Le Banc
a dlm/hjp threeshot fanfiction
by- HanariaBlack

"The best and most beautiful things in the world cannot be seen or even touched – they must be felt with the heart."
—Hellen Keller

e n j o y

.o.o.o.

-o. bagian ketiga dari tiga bagian cerita .o-
"AKHIR"

Telah (nyaris) dua minggu terlewat, dan setiap pukul 06:00 PM, dengan busana lengkap sehabis kerja bersama pantofel hitam dan tas laptop-nya, Draco Malfoy berkunjung ke rumahku. Kalau hari itu hujan ia akan mengenakan jas hitam, dan kalau hari itu bersalju, ia akan mengenakan jaket hitam dengan bulu hitam. Semuanya hitam, seakan-akan ia berniat melayat ke kuburan, bukan berkunjung ke rumahku.

Kadang aku tersinggung, tapi aku tidak peduli. Toh, aku menyambutnya dengan kaos belel dan celana panjang compang-camping—impas, haha.

Dan sore ini, sekitar pukul empat di hari Jumat, ketika aku tengah mengisi soal terakhir dari remedial Fisika-ku (nilai ujian terakhirku adalah 45), telepon berdering sekali, dan aku mendengar suara Bibi Marge yang membahana.

"Harry!" suara Bibi Marge di sambungan yang melengking dan penuh ketidaksukaan akan eksistensiku terdengar sangat menonjol. Yah, memang selalu begitu, sih. "Kau harus mengecek isi lemari pendingin, membuang yang busuk dan menggantinya dengan uangmu sendiri! Aku akan berada di Lisbon lebih lama dari waktu seharusnya aku pulang. Kalau ditotal aku akan pulang sekitar tiga minggu lagi. Kau tidak perlu merayakan Natal! Cukup jaga rumah dan duduk manis!"

Dan hening. Aku menutup bukunya, lalu mengistirahatkan kepala yang berat akibat rumus-rumus Fisika di otakku masih berseliweran. Sesaat mataku sudah tertutup untuk tidur singkat ketika—

Voicemail dari Bibi Marge mengulang pesan—perintah—nya dengan berisik. Bibi Marge sengaja mengeset telepon untuk terus menyuarakan voicemail sampai seseorang dalam rumah harus membalasnya. Yang dalam kasus ini, memaksaku untuk bangkit dan membalas voicemail itu dengan 'ya' singkat setelah menekan tombol 'accept'.

Niatan untuk tidur di meja lenyap, tapi kini, berada di sofa pun tak membantuku untuk mengantuk lalu lelap.

Aku berguling di sofa, berusaha mengabaikan jumlah uang yang tersisa untuk mengganti makanan-makanan basi di lemari pendingin. Uang yang diberikan Bibi Mage sudah tinggal sedikit sekali... tidak mungkin beli makanan baru dengan uang itu. Padahal sebentar lagi Nat—

'Kau tidak perlu merayakan Natal! Cukup jaga rumah dan duduk manis!'

Hardikan Bibi Marge terngiang kembali, dan membuatku batal melanjutkan rencana untuk Natal tahun ini... yang indah tanpa Bibi Marge. Tapi, tanpa uang atau hadiah juga. Um, sebenarnya, sih, menghabiskan Natal dengan Bibi Marge itu sama saja—palingan aku hanya diberi sisir bekas yang tua dan rapuh. Katanya, untuk menjinakkan setan yang bernama 'rambutku'.

Aku menatap layar telly yang tak kunyalakan—warnanya gelap dan sangat mengilap. Aku melihat diriku terbaring menyamping di sofa dengan latar belakang pintu utama yang di kanan-kirinya terdapat jendela tinggi bertirai abu-abu, dan ventilasi berdekorasi bunga-bunga di atas pintu dan jendela.

Aku berkedip, dan pantulanku di layar mengedipkan matanya padaku.

Kebosanan mulai menyerangku ketika aku hanya diam di sofa tanpa melakukan kegiatan apa pun selama sepuluh menit, sebelum pintu utama yang kulihat tertutup itu membuka dengan sendirinya.

Aku menatap layar telly dengan mulut terbuka dan mata membelalak, ketika sosok tinggi berjaket menyelonong masuk tanpa sepatah kata pun, melepas lalu menggantung jaketnya, mencopot dan menaruh alas kakinya, dan kepala itu terangkat untuk bertatapan denganku lewat layar telly yang hitam kelam.

Aku kenal dia.

