Panas, musim panas yang menyebalkan. Aku harus duduk disini berjam-jam hanya untuk mendengarkan ocehan dari guru sialan itu. Harusnya musim panas adalah waktu bagiku dimana aku bisa bebas pergi kemana saja, tetapi, faktanya berbeda, aku harus disini, panas-panasan, bersama sekumpulan murid-murid bodoh di sekitarku.

Aku memilih menatap langit musim panas itu, tiba-tiba bayanganku menangkap 'orang aneh'. Wajahnya pucat, dengan mata mendelik dan mulut penuh liur yang membuatku begitu jijik, ia berjalan terseok-seok sambil menyeret kakinya.

Aneh.

Hanya itu yang ada dipikiranku, setidaknya.

Aku memperhatikan 'orang aneh' itu. Hey, dia baru saja menggigit seorang guru sekolah ini. Apa ini? Kanibal? Oh, sungguh menggelikan.

Aku mulai memperhatikan 'Orang-orang aneh' itu yang semakin bertambah banyak.

'DUK!' Guru sialan itu berhenti menerangkan pelajaran. Pandangan murid-murid terhenti sejenak. Begitu juga aku. Guru sialan itu membuka pintu dan-

"GRRRRAAAAHHHH!" Sosok 'Orang aneh' itu mulai menjangkau leher guru sialan dan menggigitnya.

Title: End Of Summer

Part 1: Blood

Rate: T

Disclaimer: CRYPTON/YAMAHA MUSIC COMPANY

Story By Akane Machikana

Pertama kali menulis fanfict begini, agak amatir.

Mohon Bimbingannya, review dan saran

"Ukh-UAKH!" Guru sialan itu mengeluarkan cairan kental berwarna merah dari mulutnya. Darah. Ya, darah. Seketika bau anyir dan besi mencapur jadi satu, semua murid berteriak panik.

"KYAAA! UKH-" Guru sialan itu menyerang kami, aku menyambar katana ku yang berada dalam sarungnya. Musim panas yang baru berjalan beberapa hari, seketika sudah berubah menjadi seperti ini. Benar-benar, aku merasa seperti sedang di dalam sebuah film. Mengerikan.

"Ti-tidak!" aku mendengar teriakan, dia, Kazuku Rin, si anak cengeng dari kelasku, sudah ada sekitar tiga sampai empat mayat hidup yang mengelilinginya.

He-hei, apakah aku harus pergi dan meninggalkannya sendirian?

Tidak, aku bukan orang kejam seperti itu.

Maka, aku memilih untuk menyelamatkannya, sebelum mayat-mayat hidup itu menghabisinya.

Len mengayunkan katananya ke kepala mayat-mayat hidup itu, sepertinya mereka sudah berkumpul akibat teriakan yang ditimbulkan Rin.

Len memberi isyarat kepada Rin, namun gadis itu malah terdiam dan menggenggam erat lengan Len yang sedari tadi sibuk melawan para mayat hidup yang ingin memburunya.

"APA YANG KAU LAKUKAN?! LARII!" Teriak Len kepada Rin, Rin menggeleng.

"Tidak! Mereka teman-teman kita, jadi-"

"Mereka sudah mati!" cela Len sebelum Rin menyelesaikan kata-katanya.

"Tapi mereka teman kita! Kita pasti masih bisa-"

"Omong kosong. Mereka itu sudah mati, darahnya mengental dan wajah mereka pucat, mereka sudah mati terlebih dahulu." Lagi-lagi, Len mencela perkataan Rin.

"KUBILANG HENTIKAN!" Jeritan Rin membuat mayat-mayat hidup itu mengarah ke mereka berdua, kini, mereka dikelilingi puluhan mayat hidup.

"Kecilkan suaramu, Kazuku-san. Pasti dilantai atas masih aman, setidaknya di asrama atas keamanannya lebih ketat daripada disini."

"Tapi bagaimana caranya kita kesana? Mereka...sudah terlalu banyak." Ujar Rin bersembunyi di belakang Len.

"Memang kau pikir siapa yang menyebabkan ini semua, hah?" Len masih sibuk menebas mayat-mayat hidup itu dengan katana miliknya.

"Ak-aku tahu, tapi...kita harus secepatnya keluar dari sini...!" Rin hampir menjerit ketika melihat kumpulan mayat-mayat hidup yang sudah memenuhi halaman sekolah, untungnya ia bisa menahannya.

"Cih. Caranya? Mudah saja." Tanpa rasa ragu, Len menggendong Rin dan melompat ke balkon, Rin ketakutan, Len sepertinya menikmati ini, dengan sigap ia melompat ke salah satu jendela asrama.

