"...Selagi mereka keluar, tidak penting lagi kalau kami mengendap-endap atau tidak dalam mansion mereka. Tapi Sang Raja sedang menyembunyikan sesuatu dalam mansion itu..." aku kembali memandang Dagger yang terlihat tidak mendengarkan cerita yang aku ceritakan kepadanya. "Ada apa? Apa ceritaku membosankan?" tanyaku, perhatiannya teralihkan.
"Oh, tidak. Ceritamu sangat menarik," ucapnya "Namun aku mengkhawatirkan Vivi, kenapa dia belum kembali?" benar juga, kenapa aku tidak merasa kalau dia tidak kembali itu tidak aneh?
"Kau benar. Dia terlambat," aku berdiri meregangkan badanku "Aku tidak khawatir dengan Steiner, tapi Vivi, aku tidak yakin tentangnya. Ayo kita pergi mencarinya." ajakku, dia mengikutiku dibelakang selagi aku melangkah keluar penginapan. Satu-satunya tempat yang aku pikirkan hanya tempat terakhir dimana ia berdiri –didepan kincir angin.
Setelah berada disana, aku berpikir sejenak.
"Vivi berkata ia mendengar suara chocobo disini." aku berpikir sejenak.
Sebuah suara tangisan kecil terdengar dari lubang pipa yang berada di pojok pagar.
"Ada seseorang yang menangis?" tanyaku kepada Dagger.
"Aku mendengarnya juga." jawabnya
Suara tangisan itu semakin jelas ketika aku mendekatkan diri ke pipa yang tidak cukup besar itu.
"Suara itu berasal dari lubang pipa ini," aku mendekatkan telingaku di lubang pipa itu, "Vivi?"
"...Zidane?" suara itu, memang benar suara Vivi berasal dari lubang pipa ini!
"Vivi! Dimana kau? Apa kau dibawah sana? Dapatkah kau bergerak?" tanyaku bertubi-tubi, Dagger yang berada disebelahku juga terlihat terkejut ketika mendengar suara Vivi.
"Dia menyuruhku untuk tetap disini..." ucapnya lirih, nyaris tidak terdengar.
"Apa kau terluka?"
"Tidak."
"Jangan khawatir, kami akan mengeluarkanmu. Kita akan bergegas, jadi tetap disitu, oke?" perintahku kepadanya. Suaranya hampir tidak terdengar lagi karena suara berisik dari dalam sana dan juga kincir angin ini.
"...oke!"
Aku beranjak, begitu juga dengan Dagger yang mengikutiku dibelakang "Apa yang terjadi didesa ini? Pasti ada jalan menuju bawah tanah. Ayo kita mencarinya." ucapku pada Dagger, dia hanya mengangguk dengan ekspresi khawatirnya.
Zidane POV End
Tak lama mencari, akhirnya mereka menemukan sebuah jalan masuk di bangunan sebelah kincir angin itu.
"Ini bukan...sekedar fasilitas penyimpanan bawah tanah biasa." ucap Zidane yang mengedarkan pandangannya ke kotak-kotak aneh yang berada disekitarnya.
"Apa yang terjadi disini?" Dagger bertanya, sedikit ngeri dengan kondisi ruangan ini karena terlihat menyeramkan baginya.
"Shh!" Zidane menutup mulut Dagger dengan tangan kirinya sambil bersembunyi dibalik dinding, ada seseorang dibalik dinding itu yang sedang berbicara.
Ada beberapa kata yang menarik perhatian Dagger, seperti kedua pemuda yang sedang berbincang dibalik dinding itu mengatakan 'kastil'. Kemudian Zidane mengintip dan mendapati kedua pemuda itu sedang membawa Vivi bersama mereka.
"Vivi! Sialan!" Zidane mengumpat dengan suara rendah karena ia tahu kalau ia tidak boleh ketahuan sekarang.
Dagger memandang tong besar dengan sebuah cap yang ia kenal "Zidane! Tunggu!" Dagger berbisik dan menarik Zidane mundur.
"Ya ampun! Hei! Ada apa?!" Zidane sedikit kesal, terlebih karena kedua pemuda itu membawa Vivi.
"Apa kau lihat tong besar yang berada disebelah lumbung itu? Aku melihat gambar yang sama di tong itu dengan yang berada di kastil. Tempat ini pasti memiliki suatu hubungan dengan Alexandria. Aku harus tahu apa itu!" ujarnya dengan ekspresi meminta "Jadi tolong, aku memohon kepadamu, jangan membuat masalah apapun terlebih dulu."
"...baiklah," Zidane kembali berpikir dengan permintaan Dagger "Tapi aku akan membuat masalah jika Vivi dalam bahaya, setuju?"
"Baiklah." Dagger menjawab dengan cepat.
"Baik, ayo kita berjalan lebih dalam lagi."
Mereka berdua kembali berjalan lebih dalam lagi menyusuri fasilitas bawah tanah itu. Didalam sana, ada beberapa suara keras yang menarik perhatian Zidane, dan suara itu berasal dari sebuah mesin yang ia tidak tahu.
"Benda apa itu?" Zidane berlari tepat kearah benda itu namun Dagger segera menghentikannya.
"Zidane!"
"Ada apa?" Zidane kembali bertanya.
"Ada seseorang yang menangis." jawabnya.
Zidane kembali memfokuskan pendengarannya, dan memang, ada seseorang yang menangis, kemungkinan itu suara Vivi.
"...Vivi?"
"Zidane?!" Vivi terkejut, dan itu memang benar-benar Vivi. Suara itu muncul dari sebuah peti yang berada disekitar situ.
"Itu kau! Aku akan mengeluarkanmu!"
Dengan beberapa usaha, akhirnya Zidane dapat mengeluarkan Vivi dari peti itu, terlihat sedikit mengerikan jika kita dikurung didalam peti seperti itu.
"Apa yang terjadi?" Zidane bertanya sesaat setelah berhasil mengeluarkan Vivi.
"Setelah kau pergi, ada beberapa orang yang menculikku dan membawaku kemari," Vivi mulai menjelaskan "Mereka berkata padaku untuk diam. Aku sangat takut...dan tidak tahu apa yang harus kulakukan. Mereka bertanya kepadaku mengapa aku berada diluar sana, dan kemudian mereka berkata lagi, kapal barangnya masih belum sampai disini. Aku bahkan tidak tahu dengan apa yang sedang mereka bicarakan, jadi aku tidak berkata apapun, dan kemudian mereka berkata 'Ayo kita masukkan ke pengiriman hari ini'."