Pria dua-puluh tahunan yang sejak dua minggu lalu menghantui—maksudku, mengunjungiku—setiap sore, dengan cara berbusana dan pakaian yang sama (hanya beda warna), dan rambut pirang itu, dan mata kelabu itu, dan kritikan pedasnya pada Bibi Marge itu (padahal, apa gunanya dia mengritik? Bibi Marge tak mendengarnya di Lisbon sana)...

Siapa lagi kalau bukan Draco Malfoy?

Sunyi menegangkan, sampai aku terbangun dari posisi berbaring menyampingku, dan berbalik untuk menudingnya dengan telunjuk kananku.

"Kau!" aku menunjuknya dari sofa. Tanganku terulur begitu semangatnya hingga baru beberapa detik aku menunjuknya, aku sudah pegal. "Dasar maling! Aku tahu kalau diam-diam kau punya cita-cita menjadi agen rahasia gadungan yang diberi misi mengendap-endap di rumah orang lain!"

Pria itu menghampiriku dengan alis terangkat sempurna.

"Aku tidak punya cita-cita seperti itu," katanya, dan berhenti untuk berlutut di depanku. Dengan kata lain, di belakang sofa. "Lagipula, apa sulitnya mengubah kata-kata 'agen rahasia gadungan yang diberi misi mengendap-endap di rumah orang lain' dengan kata 'maling'?"

"Aku sudah menyebutnya," aku menatap wajah yang sejajar di depanku itu. Aku menyandarkan wajahku pada sandaran sofa, jadi pandangan kami lurus menghadap satu sama lain. "Aku kan kreatif."

Draco mendengus, senyumannya tipis, "Jadi orang kreatif dan bertele-tele itu berbeda, Harry sayang."

Aku menaruh telapakku di atas kepalanya, dan menarik beberapa helai yang panjang untuk kujambak. Draco meringis. Aku nyengir. "Kalau ada orang yang tidak kreatif di antara kita—itu kau, Draco," aku lanjut menjambaknya. "Eh, kenapa kau tidak menghentikan jambakanku? Kau pasrah sekali kelihatannya."

"Aku bukan pasrah. Aku rela," balasnya, mata kelabunya melembut.

"Maksudmu, kau rela rambutmu yang ditata sedemikian necisnya ini kujajah?"

"Ya."

Aku menarik kembali tanganku dari kepalanya, dan membalik tubuhku untuk menatap telly yang tidak menyala. Aku melihat Draco dari situ.

"Kenapa?" aku merasa konyol menuntut penjelasan dari soal menjambak rambut Draco yang sepele, tapi aku merasa cukup janggal dengan perkataannya dan kelembutan di matanya yang expressionless.

"Aku hanya tulus. Aku tidak keberatan."

Aku mengerutkan keningku, dan memandang curiga di matanya yang terpantul di layar telly. "Jawaban yang aneh," gumamku.

"Maaf kalau itu tidak membuatmu puas," kata Draco, dan pria itu melompat untuk memosisikan diri duduk di sebelahku. Kulihat, lengannya berada di belakang sofa. Kami pasti terlihat bodoh kalau ada yang menemukan kami—duduk berdua di sebuah sofa, di depan telly, tapi tak satu pun dari kami beranjak untuk menyalakan alat elektronik itu. Kami hanya... memandang satu sama lain lewat layar telly. "Kenapa kau tidak menyalakan televisi?"

Aku mengangguk, "Seperti yang kau lihat..." aku menjawab, "Aku sedang bosan sebelum kau datang dengan gaya sok spionase."

"Berarti aku mengusir kebosananmu?"

Aku mengabaikan harapan yang mengalir di pertanyaan Draco. "Mungkin," jawabku. "Oh ya, kenapa kau datang ke sini lebih awal?"

"Memangnya kenapa? Kau tidak suka kunjunganku?"

"Tidak, aku hanya heran," balasku. "Bukankah kau harusnya masih berada di kantormu?"

"Kau benar, tapi, kemarin malam aku sudah menyelesaikan pekerjaan yang harusnya kukerjakan hari ini."

"Untuk apa capek-capek menyicil? Bukankah lebih enak di kantormu yang ber-AC dan tempat duduknya empuk?"

"Biarpun fasilitasnya tergolong mewah, aku lebih nyaman di sini bersamamu."

Aku merasa pipi dan hatiku menghangat, dan aku menunduk untuk memainkan benang putih yang menjuntai dari ujung kaos belelku yang gembel.

"Apa kau masih merasa bosan?" tanya Draco lagi, setelah beberapa saat dihiasi tanpa sepatah kata.

"Lumayan," gumamku.

