A/N: Sudah diedit dan silahkan membaca :)
Edited: 15/6/2013
.
.
.
UNCOMMITTED by Mei Anna AiHina
NARUTO© Masashi Kishimoto
AU | Semi-Canon | Lemon for next the chapter| OC | Maybe Difficult to Follow | Typos
Sasuke & Hinata
Don't Like, Don't Read
.
She said i couldn't be committed ... She said i'm too much of a player.
(Uncommitted - Junsu JYJ)
.
.
.
Prolog...
Pertengahan bulan Desember ia terbangun cukup pagi. Bau yang pertama ia cium adalah bau dari arah dapur- sungguh menyengat. Ia berlari begitu saja menuju toilet dan mengurung diri di sana. Tidak banyak yang ia lakukan di sana- tapi tidak setelah melihat sesuatu di atas westafel- memikirkan suatu kemungkinan yang biasa terjadi sesudah kedatangan seseorang.
.
.
.
Hanabi pernah berpikir tentang pernikahan; dimana ada sebuah gaun, keluarga yang menangis haru dan pengantin pria yang menanti di Altar suci. Itu indah, ia akan memikirkannya untuk pernikahannya nanti yang penuh putih dan tidak konservatif seperti pernikahan Kakaknya nanti.
Hanabi membawa nampan dengan mangkuk berisi cairan di dalamnya. Ia bertugas merawat Kakaknya untuk pernikahan yang tinggal hitungan hari, apalagi beberapa hari ini Kakaknya terlihat pucat. Ia mengerti Kakaknya itu gugup dan gelisah memikirkan tentang itu, kadang ia lihat Kakaknya akan berjalan berputar-putar di kamar dan meremas-remas ujung pakaiannya di bawah perut. Dua hari yang lalu pun, Kakaknya itu ditemukan pingsan di kamar mandi, membuatnya harus lebih memperhatikan kesehatan Kakaknya.
Ia tersenyum untuk menyapa beberapa anggota keluarga yang papasan dengannya di lorong menuju sayap kiri Mansion Hyuuga. Setelah tiba di depan sebuah pintu shoji, ia memperhatikan sejenak, berniat mengetuk setelahnya, namun terhenti ketika bunyi debuman terdengar dari dalam- Kakaknya!
*oOOo*
Itu hampir sama seperti pagi-pagi kemarin. Hinata bangun dengan perasaan tidak enak, pusing melanda dan ini lebih bertubi-tubi dari hari-hari yang lalu.
Dengan bantuan dinding kamarnya, ia membawa dirinya menuju kamar mandi di kamarnya. Perutnya mengaduk dan memaksanya untuk melangkah lebih cepat menuju westafel sampai ia tidak sadar ada genangan air dan ia terpeleset kedepan. Lutut menahannya dari lantai dan tangannya bertahan menggantung pada sisi westafel. Ia perlahan menyerah sampai pintunya didobrak oleh adiknya.
"Nee-san!"
Hanabi membantunya berdiri, tapi ia terlalu lemas. Tidak ada daya untuk tubuhnya sendiri, terpaksa Hanabi menopang tubuhnya dengan susah payah dan mendudukan dirinya pada dudukan water closet. Dia bertanya keadaanya dan ia tetap diam dengan tatapan sendu.
"Ada apa denganmu?" Hanabi menunggu jawabannya, tapi yang didapati darinya hanya sepi yang sama. "Please, apa kau memikirkan pernikahan ini? Kau tidak menyukainya?"
Hening.
"Kau menyiksa dirimu. Lihat, pipimu tirus dan itu tidak baik untuk pernikahanmu, Nee-san," Hanabi merendahkan pandangan untuknya, "Tolong ... bicara sesuatu-
"Tidak, Hana," Hinata bergetar. Seingin apa pun ia ingin membaginya pada adiknya ini, tetap tidak bisa. Kekacauan akan terjadi dan pernikahan akan segera berlangsung, bila adiknya tahu maka itu akan berimbas pada adiknya juga. Ayah tidak pernah bisa dibohongi.
"Ada apa?" Hanabi berlutut dihadapan Hinata dan menggenggam kedua tangannya di pangkuannya. Ia menitihkan air mata tiba-tiba.
"Aku ... aku hanya khawatir," ia berbohong, "Aku tidak siap meninggalkanmu dan Tousan," ia menghapus air mata dan tersenyum seolah itu adalah haru.
Hanabi menatapnya dengan alis menyatu, ragu tapi berusaha percaya kata Kakaknya, "Kami baik, tidak perlu mengawatirkan itu," tidak ada alasan, memang.
"Ya...," aku tahu.
"Sepertinya kau harus istirahat, aku akan bilang Tousan dan Anabe-san-
"Tidak!" selanya, "Tidak perlu ... aku akan menemuinya, Hanabi," putus Hinata.
Hanabi menegakan tubuhnya dan menyerah, tidak ingin menambah beban Kakaknya, "Baiklah. Ayo! Aku akan membantumu."
"Hana?"
"Ya?" Hanabi menunggu.