"Mereka memasukkanmu ke dalam peti itu?" Dagger bertanya.
"...Iya." jawab Vivi sedikit takut.
"Well, aku senang kau aman," Zidane kembali menatap Vivi dengan memegang kedua pundak yang kecil itu "Dengarkan, Vivi. Kau harus melakukan sesuatu lain kali. Kau harus mencoba sesuatu –berteriak atau apapun."
"Berteriak?" Vivi mengulangi perkataan Zidane.
"Ya, seperti..." dia berpikir lagi "Lepaskan aku, dasar orang hina!"
"!" Vivi terkejut, begitu juga Dagger yang tidak terlalu mengerti dengan kata-kata terakhir yang Zidane sebut.
"Seperti itu! Itu akan mengagetkan orang yang menyerangmu dan akan menguatkanmu!"
"Huh," walaupun sedikit bingung, namun nampaknya Vivi sedikit mengerti apa yang dimaksud oleh Zidane dengan caranya yang aneh "Aku mengerti. tambahnya.
"Aku ingin sebuah permintaan darimu, Vivi. Kami ingin mengecek apa yang ada didalam sana, aku tahu kau mungkin akan terkejut dengan ide itu, tapi..."
"...Zidane, aku juga ingin tahu lebih. Lihat, benda apa itu?" Vivi menunjuk kearah sebuah mesin yang tadi mengeluarkan suara keras. Sebuah mesin yang terlihat seperti kabut yang memberinya tenaga dan memompa sebuah batu besar berwarna putih dengan corak merah muda dengan selisih waktu sekitar tiga detik.
"Baiklah, kita akan pergi kesana bersama-sama!" Zidane tanpa berpikr panjang berlari kearah batu itu, mengikuti kemana telur itu akan menuju.
"Bukankah itu, sebuah telur?" Zidane mengamati batu itu lekat-lekat dari dekat, "Mesin ini, pembuat telur?" baiklah, itu bodoh, untuk apa mereka membuat sebuah mesin pembuat telur berukuran raksasa? "Ini bukan Mesin Kabut, tapi ada kabut yang keluar dari sana..." Zidane yang penasaran segera berlari lagi kearah telur itu menuju selanjutnya.
Setelahnya Zidane melihat beberapa chocobo yang sedang berlari dalam sebuat alat, mengejar sebuah gysahl green –makanan chocobo yang tergantung diatasnya.
"Seekor chocobo dan gysahl green? Para chocobo itu adalah sumber tenaganya? Tapi kenapa mereka tidak menggunakan mesin saja untuk melakukannya?" Zidane terheran-heran, itu hal yang cukup kejam baginya melihat chocobo itu dipermainkan seperti itu.
Lalu Zidane kembali berjalan dan berhenti ditempat dimana telur itu masuk kedalam sebuah mesin, ia mencoba untuk melihat kedalam mesin itu.
"Aku hampir dapat melihat kedalam..." Zidane terus mencoba menekan terus tubuhnya kedalam namun ia tidak bisa melihat apa-apa "...tapi aku tidak bisa melihat apa-apa. Aku hanya mendengar suara," ia menghentikan kegiatannya dan berpikir "Apakah telurnya...menetas?"
Kemudian ia berlari ke ruangan selanjutnya, diikuti oleh Vivi dan Dagger.
"Ahhh! Apa itu?!" Vivi terkaget dengan apa yang ia lihat setibanya di ruangan yang dimasuki oleh Zidane, Dagger menyusul setelahnya. Ketiga orang itu sama-sama terkejut dengan apa yang mereka lihat saat ini.
Seperti pabrik boneka, Black Mage, seperti Vivi, namun lebih besar dan tinggi dibandingkan dia, tidak jauh berbeda dengan pakaiannya yang berwarna hitam dengan sedikit corak ungu. Black Mage itu sedang tergantung seperti boneka yang baru jadi, melewati rangkaian mesin itu, dengan sebuah sabuk yang terikat.
"Mereka...beberapa bagian terlihat berbeda, tetapi..." mereka terlihat seperti Vivi. Zidane tercengang, terutama Vivi.
"A-apa itu?" suara Vivi terdengar, sedih "Apakah mereka...boneka?"
"Kenapa? Apakah ibuku adalah dalang dibalik semua ini?" Dagger menutup mulutnya dengan kedua tangan, tidak percaya.
Zidane yang menyadari keberadaan seseorang yang datang segera menggendong Vivi dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya memegang Dagger "Ada yang datang!"
"Ahh!" Vivi berteriak.
"Ahh! Apa yang kau lakukan, Zidane?!" Dagger yang terkaget hanya dapat mengikuti langkah kaki Zidane menuju boneka itu dibawa.
"Hanya ini jalan satu-satunya!"
Mereka masuk, menciptakan beberapa anomali suara yang tidak tercipta seperti sebelumnya.
"Diam!"
Dan ketika seseorang itu pergi, sebuah tong yang besar datang entah darimana, mengurung mereka bertiga disana menuju ruangan selanjutnya. Simpelnya: mereka terjebak untuk sesaat.
Berbeda dengan Steiner yang ngeluyur entah kemana untuk mencari informasi tentang keberadaan atau kapan sebuah kapal akan singgah di Dali –agar dia bisa membawa Tuan Putri-nya kembali ke kastil dengan selamat sentosa tanpa campur tangan pencuri yang terus mempengaruhinya.
"Kenapa Pak Tua itu tidak bilang kalau kapal barang itu sudah berada disana sejak tadi?" Steiner terus menggerutu tentang Pak Tua yang ia temui tadi disebuah kincir angin tua yang beberapa menit dari desa itu.
"Sekarang aku harus mencari cara agar Tuan Putri mau menaikinya." memang benar, Tuan Putri muda itu tidak akan mau menaiki kapal barang itu kalau ia mengetahui tujuan sebenarnya ada Alexandria.
Tiba-tiba saja, saat Steiner sudah mencapai dekat kapal yang tidak terlalu besar untuk kapal barang itu, ia melihat sebuah tong yang tiba-tiba muncul dari sebuah lubang ditanah, ketika ia mendatanginya, pintu lubang itu ditutup.
"Ada sesuatu yang keluar dari sana!" ia dengan sigap mendatangi tong yang terlihat mencurigakan itu.
"Tong ini, apa yang ada didalamnya?" tingkahnya begitu aneh ketika melihat tong besar yang ada didepannya, "Kira-kira desa ini sedang mengirim apa?" dia berpikir.
Brak, brak!
