Stand by your side
Rating : M
Pairing : Sasuhina
Genre : Drama
Warning : AU, OOC, OC, typo, abal, gaje, alur kecepatan, ide pasaran, dan lain-lain
Disclaimer : Naruto © Masashi Kishimoto
.
.
.
Chapter 4
.
.
ha...ha akhirnya akun sialan ini. bisa di buka juga. terimakasih sebelumnya pada review saya di cap 1,2 dan 3. kali ini saya janji tidak akan ceroboh. selamat membaca. jangan lupa RNR
"Tumben Jiisan, menjemput kita Hari ini?" Himawari gadis kecil itu, merubah kembali panggilannya padaku, walaupun aku tidak suka dengan kata 'palsu' nya namun aku senang mendengar kata Tousan keluar dari mulutnya.
"Jiisan?"
Ia memandangku sekilas, "Kemana Hideki-nii?"
"Pulang duluan." Aku membuka pintu mobil, ia kemudian naik disebelahku.
"Hm, tidak biasanya?" Ya tentu saja tidak biasa, karena aku menyuruh anak Itachi itu untuk pulang duluan. Aku berencana memanfaatkan Himawari untuk mengajak Hinata jalan sama aku hari ini.
"Kita akan menjemput Kaa-san mu." Ia terkejut kemudian mengembungkan pipinya, membuatku gemas.
Kucium pipi gembil miliknya, ia menepis mukaku.
"Jiisan, jangan cium-cium aku."Hima pasang muka sanggar. Aku tersenyum. "Buat apa menjemput kaa-san ku?"
Aku menunjuk tiga tiket ke hadapanya, ia kegirangan dan merebut tiket yang ada di tanganku. Kemudian segera ku lajukan mobilku.
"Tapi aku merasa aneh? Mengapa Jiisan malah mengajak aku dan Kaa-san?" ia memandang intens padaku. Kemudian sibuk membaca tulisan yang ada di lembar tiket tersebut.
"Kau tidak mau?" sedikit ku kurangi kecepatan mobil, "Hn, baiklah karena kurasa Naruko tak akan menyukai Anime seperti ini…" sengaja aku diam sebentar.
"Tiket ini, kurobek saja." Aku mengambil tiket itu begitu saja, matanya terbelalak. Aku menyeringai.
Aku cukup tahu, kalau film Animasi - yang tiketnya ada padaku - adalah film Animasi favoritnya, aku sengaja membelinya kemarin, setelah masuk kekamar putriku dan melihat beragam gambar yang ada di dindingnya. Saat itu aku berpikir untuk memanfaatkan momen ini sebaik-baiknya.
"Jangan!" ia langsung merebut kembali tiket itu dan mengelusnya. Aku tersenyum, akal-akalan ku berhasil
"Jiisan jangan pernah mengambil lagi, barang yang sudah kau berikan pada orang lain." Hey, kenapa perkataan itu rasanya menusukku.
"Panggil Tousan saja." Ia kembali mengalihkan pandangannya padaku.
"Tidak." Dan kembali mengacuhkan ku.
"Apa. Kaa-san mu melarangnya?" ia kembali memandangku, seringai muncul dibibirnya. Sialan! Sejak kapan ia pintar menampilkan ekspresi seperti itu?
"Bagaimana kalau kupanggil Sasuke saja?" aku mengalihkan pandangan ku sebentar, kemudian pokus kembali kejalan raya.
"Jiisan lebih baik." Bisa kulirik kalau ia tersenyum.
…
"T-tidak." Aku tersenyum dengan penolakan Hinata, sudah kuduga. Tapi, ha…ha… bisakah ia mengalahkan anaknya sendiri.
"Ayolah Kaa-san. Aku ingin nonton ini." Himawari terus merenggek, bisa kulihat Hinata yang kewalahan menenangkannya.
"Hima, kalau kau ingin nonton, kita bisa mengajak Tousan." Wajahku mengeras aku tidak suka Anikiku disebut, apa salahnya Hima pergi bersamaku. Aku Ayahnya aku berhak mengajaknya.
"Hinata." Aku memegang bahunya tapi ia langsung menepis tanganku, aku emosi.
"Kapan?! Kapan Tousan pernah punya waktu untuk kita!" Aku menyeringai. Aku memang pintar memanfaatkan keadaan. Hinata memandang tajam tapi kubalas dengan senyum kemenangan.
