Le Banc
(english form: the bench)
a dlm/hjp threeshot fanfiction
by- HanariaBlack
Sang pebisnis muda jatuh cinta dengan seorang pelajar remaja yang ditemuinya di sebuah bangku di dekat danau. Entah kenapa mereka terus bertemu, duduk berdua, bertukar rahasia... hingga pada suatu hari...
[:::]
Tempat itu di dekat sebuah danau tua yang katanya angker, dikelilingi pohon-pohon berdaun lebat, dengan bangku taman yang sering kutempati hanya untuk menghirup napas dalam-dalam dan simply menyandar dan menikmati udara sejuk yang mengayun helaian rambutku.
Dan hari ini, di bulan Desember yang dinginnya cukup menusuk biarpun aku memakai selapis jaket tebal, aku mendatangi tempat itu. Ransel berisi buku-buku masih kupanggul, seragam mengintip dari di balik jaketku, sneakers putih yang telah menguning masih melekat di kakiku sejak pagi aku berangkat sekolah.
Aku selalu menyukai ketenangan. Makanya aku cinta tempat khusus di dekat danau itu... dengan air danaunya yang biru dan tenang, cicitan burung di dahan pepohonan, dan lokasinya yang terasing dari jalan raya penuh kendaraan.
Kabar burung yang mengatakan tempat ini angker, menurutku, hanya omong kosong—buktinya, aku tidak pernah melihat satu pun sosok mencurigakan di tempat favoritku itu.
Aku menghela napas lega melihat bangku langgananku kosong tanpa seorang pun duduk di atasnya, dan aku dengan tidak sabarannya menghampiri bangku itu. Setelah duduk, aku menjatuhkan ransel di sebelahku. Aku menyandar, dan mendongak menatap langit yang menggelap dengan titik-titik putih salju.
Indah—aku menutup mataku.
Aku merasa perasaan damai menyelubungi kelima indraku, membuang kejenuhanku, dan menggantinya dengan kenyamanan yang nyaris membuatku terlelap.
Betapa cintanya aku pada tempat ini.
Rasanya baru sepuluh menit aku mematung dengan posisi nyaman ini, sampai sebuah suara yang asing, rendah, dan membuatku mengerutkan dahi, menggangguku.
"Hey."
Aku membuka mata.
Ada seorang pemuda yang tengah menunduk menatapku dari posisinya yang berdiri di belakangku. Menghalangi pandanganku, menghalangi langit yang harusnya memandangku balik... dengan rambut pirang pucat di sekitar wajahnya karena gravitasi.
Aku mengangkat tangan, tadinya ingin mendorong wajahnya ke samping, tapi malah berakhir menampar pipinya yang cekung.
Aku menatapnya polos ketika mata kelabu itu melebar terkejut.
.o.o.o.
[I have no rights to claim Harry Potter. J.K. Rowling does. I'm only making fanfics, not making money, nor plagiating.]
AU | AR | Draco/Harry | OOC | businessman!Draco (22), student!Harry (18)
characters: Harry, Draco, Snape, Aunt Marge
"The best and most beautiful things in the world cannot be seen or even touched – they must be felt with the heart."
—Hellen Keller
e n j o y !
.o.o.o.
-o. bagian pertama dari tiga bagian cerita .o-
– "AWAL" –
"Kau menamparku," kata pemuda itu, menegakkan tubuhnya, dan menatapku tak percaya. Tidak ada gerakan seperti mengelus pipinya yang mulai memerah, anehnya.
Aku hening sejenak, "Tentu saja ditampar," kataku, masih tanpa dosa. "Kata siapa dibakar?"
Si pemuda ikutan hening sebelum bicara. Ah, dasar, plagiat amat. "Kau bisa membalas sapaanku, orang tanpa etika."
Kali ini, aku tidak hening dulu. "Kau bisa menyapaku dari samping, kalau kau sebegitu inginnya menyapaku."