Tong itu tiba-tiba saja bergerak sendiri, dan tentu saja membuat Steiner kaget.
"What the-" dia melihat dua kali tong itu "Apakah tong ini baru saja bergerak sendiri?" dia kembali menatap tong itu lebih dekat dan teliti "Kita lihat..." dia menemukan sebuah tanda yang terlihat familiar "...aku pernah melihat tanda ini sebelumnya..."
Brak!
Tong itu bergerak lagi.
"Ah! Tong ini benar-benar bergerak!" Steiner terkejut lebih ketika tong itu tiba-tiba saja bergerak lagi.
"Baiklah! Berikan dorongan lagi!"
"Aargh! Tongnya berbicara!" Steiner yang kaget langsung mundur beberapa langkah ketika mendengar suara keluar dari tong yang berada dihadapannya itu, antara percaya dan tidak percaya.
Setelahnya, tong itu terguling dan akhirnya terbuka. Ternyata tong itu berisi Zidane, Dagger, dan juga Vivi yang keluar terakhir.
"Tuan Putri, apa yang terjadi?!" Steiner yang panik melihat Tuan Putri-nya keluar dari tong itu langsung mendatanginya dan mengeceknya dari ujung ke ujung, lalu beralih ke makhluk berekor yang ada disebelahnya, dengan ekspresi sebal ia berkata "Kau bajingan! Inikah yang kau lakukan?!"
"Steiner, tolong hentikan!"
"Ba-baik, Tuan Putri..." Steiner saat itu juga mundur beberapa langkah dengan posisi membungkuk.
"Zidane, aku tidak tahu harus mengatakan apa kepada Vivi. Aku tidak pernah mengetahui sesuatu yang mencurigakan sedang terjadi di kastil..." Dagger menatap Zidane dengan tatapan bersalah dan menyesal dengan apa yang ia lihat sebelumnya.
"Kita masih tidak tahu pasti. Kita memihak Vivi saja," ucap Zidane bijaksana, kemudian ia membalikkan tubuhnya memandang kapal barang yang berada dibelakangnya, memandang sejenak lalu kembali membalikkan badannya "Yo, Rusty, kau tahu kemana tujuan kapal ini?"
"..." Steiner terdiam sejenak sebelum menjawab pertanyaan Zidane, ini bisa menjadi sebuah kesempatan baginya, "Li-Lindblum," ucapnya canggung "Ya, menuju Lindblum." ulangnya.
"Itu sebuah kebetulan! Apa kau bertanya pada seseorang?"
"Pa-Pak Tua yang berada disana memberitahuku! Jadi itu pasti benar!"
Namun Zidane mengetahui ada yang aneh dengan kata-kata Steiner, tidak biasa ia mendengar Steiner berbicara padanya seperti itu "Kau bertingkah aneh..."
"Eh, itu –lupakan."
Diikuti dengan perkataannya, seorang penyihir, sama persis dengan yang ditemui Zidane sebelumnya di Ice Cavern –Black Waltz, namun kali ini sedikit lebih kuat, datang entah darimana.
"Putri Garnet, Sang Ratu sudah menunggu anda di kastil!" ucap Black Waltz itu dengan suara yang menyeramkan.
"Kau dikirim dari kastil?!" Zidane yang terkejut langsung melontarkan kata-kata itu dengan kepalan tangannya.
"Apa? Apa yang kalian bicarakan?!" Steiner yang tidak mengerti segera panik, dia bingung dengan perkataan kedua makhluk itu.
"Kalian semua pingsan sewaktu badai itu. Dia mengaku dirinya adalah Black Waltz!" ucap Zidane, terus menatap Black Waltz didepannya dengan mata yang waspada pada setiap gerakannya.
"Apakah kau yang mengalahkan No.1? Aku Black Waltz No.2!" ucapnya, "Kekuatanku, sihir, kecepatan, aku lebih kuat dibandingkan No.1! Menghindar akan sia-sia!" tambahnya, kemudian dia mengalihkan pandangannya ke Dagger "Kemari, Putri. Ratu sudah menunggu!"
"Tidak! Aku tidak akan kembali ke kastil!" teriak Dagger, dia kemudian berlindung dibelakang tubuh Zidane.
"Kemari, atau kau akan menyesalinya!"
"Tunggu! Aku Steiner, akan mengantar Tuan Putri kembali ke kastil!" ujar Steiner, berjalan didepan Zidane, bermaksud melindungi Tuan Putri-nya.
"Hehehe! Kaukira aku akan peduli? Aku takkan membiarkan kalian menghalangi misiku!"
Pertarungan singkat pun terjadi. Zidane yang sebelumnya pernah mengalahkan No.1 dipertarungan pasti tidak akan kewalahan menghadapi No.2, ditambah lagi dengan dibantu Steiner, Dagger, dan Vivi.
Cukup beberapa menit bertarung, dan seperti yang sudah diperkirakan, Black Waltz No.2 dapat dikalahkan dengan mudah oleh mereka berempat.
"Apakah ibuku benar-benar mengirimnya untuk menangkapku?" ucap Dagger sedih, mundur beberapa langkah setelah pertarungan itu selesai.
"Itu tidak mungkin! Tidak ada alasan untuk mempercayai kata-kata dari seorang bandit. Dia hanya seorang kriminal lain yang menggunakan segala cara untuk menangkap Tuan Putri." Steiner benar-benar berusaha untuk bersikap positif dan terus melindungi Tuan Putri-nya.
"Apa aku masih kurang berhati-hati?"
"Anda adalah asuhan bangsawan tidak akan bisa ditipu dengan mudah." Steiner menjawab itu dengan hati-hati, dan juga dengan maksud menenangkan Tuan Putri-nya.
"Itu tidak benar. Kau hanya belum pernah melihatnya, Dagger berusaha sangat keras. Justru kaulah satu-satunya masalah! Berjalan kesana kemari, berteriak 'Tuan Putri' kemana-mana..." Zidane berjalan mendekati Dagger yang terlihat lesu disana. Zidane sudah benar-benar merasa kesal dengan kelakuan Steiner. "...sekarang, Dagger, tentang menyeberangi perbatasan..."
"Ya?"
"Kenapa kita tidak menumpang di kapal ini?" tawarnya, itu memang memungkinkan, namun Zidane sendiri tidak yakin apakah kapal ini akan benar-benar menuju Lindblum, atau itu hanya tipu muslihat yang dibuat Steiner.