"Pokoknya kita harus pergi! Kalau tidak, aku akan membenci Kaa-san seumur hidup." Pemaksa. Hima kau sungguh mirip diriku.
"Uchiha Himawari!" satu kalimat tegas dari Hinata tidak bisa meruntuhkan keinginan Himawari. Hm siapa yang bakal menang? Aku berharap kalau itu putriku.
"Kaa-san aku ingin pergi, hik… huwaa!" uh, siapa yang bisa mengalahnya sekarang?
Aku tertawa dalam hati, saat Hinata memeluk Hima menyuruhnya berhenti menangis, dan ia mengiyakan permintaan putri kami tersebut.
Senyum kemenangan terukir sekali lagi di bibirku. Akan kubuat banyak momen yang berharga sampai kau tidak akan melupakannya Hinata.
…
Kursi ketiga dari depan itulah tempat duduk kami, disini sedikit berisik, suara-suara cempreng milik anak-anak terus berdengung di telingaku yang tidak suka kegaduhan. Namun aku memaksakan diri demi putri satu-satunya.
Aku mengangkat Hima dan mendudukinya di kursi kami.
"Sasuke-kun? Hima d-duduk ditengah saja." Ia berbisik lirih di telingaku. Hey, tidak tahukah ia kalau ini tempat umum? Jangan mengoda ku di tempat beginian.
Aku menatapnya dengan tatapan kurang ajar. Ia langsung menegapkan tubuhnya dan bersikap acuh padaku. Sialan! ia sangat manis berlaku seperti itu.
Himawari sedari tadi asyik menonton adegan demi adegan yang disuguhkan di layar Bioskop,sedangkan aku terus juga berusaha menggenggam tangan Hinata yang terus berontak, namun aku tidak peduli.
Sekali-kali aku menfokuskan diri terhadap Hima, yang asyik makan sambil menonton tanpa peduli ulahnya itu bisa mengotori seragam sekolah.
Pemberontakan Hinata akhirnya berhenti entah karena lelah atau tak ingin menimbulkan keributan. Aku tersenyum, begini lebih baik.
"Hati-hati." Aku mengusap mulut Hima yang belepotan, Hinata yang di samping ku sepertinya tersenyum,entah apa yang ada dalam pikirannya?
Mungkinkah ia merasa senang karena aku perhatian pada anak kami, aku tidak tahu, namun saat aku menoleh kearahnya ia pura-pura acuh, aku menyeringai tahu tebakanku benar.
"Kau manis saat tersenyum seperti itu." Aku berbisik di telinganya. Ia menjauhkan mukaku dengan tangannya, sesaat aku mengelus jari yang ada di mulutku, kemudian mencium pipinya yang memerah.
Ia terbelalak dan memandangku tajam. "Mestinya aku tidak menjauhkan bibirku, mungkin kita bisa berciuman di bibir." Aku kembali berbisik padanya.
"Jangan kurang ajar." Ia berdesis, mulutnya mengatup rapat-rapat, aku terus memperhatikannya, khusus bibir kemerahan itu, benar-benar ingin ku lumat.
Aku benar-benar tak bisa menahan diriku, kukecup bibirnya secara cepat, secepat itu pula tangannya melayang ke arahku, namun dengan sigap kutangkap, aku tak ingin mengambil resiko jadi pusat perhatian disini.
Matanya berkaca-kaca memandangku. Ok, aku memang berengsek, saat seperti ini aku malah membayangkan seperti ini wajahnya ketika kumasuki, mata yang sayu dipenuhi air mata memohon untuk memasukinya lebih dalam.
Kesadaranku seakan lenyap hanya dengan pandangan matanya, kuakui ia benar-benar menghipnotisku, kepalaku perlahan mendekat ke arah mukanya, sesaat aku tidak peduli pada tempat yang seramai ini.
"Jiisan, apa yang kau lakukan?" kesadaranku ditarik kembali, dengan sigap aku mendudukkan diriku kembali dan pura-pura tidak terjadi apa-apa. Dan Hinata, memaksakan senyum kearah Himawari.
"Filmnya sudah dari tadi habis. Apa Kaa-san dan Jiisan tidak ingin keluar dari tempat ini?" aku melihat kesekeliling yang hampir sepi pengujung, aku segera berdiri dan mengangkat Hima keatas punggungku.
"Turunkan aku! Aku bisa jalan sendiri!" Hima memukul-mukul punggungku dengan kaki, aku menahan kakinya, tidak tahan dengan rasa sakit yang ditimbulkan.