"Sebetulnya, aku ingin mengagetkanmu, bukan menyapamu," kata si pemuda.
Aku menaikkan sebelah alis, "Ih, aneh. Kau yang bilang ingin menyapaku."
Si pemuda itu memutar mata, lalu mengambil posisi tempat duduk di sebelahku dengan melompati sandaran bangku, seperti anak-anak yang masuk komuniti Parkour, lalu menopang lengannya pada sandaran bangku. "Lupakan yang tadi," kata pemuda itu, mata kelabunya terlalu jarang menampakkan emosi, membuatku agak bingung dia itu sedang bercanda atau serius. "Siapa namamu?"
"Untuk apa menanyakan nama?" aku bertanya balik. "Mau melet ya? Sorry, di sekitar sini gak ada dukun."
"Seperti ada orang yang berniat memeletmu, anak muda."
"Buktinya itu kau—menanyakan namaku," balasku dengan nada menuduh.
"Oke. Bicara denganmu membuatku sakit kepala. Namaku Malfoy," pemuda itu menawarkan jabat tangan dari tangannya yang terangkat di udara. Jemarinya panjang dan spidery. "Umurku 22. Jangan tanya pekerjaan, aku masih pemula."
Oh, Malfoy terlihat lima tahun lebih tua dari umurnya yang sesungguhnya... mungkin karena rambutnya yang platina itu sepeti uban? Atau bihun seperti masakan si Dani orang Indonesia itu ya? "Kau muka tua, ya," kataku keceplosan. "Aku Harry. 18 tahun. Masih sekolah."
"Sekolah?" Malfoy bertanya.
Aku mengangguk, "Waliku telat mendaftarkanku sekolah." waliku, Sirius Black, yang telah meninggal ketika umurku masih 15, dan teman Sirius, Remus, yang meninggal tahun lalu karena penyakitnya.
Malfoy memandangiku, lalu memerhatikan ritsleting jaketku yang tidak kutarik sampai atas—seragamku terlihat jelas dari celah ini. "Berarti kau tua, ya."
Aku memeletkan lidah, "Jangan membalikkan ucapan. Setidaknya, aku tidak kelihatan sepuluh tahun lebih tua dari umur sebenarnya sepertimu," aku melipat gandakan umurnya yang tadinya lima tahun di otakku.
"Kenapa walimu bisa telat mendaftarkanmu?" tanya Malfoy, seolah ingin mengganti topik pembicaraan. Aku bertaruh dia sendiri merasa seperti sudah kolot, tapi selalu menyangkalnya. Coba aku bawa kaca si narsis Pansy yang sebesar papan tulis.
Aku berpikir sebentar. Aku tidak biasa membongkar privasiku pada orang lain. Tapi, Malfoy adalah orang asing yang pasti nanti akan kulupakan namanya, dan dia akan melupakan aku; makanya aku menceritakan semuanya. "Aku didaftarkan dua hari setelah deadline karena kami baru datang dari Prancis. Itu sekolah yang paling akhir deadline-nya, dan waliku malas mencari sekolahan yang jauh dari rumah kami... makanya waliku membawaku kembali ke Prancis, dan aku menghabiskan waktu setahun di sana."
Malfoy melongo. Itu ekspresi yang sangat berharga, dan seandainya ku-post di tumblr, pasti banyak yang reblog... "Kau... meng-skip waktu sekolah selama... setahun penuh?"
"Iya," aku menahan tawa dengan cara memasang ekspresi stoik sedatar aspal. "Toh, pelajarannya pasti cuma dasar. Yasudah, aku diajari privat oleh sahabat waliku yang sangat baik dan pengertian. Dan setelah meng-skip setahun, aku didaftarkan ke Sekolah Berasrama Hogwarts."
"..." Malfoy menatapku dalam diam berkepanjangan. Bagiku, ekspresinya seperti seorang imbisil yang kesusahan mencerna informasi yang diberikan. Eh, bercanda. Aku tidak akan tega mengatakan dia imbisil—orang yang ada di bawah idiot.