"Boleh, Lindblum tidak akan terlalu menakutkan dengan kapal –maksudku, tidak akan jauh," Dagger tersenyum mendengar perkataan Zidane, perlahan ia berdiri lagi.
"Tunggu disini, aku akan bertanya pada mereka apakah kita dapat menumpang." Zidane hendak pergi, namun dihalangi oleh Steiner.
"A-aku yang akan pergi!" dengan sigap Steiner menawarkan diri, hmm, ini tidak biasa, lagi.
"Oh, benarkah? Bagaimana caramu?"
"Itu bukan urusanmu! Dan ingat, aku melakukan ini hanya untuk Tuan Putri!" dengus Steiner sedikit kesal dan berlalu begitu saja.
"Steiner...dia begitu keras kepala tentang kembali ke kastil sebelumnya..." Dagger berhenti sejenak sambil menatap Steiner pergi "...sebuah kapal yang penuh berisi dengan tong seperti yang aku lihat di kastil... Steiner berpikir akan pergi..." kemudian dia teringat akan sesuatu, perkataan Steiner "...Zidane, apakah kapal ini akan benar-benar menuju Lindblum?"
Zidane menggeleng tidak pasti "Tidak. Kemungkinan kapal ini akan membawa kita ke Alexandria."
"Tapi kenapa? Bukankah kau barusan berkata kita seharusnya menumpang kapal ini?" tanya Dagger bingung mencerna perkataan yang dikatakan oleh Zidane sebelumnya.
"Ya, aku tahu. Percayalah padaku!" sebuah jempol ia acungkan kepada Dagger, diikuti dengan senyuman lebar.
"...Zidane." Vivi yang daritadi hanya diam melihat mereka akhirnya berbicara, lirih, suaranya ragu untuk berkata.
"Ada apa, Vivi?" Zidane yang merasa dipanggil langsung berjalan mendekati Vivi, memegang bahunya.
"Apakah boneka-boneka yang dibuat dibawah tanah tadi... Apa kau berpikir mereka terlihat sama sepertiku?" tanya Vivi ragu, menatap mata Zidane dengan harapan.
"Tidak. Benda yang kausebut 'mereka' itu hanya boneka, Vivi," Zidane menolak pernyataan dan pertanyaan Vivi dengan sebuah gelengan. Sesaat setelah itu mesin kapal barang itu mulai terdengar menyala "Kapal ini akan segera terbang. Apa yang sedang dilakukan Steiner?" pikir Zidane sambil membayangkan apa yang sedang dilakukan oleh Steiner, "Baiklah, kita harus segera naik, Dagger."
"Naik pada kapal yang tidak akan menuju Lindblum?!" Dagger tidak percaya, apakah Zidane benar-benar akan membawanya ke Lindblum atau malah membawanya kembali ke Alexandria.
"Aku tidak punya waktu untuk menjelaskannya sekarang," ucap Zidane, dia berjalan menuju tangga untuk menaiki kapal, melambai kepada Dagger "Kesini!"
Vivi berjalan terlebih dahulu dan menaiki tangga itu, lalu Zidane beralih kepada Dagger.
"Cepat!" ucap Zidane namun dibalas dengan sebuah gelengan oleh Dagger " Kau tidak perlu khawatir. Cepat, sebelum lepas landas!"
"Tapi..."
"Aku akan membawamu ke Lindblum. Aku berjanji!" ucap Zidane ditengah suara berisik mesin yang terus mengeras.
"Baiklah, aku akan naik!" Dagger asal percaya saja dengan perkataan Zidane karena terlalu bingung dengan semua kata-katanya, namun ia tahu bahwa ia harus percaya Zidane akan membawanya ke Lindblum. Ia berjalan mendekati tangga itu dan mulai menaikinya, disusul oleh Zidane.
Kapal barang itu akhirnya terbang meninggalkan Dali. Vivi kemudian masuk kedalam kapal, meninggalkan Zidane dan Dagger yang masih berada diujung kapal yang baru saja terbang.
"Ayolah, aku tidak sengaja." mohon Zidane menatap Dagger, sebuah kecelakaan kecil terjadi saat menaiki tangga beberapa saat sebelumnya.
"Tolong, hentikan." jawab Dagger acuh, ia terlihat risih dengan perkataan Zidane.
"Nah, nada bangsawanmu muncul lagi." ledek Zidane pada Dagger.
"Kau tak apa, Vivi?" tanya Dagger setibanya di dalam kapal, menemui Vivi yang berdiri tidak jauh dari pintu.
"Aku serasa seperti akan dihisap oleh langit." nadanya setengah mual, mungkin pusing.
"Ayo kita masuk," ajak Dagger, Vivi berjalan masuk terlebih dahulu. "Aku percaya padamu, Zidane." ucap Dagger meninggalkan Zidane diluar.
"Hmm," Zidane berpikir sejenak, dia merasa ada sesuatu yang salah dengan perkataan Dagger barusan. Sepertinya dia belum sepenuhnya percaya padaku. Mungkin dia akan menghadiahiku satu atau dua ciuman jika aku berusaha lebih keras lagi. "Baiklah." dia kemudian memasuki ruangan.
"Zidane!" teriak Dagger cukup keras ketika ia sedang membuka pintu yang baru setengahnya terbuka.
Wow, secepat itu? "Ada apa? Ada yang salah?"
"Vivi..." Dagger menunjuk Vivi yang berada didekat boneka yang terlihat sepertinya –seperti yang ia lihat dibawah tanah tadi.
"Wow! Mereka hidup, mereka berjalan kesana-kemari!" ucap Zidane terkesima melihat boneka itu terlihat hidup didepannya. "Jadi Mage itu dibawa kembali kemari untuk membawa yang baru?"
Zidane dan Dagger melihat Vivi dengan seksama, ia mencoba berbicara dengan salah satu dari mereka yang sedang melakukan sesuatu pada mesin kapal itu. Namun kelihatannya nihil.
"Vivi! Apa kau sudah dapat berbicara kepada mereka?" Zidane menghampiri Vivi, tampang Vivi memelas melihat wajah excited Zidane.
"Tidak..." ia melihat kembali ke Mage itu "Ini tidak seperti..." ia memberi jeda "...mereka melihatku," lalu dia kembali memandang Zidane dengan wajah memelasnya "Aku sudah mencoba, namun, mereka tidak menghiraukanku."
"Vivi..." Zidane memegang pundak Mage kecil itu dengan lembut "Aku akan ke anjungan sebentar. Aku mau memutar kapal sebelum kapal ini tiba di kastil."