"Apa kau tak ingin jalan-jalan, sebentar?" Hima terdiam sepertinya berpikir.
"Kurasa kita harus pulang." Hinata menyela.
"Apakah ke taman hiburan lagi?" Dan seakan tanpa peduli pada Hinata aku mengangguk yang disambut gembira oleh Himawari.
"Um, Sasu…" dan sebelum ia sempat protes, aku menggenggam tangan kiri Hinata.
Taman hiburan memang tidak terlalu jauh, dari Bioskop tempat kami nonton tadi. Memang sudah ku rancang seperti itu, jadi aku membiarkan mobilku disitu, dan kami berjalan kaki menuju taman hiburan. Bukankah kami terlihat seperti keluarga yang harmonis?
Aku bekali-kali melirik Hinata yang tidak bisa membiarkan dirinya tidak tersenyum, mungkin seperti inilah keluarga impiannya, seorang ayah yang sedikit memberi perhatian pada putrinya.
Aku menggenggam tangannya lebih erat, ia tidak berusaha menolak dan tetap tenang berjalan disampingku. Ah, aku ingin waktu berhenti disini. Aku betul-betul bahagia.
Himawari nampaknya sangat senang, ia selalu memaksa kami untuk menaiki wahana yang ia sukai, aku sih tidak keberatan asal itu disamping Hinata, tapi ada juga tidak kusuka, khususnya kuda.
Aku merasa risih duduk diatas kuda yang berputar ini. Sungguh harga diriku sudah diinjak oleh kuda ini.
Entah karena kesenangan atau kelelahan Himawari akhirnya tertidur dalam gendonganku.
"Sasuke-kun, terima kasih." Ia tersenyum padaku, aku terpesona lagi, sebelum jiwa ku melayang kemana-mana aku segera menidurkan Hima di kursi belakang. Dan membuka pintu untuk Hinata, wajahnya memerah.
"Tidak usah seperti ini, aku bisa membukanya sendiri."
"Masuklah." Dengan malu-malu ia masuk mobilku. Uh, ingin sekali ku menerkam ia sekarang juga. Namun aku menahan diriku.
Setelah aku memasang sabuk pengamanku, aku mengecek sabuk pengaman Hinata yang sudah dipasangnya. Ia memerah seperti biasa.
"Hima sangat senang. Terimakasih atas hari ini, Sasuke-kun." ia lagi-lagi berterima kasih.
"Tidak apa, Hima juga putriku."
"Sasuke-kun… Kau sudah tahu?" aku tahu ia cukup terkejut, aku mengangguk. Kami cukup lama terdiam, sampai aku menyibak rambut yang ada di keningnya.
Ia tidak menolak seperti biasa, ku beranikan diri untuk mencium keningnya ia hanya menatapku. Tapi tau kah kau Hinata? Kalau aku sudah tergoda sejak dari tadi.
Tanganku yang ada di kening perlahan turun dan mengelus pipinya, ia menutup mata. Aku tau kalau tidak kuhentikan sekarang, aku pasti tak bisa mengendalikan diriku.
Sabuk pengaman kulepas dalam diam, ku kecup bibirnya singkat tapi aku tak bisa menahan untuk tidak melumat bibir itu, ia membalasnya dengan gerakan yang sama.
Aku tidak mau kalah ku jilat bibir atasnya, saat ia membuka sedikit bibirnya kumasukkan lidahku dan seakan-akan menantangku ia mendorong lidahku dengan lidahnya.
Kami cukup lama berperang lidah sampai aku berhasil menangkap lidahnya dengan mulutku dan menghisapnya secara kuat, ia mengeram dan mendesah, desahannya berhasil memancing gairahku lebih tinggi.
Ia menarik mulutnya kemudian mengulum bibirku dengan gerakan cepat, aku cukup terkejut dengan gerakannya.
Namun aku suka saat-saat ia menjadi liar.
Saat ia masih asik mengulum bibirku, aku menjilat lubang hidungnya ia mendesah, kuambil kesempatan itu untuk mengusai kembali bibirnya, ia berusaha menyeimbangkan gerakan bibirku.
Walaupun aku tahu kita sama-sama kehilangan nafas, tapi aku belum berniat melepaskan bibirnya, sampai aku aku benar-benar membutuhkan oksigen barulah kulepaskan ciuman yang benar-benar panas ini.
Ia mengap-mengap mengambil nafas secara cepat, matanya sayu memandangku, kurasa aku akan jadi gila bila tidak menyentuhnya.