Aku sudah akan berpikir untuk mengusirnya kalau dia memutuskan untuk mematung seperti idiot begitu, ketika ia membuang muka, membuatku berhadapan dengan sisi wajahnya, dan ia bilang,
"Kau kelihatan tidak bodoh."
Aku bingung mendengarnya, "Tentu saja, 'kan masuk sekolah buat nyari ilmu, bukan buat ngedukun," aku bicara dengan asal.
"Bukan. Maksudku... kau..." dia masih tidak mau menatapku (mungkin malu karena dia jarang bertemu orang yang sepintar aku). "Lupakan."
Aku nyaris memasang ekspresi yang menggambarkan 'what the fffffuuuu-?', tapi tidak jadi.
"Apa, sih," aku akhirnya memutuskan untuk bersuara. "Bicara yang benar, dong. Pakai otakmu," aku meng-quote ucapan guru Biologiku yang hobi ceramah dan mengingatkan kami akan sopan santun yang teramat kolot.
"Kau bicara pada orang yang lebih tua, bocah. Mind your respect," Malfoy menatapku tajam. "Kalau kau budak, kupotong lidahmu."
"Kejamnya," aku memutar mata. Kolot banget si Malfoy itu. Tiba-tiba mengancam, lagi. "Berlebihan amat, sih."
"Ucapanmu yang keterlaluan," Malfoy bicara seakan-akan aku harus memperlakukan dia sebagai bosku, master, dan segalanya yang tinggi-tinggi di atasku.
"Kalau aku punya budak, aku tidak akan tega memotong lidahnya," aku membalas ucapannya. Aku mulai tidak suka berduaan dengannya di tempat damai ini. "Budak juga manusia, tahu."
Aku melihat Malfoy speechless. Apa orang ini terbiasa manja dan orang di sekelilingnya tidak pernah ada yang berdebat dengannya? Seriously, fisiknya yang super tua itu tidak tercermin ke dalam dirinya.
Aku berhenti memandangnya, dan mendengus kasar. Aku bangkit, dan menarik ranselku untuk kembali kujinjing.
"Hey!" suara Malfoy menghentikan langkah keempatku di atas rerumputan yang menjauh dari bangku favoritku. "Mau ke mana kau?"
Aku menghela sebelum berbalik menatapnya, dan aku menjulurkan lidah ke arahnya sesaat, "Pulang."
"Ke mana?"
Aku berbalik, dan tidak mengucapkan selamat tinggal. Aku pulang ke rumah lah, masa ke pub? "M. Y. O. B!" kataku, setengah berteriak. Bodo amat dia mau dengar atau tidak. Aku paling malas bicara dengan orang yang tidak berperikemanusiaan seperti Malfoy. Dia tega memotong lidah seorang budak? Menjijikkan.
Selama perjalanan, aku cemberut. Sesampai di rumah, aku merebahkan diri di atas kasur single-ku tanpa mengganti seragam, sunyi tanpa orang lain selain aku—karena bibi Marge masih on vacation di Portugal, dan berpikir.
Besok mau ke bangku itu lagi tidak, ya?
o
o
o
Hari ini aku ribut dengan sepupuku di ruang loker sekolah. Aku dipukulnya, dan aku balas menendang perutnya. Dia menonjok daguku, dan aku membalas dengan menendang tulang hidungnya. Aksi adu jotos (kecuali aku yang lebih suka menendang) itu dimulai karena pacar sepupuku mencium pipiku atas ucapan terima kasih untuk menjaga sebuah rahasia. Sepupuku melihat perlakuan pacarnya terhadapku, dan langsung cemburu berat. Ya elah, cuma ciuman di pipi atas ucapan terima kasih saja pakai acara menjotosku? Haha ironi, dunia ini begitu lebay. Pada akhirnya, kami digiring masuk ruang Konseling, dan aku menerima pengurangan nilai besar-besaran di bidang Kewarganegaraan dan penurunan dari B ke D di buku catatan penilaian sikapku. Entah sepupuku itu dapat hukuman apa.