Zidane berjalan meninggalkan keduanya disana, sebelum menghilang di tangga, Zidane menoleh kearah Dagger yang masih berdiri disana. "Jaga Vivi, oke?" kemudian dia menaiki tangga dan menghilang sedikit demi sedikit.
"Kenapa semua ini terjadi? Apa yang akan kulakukan? Aku tidak pernah semuanya akan berjalan buruk seperti ini..." Steiner meratapi Desa Dali dari kapal, desa itu sudah hampir tidak terlihat dari tempatnya berdiri –dek sebelah kiri. "Aku tidak percaya kapal ini terbang tanpa Tuan Putri! Apa yang akan kukatakan pada Ratu Brahne?" dia begitu terlihat depresi ketika kapal ini terus menjauhi Desa Dali, mengira Tuan Putri-nya tidak naik di kapal.
"Apa yang kaulakukan? Kau hampir saja terbang tanpa kami!" ucap Zidane setibanya disana setelah menaiki tangga lalu berjalan sebentar.
"Itu karena... kru kapal ini..." Steriner menjawabnya dengan pilu, namun seketika ia teringat, kenapa Zidane berada disini? Kalau dia berada disini, apakah Tuan Putri-nya juga ada disini? "Kenapa, kau! Mana Tuan Putri?!"
"Di ruang mesin."
"Dia berada di dalam kapal?!" Zidane mengangguk santai "Semuanya baik-baik saja, kalau begitu. Kapal ini akan kembali ke kastil," rasa depresi itu menghilang seketika, bahkan tidak tahu kemana perginya ketika Steiner mendengar kabar bahwa Tuan Putri-nya berada di dalam kapal "Kau akan digantung karena menculik anggota keluarga bangsawan! Nikmati kebebasanmu selagi bisa." ucapnya.
Zidane berjalan ke anjungan tanpa menghiraukannya sama sekali.
"Akhirnya! Ratu Brahne pasti akan sangat puas. Bagaimanapun, Tuan Putri tak akan selamat tanpa perlindungan pencuri itu. Aku akan membuat petisi untuk hukuman gantung. Ya, itu akan menjadi sesuatu yang terhormat!" Steiner tersenyum sendiri karena perkataannya sambil membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya setibanya mereka di kastil, "Tapi itu karena kru tidak mendengarkan! Aku harus berlari kebelakang untuk mengeek keberadaan Tuan Putri. Ah, benar. Ini adalah tugasku sebagai seorang ksatria!"
Kemudian kapal itu bergoyang, merubah arah tujuannya.
"Apa-apaan-!"
Steiner menunda tugasnya untuk mengecek Tuan Putri-nya di ruang mesin dan berlari menuju anjungan. Menemukan Zidane berada dalam kendali kapal –dalam arti, dia sedang menyetir kapal dibelakang kemudi!
"K-k-k-k"
"Apa? Ada sesuatu yang tersangkut di tenggorokanmu?" Zidane bertanya santai ketika Steiner tiba disana, terbata-bata akan mengatakan sesuatu.
"Kau orang bodoh yang kurang ajar!" dia menunjuk Zidane dengan jarinya, emosinya terbakar karena Zidane terlihat seperti orang yang tak punya dosa dihadapannya "Putar kembali kapalnya!" perintahnya dan mencoba untuk memukulnya, namun Zidane dengan mudah menghindar, menggantung kepipa yang berada di langit-langit anjungan. "Aku akan memotong kepalamu untuk itu!" dengus Steiner keki. Setelah itu dua Mage datang ke anjungan.
"Hei, kukira kita membuat mereka marah." ucap Zidane melihat kedua Mage yang berdiri diambang pintu anjungan.
"Tapi mereka tidak merespon hingga sekarang... –Kaulah yang membuat kekacauan ini!" ucap Steiner pada Zidane dengan nada yang lebih tinggi lalu kembali menatap kedua Mage itu dengan penuh penyesalan "Aku minta maaf! Kumohon selagi aku menahan dia, putarlah kapal ini," namun tidak ada respon dari kedua Mage itu, malah keduanya meninggalkan mereka berdua disana menuju lokasi terdepan kapal. "Apa ada yang salah?"
Sesaat setelahnya, Vivi dan Dagger datang, melewati anjungan dan menghampiri kedua Mage itu. Ternyata Black Waltz No.3 terbang mengikuti mereka sedari tadi.
"Tidaaaak!" Vivi berseru ketika melihat No.3 yang berada di kapal kecilnya, terbang bersebalahan dengan kapal barang ini. Kemudian No.3 mengeluarkan sebuah sihir, petir menyambar Vivi, namun meleset sedikit, ia terjatuh karena guncangannya.
"Vivi! Apa kau baik-baik saja?" Dagger membantu Vivi berdiri dan mundur beberapa langkah. No.3 mendaratkan kapal kecilnya di area kosong di lokasi terdepan.
"Jadi, No.2 telah dikalahkan oleh sekumpulan bocah! Namun kalian tidak dapat menandingiku!" ucap No.3 setelah turun dari kapalnya, diikuti dengan suara tawa yang arogan "Tuan Putri, tetaplah disana selagi aku menghabisi bocah ini!" ucapnya memandang Vivi, namun kedua Mage melangkah kedepan, menutupi Vivi dan Dagger. "Kau melindunginya? –Tidak masuk akal. Kau tidak berbeda dengan boneka-boneka tanpa pikiran ini! Apa yang dapat kau lakukan?" Vivi dan Dagger kemudian lari dari sana menuju anjungan –tempat Zidane dan Steiner berada.
No.3 murka. Ia mengeluarkan sihirnya. Lightning bolt kearah kanan dan kiri. Kedua Mage yang melindungi Vivi dan Dagger terkena petir itu, Mage-mage yang lain melayang terkena sihirnya. Tong-tong Black Mage melayang, meledak di udara, menyisakan pecahan kayu yang terlempar. Vivi menatap ngeri bagaimana No.3 membantai Black Mage, Dagger berusaha membuatnya tenang dengan kata-kata yang dapat ia berikan.
Zidane, Dagger, Vivi dan Steiner menyaksikan betapa jahanya No.3 yang menyilangkan kedua tangan didepan dadanya dengan mata merah yang menyala seperti api panas.
"Kekejaman macam apa itu!" seru Steiner.
"...Aaaahhh!" Vivi berteriak, ia sudah tidak tahan dengan kelakukan No.3. Vivi berlari tepat kearah tempat No.3 berdiri.
"Master Vivi, aku akan membantumu!" ucap Steiner yang mengikuti langkah kaki Vivi.