Aku kembali mendekat dan menjilat lehernya, kukecup kadang kuhisap secara kuat, aku merasakan dorongan kuat dikepalaku.
Namun aku sudah tak bisa di hentikan, tangan kiriku merayap kepalanya dan menyentak rambutnya menbuatnya mendongak keatas dan memberiku akses yang banyak pada lehernya.
"Sasuke, uh…"
Ia terus mendorongku, tangan kananku yang masih menompang tubuhku akhirnya bergerak ke balik kemeja yang digunakannya. Kubuka kait bra Hinata dan tanganku merayap di baliknya. Mula-mula kuusap payudaranya, kemudian membelainya.
BUUKH
"S-sasuke-kun, kau berlebihan." Uh, ia memukul tengkuk ku. Sejak kapan wanita ini jadi kuat?
Namun aku menemukan diriku tidak marah, aku terkekeh pelan kemudian duduk kembali di kursiku, bagian bawahku jadi tegang.
Aku bersyukur ia memukuliku. Kalau tidak, aku tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya.
Pandangan ku tak lepas dari tubuhnya, keringat dan saliva mengotori sebagian kerah kemejanya, aku ingin bertanya 'apakah ia baik-baik saja?' namun aku hanya terdiam.
Mukanya memerah sangat, rambutnya berantakan bajunya hampir sebagian terbuka. Sungguh aku ingin berbuat lebih padanya, tidak hanya bibirnya aku bahkan ingin menciumi seluruh tubuhnya.
Aku menengok kearah celana ku, sedikit mengembung. Rasanya sungguh menyiksa, aku mengelus junior ku dari luar kemudian mendesis karena perbuatanku sendiri.
Sekilas aku menengok kearahnya - melihatku tanpa berkedip, aku tersenyum. Ia memalingkan mukanya.
"Mau membantuku?" ia masih enggan menatapku, rona merah semakin kental di wajahnya.
Entah mendapat inisiatif darimana aku menuntun tangannya keselangkangan ku yang sudah kubuka dengan tangan kiriku.
Ia sama sekali tidak berontak, aku menyeringai apakah ia masih berhasrat seperti tadi? Sungguh menyenangkan kalau saja ia tadi tidak menahanku.
Pertama, ia tidak berbuat apa-apa dengan tangannya yang ada di atas juniorku tapi aku sudah berdebar saja, aku menuntunnya untuk menggenggam dan meremasnya. Aku keenakan.
Tapi kemudian aku bisa merasakan elusan lambatnya, lalu kocokan di juniorku perlahan menjadi cepat. Aku mengeram dan mencengkeram kuat lengannya, sensasi ini sungguh sangat nikmat.
Aku bisa merasakan gerakan kedua tangannya yang sangat cepat. Kupejamkan mataku ini betul-betul menyenangkan.
Aku masih memejamkan mataku kalau tidak karena sensasi basah di juniorku, ku buka mataku dan aku melihat juniorku sebagian berada dalam mulutnya. Ia benar-benar liar.
"Eum… Huh." Aku menahan diriku untuk tidak mendesah layaknya wanita, tapi ini rasanya melumerkan tubuhku.
Aku mencengkram rambutnya kuat dan kutekan kepalanya lebih dalam. Aku tahu mungkin juniorku masuk ketenggorokannya, membuat ia tersedak. Ia memukul dengan kuat pahaku, ku rasa ia kehilangan nafas.
Aku tak peduli, masih kutekan kepalanya. Karena ada sesuatu yang mendesak di perutku yang ingin keluar. Ku maju mundurkan kepalanya sehinga juniorku timbul tenggelam di mulutnya.
Uh, aku benar-benar ingin meledak.
Ia menginjak kakiku dengan sepatu, rasanya sakit, namun seiring juga dengan semprotan cairanku di mulutnya.
Barulah aku menyadari kalau sedari tadi ia kehilangan nafas, aku buru-buru melepaskan tanganku di rambutnya.
Ia batuk, cairan ku yang tidak sepenuhnya terminum, keluar dari mulutnya
Ia mendudukkan kembali tubuh dan mengatur kembali nafas, aku benar-benar hampir membunuhnya.
Cairan ku mengotori mulutnya, sebagian berada di bibir dan pipinya, kurasa sedikitnya ia pasti meminumnya tadi.
Aku mendekat dan menjilat bekas diriku yang ada di pipinya, kemudian melumat kembali bibirnya.
