[Chaptered]
Title : Sasuke itu Kamseupay
Chapter : 15 / 15
By : Gatsuaki Yuuji
Main Cast : Namikaze Naruto & Uchiha Sasuke
Disclaimer : All Chara punya Papi Kishi. FYI, Papi Kishi itu Papiku.
Genre : Family, Sad
BGM : Home Made Kazoku - Kimi ga Kureta Mono


Chapter terakhir ini :D
Happy ending kok.
Gak juga gak papa #plak
Tapi ini beneran happy ending kok.


- Naruto PoV -

Tibalah hari yang telah ditunggu-tunggu, hari dimana aku akan dioperasi.

"Kau gugup, Naru?", tanya mama sambil merapikan baju hijauku *baju untuk operasi*.
"Sedikit", jawabku.

Aku sangat gugup.

"Untuk kekuatan dan keberuntungan", mama menaruh omamori pemberian Sasuke ke tanganku.

Kugenggam omamori itu.

"Mama", panggil Sasuke yang telah mengganti pakaian kasualnya dengan baju hijau yang sama sepertiku.

Sasuke tidak tahu bahwa dia akan dioperasi juga, dia hanya tahu bahwa dia sedang medical check up.

Mama menghampiri Sasuke, lalu memeluk dan mencium dahinya.
"Mama menyayangimu",
"Hn. Aku sayang mama", Sasuke membalas pelukan mama tanpa curiga pada apa yang akan terjadi padanya nanti.

Setelah itu, suster membawanya pergi menuju ruang operasi.

Mama berjalan mendekatiku. Sebuah senyuman menghiasi wajahnya yang cantik. Meskipun tersenyum, tapi aku bisa melihat matanya memerah menahan tangis.

Mama berlari ke arahku, memelukku dengan erat.
"Akhirnya, kau akan sembuh, anakku",
"Ya. Inilah yang selalu kuharapkan",
"Mama...menyayangimu...", bahu mama tampak bergetar, aku tahu mama sedang mati-matian menahan tangisnya agar tidak pecah.

Mama, kau menangis karena apa?
Apa karena aku akan sembuh? Atau karena akan kehilangan si Kamseupay itu?


Di ruang operasi.

Kabuto-sensei menyuruhku untuk berbaring dan membuka baju hijauku, lalu suster mulai menyuntik dan memasangkan alat di tubuhku.

Aku meremas omamori yang kugenggam untuk menghilangkan rasa gugup dan nyeri di bagian yang disuntik.
"Kau harus rileks, Naruto", ucap Kabuto-sensei.

"Sensei, pendonor telah terbius sepenuhnya. Detak jantung dan pernafasan stabil", jelas seorang suster yang lain dari balik tirai hijau.

Apa Sasuke ada di sana?

Aku meminta suster untuk membuka tirai itu agar aku bisa melihat Sasuke untuk yang terakhir kalinya.

SReeeeK
Tiraipun dibuka.
Tampak Sasuke sedang terbaring, matanya terpejam dengan masker bius melekat di wajahnya. Dengan telanjang dada dan sebuah selang yang menempel.

Jantungnya untuk hidupku. Tanpa jantung, dia akan mati.
Mengapa harus dia yang berkorban untukku?

Suster mulai mengarahkan masker bius ke wajahku.
"Hirup, bernafaslah seperti biasa", arahan suster.
"Hn", anggukku.

Dia akan pergi. Ini kan yang kuinginkan sejak awal?

Aku memalingkan kepalaku ke arah lain, melupakan semua hal, fokus menatap lurus pada langit-langit. Menghirup obat bius yang mengalir dari masker yang kukenakan. Perlahan, mataku mulai memberat.

"Aku sayang mama, kakek dan juga kau, Naru",
"Kalau begitu, jangan tinggalkan mereka!",

Ya, kau tidak boleh meninggalkan mereka! Kau sudah berjanji!

Kupaksakan mataku untuk tetap terbuka.
"Sensei...", lirihku, seharusnya aku berteriak, tapi suaraku tercekat.