"Hei, kalian!" Zidane berteriak kepada kedua orang yang menuju kearah No.3, "Dagger!" panggilnya.
"Y-ya?"
"Kami akan menangani No.3. Kau setirlah kapal ini," pandangannya beralih kearah No.3 lagi "Akan terjadi sesuatu yang lebih berbahaya mulai dari sekarang. Tapi ini tidak begitu terlambat untuk kembali," Zidane mengalihkan pandangannya menatap Dagger yang menatapnya dengan yakin "Kau dapat kembali ke kastil atau menyeberangi Gerbang Selatan dan menuju Lindblum. Ini pilihanmu!" Dagger mengangguk menyertai akhir kalimat Zidane.
Zidane memberikan Dagger pilihannya sendiri untuk kemana ia akan menuju. Dan tentu saja, ia pasti memilih ke Lindblum daripada kembali ke Alexandria.
"Aku akan bersamamu kemanapun kau ingin pergi! Tapi coba untuk tidak menabrakkan kapalnya!"
Dagger mengangguk lagi sembari Zidane meninggalkannya dan berjalan bergabung dengan Vivi dan Steiner.
"Hati-hati, Zidane!" teriak Dagger.
Zidane menoleh dengan senyuman simpulnya, ekspresi percaya diri muncul dalam dirinya "Aku akan baik-baik saja." kemudian ia beralih menatap No.3.
"Kenapa? Kenapa kau melakukan hal seperti ini?! Bukankah mereka temanmu?!" dengus Vivi kesal.
"Bodoh! Apa aku terlihat seperti Black Mage rendahan?"
"Walaupun mereka bukan sekutumu, apa yang kau lakukan itu sudah keterlaluan!" Steiner ikut mendengus kesal mendengar kata-kata No.3 barusan. No.3 tertawa lepas.
"Tak perlu khawatir terhadap mereka, mereka akan diproduksi lebih banyak lagi dari sekarang!"
"Kau ini apa?" Zidane datang dan bergabung, menatap No.3 dengan penuh ketidakmengertian.
"Ah, semua pengawal Tuan Putri sudah berkumpul! Begitu cocokny-"
"-Jawab aku!" Zidane menyela kata-kata No.3.
"Jawabanku tidak akan merubah sesuatu, karena kalian sebentar lagi akan mati!" suara tawa mengikutinya lagi "Aku akan memusnahkanmu yang menghalangiku!"
Pertarungan terjadi kembali, dengan musuh yang lebih kuat. Ketiga orang itu berpencar memisah, bertujuan untuk membuat No.3 repot. Namun ia mengeluarkan sihir apinya, membuat sebuah barikade agar mereka tidak bisa lewat.
Zidane berpikir, memutar otak untuk dapat menembus barikade api yang No.3 buat, satu-satunya yang terlintas saat itu hanya imajinasinya saja.
"Baiklah, bajingan, kini kau ada ide untuk mengalahkan yang satu ini?" Steiner berteriak kepada Zidane yang terlihat sedang berpikir, tanpa menghiraukan No.3 yang dapat kapan saja menyerang bahkan membunuhnya.
"Ada, namun aku tidak tahu apakah akan berhasil!" ia tidak bisa berpikir lagi selain itu.
"Katakan saja!"
Berpikir sejenak, merangkai kata untuk ia ucapkan kepada Steiner, langkah krusial ini mungkin memiliki kesempatan 50/50, berhasil atau gagal akan memberi dampak kepada nyawa mereka. Mungkin akan menjadi akhir dari petualangan yang ia dambakan selama ini, mungkin juga akan menjadi awal petualangannya.
"Kau percaya pada Vivi, 'kan?" ia membuka mulut, sebuah pertanyaan. Vivi menoleh ke arah Zidane ketika ia menyebutkan namanya.
"Tentu saja! Ia adalah Master!" Steiner menjawab dengan semangat di kedua matanya, dengan mengepalkan tangannya kirinya dan memandang Vivi.
"Mungkin kalian berdua bisa menggabungkan kekuatan kalian, enhancement, atau apalah itu sebutannya, namun aku tidak yakin rencana ini akan berhasil." Jelas Zidane, ada tertampak sedikit keraguan di ucapannya itu. Ini akan mencelakakan mereka berdua jika gagal.
"Bagaimana caranya itu, Zidane?" tanya Vivi, nampaknya ada sebuah respon positif dari mage kecil itu, entah karena kehabisan ide atau pasrah.
"Berikan kekuatan sihirmu ke pedang Steiner, namun kau harus memperhatikan komposisinya agar sihirmu tidak mencelakai atau memiliki hasil negatif, sebisanya berikan tenaga positif, " Zidane menjelaskan, entah ini sebuah pengetahuan atau hanya sebuah imajinasi yang ia miliki "Dan ketika itu, pedang Steiner mungkin akan memiliki enhancement, gunakan itu untuk menyerang barikadenya."
Vivi mengerti, namun ragu, ia belum pernah mencoba apa yang Zidane katakan kepadanya. Ia memejamkan matanya untuk berkonsentrasi, kali ini ia tidak boleh mengecewakan semua yang memiliki harapan kepadanya. Ia memiliki beban di pundaknya, beban yang ia rasa cukup berat.
"Kau brengsek!" teriak No.3 setelah serangan yang dilancarkan Vivi yang kemudian kolaps dan hampir jatuh dari kapal yang ia naiki. No.3 terbang, dengan luka di seluruh tubuhnya, ia tidak bisa mempercayai akan kalah oleh mereka bertiga "Aku nyata hanya untuk membunuh!" kemudian ia terbang menjauh.
"Ada berapa Black Waltz yang harus kita kalahkan?! Ini lama-lama menjadi semakin aneh!" Steiner protes sambil memandang No.3 pergi, lalu memandang Zidane yang sedang memegangi Vivi.
"Aku rasa dia adalah yang terakhir." Tanpa memandang Steiner, pandangannya tetap tertuju kepada Vivi yang masih kolaps.
"Bagaimana kautahu?! Apakah kau…?!" menanggapi kata-kata Zidane, ia merasa seperti Zidane mengetahui sesuatu mengenai Black Waltz.
"Ia mengatakan 'Waltz', 'kan? Apa kau tidak berpikir nomor tiga akan menjadi yang terakhir?" ia menjelaskan singkat.
"?" Steiner tidak mengerti, namun sepertinya itu cukup masuk akal juga.