Aku berjalan dengan langkah berantakan, kakiku bergetar menahan sakit karena sepupuku berhasil menginjak tulang keringku ketika aku terpaksa tebaring di lantai koridor sekolah akibat tinjuannya yang mengenai keningku. Aku malas pulang ke rumah—bibi Marge suka meneleponku untuk beres-beres rumah, kalau aku tidak menerima teleponnya, aku bebas dari perintahnya 'kan? Haha—dan aku berakhir berjalan tanpa arah dengan seragam lecek yang tidak terlalu tertutupi dengan jaket yang ritsletingnya hanya menutupi sampai perutku, ransel, dan muka lebam-lebam yang tidak sepenuhnya tertutupi perban.
Aku merasa pipi yang habis kena bogem mentah sepupuku nyut-nyutan, dan seharusnya tadi aku mengompresnya dengan bongkahan es batu; sesuai saran perawat UKS. Ah, biarlah, nanti juga sakitnya hilang sendiri...
"Harry?"
Aku terus jalan, ada ratusan orang bernama Harry di dunia ini... oh, lihat, di sana ada tumbuhan mawar yang belum membeku...
"Hey, Harry!"
Aku baru menyadari bahwa panggilan Harry itu untukku ketika suara yang tidak terlalu asing makin keras terdengar, hingga akhirnya sebuah tepukan mendarat di bahuku.
Aku menoleh, dan Malfoy yang kemarin kutemui di bangku menatapku seolah kaget bisa bertemu denganku.
"Oh, kau," aku menguap, tidak menutup mulutku. Biarkan Malfoy menilaiku sebagai penduduk yang tidak beradab, dia sendiri tidak keberatan memangkas lidah seorang manusia. "Siang," ini masih jam satu siang 'kan? "Om," tambahku.
"Jangan memanggilku Om," Malfoy mengernyitkan keningnya. "Kesannya, aku mau mengajakmu bermalam dengan intim di suatu hotel."
Aku kalem mendengarnya. Sudah terlalu banyak bullying yang kuhadapi sejak kecil. "Tenang, aku bukan prostitusi," kataku, kembali berjalan, dan Malfoy tetap berada di sampingku. Aku meliriknya, "Buat apa mengikutiku?"
"Aku tidak mengikutimu. Aku berjalan bersamamu."
Aku kembali menatap lurus ke depan jalanan yang membentang di hadapanku. Inilah saatnya aku menyindirnya, "Kukira kau sedang memotong lidah seseorang."
Hening. Aku tidak merasa bersalah telah mengungkit hal yang sudah lewat. Aku tidak merasa bersalah telah membuatnya sulit berkata-kata. Aku tidak merasa bersalah ketika aku selesai bicara, atmosfir di antara kami jadi tegang dan menebal.
Masih tidak ada sepatah kata yang menyelip di antara aku dan Malfoy.
Aku terus berjalan, Malfoy melangkah bersamaku, langkahnya lebih lebar tapi lebih lambat, dan aku tidak merasa ingin berhenti. Selain duduk santai di spot favoritku, berjalan di jalanan lengang adalah hal yang cukup kusukai.
"Harry," Malfoy tiba-tiba bersuara setelah puluhan menit kami hanya berjalan kaki, membuyarkan perasaan aman dan rileks yang sedang kunikmati. "Kenapa wajahmu luka-luka?"
Aku mengangkat bahu, dan nyeri langsung menyerang bahuku. Aku berdesis, dan menurunkan bahuku secara perlahan. Melawan sepupu yang ukurannya tiga kali lipat dibandingmu, bercita-cita jadi petinju, dan kejam, adalah peristiwa yang cukup berat. Kalau tidak percaya, cari sepupu atau temanmu yang bertubuh tambun selebar daun pintu, dan sapa mereka dengan bogem matang. Dijamin kau akan segera babak belur. Sepertiku.