"Enak?" ia memandangku tajam, aku terkekeh. Jangan memandangiku begitu, aku tidak jamin aku tidak akan berpikiran jorok terhadap mu?
Ku perbaiki sedikit bajunya yang terbuka disana-sini ia memandangku dalam diam, aku tidak tahu apa yang ia pikirkan? Mungkin saja ia terpesona pada diriku. Bukan?
"Jiisan Kaa-san, apa yang kalian lakukan?" aku segera memperbaiki cara dudukku dan terburu-buru menarik resleting celanaku, kalau tidak karena keberuntungan, juniorku pasti kesakitan dengan gerakan ku yang cepat.
"Ada apa sih?" Hima masih penasaran ia bangun dan memperhatikan wajah kami satu persatu. Entah kenapa aku merasa tegang. Apa ia melihat apa yang kami perbuat, ya?
"Kaa-san, kau makan sesuatu?" Hinata menggeleng. Ia terus memperhatikan Ibunya. Aku cemas.
"Tapi kok, baunya aneh ya?" aku tak bisa menahan diriku untuk tidak tertawa terbahak sekarang.
"Jiisan jadi sinting." Himawari mendecak-decakkan mulutnya
…
"Darimana saja kalian?" Aniki menyilangkan tangannya didada, wajahnya mengeras memandang tajam ke arahku.
Aku menyeringai.
Himawari berlari menghampirinya, aku sedikit tidak lera.
"Jiisan mengajakku nonton 'Naruto' lho!" Bagus, bisa kulihat kejengkelan di matanya
"Sampai malam?" Hinata juga ikut menghampirinya, aku berusaha menangkap tangan Hinata, menahannya tetap disini bersamaku. Namun tangan itu tak bisa kuraih.
"Kau sudah pulang, Itachi-kun?" aku tak suka nada kekhawatiran keluar dari mulutnya untuk orang lain, mestinya itu hanya cocok untukku.
"Kau sudah makan?" Aniki ku tidak menjawab tapi memperhatikan detail tubuh Hinata. Aku kembali menyeringai. Kau akan menemukannya Itachi. Tanda itu, adalah bukti terbukanya peperangan ini.
"Hima. Kau sebaiknya segera mandi dan tidur." Ia memerintah putriku, Hima mengangguk.
"Selamat malam, Kaasan, Tousan dan Jiisan." Ia melambaikan tangannya kearahku, aku tersenyum.
Itachi mengusap leher Hinata membuatku jengah, tapi entah kenapa aku tidak bisa pergi dari hadapan mereka.
Ia sepertinya membisikkan sesuatu pada Hinata, sedangkan matanya memandangku tajam.
"J-jangan disini." Hinata gelisah, entah apa yang dibisikkan oleh Anikiku. Eh, apa ia tidak melihat tanda itu?
Apa bekas itu terlalu kecil? mestinya kugigit saja lehernya tadi. Hn, akan kulakukan lain kali.
Itachi menundukkan mukanya dan mencium bibir Hinata, dasar brengsek! Wajahku memerah menahan amarah, seringai Itachi ditunjukkan untukku.
Setelah itu itachi menggendongnya dan membawa Hinata ke kamarnya, Hinata yang memerah menyembunyikan wajahnya dalam dekapan Itachi. Wanita jalang!
Aku benar-benar marah, rasanya aku ingin memukulnya, ingin ku cincang tubuhnya, Hinata itu milikku. Kembalikan ia brengsek!
"Sasu, kau sudah pulang?"Naruko dengan senyumannya menyambutku, tapi tidak bisa mengurangi emosiku.
"Kau kenapa?" aku menggeleng.
"Kau sudah makan?" Aku mengangguk. Kita bertiga tadi memang sudah makan.
Ia tersenyum kemudian menarikku ke kamar.
Sesampai di dalam kamar ia memelukku kemudian mencium bibirku. Tapi aku mendorongnya.
"Kenapa? Sebenarnya apa yang terjadi padamu akhir-akhir ini, Sasu?" ia menangis.
Apa aku jahat, ya aku memang jahat. Naruko tidak bersalah, perasaan brengsek inilah yang salah.
"Maaf." Aku merangkulnya dan mengelus rambut kuning panjangnya. Dulu aku sangat menyukai rambutnya ini.
"Akhir-akhir ini aku sangat lelah, kau tahu? pekerjaanku banyak sekali di Kantor." Bohong. Aku memang pembohong sejati.