Kukerahkan semua tenagaku untuk menyingkirkan masker bius di wajahku. Kutarik baju Kabuto-sensei agar dia lebih mendekat.
"Ada apa, Naruto?",
"Aku...tidak ingin...dioperasi...",

Wajah Kabuto-sensei tampak terkejut.

Kugigit lidahku hingga berdarah untuk menghilangkan rasa kantukku.

Aku harus keluar dari tempat ini!

Kulepas alat yang menempel di tubuhku. Meskipun sakit dan berat, kupaksakan diri untuk turun dari ranjang dan berlari keluar ruangan.

"Aku sayang Naru",
"Tidak apa jika kau membenciku. Aku tetap menyayangimu. Karena kau adikku",

Kamseupay, kau harus hidup! Harus!
Aku tidak ingin kehilangan orang yang menyayangiku. Aku tidak ingin kehilangan orang aneh yang terobsesi untuk menjadi kakakku. Aku tidak ingin kehilangan orang yang...

"Naru?", mama menangkap tubuhku yang lemas.

Kupeluk mama dengan erat agar sesak di dadaku berkurang.
"Mama... Aku...hiks..hiks...tidak ingin dioperasi...", pintaku terisak.

Mama mengusap-usap punggungku, menenangkanku.
"Aku...hiks...hiks...tidak ingin kehilangan lagi",
"Hn. Mama mengerti",

Aku tidak ingin kehilangan orang yang kusayangi.


Beberapa hari kemudian setelah kejadian itu, aku lebih banyak menghabiskan waktuku di kamar dibanding keluar rumah. Banyak hal yang kupikirkan, mulai dari kelakuanku dan juga perasaanku. Benar kata orang, jika terus bersama orang yang dibenci, cepat atau lambat rasa benci itu akan berubah menjadi rasa sayang. Seperti yang kualami ini.

"Naru~", panggil Sasuke mengintip dari balik pintu kamarku.
"Apa!?", jawabku ketus, dia terus menggangguku acara merenungku.
"Ada soal yang tidak kumengerti",

Kugerakkan tanganku, menyuruhnya untuk mendekat. Dia menyodorkan sebuah buku padaku, sebuah buku dongeng berbahasa Inggris.

"Aku baru membeli buku itu. Tapi aku tidak bisa membacanya", jelasnya tercengir bodoh.
"Mengapa kau membeli jika kau tidak bisa membaca?",
"Kupikir aku bisa membacanya tapi ternyata tidak",

Sasuke menarik kursi dan duduk berdekatan dengan ranjangku. Aku membuka halaman pertama dari buku itu dan mulai membacakan untuknya.
"Once upon a time... there lived an unhappy young girl. Unhappy she was, for her mother was dead, her father had married another woman, a widow with two daughters, and her stepmother didn't like her one little bit",
"Artinya apa?", tanyanya polos setelah aku selesai membaca paragraf pertama dari cerita Cinderella.

Kututup buku itu, rasanya percuma membacakan hal yang tidak dia mengerti sama sekali. Tidak mungkin kan aku harus menterjemahkan semua isi buku ini?

"Kau butuh sekolah", saranku.
"Uangku masih belum cukup, Naru",
"Aku akan meminta mama untuk menyekolahkanmu",
"Jangan!", cegahnya, "Itu akan membebankan mama, sekolah itu mahal",
"Mamaku itu mamamu kan? Mengapa kau bisa berpikiran seperti itu?",

Dia menunduk memikirkan sesuatu.
"Maaf...",
"Jika kau ingin pintar, kau harus sekolah. Ingat, tidak ada yang mahal bagi keluarga Namikaze",
"Apa aku boleh sekolah?",
"Orang bodoh sepertimu wajib untuk sekolah", kuangkat dagunya agar dia menatapku, "Bukankah kau ingin pintar?",
"Hn. Aku ingin pintar",
"Pergilah ke sekolah dan belajarlah yang rajin", kuletakkan buku dongeng ke kepalanya, tidak berniat untuk membacakan untuknya.

Dia mengambil dan mengusap sampul buku tersebut, kemudian dia kembali menatapku. Tatapannya seperti...