"Kita butuh tempat duduk," kata Malfoy tiba-tiba, dengan nada memerintah.
Aku menolehkan kepalaku, sedikit mendongak untuk menatapnya dengan pandangan cuek, "Kau bukan ibuku," kataku.
"Aku memang bukan ibumu," balas Malfoy, berhenti melangkah, dan menarik lenganku (yang untungnya tidak terluka) untuk ikut berhenti. "Tapi, kita butuh tempat duduk. Untuk bicara."
Aku berdecak, "Untuk apa? Kalau memang mau bicara, ya bicara sekarang. Kau bicara pakai mulut, memang apa pengaruhnya dengan duduk di bangku?"
Malfoy melirikku tajam, mata kelabunya berkilat. Excuse me, tapi aku tidak akan takut pada pemandangan semacam itu. Wajah Bibi Marge bisa lebih ganas dan angker. Malfoy kembali menghadap ke depan, "Kita ke bangku itu," Malfoy menunjuk sebuah bangku yang entah kenapa terlihat sangat—wait, bukankah itu bangku kesayanganku!
"Kok bisa mendadak di sini?" aku lepas kontrol untuk bertanya. Aku sangat penasaran.
Malfoy melempar pandangan yang mempermalukan aku, "Jalan pintas, sweetheart."
Aku membeku sejenak mendengar panggilannya. Aku memberi Malfoy pandangan marah, "Jangan memanggilku begitu," aku memperingati. Hanya ibuku yang memanggilku begitu. Ibuku yang telah meninggal sejak aku berumur sebelas, yang membuat ayahku depresi beat hingga sakit jiwa, dan mengirimku ke saudara ibu. Tadinya aku dikirim ke residen Dursley, tapi Paman Vernon mengirimku pada Bibi Marge. Untuk jadi 'pembersih rumah gratis', katanya.
"Apa, sweetheart?" ada nada jahil di suaranya yang kentara.
Aku mengangkat tinjuku, "Akan kubuat wajahmu lebam lebih parah dariku, Malfoy."
"Ngomong-ngomong lebam, apakah kau terpeleset kulit pisang dan terjatuh menabrak aspal?"
Aku tidak langsung membalas ucapan Malfoy. Aku menahan lidahku untuk tidak berdesis hingga aku bersandar pada bangku yang ditunjuk Malfoy. Setelahnya, aku mendongak memandangi langit dengan ekspresi yang pasti kelihatan dungu, dan tidak menjawab pertanyaan Malfoy. Rahangku terasa makin sakit sebanyak ucapan yang kusuarakan... kenapa, ya? Padahal tadi aku merasa bicara itu mudah-mudah saja.
"Harry?" Malfoy memanggilku, setelah jeda penuh keheningan menyelimuti kami.
Aku hanya menoleh dengan pandangan bertanya.
"Jawab pertanyaanku," tuntutnya.
Aku kembali mendongak memandang langit. "'Antem," jawabku singkat.
"Dengan?"
Kepo banget. Aku sempat ingin pulang saja ke rumah, tapi katanya lebih baik mengeluarkan uneg-uneg dibanding memendamnya sendiri... ditambah Malfoy hanyalah kenalan asing, aku yakin dia tidak akan membocorkan rahasiaku pada orang lain. Aku tidak tahu kenapa aku bilang begitu, mukanya tampak meyakinkan, sih.
"Dudley," itu nama sepupuku yang terlarang. "Dia sepupuku. Dia tukang bully. Dia preman sekolah yang paling ditakuti..."
Malfoy menatapku. Aku bisa merasakannya dari kulit di sisi wajahku yang menerima ujung tatapannya. "Dan dia memukulimu?" Malfoy menambahkan.