"Wo..w...ada apa, ini? Parade para zombie besar-besaran yang melibatkan penduduk kota Crypton?" Gakupo berdiri di balkon asrama.

"Diam. Kurasa ini tidak sembarangan, ini benar-benar terjadi, ini mimpi buruk." Kaito terus menerus mengarahkan panahnya ke arah para mayat hidup yang menuju ke pintu asrama.

Gakupo memperhatikan sasaran Kaito. Tembakan pertama, Kaito mengenai kakinya, Gakupo melotot saat melihat mayat hidup itu terus berjalan menuju gerbang asrama. Tembakan kedua, tepat mengenai jantung, Gakupo langsung mengomel.

"Hei! Kau mau ditangkap polisi?!"

"Tutup mulutmu sebentar. Seperti yang kubilang tadi, bodoh! mereka hanya mayat berjalan yang menularkan virusnya lewat air liur kepada orang lain."

Sementara Gakupo dan Kaito membantu murid-murid lain melawan kumpulan mayat hidup itu, Miku, gadis berambut teal ini masih shock atas mimpi buruk ini. Bayangan dimana kekasihnya Mikuo, di bunuh oleh Kaito lantaran sudah tertular virus itu. Mulut kecilnya terus menerus menggumamkan nama pria yang dicintainya. Sembari menatap mayat-Mikuo- yang tergeletak dengan kepala pecah di kasur yang ternodai darah. Bau anyir terus menerus memenuhi ruangan itu, membawa atmosfer kematian.

"Hei, bisakah kalian membantuku menenangkan Miku-chan?" Luka tampak kesal terhadap kedua pria itu-Kaito dan Gakupo- yang berdebat. "-Dan, kecilkan suara kalian, itu dapat memancing para mayat berjalan itu kesini!"

"Maafkan aku, Luka-senpai, tetapi tangan dan mulutku juga sedang sibuk membantu para senpai untuk menangani mayat-mayat sialan itu." Ujar Kaito dengan wajah datar, Luka hanya mendengus kesal.

"Hei, kalau begitu, mulutmu untuk apa? Bukankah hanya tanganku yang bekerja?" tanya Luka kesal.

"Untuk menangani si senpai cerewet disebelahku ini, setidaknya."

"Cih, kalau begitu, kau saja, Lui!" orang yang dimaksud Luka hanya mengangkat alisnya dan menatap Luka dengan tatapan tidak peduli.

'Apa-apaan tatapan itu?!' batin Luka kesal sambil menatap Lui yang terlihat tidak peduli dengan keadaan genting saat ini.

BRAK! Mereka mendengar pintu yang di buka paksa. Terlihat Len yang menggendong Rin dengan cipratan darah mewarnai rambut pirang dan wajahnya, ia segera membersihkan darah-darah yang menempel di katananya.

"Hei bocah, jagalah etikamu ketika membuka pintu!" omel Luka, Len hanya menunjukkan deretan giginya.

"Maaf!"

"Eh? Siapa gadis itu, oh, aku tahu..." ujar Gakupo sambil tersenyum penuh arti, dengan cepat Len mencelanya.

"Dia bukan seperti yang kau pikirkan, senpai mesum!" omel Len. Gakupo langsung memberinya death glare.

"Dia teman sekelasku, Kazuku Rin-san." Len memperkenalkan Rin yang masih ketakutan, wajahnya agak pucat.

"R-Rin Kazuku...Yoroshiku Onegaishimasu..."

"Hum! Yoroshiku!" Luka tersenyum kepada Rin, Rin membalas senyumannya.

"Sebenarnya...mimpi buruk apa, ini?!" Tanya Len memulai pembicaraan, yang lain hanya saling memandang satu sama lain.

"Entahlah Len, aku rasa seluruh dunia mengalami ini." Ujar Kaito, hening sesaat menyelimuti ruangan itu, suasana menurun sejenak.

DUK! Mereka terlonjak kaget, hening tetap menyelimuti mereka, rasa tegang mulai menyerang, Rin merasa bulu kuduknya berdiri.

DUK!

DUK!

Rin hendak meraih ganggang pintu, namun Luka menahannya.

"Jangan! Siapapun itu, jangan buka!" Rin hanya menurut saja, lagipula ia hanya seseorang yang baru mereka kenal disini.

DUK!

DUK!

Mereka semakin terendam dalam keheningan, sampai akhirnya suara itu berhenti tepat di depan pintu, Miku hanya terdiam menatap pintu, namun perlahan membuka ganggang pintu.