"Jangan katakan bahwa kau ingin memintaku untuk membacakannya", tebakku curiga.
"Hn! Tolong bacakan untukku, Naru!", dengan penuh senyuman, dia menyodorkan buku itu padaku.

Kuambil buku itu dan menyimpannya di bawah bantal.
"Kau tidak akan mengerti, ini sia-sia", tolakku.
"Tolong jelaskan juga artinya, Naru. Aku akan mencatatnya", dia telah menyiapkan buku dan pensilnya.
"Huf~", kutiup poniku, pertanda bahwa aku tidak punya pilihan selain menurutinya.


"Mama, Sasuke butuh sekolah", ucapku blak-blakan saat mengunjungi kantor mama.
"Sekolah?",
"Hn! Dia terus bertanya banyak hal konyol padaku",

Mama tertawa kecil mendengar curhatanku.
"Bukankah kau senang jika dia bertanya padamu?",
"Itu konyol, mama!",
"Dia bertanya padamu karena dia yakin kau akan menjawabnya",

Mama benar. Aku selalu memberinya jawaban ketika dia bertanya, meskipun aku menjawabnya dengan ketus dan dia meresponku dengan tersenyum atau cengiran bodoh.

"Baiklah! Mama akan menyekolahkannya",
"Aku ingin dia pintar, agar dia tidak merepotkanku",

Mama juga bilang bahwa aku tidak perlu ke sekolah dulu, mama telah mengurus izin cuti sekolahku. Aku harus banyak istirahat dan tidak boleh melakukan hal-hal yang melelahkan. Sudah dipastikan aku akan tinggal kelas.


Hari ini ulang tahunku, aku berdoa supaya aku bisa sembuh. Aku ingin terus bersama mereka yang menyayangiku. Amin.

Sasuke memberiku sebuah mug berwarna orange. Aku tidak tahu mengapa dia memberiku mug. Mungkin karena warnanya adalah warna kesukaanku.

"My precious~", ucap Sasuke sambil memelukku.

Sasuke menganggap itu kalimat sayang dalam keluarga Namikaze. Dia tidak tahu bahwa dialah sang precious itu.

Sasuke juga bertanya padaku, apakah aku sudah sembuh? Dan dengan kebohonganku, aku menjawab bahwa aku sudah sembuh. Betapa senangnya dia mendengar jawabanku. Kalau seperti ini, aku harus menyembunyikan rasa sakitku ini darinya. Aku tidak boleh mengernyit kesakitan saat dia ada di dekatku.


Agar Sasuke bisa langsung melanjutkan sekolah ke kelas 3, aku mengajarinya membaca, menulis dan berhitung. Dia begitu semangat dan cepat memahami apa yang kuajarkan.

"Aku ingin pintar, Naru",

Sepertinya ucapannya itu akan terbukti. Aku tidak sabar melihat orang bodoh seperti dia bisa berubah menjadi jenius sepertiku.

Sepertiku? Tidak! Jika dia sepintar diriku, bisa-bisa dia akan yang menggeser posisiku sebagai pewaris perusahaan.

Tapi... Dengan penyakit ini, apa aku bisa bertahan?

"Tidak apa. Untuk kau saja", kucubit pipi Sasuke yang sedang sibuk menggambar wajahku.
"Hn?", Sasuke memiringkan kepalanya keheranan melihatku mencubit pipinya.
"Apa yang seharusnya milikku, itu bisa menjadi milikmu juga",
"Tidak boleh, Naru! Milikmu ya milikmu, aku tidak berhak mengambilnya",
"Saat 'ini' sudah berisi, kau akan mengerti", kutunjuk dahinya.

Sasuke menunjuk-nunjuk dahinya dengan bingung.

Rela atau tidak rela, aku harus merelakan cita-citaku ini, melepaskan semua yang kupunya. Karena kutahu, umurku tidak panjang.

Mereka semua telah menerima keberadaan Sasuke. Mama serius menyayanginya, kasih sayang yang selama ini mama berikan untuknya adalah tulus, bukan sekedar untuk mendapatkan jantungnya. Begitu pula kakek yang kurasa mulai memperhatikannya. Aku pernah melihat kakek tertawa saat berbicara berdua dengan Sasuke. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan, mereka sangat dekat.