Aku menolehkan kepalaku, menghadap Malfoy, tapi pandanganku tak lepas dari langit biru kala itu. "Kalau kau melihat semua ini," aku mengangkat daguku, memamerkan lebam yang tidak diperban karena aku cukup merasa perban di pipi dan hidungku sudah terlalu banyak. "Kau sudah tahu jawabannya, berarti."
"Kau punya konflik dengan sepupumu?" Malfoy berkata seolah-olah hubungan buruk aku dengan Dudley ini sangat impossible.
"Yep."
"Kenapa?"
Aku mengerutkan kening, "Ad—"
Ucapanku terhenti karena aku merasa sentuhan yang begitu asing di daguku, dan mataku langsung teralih dari biru ke abu-abu.
Aku kesulitan melanjutkan kata-kataku. Kaget, bingung, dan terkejut. Eh, kaget dan terkejut sama, deh.
Memandang Malfoy dari posisi sedekat ini tidak pernah kulakukan—tentunya, karena kami baru bertemu kemarin dan dia adalah orang asing yang tak tercetak sejarahnya di kehidupanku. Aku bisa mengamati alisnya yang biarpun sepucat rambutnya, memiliki garis-garis hitam, warna matanya yang ternyata kebiruan, atau bagaimana pandangannya yang tajam seakan meneliti setiap inci gerakan bola mataku.
Rasa kagetku menyusut, dan aku mendapati tanganku yang menjauhkan sentuhannya dengan tamparan ringan. Aku sadar tadi pikiranku sangat mendramatisir dan nyaris lebay, tapi, itulah bentuk sebenarnya dari perasaanku yang dituang menjadi huruf.
"A—" aku berdeham karena suaraku serak. "Aku akan memberitahumu kenapa aku ribut dengan sepupuku," aku menjelaskan topik yang sempat tertunda. "Dia cemburu karena pacarnya mencium pipiku sebagai bentuk terima kasih."
"Mencium pipimu?" Malfoy kedengaran heran. Aku lebih heran—kenapa orang itu malah membahas perihal ciuman terima kasihnya dibanding mengomentari kelebayan Dudley?
Aku mendengus, "Kalau pacarnya menempelengku, aku tidak akan bilang aku ribut dengan sepupuku."
"Pacarnya perempuan atau laki-laki?"
"Transgender," jawabku.
"Pardon?" Malfoy menatapku dengan alis terangkat sebelah.
"Aku tidak bohong," aku mulai menjelaskan kenapa pacar Dudley bisa seorang transgender... biarpun daguku mulai sakit lagi, aku ingin Malfoy tahu bahwa dunia ini bukan hanya hitam dan putih saja. "Tadinya dia bernama Adrian. Adrian dulu itu seorang pecundang, tidak pernah bisa olahraga, dan kutu buku sejati. Dia tinggal hanya bersama ibu dan tiga kakak perempuan, karena ayahnya kabur. Um, kudengar dia benci bangsa lelaki—biarpun Adrian pun lelaki—karena ayahnya kabur, dan ibu dan kakak-kakak perempuannya juga jadi benci ayahnya—Adrian memilih mengubah kelaminnya. Selama setahun Adrian mengambil cuti, dan saat ia kembali, namanya jadi Ariana."
Malfoy tampak berada di dasar pikirannya, lalu mengangguk perlahan. "Kenapa sepupumu ini bisa punya perasaan khusus pada Adri—maksudku, Ariana?"
"Itu masih rahasia," aku kembali mendongak menghadap langit. Awan putih kuperhatikan dengan seksama. Perlahan, mereka bergerak. Aku suka melihatnya, entah kenapa. "Aku juga kadang bingung kenapa Ariana tidak berada di tahun di bawahku... dia 'kan tidak sekolah selama setahun."
"Begitu," Malfoy berkata. "Bagaimana dengan Dudley? Apa dia telat daftar sekolah juga?"