"Boleh aku sendirian dulu- di sini?"
Hanabi bergumam dan meninggalkannya sendiri.
Setelah Hanabi pergi, Hinata hanya menatap dirinya pada pantulan cermin. Dirinya seperti mayat hidup; kantung mata berwarna abu-abu, kulit pucat dan bibir yang pecah-pecah. Ia meremas ujung piama tidurnya yang berada di bawah perut. Sudah dua hari ia tidak makan dengan baik. Bukannya tidak ingin, tapi makanan apa pun tidak sampai lambungnya lantaran rasa mual yang selalu datang. Bau-bau bumbu terasa sangat menyengat dan ia terganggu karenanya.
Hinata bergetar atas keanehan tubuhnya. Ini sudah terjadi sejak lima hari yang lalu dan sudah lima hari yang lalu juga ia melakukannya dan berharap pagi ini ada perubahan. Dan saat itu ia merogoh sesuatu yang ia sembunyikan; dari Hanabi, dari Klan, dari Ayah dan dari seseorang.
Namun, bisakah ia?
Harus.
Ia sudah menggenggamnya, melihatnya dan ... mengetahuinya. Ia meringis pada kenyataan. Apa ia harus tertawa pada paradoks ini dan menyalahkan tindakannya di masa lalu?
Hasilnya tetap saja dua garis merah(*).
Sebenarnya, siapa yang ia bohongi di dunia ini?
*oOOo*
Di dunia ini, mereka tidak bisa bergantung pada apa pun. Penghianatan bisa terjadi kapan pun, dimana pun, dan oleh siapa pun. Dunia ini pun tidak pelit untuk menunjukan contohnya yang nyata. Konoha dan Klan Uchiha. Percaya, mereka memainkan frasa itu untuk sebuah penyatuan dari Kutub Utara dan Kutub Selatan. Namun, pada realisasinya, kecurigaan dan praduga tak bersalah selalu hadir. Kepercayaan itu mengikis dan ketegangan hadir, hingga akhirnya Uchiha harus rela mengalami pemusnahan dari tubuhnya sendiri atas titah Konoha.
Hiashi sudah berpikir kritis tentang itu. Konoha adalah kesalahan para tetua Klannya terdahulu untuk bergabung. Percaya baginya hanya sebuah kata, begitu pun Konoha- melihat apa yang dia lakukan pada Klan Uchiha. Klan Hyūga tidak bodoh untuk percaya, namun ingin keamanan tetap menjadi jaminan perjanjian mereka yang sudah bertahun-tahun yang lalu. Kudeta juga bukanlah jalan yang baik sekarang, melihat mereka masih butuh Konoha dalam membangun kekuatannya sendiri dalam pemerintahan maupun militer.
Dengan segala pertimbangan dan pemikiran yang matang, Hiashi mengusulkan idenya pada tetua Klan Hyūga tentang perjodohan dengan Bangsawan dari Amegakure. Seorang teman lama saat dulu ia bertugas di perbatasan. Klan Anabe, yang berperan besar dalam perniagaan dan distribusi di Amegakure. Teman lama itu sudah berbaik hati menyetujui niatnya (rencananya) untuk perjodohan antara anak mereka. Hinata dan seorang pewaris tertua, Anabe Kyoya.
Anabe Kyoya, seorang pemuda yang 5 tahun lebih tua dari puterinya, berperawakan tinggi dan tidak terlalu besar, surainya berwarna coklat susu serta seorang warga sipil, bukan shinobi; seperti harapan Hiashi.
"Silakan minum, Anabe-san," Hiashi tersenyum walau tidak bisa dipungkiri itu bukan senyum ramah, lebih seperti menyeringai.
Anabe Kyoya hanya tersenyum kalem sembari mengangguk dan meraih yunomi(**) yang berisi ocha hangat. Hiashi tidak dapat memungkiri, Kyoya adalah calon terbaik dari pelamar-pelamar sebelumnya. Bagaimana ia bersikap kini menunjukan strata dalam golongannya.
Tidak lama setelahnya Ketua Pelayan Mansion Hyūga mengumumkan kedatangan kedua puteri Kepala Klan Hyūga. Mereka hadir dengan sikap yang sangat diatur, Hiashi memperhatikan dan cukup senang. Mereka tidak memalu-malukanku, pikirnya.
Hinata hadir dengan balutan kimono berajut sutera emas, wajahnya merona dengan bantuan riasan serta rambut yang digelung hingga menampakan lehernya. Ia membungkuk atas kehadirannya, "Maaf membuat menunggu Anda sekalian, Otousama, Anabe-sama...," ia menatap calonnya setelah itu.
Dan Hiashi tahu dari tatapan mereka,
Kyoya menyukai puteri sulungnya.
*oOOo*
Ia hanya memperhatikan burung kenari yang terbang dari jemarinya yang besar setelah teman satu timnya mendekat. Jūgo menghela napas dan menatap temannya itu dengan kebingungan mendalam, apalagi ketidakhadiran Suigetsu.