Meskipun mereka mulai menyayangi Sasuke, mereka tetap peduli padaku juga. Mama dan kakek mulai gencar mencari pendonor untukku.

Semoga cepat ketemu, aku tidak tahu sampai kapan aku bisa bertahan?


3 bulan kemudian.
Hari pertama Sasuke masuk sekolah. Berkat kegigihannya belajar, dia berhasil di terima di SD Byaku, sebagai siswa kelas 3 tentunya.

Kini aku sedang menunggu kepulangannya di kamarnya, aku bosan menghabiskan waktuku di rumah. Aku butuh sesuatu yang menghibur, salah satunya adalah si Kampseupai itu.

"Tadaima!", teriak Sasuke dari luar.

Tap tap tap...
Suara langkah cepat mulai terdengar.

"Naru! Naru!", seru Sasuke sambil mengetuk pintu kamarku. Dia tidak tahu bahwa aku sedang berada di kamarnya.

"Oi!", panggilku mengintip dari balik pintu kamarnya.

"Tadaima, Naru!", sapa Sasuke yang tampak bahagia.
"Okaeri", sahutku.

"Ne, Naru! Banyak hal yang ingin kuceritakan padamu", Sasuke mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya.

Beberapa permen kenyal berwarna-warni.
"Sarada memberiku ini sebagai tanda persahabatan", jelasnya, "Kau mau, Naru?",
"Thanks", kuambil sebiji permen berwarna orange dan langsung memakannya.

Kubaringkan tubuhku di ranjangnya.
"Ceritakan padaku apa yang ingin kau ceritakan",

Sasuke ikut berbaring di sampingku. Dia mulai bercerita tentang kesehariannya di sekolah. Berkenalan dengan teman-teman sekelasnya yang terpaut jauh lebih muda darinya. Tidak heran jika dia dipanggil 'onii-chan' oleh mereka. Dia senang dipanggil seperti itu, dia seperti punya banyak adik.

Sarada adalah siswi yang duduk sebangku dengannya, anak itu mengajaknya berkeliling sekolah. Sarada juga meminjamkan buku catatannya untuk Sasuke.

Sasuke sangat bersemangat untuk kembali ke sekolah besok.


Hari ini aku kembali ke dirawat di rumah sakit. Mama bilang, Sasuke menemukanku dalam keadaan pingsan di kamar mandi. Saat itu Sasuke sedang menunggu di kamarku, aku akan menemaninya ke toko buku. Tiba-tiba dadaku nyeri, dengan cepat aku berlari ke kamar mandi, aku tidak ingin Sasuke melihatku kesakitan. Tapi, nyeri itu tidak bisa kutahan lagi, hingga akhirnya aku ambruk.

"Kau belum sembuh, Naru", lirihnya, dapat kulihat wajahnya yang kecewa.
"Ya",
"Kau bilang aku harus menunggu 2 bulan, dan ini sudah lebih dari 5 bulan, tapi mengapa kau masih belum sembuh?",
"Aku berbohong padamu", kubalik tubuhku membelakanginya, aku tidak sanggup melihat wajah kecewanya itu.
"Kabuto-sensei bilang, kau bisa sembuh jika jantungmu ditukar dengan jantung yang sehat. Apa boleh aku menukar jantungku untukmu?",

Aku langsung berbalik dan metatapnya berang.
"Aku tidak sudi menerima jantungmu!",
"Mengapa? Kata sensei, jantungku masih sehat. Aku bisa...",
"Jika kau terus berkata seperti itu, lebih baik kau keluar dan jangan temui aku lagi!",
"Aku hanya ingin kau sembuh. Apapun caranya, akan aku lakukan",
"Meskipun kau akan mati?",
"Ya. Aku tidak keberatan jika aku harus mati untuk kebahagiaan orang-orang yang kusayangi. Aku ingin berguna untuk hidup mereka",
"Asal kau tahu, jantungmu tidak cocok untukku",

Kubalikkan tubuhku membelakanginya lagi.
"Pergi! Dan jangan temui aku lagi!", usirku sambil menarik selimut hingga menutupi kepalaku.