Aku menggeleng, "Dia tidak lulus," kataku singkat. "Kebanyakan masalah dengan nilai dan sering tidak hadir."
"Hm," Malfoy menopang dagunya di atas telapak tangan yang bertumpu dengan lutut. "Apa Ad—Ariana membayar sekolah agar dia tetap berada di tahun yang sama biarpun dia cuti setahun?"
"Mungkin," aku menyuarakan opiniku dengan suara pelan. Aku tidak terlalu mengenal Ariana, tapi aku tahu dia orang yang baik dan tidak pendendam...
"Luka di wajahmu terlihat menyakitkan," komentar Malfoy, setelah kami membiarkan kesunyian merayap.
Aku meliriknya sekilas, "Lumayan. Tapi, sakitnya bakal hilang sendiri. Time will heal."
"Kau menyiksa dirimu sendiri, kalau begitu?"
Toh, tidak ada orang yang mau peduli dengan apa yang kurasakan. "Bodo amat."
"Apa kau masokis?"
Aku memutar mata, "Aku bukan orang yang suka menyakiti diri sendiri, Malfoy."
Hening. "Mau kuantar kau ke rumah sakit?"
Tubuhku membeku. Kapan terakhir kali ada yang berniat membawaku ke rumah sakit untuk—? "Oh, tidak perlu," aku buru-buru menolak. "Trims untuk tawarannya."
"Kalau kau mengkhawatirkan uang, aku punya banyak uang."
Itu perkataan yang sombong sekali. Tapi, tidak kedengaran sombong karena Malfoy seolah membujuknya untuk pergi ke rumah sakit. Harry tertawa pahit. "Nope. Tidak ada yang ke rumah sakit karena lebam-lebam, Malfoy. That'll be too much."
"Tapi kau terlihat buruk—"
"Kalau aku bilang tidak, ya berarti tidak," aku merasa marah. Entah kenapa. Aku bangkit dari bangkuku, dari posisi favoritku, lalu memanggul ransel. "Aku mau pulang," gumamku, seraya menjauh dengan langkah agak lambat karena aku merasa tidak bertenaga.
"Aku tidak yakin lebam-lebam di wajahmu akan—"
"Aku tidak peduli. M. Y. O. B," aku mengulang singkatan yang sama. MYOB—Mind Your Own Business.
Aku sampai ke rumah tanpa sekali pun menoleh ke belakang.
Mungkin seharusnya aku tidak perlu kembali ke bangku favoritku itu lagi.
o
o
o
Aku merasa lebih tertekan tanpa bangku favoritku.
Karena aku tidak tahu tempat apa lagi yang lebih nyaman dari bangku favoritku, aku langsung pulang ke rumah tanpa pergi ke mana-mana. Kadang telepon berdering, dan aku tidak mengangkatnya. Kadang aku ingin keluar rumah untuk relaksasi di bangku favoritku, tapi aku sendiri menolak ide indah itu...
Aku sudah lima hari tidak duduk di bangku favoritku, dan aku berguling di kasurku sambil menghela napas berat. Apa aku sudah mulai merasa ketergantungan pada bangku itu? Bangkunya enak, sih. Nyaman... suasana yang tenang... udara sejuk, ditambah sedang musim dingin, aku tidak bakal berkeringat...
Aku jadi ingin pergi ke bangku favoritku.
Tapi, aku malas bertemu dengan si businessman level pemula itu—Malfoy. Aku takut dia akan menawarkan hal yang lebih aneh lagi selain mengantarku ke rumah sakit. Aku takut dia tidak akan melupakanku, seberapa asing aku di matanya. Banyak rahasia yang terbongkar karena aku menceritakan semuanya, dan aku merasa... apa ya? Aneh. Aku tidak pernah membuka satu rahasia pun pada seseorang. Apalagi pada kerabatku.