"Mau ke bangku taman di dekat danau itu?" ajak Draco. "Aku sudah tidak kembali ke sana dalam dua minggu terakhir."

Aku berkedip, dan mendadak merasa rindu pada suasana indah yang menciptakan ketenangan padaku itu—di bangku yang terletak di dekat danau.

"Aku juga..." aku menerawang layar telly yang tak menyala. "Aku juga sudah lama tidak berada di sana..."

Aku bisa merasakan Draco mengangguk. "Mau ke sana?"

Aku tidak punya opsi lain yang lebih baik selain pergi menemui bangku tercintaku lagi.

/

Aku sudah nyaris lupa bagaimana rasanya bisa mengistirahatkan diri sepenuh jiwa dengan bantuan si bangku dan suasana hening yang teramat nyaman.

"Hey," suara Draco membuyarkan imaji kedamaian di benakku. "Kalau kau mengambil seluruh tempat, bagaimana aku bisa duduk?"

Aku mengerang, dan membuka satu mataku. Dengan terpaksa, aku menggeser bokongku ke samping untuk memberikan ruang bagi Draco, dan menutup mata lagi.

"Hey," gangguan yang sama, berintonasi sama, dan berasal dari orang yang sama, membuatku menghela nafas berat dan membuak sebelah mata lagi. "Apa kau tidak kedinginan?"

Otomatis, aku menatap ke arah tubuhku untuk melihat kaos hitam—yang belel kuganti, karena Draco memintaku ganti demi kesehatanku—berlengan panjang, bahannya lebih tebal sedikit dibanding kaos-kaosku yang lain, cukup membuatku tidak nyaman karena, well, baju ini milik Draco.

Jangan tanya aku mengapa ia bisa menyimpan persediaan kaos di tas kerjanya...

"Kalau kau tidak melihatku menggigil, berarti aku tidak kedinginan," aku melempar pandangan agak tajam pada Draco—yang mengenakan jaket super tebalnya yang berbulu-bulu di bagian kerah. "Lagipula, kau sudah memaksaku untuk ganti baju."

"Udaranya sangat dingin, dan nyaris petang, tahu," kata Draco, nadanya seperti memerintahku untuk tunduk padanya. "Kenapa kau menanggalkan baju hangatmu?"

"Aku tidak suka pakai pakaian yang tebal-tebal, Draco," aku beralasan, dan kulihat Draco tetap dalam pendiriannya bahwa aku akan sakit tanpa selapis pakaian lagi. "Berhenti memikirkanku. Aku tidak mudah terserang penyakit, kok."

"Kau akan sakit."

Aku memutar mataku, lalu menutup mataku yang terbuka. "Terserah padamulah."

Untuk beberapa saat, aku menikmati ketenangan dan suasana yang seakan-akan menjernihkan kepalaku—rasanya seperti otakku bisa kosong dan aku bisa melupakan hal-hal yang membuatku berpikir hingga sakit kepala. Napasku teratur, membuatku semakin rileks... sampai bunyi ritsleting yang terbuka mengisi keheningan.

Aku memutuskan untuk masa bodoh, tapi detik berikutnya, bahan jaket yang tebal, lembut, dan hangat menyambut tubuhku, menghalangi tubuhku yang berbalut kaos.

Aku membuka mata sepenuhnya, dan bertemu pandang dengan manik langit mendung Draco. Warna matanya sama dengan warna langit sekarang—kelabu.

"Aku berharap kau tidak menolak jaketku," kata Draco, suaranya menyeret, seakan-akan ia berbicara dengan gigi terkatup rapat. "Aku rela kedinginan. Untukmu. Maksudku, agar kau tidak menggigil."

Aku menatapnya sebentar, "Ya ampun," aku berdecak, lalu tersenyum paksa. "Aku akan baik-baik saja... Draco, kau yang lebih butuh jaket ini dibanding aku."

"Tidak. Aku lebih ingin melihatmu memakai jaket," balas Draco.

"Tidak, itu kau yang akan menggi—"

"Aku yakin aku bisa bertahan," potongnya, dan sesaat aku merasa bahwa seharusnya Draco melanjutkan ucapannya, bukan jeda. "Kau saja yang pakai. Pakaianku lebih tebal daripada kaos yang kau kenakan sekarang."

Aku menatapnya, untuk beberapa detik penuh perhitungan, aku nyaris melempar jaket di tanganku ini ke mukanya... tapi aku mengurungkan niatnya. Aku tidak mau—maksudku, aku tidak tega. Dia berbaik hati padamu, Harry, dia mengorbankan jaketnya, kata sisi batinku yang lain, membela perlakuan Draco.