"Sasuke-
"Dia berhak mendapatkannya, dia juga sedang menjalankan misi yang kuberi padanya," Sasuke tidak berkata lagi, dia selalu mengelak jika ia bertanya tentang Suigetsu dan membuatnya berasumsi ini tentang Penghapusan Dosa yang Suigetsu lakukan. Ia hanya tidak menyangka Sasuke akan repot-repot dengan masalah itu.
"Sudahkah kau menguhubungi Tobi-san?"
"Tidak," Sasuke mengatakan tidak, bukannya belum. Apa Sasuke berniat lepas darinya? Lalu untuk apa mereka ada disini?
"Kita punya sesuatu yang lebih penting."
"Apa?"
"Tentang Amegakure," Jūgo tidak tahu apa yang menarik dari Amegakure sehingga Sasuke yang dingin dan kejam itu tersenyum sinis; sedikit meringis. Lalu, kenapa mereka ada di perbatasan Konoha?
"Lalu?"
"Kita kesana..."
Jūgo hanya mengerut kening setelahnya. Ia tidak mengerti pemikiran Sasuke, dia akan terlihat menyeramkan, setelahnya kosong. Beberapa minggu yang lalu tersenyum dalam kesunyian, lalu berubah pendiam lagi, sekarang ini seperti orang lain. Dia menunjukan emosi yang belum pernah Jūgo lihat. Adakah yang mengganggunya? Tentang Suigetsu ...? Atau yang lain?
Mereka mulai melompat diantara rimbunnya pohon. Jūgo memposisikan diri di samping Sasuke, menatap wajah kosongnya diam-diam; berharap bisa menebak isi kepala laki-laki itu.
Apa tujuanmu, Sasuke?
*oOOo*
Flashback (***)
Hari Ke 7...
Pada usia 20, hidup kita berubah perlahan; dari seorang anak kecil menuju masa remaja yang penuh dengan cinta dan kelabilan. Dari segala macam masalah, kita mendapatkan kedewasaan tanpa kita sadari.
Seminggu yang lalu ia mendapat gulungan misi dari Nona Tsunade. Semua anggota Klan Hyūga mengharapkan ia mendapatkan yang terbaik dari hal apapun, seperti isi gulungan itu. Ia mendapat kepercayaan untuk menjadi bagian dari tim pengintai di ibukota Negara Api.
Sudah seminggu juga Hinata, Shikamaru, Konohamaru dan seorang medic-nin, Ayako, ada di ibukota Negara Api dan menghadapi krisis kejenuhan. Shikamaru sebagai Ketua tim ini pun entah pergi kemana, Konohamaru pernah melihatnya berbaring di atap penginapan mereka.
Mereka benar-benar buntu akan petunjuk yang diberikan pada hari pertama misi mereka. Hanya sesuatu tentang kematian salah satu Dewan Besar Negara Api karena Myocardial Infarction(****). Ketua Dewan Negara Api memutuskan ini pembunuhan dan meminta bantuan Konoha untuk mengungkapnya. Sayang, menurut mereka ini kesalahan karena mengirim tim pengintai, apalagi Shikamaru yang jenius itu tidak berbicara apapun dan langsung menerimanya. Mereka terpaksa menerima karena Negara Api adalah klien besar Konoha.
Konohamaru sedang bermain catur (yang dibeli Hinata untuk Shikamaru agar orang itu tidak bosan) dengan Ayako dan bermalas-malasan. Hinata datang dengan dua nampan ocha hangat untuk udara musim dingin di akhir bulan November. Ia meletakan di atas meja di samping mereka dan duduk dengan melipat kakinya sambil tolah-toleh dalam ruangan.
"Shikamaru-taichou belum kembali?" kebetulan Hinata habis belanja di luar.
"Belum," jawab Konohamaru singkat karena serius dengan bidak caturnya.
"Hmm..."
Tiba-tiba Konohamaru berteriak dan menjenggut rambutnya karena kalah untuk ketiga kalinya dengan Ayako yang terkikik, "Aku menang lagi. Sudah kukatakan, ini bukan keberuntungan. Kau memang bodoh."
"Heh, kau songong sekali! Bagaimanapun aku Senpai-mu, TAHU! Awas ya, Shikamaru akan membalasmu!" dengan marah-marah Konohamaru menunjuk-nunjuk Ayako yang bersiul-siul.
Lalu mereka berhenti dan Hinata bangkit sambil tersenyum untuk menyapanya, "Selamat datang?"
Shikamaru yang baru datang hanya terdiam karena ditatap oleh mereka. Ia menghela napas lalu, "Aku ... pulang..."
.
To Be Continued...
.
(*) Test pack.
(**) Gelas untuk minum teh.
(***) Flashback ini berlanjut sampai chapter-chapter selanjutnya, tapi bisa juga ada beberapa perubahan.
(****) Serangan jantung.
A/N: Oke. Flashback dimulai dari hari ke tujuh atau seminggu seperti deskripsi diatas. Aku juga sudah edit pada bagian awal. Silahkan membaca chap selanjutnya :)
RnR n RnC?
Edited: 15/6/2013