"Padahal besok adalah ulang tahung pernikahan kita, aku hanya ingin memberimu kejutan." Sial hampir saja aku lupa.
Ia kemudian mencium bibirku, kali ini aku membalasnya sedikit lebih liar. Mungkin karena libodo masih meningkat, aku buru-buru menelanjanginya. Ia tertawa.
Kedua kakinya ia bentangkan, memperlihat sesuatu yang masih tertutupi celana dalamnya.
Ia memang tahu cara membuat aku tergoda.
"Bukankah kau bilang tadi, lelah?" aku menyeringai kemudian menariknya dalam dekapanku dan mencium bibirnya dengan ganas.
Ia melepaskan diri, lalu berdiri dengan dua lututnya, ia mencoba membuka celanaku. Aku ikut membantunya.
Ketika junior terlepas naruko langsung mengulum milikku. Aku menengadah kepalaku mencoba menikmati kocokan mulutnya, kucengkeram rambutnya dan memaju mundurkan pinggulku, Naruko mengimbanginya, mungkin karena sudah terbiasa, aku memperlakukannya begitu.
Aku menarik rambutnya, memasaknya melihat kearahku, matanya sayu, membuktikan ia dalam birahi yang tinggi.
Sialnya! Wajah Hinata yang nampak di mataku, aku masih membayangkan kalau ialah yang mengulum juniorku, sensasi di mobil tadi masih berbekas di kepalaku.
Aku mendorongnya ke kasur, membuat pinggulnya ke arahku, ku naikan pinggulnya sedikit memberi akses yang banyak bagiku yang berdiri. Ah mudah-mudahan aku tidak salah menyebut nama nantinya.
…
"Hinata-Nee dan Nii-San. Ikut kan?" Naruko tersenyum manis kearah Itachi dan Hinata. Setelah sarapan pagi ia langsung mengusulkan agar Itachi dan Hinata ikut merayakan ulang tahun pernikahan kami.
Naruko berencana merayakan anniversary kami di sebuah villa keluarga Uchiha, ia juga mengajak kakakku, tapi memang ada maksud terselubung dibalik itu, Naruto sudah merencanakan ini matang-matang semalam.
Itachi Nampak berpikir, sedangkan Hinata gelisah sejak dari tadi, aku hanya menyeringai melihatnya.
Hm, kulitnya lembut sekali terasa di ujung kaki ku. Aku naikkan secara perlahan tapi tetap menyentuh kulitnya. Mungkin akan sampai di pangkal pahanya, kalau saja ia tidak tiba-tiba berdiri.
"A-aku ikut." Untuk saja aku punya gerakan reflek kalau tidak pasti kakiku akan menghantam lantai dengan keras.
"I-itachi-kun aku ingin segera berangkat sekolah." Itachi ikut berdiri dan memandang tajam ke arahku, kubalas pandangannya dengan sama tajamnya.
"Kalau begitu ayo, aku akan antar." Hinata melihat kearah Itachi, membuatku muak.
"Apa tak apa? nanti malah membuatmu terlambat Itachi-kun." Itachi menggeleng yang disambut bahagia oleh kedua anaknya.
"Bukankah, kau ada meeting hari ini?" Tousan yang sedang memakai dasi dibantu oleh Ibu mengingatkan Itachi.
"Itachi-kun tidak apa kalau kau sibuk." Aku sebenarnya sudah sangat kesal sejak dari tadi.
"Tidak apa, aku sudah lama tidak mengantar kalian bertiga." Ia tersenyum bikin aku tambah muak, dan Hinata malah merona, efek senyuman itu apa sebegitunya?
"Itachi-kun, dasimu agak berantakan." Aku melirik mereka, Hinata berdiri membelakangi diriku dan membenarkan letak dasi Itachi, kemudian Aniki dengan sengaja mencium leher Hinata sambil melihatku.
Darahku mendidih, tanganku ku kepal dengan erat.
"Sasu. Ayo, nanti aku terlambat." Naru menarikku, katanya ia ada sedikit keperluan.
"Kau mau kemana?"
"Ais" ia memandang jengkel ke arahku.
"Bukankah sudah kubilang, aku mau bertemu Konan-nee." Hampir saja aku lupa, bahwa Konan-nee termasuk dalam rencana kami.
Rencana saat di Theater boleh gagal, tapi aku yakin kami tidak akan gagal kali ini.
…TBC…
Terimakasih kepada