Harusnya aku hanya berpikir, 'hal seperti ini, sih, sepele,' tapi, aku menemukan bahwa hatiku tak berkata begitu. Sepertinya, dua minggu terus dikunjungi Draco membuat cara berpikirku berubah? Aku tidak tahu. Pokoknya, aku malah memikirkan betapa rela berkorbannya Draco—untukku.

Untukku.

Wait—untukku? Untuk apa? Untuk apa dia berkorban demi aku?

"Ya, untukmu," kata Draco tiba-tiba, menjawab pertanyaan batinku yang menggema di ruang otakku.

"Apa kau bisa membaca pikiranku?" aku bertanya dengan kalut. Pikiranku hanya milikku seorang, ini privasi terakhir yang paling aman.

"Tidak, sayang."

Aku tidak tahu kapan tepatnya aku menyuruh Draco untuk berhenti memanggilku dengan panggilan 'sayang', 'sweetheart', atau 'hunnie'. Aku hanya tutup mulut.

"Aku tidak akan bisa mencampuri urusan pribadi di benakmu."

Aku tidak terlalu lega—karena di tengah perkataan Draco, aku sadar kalau anggapanku tentang Draco sebagai 'mind-reader' itu salah.

"Apa aku mengatakan sesuatu sebelumnya?" tanyaku. Pada akhirnya, aku malah keenakan dipeluk jaket milik Draco ini. Wanginya juga enak... musk.

"Kau bilang, 'untukku?' dengan pelan. Aku hampir tidak mendengarnya, tapi aku yakin kau bertanya begitu dari gerak bibirmu."

Aku mengangguk, dan mengedarkan pandanganku pada sekeliling bangku. Danau yang beku sepenuhnya. Pepohonan yang hanya ranting dan ditumpuki salju. Salju yang bercampur dengan tanah—membuat warnanya berteritoril ada bagian yang cokelat tua, putih, atau cokelat muda.

Dalam sepuluh menit penuh, tak satu pun dari kami bicara. Biasanya, atmosfir di antara kami tetap nyaman biarpun kami tak bersuara... tapi, kini, seolah-olah udara terasa berat untuk dihirup, dan aku merasa ada sesuatu yang menggantung, belum selesai, di antara kami.

Apa yang belum selesai, kutanya? Aku dan Draco tidak memulai apa pun, benar?

Dan juga, aku merasa seolah-olah ada sesuatu yang tak terucap, tak berbentuk, dan tak kelihatan—yang muncul di antara kami.

Aku betul-betul tenggelam ke dasar pikiranku sampai sesuatu yang hangat menempel di pipiku, dan kusadari bahwa itu telapak Draco yang berusaha menarikku kembali pada dunia nyata.

"Kau masih dingin," katanya, seusai menyentuh pipiku dengan telapaknya yang hangat.

"Aneh. Kau juga hangat, padahal tidak pakai jaket sepertiku," balasku, bingung dengan misteri-misteri di balik suhu manusia.

Hening lagi.

Aku melihat wajah Draco yang lebih pucat—seluruh kulitnya yang sudah pucat seperti mayat bahkan lebih pucat lagi—dan aku merasa bersalah. Seharusnya Draco yang memakai jaketku... bukan aku.

"Kau... mau pulang?" tanyaku. Suaraku yang biasanya lantan dan jelas hilang dicuri rasa bersalah.

Dalam diam dan beberapa saat yang janggal setelah aku bertanya, Draco menunduk, dan berdiri.

o

o

o

Aku bermimpi Draco sakit tadi malam.

Kulitnya pucat—sangat mengerikan—warnanya abu-abu dan tampak tidak hidup. Matanya kuyu dan pria itu terlihat sangat buruk. Draco terlihat seperti habis digigit vampire. Aku di mimpiku malah kelabakan, lari tak tentu arah, seolah-olah penyakit Draco tak punya obat.

Aku bangkit dari kasur, mataku menangkap jarum jam terpendek yang mengarah pada angka tujuh. Aku bergerak setengah menyeret kakiku untuk menyibak tirai dan membuka jendela. Sinar matahari redup cahayanya, pantas karena kulihat salju menumpuk di taman depan.

Aku melakukan ritual pagi—mandi dan sarapan—lalu keluar rumah untuk menyingkirkan salju-salju itu dengan sapu ijuk.

"Sedang apa kau di sana, Harry?"