Aku dapat melihat Gerbang Selatan… Dagger akan bisa melewatinya! Dalam hati Zidane yakin bahwa Dagger akan bisa melewati Gerbang Selatan, meski kecil kemungkinan karena Gerbang itu akan tetap dibuka ketika kapal ini memasukinya.
Zidane kembali memandang Vivi yang sudah tersadar dan bertanya-tanya dalam pandangan matanya. Vivi kemudian memandang salah satu topi Black Mage yang terjatuh di pojok kapal dengan penuh rasa putus asa pada dirinya sendiri, meski ia tahu ia berhasil mengalahkan No.3. Melihat itu, ZIdane kemudian meninggalkan Vivid an Steiner lalu menuju anjungan untuk melihat Dagger.
"Apa kau melihat Gerbang Selatan?" Zidane bertanya ketika memasuki anjungan, Dagger masih sibuk dengan pekerjaannya, mengemudikan kapal.
"Ya!" jawab Dagger, dengan semangat melihat Gerbang Selatan sembari sesekali melirik Zidane.
"Gerbang Selatan adalah gerbang raksasa yang dibuat khusus untuk kapal, tapi…" Zidane berpikir sebelum melanjutkan kata-katanya, ini akan sedikit sulti melewati gerbang itu, kecil kemungkinannya untuk selamat. "…bermanuver melewati gerbang itu bisa menjadi sangat susah. Apa kau ingin aku untuk melakukannya, Dagger?" Zidane kemudian menawarkan jasanya untuk mengemudikan kapal, namun ditolak cepat oleh Dagger dengan sebuah gelengan.
"Aku bisa melakukannya sendiri…" lirih, mungkin ia juga ragu-ragu, namun itulah yang ia miliki sekarang. Di satu sisi ia tidak ingin mengecewakan mereka, di satu sisi ia ingin membuktikan bahwa ia bisa.
"Baiklah," ia membiarkan Dagger melakukannya, ia percaya bahwa Dagger tidak akan membawanya mati hari ini. "Kita tidak mempunyai izin, mereka mungkin akan menutup gerbangnya untuk kita. Tetapi itu bukan masalah. Penjagaannya memang sudah sangat lemah ketika aku datang melewatinya dengan menggunakan Prima Vista." Zidane menjelaskan sedikit hal kepada Dagger untuk jaga-jaga ia harus tahu "Ini akan baik-baik saja, Kapten Dagger!"
"Roger!"
Zidane kembali memandang-mandang kapalnya, sudah sedikit rusak karena pertarungan yang terjadi tadi. "…kapal ini sudah tua, namun mesinnya masih memiliki kekuatan."
Lalu tiba-tiba saja Steiner datang dengan tergesa-gesa, raut wajahnya khawatir—yang ditujukan untuk Tuan Putri-nya, dan juga marah—yang ditujukan untuk Zidane.
"Kita harus kembali!" Steiner sangat panik saat itu, berteriak kepada kedua orang yang berada di anjungan, "Tuan Putri! Kita harus memutar kapalnya, kumohon!" dengan pandangan memelasnya, Steiner meminta Tuan Putri untuk memutar kapalnya "Black Waltz menuju arah kita, ia mungkin akan menabrak kapal!" tetap dengan kepanikannya, ia mengecek lagi keluar kemudian masuk lagi ke anjungan, No.3 memang mengejarnya menggunakan kapal kecil, mungkin untuk balas dendam.
Zidane yang penasaran kemudian keluar sebentar, kemudian masuk lagi "Dagger, Rusty benar! Ia menuju ke arah kita!" ia menjeda kalimatnya sebentar "Hajar saja! Lewati Gerbang Selatan!" dengan kepolosannya ia menyemangati Dagger, sedangkan Steiner semakin panik mendengar kata-kata yang terlontar dari mulut Zidane, benar-benar bajingan kecil!
Dengan menunjuk-nunjuk Zidane yang berlindung dibalik Dagger, Steiner terus kesal "Jangan gila! Bagaimana jika mereka menutup gerbangnya untuk kita?!"
"Tidak ada acara untuk mengakali dia di dalam kapal kargo seperti ini. Kita akan memasuki gerbang dengan cepat sebelum mereka menutupnya dan itu akan membunuhnya. Hanya itu satu-satunya cara kita." Zidane kemudian melihat tuas di sebelah Steiner "Rusty! Naikkan tuas yang berada disebelahmu!" dengan menggerutu Steiner menaikkan tuas itu, membuat kapalnya semakin cepat "Dagger, tetap berada di jalur apapun yang terjadi!" bak seorang kapten ia mengkomandoi awak kapalnya.
"Baik!"
"Aku tahu kita bisa melewatinya!" ucap Zidane dengan semangat yang membara.
Dengan kecepatan penuh, kapal yang dikendalikan oleh Dagger melaju sangat cepat, meski mesinnya sudah tua, namun seperti dugaan Zidane, kapal ini masih mempunyai kekuatan.
Di luar, sementara kapal kecil yang dikendarai Black Waltz masih terus mengejar dan semakin mendekat, Vivi masih saja terdiam di satu tempat dimana ia tetap melihat topi yang terjatuh di pojok kapal. Black Waltz itu mencoba menghampiri Vivi yang berada di pandangannya. Dan ketika Black Waltz mencoba mendekati Vivi, topi yang dipandangi Vivi terbang, bersamaan dengan itu Black Waltz merapalkan mantera dan mengeluarkan sihir petir yang terlihat cukup kuat, namun Vivi secara refleks menyerang balik dengan sihir api yang tidak kalah kuat dengan petir milik Black Waltz itu.
Sihir mereka saling bertemu, keduanya terdorong karena kekuatan kedua mage itu yang bertemu, kapal Black Waltz oleng, sihir api milik Vivi mengenai kapalnya dan percikan api tercipta, entah bagaimana Black Waltz itu tiba-tiba saja panik. Lain dengan Vivi yang kolaps lagi untuk kedua kali setelah pertarungan tadi, Zidane dengan cepat berlari keluar anjungan dan menangkap Vivi yang akan terjatuh dari kapal karena tidak sadarkan diri.
Black Waltz itu rupanya tidak juga menyerah, setelah memadamkan percikan api itu, ia kembali mengejar kapal yang dikendarai Dagger. Kali ini kapal besar itu memasuki Gerbang Selatan, dan seperti yang Zidane duga, mereka menutupnya. Namun dengan waktu yang cukup Zidane dan Dagger sendiri percaya bahwa mereka bisa melewatinya.