Tidak terdengar suara langkah, dia masih enggan beranjak keluar.
"Ini perintah!",
"Kau marah padaku? Apa aku melakukan kesalahan?",
"Pergilah, sebelum aku memukulmu!",
"Aku akan menunggumu di luar. Jika kau but...",
"Jangan datang lagi! Jika aku melihatmu lagi, aku tidak akan segan-segan untuk memukulmu!",

Tap tap tap
Terdengar langkah cepat dari belakangku. Saat aku berbalik, sosok Sasuke sudah tidak ada.

Apa dia benar-benar tidak akan datang lagi?


Karena Sasuke sudah tahu bahwa aku masih sakit, akhirnya aku memutuskan untuk menghabiskan sisa hidupku di rumah sakit. Mengasingkan diri di tempat yang paling kubenci ini. Sasuke juga tidak menjengukku lagi, dia takut padaku.

Masih terbayang raut wajahnya saat mengetahui bahwa aku belum sembuh. Aku merasa bersalah telah membohonginya, aku ingin meminta maaf padanya, tapi tidak bisa kulakukan. Karena kutahu, dia tidak bisa mempercayaiku lagi meskipun dia telah memaafkanku. Lagi pula, aku sudah mengusirnya, aku tidak mungkin menyuruhnya datang lagi.


Beberapa hari kemudian, Sakura-chan datang menjengukku. Aku senang sekaligus terkejut. Sakura-chan tahu penyakit yang kuderita. Ini membuatku terlihat lemah dan memalukan.

Sakura-chan pasti tidak menyukai laki-laki penyakitan sepertiku. Pupuslah sudah impianku untuk menikahinya.


Sudah 2 minggu aku di rumah sakit. Beberapa teman sekolahku datang menjengukku, mereka terus menyemangatiku. Aku merasa terhibur atas kunjungan mereka. Tapi saat mereka pulang, aku kembali kesepian. Aku bosan karena tidak ada yang mengajakku berbicara. Aku butuh Sasuke di dekatku.

Sebenarnya aku kenapa? Aku aneh sekali!
Jelas-jelas aku menyuruh Sasuke untuk tidak datang lagi, tapi sekarang aku malah berharap agar dia ada di sini. Aku mendadak rindu padanya.

Membuang semua ragu dan egoku, aku meminta mama untuk membawa Sasuke ke sini. Ini sudah yang ke berapa kali, aku menjilat ludahku sendiri?

Ah! Aku tidak peduli! Yang ada di benakku saat ini adalah, jika aku mati, aku hanya ingin ada yang menemaniku, yang tak lain dan tak bukan adalah Namikaze Sasuke, orang aneh yang terobsesi untuk menjadi kakakku. Sudah hampir setahun kedatangannya di kehidupanku. Selama itu pula, aku merasa ada yang berubah dalam hidupku. Aku bukan lagi anak tunggal yang kesepian. Aku tidak sendirian lagi.


"Ayo, masuk!", mama menyuruh Sasuke yang sedang mengintip di depan pintu, dia enggan masuk.
"Dia takut kau marah padanya", bisik mama, "Katakan sesuatu, Naru",
"Aku tidak akan memukulmu. Masuklah!",

Dia masih ragu untuk masuk.
"Ini perintah!", tegasku.

Mama melirikku tajam.
"Jangan membuatnya bertambah takut", bisik mama.

Tap tap tap...
Sasuke melangkah masuk, posisinya masih menjaga jarak dariku.

Aku meminta mama untuk keluar, ada hal yang ingin kubicarakan berdua saja dengan Sasuke. Sebelum keluar, mama berpesan padaku agar aku tidak memarahi Sasuke.

"Duduk!", kusuruh dia duduk di kursi di samping ranjangku.