Aku terlonjak, lalu menatap ke arah pintu. Di sana berdirilah Draco, lengkap dengan satu set piyama bersama sendal bulu kelinci warna putih (aku tertawa sampai perutku panas, tapi Draco tetap memasang poker face hingga tawaku lenyap), dan secangkir minuman hangat yang kepulan asapnya terlihat dari arah sini.

"Kau tidak pulang?" tanyaku, heran. "Aku tidak melihatmu."

"Yeah, aku ketiduran di kamar Marge saat hendak mencuri selimut dari lemarinya," kata Draco, lalu nyengir. "Tadi pagi aku berhasil membaca diarinya."

"Kau—apa?" aku berhenti menyapu dan mengabaikan gundukan salju yang belum selesai.

"Aku baca diarinya. Semua tanggal dan tulisannya," Draco meneguk cairan di cangkirnya—mungkin itu teh, karena persediaan kemasan cokelat hangat dan kopi di rumah habis. Dia mengeluarkan sesuatu dari kantung piyamanya, dan mengarahkan benda itu padaku. "Mau lihat?"

Aku berlari ke arahnya, lalu mengambil benda yang sebetulnya diari Bibi Marge.

"Aku tidak tahu harus memukulmu atau apa," gumamku, mataku mengitari permukaan diari. Diari itu bersampul kertas kado bermotif buah-buahan, dan tidak ada identitasnya. Ini pertama kalinya aku melihat diari ini. "Ini privasinya, bodoh."

Draco mendengus, "Lalu, apa? Aku harus menjaga privasinya, maksudmu?"

"Ya," aku menatap Draco. "Ini miliknya, Draco."

"Kau—kau harus lihat apa yang ditulisnya," Draco menatapku tajam, ucapannya seperti dipaksakan.

"Aku tidak bisa," aku menggeleng, lalu mengembalikan diari itu ke tangan Draco yang bebas dari cangkir. "Kembalikan ini ke tempatnya," pintaku.

Draco mengambil buku itu dari tanganku, tapi matanya tak lepas menatapku. Aku nyaris merinding.

"Baiklah," kata Draco, lalu menyerahkan cangkirnya padaku. "Maaf, bisa pegangi sebentar?"

Aku memegangi cangkirnya. Saat aku menunggu Draco untuk berbalik, pria itu malah membuka diari Bibi Marge, dan membacakannya keras-keras,

"Entri kedelapan-belas, tanggal satu Juli," kata Draco, sementara mataku melebar. "'Aku benci bulan ini karena si anak sialan itu berulangtahun. Aku tidak akan peduli apa yang terjadi padanya, sungguh. Dia menyebalkan dan keras kepala, semoga saja saat umurnya bertambah, dia bisa berguna untukku.'"

Aku tak berkedip.

Draco menyekip beberapa lembar, lalu kembali membaca, "Entri ke dua-puluh lima, tanggal 30 Juli," dia memulai. "'Aku senang sekali bisa menemukan sendok plastik bekas di pinggir jalan—tentunya, benda ini untuk kado ulangtahun Harry. Dia sangat beruntung aku masih bersedia memberinya kado setelah seluruh kesialan yang menimpaku akibat kehadirannya di rumahku.'"

Sendok plastik... oh, ya, itu hadiah yang indah sekali... Harry janji ia akan melempar sendok itu ke luar jendela sebelum tidur. Aku merasa luka di hatiku makin membusuk—memberi sendok bekas pada yatim piatu semacamku saja ia tidak tulus...

"Entri ke—Harry, apa kau menangis?"

Aku membuka-tutup mataku, dan merasa panas di sekeliling mataku. Beruntungnya tidak ada airmata. "Tidak, hanya kelilipan," kataku, mengambil napas lewat bibir yang bergetar. Aku menatap Draco tajam, "Aku tidak sudi kalau kau membacakan diari-diari Bibi Marge lagi."

"Tapi, kau harus tahu fak—"

"Aku sudah tahu sifat asli Bibi Marge bagaimana," biarpun sebelumnya, aku menyangka biarpun Bibi Marge memberikan sendok bekas itu padaku, dia ikhlas. Tapi, nyatanya tidak. "Tidak perlu membeberkannya di depanku lagi," aku melangkah melewati Draco, "Memuakkan."

"Seriously, Harry, kau marah karena—karena aku memberi tahumu rahasia Marge? Kau marah karena aku mengubek-ubek rahasia wanita sialan ini?"

Aku tidak berbalik, "Aku sudah bilang kalau aku sudah tahu, tanpa diari pun, sebenci apa Bibi Marge padaku."