"Miku-!" Luka hendak mencegah Miku yang ingin membuka pintu.

"GRAAAHHH!" tanpa menunggu aba-aba, Len segera menyambar katananya, Kaito yang tadinya terdiam sendiri sadar dan terus memanah mayat-mayat hidup yang hendak menyerang teman-temannya. Si gadis Megurine mengambil Bokuto miliknya dari klub kendo.

"Sialan..." Gumam Len ketika mayat-mayat hidup itu semakin brutal. Akhirnya, dengan bantuan Gakupo, mereka dapat di bereskan. Luka segera menutup pintu, kemudian mereka duduk bersandar di pintu.

"Miku! Kau gila! Apa yang kau lakukan?!" omel Len. Miku hanya memandangi lututnya tanpa berkata-kata.

"Len, biarkan Miku. Dia masih Shock atas kematian Mikuo-kun." Ujar Luka, Len hanya menurut dan menghela nafas panjang.

"Ti-tidak! To-tolong! Se-seorang! Toloonngg!" terdengar teriakan seorang gadis dari luar kamar, Len dan Luka segera membuka pintu.

Terlihat seorang gadis yang terpojok oleh dua mayat hidup.

"To-tolong!"

DUAKH! Luka segera mengayunkan Bokutonya ke arah dua mayat itu, ia berusaha untuk tidak menimbulkan suara keras, karena suara keras bisa memancing mereka.

"Ka-kau tidak apa-apa? Astaga, kau terluka!" Luka melihat Luka pada lengan gadis itu. Seperrtinya satu dari dua mayat hiduo itu berhasil menggigitnya. Len datang sambil mengeluarkan katananya dari sarung.

"Mari kita singkirkan dia Luka-senpai." Ujar Len dingin, Luka menelan ludah.

"Khh- apa kau bercanda?!" Luka menatap gadis itu.

"To- Ukh...uakh..!" Gadis itu mencengkram erat dadanya yang sakit. Ia memuntahkan gumpalan merah segar dari mulutnya. Mata gadis itu membelalak lebar dan liar, mulutnya terbuka dengan darah dan liur menghambur keluar.

"Khh- Tho-lhong- Akh! UAKH!" Erangnya pedih, Luka menjauh dari gadis itu, menghindari resiko tergigit. Kemudian gadis itu meronta liar dan kemudian tidak bergeming. Mati.

"Le-Len?"

"Akan kusingkirkan." Jawab Len dengan wajah stoicnya, ia menarik katananya. Seperti dalam film-film, gadis itu bangkit, dengan mata mendelik seperti kesakitan dan kulit kemerahan yang tergantikan oleh ruam-ruam kehitaman, nafasnya tersenggal dalam.

"Uagh...agghh..." Gadis itu bangkit dengan terseok-seok. Len mengangkat katananya tinggi-tinggi.

CRASSHH!

CREET!

Darah berceceran kemana-mana, mengenai wajah Luka yang menutup mulut, tidak percaya. Len hanya menatap mayat didepannya datar.

"Ayo kita masuk, senpai, disini berbahaya."

Luka mengangguk, sebelum mayat-mayat lain menyusul.

"Ck, sepertinya kita harus keluar dari sini." Ujar Len sambil menatap halaman sekolah yang penuh dengan bercak-bercak darah kering.

"Ya, jika kita mengurung diri di sekolah, ini tidak aman." Ujar Kaito sambil membawa panah miliknya beserta busur-busurnya.

"Dimana kita mau tinggal, hah? Di jalanan yang penuh dengan monster-monster kematian ini?! Sungguh gila!" Timpal Gakupo.

"Jangan bernegative-thingking, dude. Kurasa rumahku bisa jadi tumpangan." Ujar Lui sambil memainkan sebuah PSP ditangannya.

"Kau terlalu santai!" Timpal Len kesal.

"Apakah itu menjadi masalah untukmu, huh?" tanya Lui.

"Cih." Lagi-lagi, Len mendecak kesal dan melipat tangannya di depan dada.

"Ayo, kita kerumahku, hanya berjarak sekitar 100 meter ke arah barat sekolah." Lui mengeluarkan sebuah linggis berat dan memasukkan PSPnya ke dalam kantung seragamnya.

"Sepertinya, aku mulai menyukai ini." Ujar Luka sambil membersihkan Bokutonya dengan sapu tangan.

"Ayo, kita pulang!"

Ya, tujuh tokoh utama kita ini berlari menerjang menuju belasan mayat hidup.

"GRAAAHHH...!

To Be Continued