Dengan cepat dia berlari dan duduk di kursi yang kutunjuk.
"Ba, bagaimana keadaanmu, Naru?", tanyanya sambil tersenyum kaku padaku.
"Kau tidak menjengukku, apa kau takut aku memukulmu?",

Dia mengangguk pelan.
"Kau sungguh aneh! Mana ada seorang kakak takut pada adiknya?",
"Dipukul itu sama sakitnya dengan memukul dengan tangan kosong. Aku lebih memilih takut padamu, daripada membuatmu marah dan memukulku",
"Apa selamanya kau akan takut padaku?",
"Aku tidak tahu",
"Mengapa kau tidak tahu?",
"Karena aku bisa berubah. Tidak. Mama bilang, aku harus berubah",
"Ya. Kau memang harus berubah. Kau harus pintar, kuat, tegas dan tidak kampungan",
"Hn. Supaya kau tidak memanggilku 'Kamseupay' lagi",
"Sepertinya kau sudah tahu mengapa aku memanggilmu 'Kamseupay'?", tebakku, karena kurasa dia mulai pintar.
"Kampungan sekali, uh payah. Saradalah yang memberi tahuku arti dari panggilanku ini",
"Sekolah memang membuatmu pintar",
"Hn! Aku harus pintar, agar kau bisa bangga punya kakak sepertiku",
"Kau memang kakak wannabe",
"Kakak wannabe?", dahinya mengkerut heran.

Kusuruh Sasuke untuk mengupaskan apel untukku.
"Naru, jika aku berubah, maukah kau memanggilku 'kakak'?",
"Buktikan dulu bahwa kau telah berubah...",

...Lalu aku akan mempertimbangkannya.

"Hn! Aku akan berubah!", tekadnya.

Kuakui dia tidak payah lagi, meskipun sikap kampungannya masih melekat sedikit. Dia pasti akan berubah seperti yang kami harapkan.

Mengenai masalah aku membohonginya, tidak ada kata maaf atau menyesal yang terucap dari mulutku. Aku gengsi untuk meminta maaf padanya. Sepertinya Sasuke juga tidak mempermasalahkannya.


Beberapa hari kemudian, mama datang membawa kabar baik untukku. Mama telah menemukan pendonor jantung untukku. Mama memastikan bahwa pendonor itu bukan Sasuke dan juga bukan dari transaksi ilegal.

"Kau akan sembuh, Naru!",
"Hn!",
"Aku tidak sabar menunggumu sembuh. Aku ingin melihatmu melakukan banyak hal menyenangkan bersama teman-temanmu",

Ya. Banyak hal yang ingin kulakukan. Aku sudah tidak sabar menunggunya.

"Hey! Jika aku sembuh nanti, aku ingin bertanding basket denganmu!", tantangku.

Dia tersenyum lebar menanggapiku. Betapa senangnya dia menerima tantanganku.

Jika sembuh nanti, aku ingin melakukan banyak hal bersamamu juga.


Menit-menit sebelum dioperasi.

Kugenggam kuat omamori pemberian Sasuke. Omamori ini masih kusimpan, meskipun telah usang.

Sasuke tidak datang, dia masih di sekolah. Aku menyuruhnya untuk tetap sekolah dan tidak membolos. Kukatakan padanya, membolos itu sama dengan membuang uang mama. Dia tidak ingin seperti itu, baginya uang itu sangat langka, tidak boleh disia-siakan.

"Mama, saat aku terbangun, aku ingin melihat Sasuke ada di dekatku, aku ingin mendengar dia memanggil namaku", pesanku pada mama sebelum aku masuk ke ruang operasi.
"Hn. Kakakmu pasti tidak sabar untuk berbagi banyak cerita denganmu", mama memelukku.

Ya. Aku juga tidak sabar untuk mendengar ceritanya.


Kubuka kedua mataku yang terasa berat, samar-samar kudengar suara yang memanggil-manggil namaku.

Sebuah sentuhan hangat dapat kurasakan di genggaman kananku. Aku mengenalnya, tangan yang kasar, tapi hangat.

"Aku di sini, Naru", ucap seseorang yang jaraknya sangat dekat denganku.

Kupejamkan kedua mataku kembali untuk mengingat nama dari orang di sampingku ini.