Aku mendengar langkah-langkah mendekat, dan tiba-tiba saja aku sudah berhadapan dengan Draco. Telapak pucatnya mencengkram bahuku begitu kuat, dan ekspresinya menusuk. "Mengapa kau begitu peduli pada wanita yang membencimu dan telah membuat hidupmu sengsara?"

Aku melepaskan diri, dan melempar mata kelabu itu dengan sorotan marah, "Kau memperpanjang masalah, kau tahu!" seruku, suara naik satu oktaf. "Aku sudah bilang untuk mengembalikan diari itu, tapi kau malah membacakannya keras-keras di depan wajahku!"

"Aku ingin kau tahu seberapa buruknya—"

"Aku sudah bilang, Draco, aku tahu sebenci apa dia padaku! Aku sudah hidup dengannya belasan tahun!"

Draco terdiam menatapku, sementara napasku mulai memburu.

"Aku tahu dia ingin aku pergi, aku tahu dia ingin aku mati tergeletak begitu saja—aku tahu!" aku hampir berteriak. "Kau tidak perlu memberitahuku apa yang dicurahkan hatinya! Karena—" aku tersedak ludahku sendiri.

"Harry, aku sengaja membacakan isi hatinya yang ditulis di diari itu agar kau bisa membencinya dan tidak berbaik hati lagi—" Draco telah memotong, dan aku melanjutkan ucapanku dengan menginterupsinya,

"Karena tanpa diari-diari itu, aku sudah benci padanya!"

Hening.

"Aku ingin membunuhnya ketika ia tidur," aku berbisik, lalu mataku beredar liar untuk mencari sofa. Duduk. Aku butuh tempat duduk. "Aku ingin meracuni masakan yang kubuat agar dia mati dengan mulut berbusa. Aku..." aku tidak berani menatap mata Draco. "Aku ingin mencekiknya hingga ia minta ampun padaku..."

"Harry..."

"Aku selalu berusaha menekan amarahku... aku memaksakan diriku untuk melupakan hal-hal buruk yang dilakukan Bibi Marge padaku... aku selalu... berpikiran positif... berusaha..."

Aku jatuh di atas sofa. Sakit kepala, terengah-engah, dan rasanya aku ingin lenyap dari dunia ini. Juga membanting sesuatu.

Sunyi, aku pikir aku sudah berada di alam mimpi sebelum suara Draco menyadarkanku.

"Harry, apa kau sudah tenang?"

Aku mengerang, membuka mata, dan Draco tengah berlutut di depanku, pandangannya kalem.

"Kau mau pergi ke tempat itu?"

Aku tidak langsung menjawab, "Tempat yang mana...?"

"Bangku. Di dekat danau."

Aku mengangguk seketika—tawaran yang sangat bagus, Draco. Tahu saja aku butuh tempat yang tenang...

"Tunggu. Biarkan aku mengambil baju hangatmu," suara Draco mengandung senyum, dan pria itu menepuk tempurung lututku sebelum bangkit menuju kamarku.

/

Sekiranya, sudah satu jam aku duduk di sini bersama Draco. Tubuhku dibalut baju hangat bau kapur barus, dan salju perlahan turun dari langit hitam. Aku merasakan salju-salju itu meleleh di atas hidung, kening, dan bibirku. Rasanya dingin.

"Harry, kau masih hidup?"

Pada pertanyaan Draco, aku bergumam 'hmmm'.

"Kukira kau sudah jadi patung es... sudah satu jam lebih sepuluh menit kita tidak bicara apa-apa."

"Oh..." pantas suaraku agak serak. "Aku terlalu terbuai dengan suasana di sini..."

"Yah, aku bisa tahu dari wajahmu."

Aku melirik Draco sekilas, "Memang wajahku jadi bagaimana?"

"Sangat... tenang. Biasanya ada beberapa kerutan, dan kerutan itu lenyap. Bibirmu juga tidak tertekuk lagi."

"Bibirku tertekuk?" aku meraba bibirku, aku tidak pernah merasa bibirku selalu tertekuk.

"Ya, memang tekukannya nyaris tidak terlihat, tapi kalau ditilik pasti ada," jelas Draco, lalu tangannya menyelip di belakang punggungku, dan mengelus. "Tapi, tenang saja, itu tidak memperburuk parasmu."

"Aku tidak peduli kalau bibirku yang menekuk itu membuatku jelek," gumamku, lalu terhenyak. Kemudian, pipiku terasa panas. "D-Draco, kau... katamu... tekukan di bibirku tidak terlalu terlihat, kau bilang... kau meniliknya? Kau menilik wajahku?"