Black Waltz mendekat lagi, kali ini ia mencoba mengeluarkan sihir yang cukup hebat, saking besarnya kekuatan sihir yang coba ia keluarkan, ia tidak menyadari bahwa apinya membakar kapalnya sendiri. Momen itu berlalu begitu cepat, kapal Black Waltz terputar dan meledak di dalam gerbang yang menutup selagi kapal yang dikendarai Dagger berhasil melewati gerbang itu.
Mereka kembali melanjutkan perjalanan mereka menuju Lindblum, masih dengan Dagger yang berada di balik kemudi kapal. Meski kapal terlihat sudah separuh rusak, ternyata masih bisa membawa mereka.
Sangat sunyi, tidak ada suara yang tercipta diantara keempat orang yang tersisa diatas kapal tersebut, hanya mesin kapal yang terus menderu seiring mereka mendekati Lindblum.
"Kukira kita terlalu menekannya terlalu keras." Zidane membuka percakapan sembari melihat-lihat kondisi kapalnya namun masih berada dalam anjungan. Vivi sudah tersadar dan hanya menyandar di bagian belakang anjungan, masih di ruangan yang sama. "Kenapa diam semua?" Zidane lalu bertanya, kebingungan dengan sikap semua orang yang tidak mengatakan apapun. "Kita hampir sampai! Ayolah, semangat!" Zidane mencoba menyemangati mereka dengan mengepalkan tangan di udara, namun ia hanya terlihat seperti orang bodoh.
"Gerbang Selatan mengalami kerusakan yang cukup parah…" ucap Dagger, wajahnya masih terlihat murung sejak keluar dari gerbang itu "Itu semua salahku, 'kan?"
"Jangan khawatir, mereka akan memperbaikinya dengan cepat." Zidane mencoba menyemangati Dagger yang terlihat sedih, namun malah mendapat bentakan dari Steiner yang berada di sebelah Dagger.
"Kau idiot! Kapal kargonya rusak, kita kehilangan semua barang bawaan, dan Gerbang Selatan hancur!" Steiner dengan amarahnya menunjuk-nunjuk Zidane dengan geram "Aku tidak percaya bahwa aku ikut berperan dalam bencana ini!"
"Steiner." Suara sayu Dagger menenangkan Steiner yang langsung mengganti ekspresinya.
"Ya, Tuan Putri!" jawabnya dengan tangan kanan disilangkan ke bahu kiri.
"Aku tidak bermaksud membuatmu terlibat… Namun kau sudah menyelamatkan kita." Dagger mencoba tersenyum dalam kesedihannya, "Aku berterima kasih padamu." Tambahnya.
"Betapa kata-kata yang baik! Aku tidak pantas menerimanya!" Steiner mundur satu langkah dan menundukkan tubuhnya, kemudian berdiri lagi "Kini aku sudah memutuskan! Aku berjanji untuk melindungimu, Tuan Putri, hingga kita kembali ke kastil!"
Zidane tersenyum simpul memandang Steiner lalu beralih memandang Dagger "Bagaimana perasaanmu dengan itu, Dagger? Dia akan mengikutimu hingga ke ujung dunia." Zidane terkekeh setelah kalimatnya.
"Tidak apa-apa, Zidane" Dagger mencoba membuat senyumannya kepada Zidane sebagai ungkapan terima kasih, namun masih terlalu sayu. "Hei, aku bisa melihat gerbang utama Lindblum!"
Steiner kemudian langsung memandang apa yang dipandang Tuan Putrinya "Itu Kastil Lindblum?! Betapa raksasanya…!" ucapnya dengan perasaan wah sembari memandang kastil yang berada di depannya.
"Kota Lindblum berada di dalamnya." Ucap Dagger.
Kurasa aku dan Dagger akan berpisah ketika kita sampai di Lindblum… Tepat ketika kita baru saja mulai saling mengenal… Batin Zidane berkata, terasa begitu sesak untuk sesaat.
"Begitu…" ucap Steiner.
"Zidane…" suara Vivi kemudian muncul memecah ketiga suara itu, ia berdiri dan menatap Zidane "Mereka… black mage dan aku…" ia mencoba mengucapkan apa yang ingin ia ucapkan secara terbata-bata "Apakah kita… sama…?"
Zidane tidak berkata apapun, tidak dapat berpikir apapun saat itu, begitu juga dengan Dagger yang sedih memandang Vivi dengan pertanyaannya barusan.
"Aku tidak mengerti, Master Vivi." Steiner membuka mulut, mencoba bertanya apa maksud pertanyaan Vivi "Apa sebenarnya yang menjadi masalahnya?"
"…Aku tidak tahu." Jawabnya sendu, pandangannya tidak jelas mengarah kemana.
"Master Vivi, mengapa para black mage tersebut sama denganmu? Dan mengapa itu menjadi masalah jika mereka sama denganmu? Ucap Steiner, ia sendiri mencoba mencerna apa yang dimaksud oleh Vivi.
"Rusty benar!" ucap Zidane dengan semangat, berusaha membuat nyaman Vivi yang sedang sedih. "Kau adalah seorang individual, apapun yang terjadi, Vivi!"
Pandangan Vivi tiba-tiba saja jelas, ia memandang Zidane dan merasa tersemangati olehnya "Be-benar!"
"Ayo kita keluar dari anjungan, Vivi!" ajak Zidane yang akan berjalan keluar anjungan sebelum kakinya terhenti oleh pertanyaan Vivi lagi.
"Mengapa?" tanyanya bingung.
Zidane tersenyum membalikkan badan menatap mage kecil dengan mata kuning menyala itu "Kau harus melihat Lindblum dari atas! Itu hal terbaik yang bisa kaudapatkan dari Lindblum!" dengan semangat khasnya, ia memandang ke depan lagi, "Lihat, Gerbang Falcon berada tepat di depan kita!"
To Be Continued ~
A/N: Wew, dua tahun lebih satu bulan dari fict ini dipublish pertama kali, entah kenapa Author ingin melanjutkan cerita ini setelah ke-postponed lama banget, dan untuk chapter ini, sengaja dibuat panjaaaaaang banget (mungkin karena panjang ini juga jadi sering ke-postponed, dan juga karena Authornya males nerjemahin banyak2 :v) maaf buat isi yang agak berantakan karena nggak di edit dan langsung di publish, dan terakhir terima kasih yang sudah melihat cerita ini, semoga kedepannya banyak fans FF9 yang pada ngumpul disini untuk reuni mengingat kisahnya lagi dengan membaca dan bukan bermain. Terima kasih banyak ^^