"Sa...suke...", ucapku terbata.
"Hn. Ini aku, Sasuke si Kamseupay",

Kubuka mataku sekali lagi, mengerjap-ngerjap agar penglihatanku lebih jelas. Yang pertama kali kulihat adalah senyumannya dan juga sepasang bola mata oniks yang telah basah dan berair.

"Kau adikku yang kuat", dia tersenyum bangga padaku.

Aku tidak berkata apa-apa. Hanya mencoba menarik bibirku dan tersenyum juga untuk mewakilkan ribuan kata yang ingin kuucapkan.


1 tahun kemudian.

Dap Dap Dap...
Dengan cepat aku mendrible bola basket, sementara itu Sasuke sedang mengejarku, dia berusaha merebut bola dariku.

Aku tersenyum mengejek saat melihat posisiku yang tepat untuk melakukan shoot. Tanpa menunggu lama lagi, akupun melakukan shoot.
"Hup!",

Bola berhasil masuk ke ring.

"Yeah!", seruku sambil melompat kemenangan.
"Kau hebat, Naru!", puji Sasuke sambil menyeka keringat di dahinya.
"Tentu! Karena aku Namikaze Naruto!", ucapku bangga.

Karena Sasuke kalah, aku menyuruhnya untuk mentraktirku ice cream.

Sambil berjalan menuju toko ice cream, mulut Sasuke tidak henti-hentinya bersenandung. Tangannya sibuk mendrible bola.

Aku tidak menyangka, Sasuke bisa bermain basket, meskipun dia kalah dariku. Banyak hal yang berubah dari dirinya selama 1 tahun ini.

Penampilannya tidak sekampung dulu, kini lebih modis. Postur tubuhnya juga berisi, tidak sekurus dulu. Dia bahkan lebih tinggi dariku. Mama bilang, Sasuke suka berenang dan bermain basket. Kakashi-sanlah yang mengajarinya bermain basket. Entah apa yang membuat Sasuke berani meminta pertolongan pada pria sangar yang jarang tersenyum itu? Aku saja enggan berlama-lama dengannya.

Selain penampilannya yang berubah, dia juga lebih pintar dari sebelumnya. Terbukti dia selalu mendapat nilai yang sempurna di sekolah. Dia juga tidak bertanya hal-hal konyol padaku. Sebenarnya aku ingin dia bertanya padaku, sesekali ya sesekali saja. Jangan terlalu sering.

Dia lebih berani dan tegas. Dia bahkan tidak mengizinkanku untuk mengetuk dahinya lagi, karena dahinya sudah tidak senyaring dulu.

Meskipun dia banyak berubah, ada sedikit yang tidak berubah dalam dirinya. Yang pertama, senyumannya tidak pernah berubah, selalu tersenyum ramah pada siapapun.

Yang kedua, dia masih takut pada kegelapan.

"Kamseupay!", cibirku.
"Kau masih memanggilku 'Kamseupay'?", wajahnya cemberut, dia selalu berharap bahwa aku akan memanggilnya 'kakak'.
"Itu lebih cocok untukmu. Bukankah dulu kau tidak keberatan jika kupanggil seperti itu?",
"Iya... Tapi aku kan sudah berubah", cibirnya.
"Bagiku, kau masih belum berubah", kujulurkan lidahku untuk mengejeknya.

Aku berlari mendahuluinya menuju toko ice cream di depan kami.
"1 cup rasa jeruk untukku dan 1 cup rasa coklat untuk... kakakku", pesanku pada penjual ice cream.

Aku tersenyum melihat Sasuke yang berjalan santai sambil memeluk bola basket.

Dia Namikaze Sasuke, kakakku yang kamseupay.


The End


Tamat, tamat, tamaaaaat...
Happy ending kan?
Gak tega bikin sad ending..hahahaa...

Special thanks to Aicintaku sayangku muah muah ^3^
Tanpanya aku galaw #plak

Yosh! Utangku masih banyak, harus dicicil.
Sedikit demi sedikit, bertahun-tahun baru tuntas #abaikan

Last...
Arigachuu yang udah ngikutin cerita ini dari awal sampe tamat.

Salam kecup becek untuk orang di samping anda.