"Err," elusan Draco di punggungku yang hangat dan berputar-putar jadi berhenti. "Um. Y-ya, terkadang, aku menilik wajahmu."

Aku menegakkan tubuhku untuk bisa menatap matanya. "Untuk apa?"

"Karena... aku tertarik melihatmu."

Itu alasan paling... tidak logis yang pernah kudengar. "Kau pikir aku magnet?"

"Kau bisa mengatakannya begitu," katanya, dan ia lanjut mengelus-elus punggungku. "Maksudku, kau magnet untukku. Saat aku bersamamu, sulit rasanya lepas menjauhimu."

Aku bergeming. "Kenapa bisa?"

Sesaat, aku berpikir Draco tidak akan membalasku karena hening yang cukup lama. Tapi, aku merasa tangan di punggungku menjauh dan kehangatannya menghilang, dan Draco bersuara lagi,

"Aku... tidak tahu."

"Kenapa kau tidak tahu?" aku merasa agak jengkel. Dia yang bilang bahwa aku 'magnet' baginya, tetapi saat aku minta penjelasan, dia malah tidak tahu. Perlakuan seseorang itu pasti punya tujuan!

"Kenapa kau bertanya? Seharusnya kau mencari jawabannya sendiri," kata Draco, tatapannya tidak sehangat sebelumnya. Dia tampak kecewa. Apa Draco berpikir lebih baik menjauh dari orang sepertiku? "Aku sudah berusaha menunjukkan jawaban itu kepadamu."

"Menunjukkan apanya?" tapi, aku merasa frustrasi. "Aku tidak melihatmu memberikan jawaban apa pun padaku."

"Aku sudah berusaha menunjukkannya—padamu," dia mengulang, seolah berusaha membuatku mengerti... tapi, itu tidak berhasil sama sekali. Aku malah semakin bingung.

"Oke, kalau kau menunjukkannya, sejak kapan kau menunjukkan jawaban itu?" aku bingung. Kenapa dia malah mempersulit pertanyaanku?

"Harry. Kalau kau bisa melihat jawaban yang kutunjukkan, kau tidak mungkin bertanya sejak kapan aku menunjukkannya."

Aku merasa marah. "Bisa tidak berhenti memberi petunjuk yang berbelit-belit?" tanyaku.

Draco menghela napas, "Aku akan berhenti 'berbelit-belit' kalau kau sudah menemukannya—oh, maksudku—menyadarinya."

Apaan, sih?! "Mana bisa aku menemukan jawabannya kalau petunjuk darimu saja sudah tidak bisa kumengerti?"

"Sudah kubilang, Harry, kau harus menemukannya sendiri. Kau harus menyadarinya. Kurasa..." Draco bangkit dari bangkunya, dan menatapku lurus. "Kurasa aku belum siap."

Aku merasa otakku mau meledak dengan seluruh ucapan-ucapan Draco yang tidak kumengerti. "Nonsense," gerutuku.

"Tak apa. Cepat atau lambat, kau akan menemukannya."

"Berhenti sok misteri—"

"Aku mengatakan kebenaran, Harry. Aku punya tujuan tersendiri saat aku mengunjungimu. Bicara denganmu. Memandang matamu. Aku telah menunjukkannya sejak... malam itu," dia mulai bicara sendiri, karena mata kelabunya tertuju pada pijakan bersalju. Bukan mataku. "Aku mencintai—maksudmu, aku menganggapmu lebih dari sekedar orang yang kutemui di bangku ini."

Aku terdiam sebentar, berusaha memroses perkataannya, dan akhirnya aku mengerti. Aku menarik tangan Draco, memaksanya untuk kembali duduk di sebelahku, dan aku tersenyum tulus.

"Aku mengerti sekarang," kataku, masih tetap tersenyum, dan kulihat ada secercah harapan di mata kelabunya yang tak pernah bisa kubaca. "Kau ingin kita jadi teman, 'kan? Aku tahu kau itu orang yang gengsi... tapi, Draco, kau tak perlu menyembunyikan keinginanmu itu. Kau berbuat banyak sekali untukku akhir-akhir ini, dan aku pasti mau jadi temanmu."

Draco tak membalas. Tangan pucatnya di genggamanku tak merespons, dan... aku melihat matanya kembali tak berekspresi, tidak hangat, dan tidak ada secercah harapan itu lagi.

"Um, Draco?" aku memanggilnya ragu. Dia memang menatapku, tapi, aku merasa pikirannya melayang-layang di tempat lain. Aku hanya bisa berpendapat, sih.

"Oh, ya, ya, kita jadi teman."

Aku tersenyum lebih lebar, berusaha menghapus kebingunganku akibat senyuman di bibir Draco yang tampak tak sempurna dan miring.

"Apa aku teman pertamamu?" tanyaku, mengingat cara sosialisasi Draco yang buruk.

"Hmmm, mungkin ya. Aku sudah tidak bisa mengingat seberapa lama aku tidak memiliki teman."

Aku menggoyang tangan pucat di tanganku dengan perasaan gembira. "Kita sahabat?"

Draco menyandarkan pipinya pada telapak tangan yang ditopangkannya pada lutut, dan tersenyum sekilas, "Ya. Sahabat."

Aku tersenyum lebih lebar lagi—entah apakah itu bisa atau tidak, yang penting aku senang sekali. Draco mau jadi sahabatku. Kami bersahabat sekarang. Aku merasa pandanganku lebih terang dan rasanya hidupku bisa lebih ringan... rasanya aku bisa terbang bebas jika aku punya sayap.

Draco memandangku lama, dan aku memandangnya balik. Kenapa pria itu terlihat tidak... senang?

Ketika aku sudah akan menanyakan kenapa dengan pandangannya yang lama dan bibirnya yang tidak tersenyum, aku merasa sepasang lengan merengkuhku, dan wajahku terhalang oleh syal dan tubuh yang tidak memiliki aroma apa-apa selain musk.

Draco memelukku. Kaki kami saling menempel. Kalau lama-lama berada dalam posisi ini, mungkin kami bisa skoliosis.

"Aku senang melihatmu bahagia."

Aku tersenyum mendengar perkataan Draco. "Terima kasih. Kau sahabatku yang paling baik."

Dengusan. "Aku tahu kalau kau tidak memiliki sahabat selain aku. Tidak perlu memuji."

"Terserahmulah, yang penting kau jadi sahabatku," Harry membalas pelukan Draco. "Sahabat selamanya?"

Hingga sepuluh menit, Draco tidak menjawab. Hanya tangan pucatnya yang mengelus-elus kepala berambut liar, dan garis mulutnya menegang.

Harry Potter tidak mengetahui bahwa sejak pria itu merengkuhnya dalam pelukan itu, Draco Malfoy tidak tersenyum sama sekali. Mata kelabunya memandang hampa langit hitam yang menurunkan salju, sementara remaja di pelukannya nyaman dan bahagia dalam pelukan... sahabatnya.

.o.o.o.

.o.o.

.o.

The End

"akhir dari akhir"

*Lisbon – ada di Portugal, FYI. dan hana sengaja ngambil Portugal abisnya Joanne pernah jadi translator di sana. err, correct me if I'm wrong *gelindingan*

*Harry di sini dibilang Draco punya bibir yang tertekuk (cemberut) – ini properti supaya bitter!Harry semakin kerasa. o.O tentunya mulut Harry yang cemberut ini ga dideskrip dari awal karena kita selalu pake POV Harry, da?

yaaaay end juga! multichapter kedua yang berhasil hana kelarin :D makasih atas support-nya! tanpa kalian, mana mau hana ngelanjutin ini fic... ._. oya, hana dengerin Give Me Love-nya Ed Sheeran terus loh pas typed ini. suaranya Eds tuh emang kece badai cetar membahana halilintar deh (?) nah, review-nya ditunggu yaaa :')

NOTE SEDIH:: Maafkan kengaretannya dan seluruh typo di atas. Maafkan ending-nya yang bener-bener maksa dan ancur, pembacaaaaa! di flesdis hana, ini fic sempet ilang karena virus, dan hana jadi lupa gimana endingnya! awalnya tuh setelah ending bakal ada epilog tepat di bawah tulisan 'the end', cuma hana lupa jalan ceritanya karena kerangkanya juga udah diilangin sama virus T^T hana bener2 minta maaf banget atas ketidakpertanggungjawaban hana. maaf banget. buat yang ga seneng, kalau bersedia, silakan adopsi fic ini dan lanjutkan sesuai keinginan kalian. hana seneng ko kalo ada yang mau adopsi, tinggal bilang aja :')

Dan untuk permintaan maaf hana, hana nge-publish fic yang judulnya Heart Attack. oneshot, jadi kalian gaperlu nunggu update lagi...

Sekali lagi, BIG THANKS for every one of you! You're very important to me! Hana doain kalian dapet pahala banyak atas dukungan yang kalian kasih ke hana ^^ *lap ingus*

finished: 08th of April, 2013.
Peyukcium,

-Hana.