Tetapi, menceritakan semua hal pada Malfoy itu membuatku lebih nyaman. Lega. Seolah dunia terasa lebih luas untukku, dan sedikit lebih menyenangkan. Aku ingin terus mengeluarkan apa pendapatku. Aku ingin bicara banyak tentang uneg-unegku. Aku ingin mengeluarkan semuanya...
Tapi...
Aku meremas rambutku yang makin berantakan karena berguling makin intens di atas kasur. Ini konflik batin tingkat dewa...
Setelah beberapa saat aku berargumen dengan batin, aku akhirnya membuat keputusan.
Aku akan pergi ke tempat favoritku, ke bangku tercinta, dan tidak mengharapkan kedatangan Malfoy. Hari sudah petang, jadi, kemungkinan besar, aku tidak akan bertemu dengan Malfoy.
/
Dugaanku salah.
Ketika aku sampai di bangku favoritku, Malfoy sudah duduk di sana mendahuluiku. Aku sudah akan mengagetkannya dengan teriakanku, tapi aku melihatnya sedang memejamkan mata.
Tidur.
"Malfoy?" aku bersuara tidak percaya. Pebisnis muda, tertidur di tempat umum, dengan damainya. Apa dia tidak sadar bahwa tidur di sini merupakan sebuah umpan bagi pencuri atau penodong? Bego amat ya, ternyata, si Malfoy ini.
"Malfoy!" aku mengeraskan suaraku untuk membangunkannya. "Bangun! Kau tidur di tempat umum, woy!"
Tidak ada balasan dari Malfoy yang masih bermimpi di alam sana.
Aku berdecak. Diteriakin masih tidak bangun? Sungguh perlakuan yang menunjukkan bahwa Malfoy adalah orang bertipe kebo kalau lagi tidur.
Aku memikirkan trik apa yang bisa membangunkan Malfoy. Aku tidak mau membangunkannya dengan cara mengguncang tubuhnya—itu bukan caraku, aku tidak pernah menyentuh seseorang kecuali saat sedang olahraga dan guru yang memintaku. Atau saat aku meninju seseorang... intinya, kontak fisik bukan hal yang cocok bagiku.
Setelah beberapa saat aku berpikir, aku menemukan sebuah ide pada akhirnya.
"Malfoy!" aku berteriak di telinganya, "Pacarmu bilang pengen jadi lesbian!"
Aku pikir trik yang ini juga tidak berhasil, sebelum pria di depanku itu menegakkan tubuh mendadak sambil melotot, pupilnya memerah dan memancarkan rasa kaget yang baru pertama kali kulihat dari orang minim ekspresi semacam Malfoy.
"Harry pengen jadi lesbian?"
Aku mendengar suara Malfoy yang berbisik karena aku berada cukup dekat dengannya—dan aku membeku.
'Pacarmu' yang kusebut tadi jadi... 'Harry' di mulutnya?
Malfoy mengejap-ngerjapkan matanya dengan perlahan—tidak ada lucu-lucunya atau unyu, karena ia mengejapkan mata dengan alis menukik ke bawah—lalu menatap ke arahku seolah heran kenapa aku ada bersamanya.
"Harry?"
Itu nama sama yang ia sebut saat ia pertama kali sadar dari mimpinya.
"Yep, aku Harry," aku mengkonfirmasi, setelah bisa mengenyampingkan perasaan bingung sebelumnya. "Untuk apa kau tidur di sini, Malfoy? Kau tahu 'kan ini bukan kamar pribadimu."
Malfoy tidak langsung menjawab. Matanya malah turun dari ujung kepala sampai ujung sneakers budug milikku, lalu berkata, "Kau... tidak berseragam?"
"Yep," aku mengangguk dan bicara perlahan seolah Malfoy adalah anak kecil yang baru mengerti alfabet. "Ini tee shirt," aku menunjuk t-shirt berbahan katun hijau pudarku, "Ini jeans," aku menunjuk jeans hitam usang yang melekat di kedua kakiku, "Dan ini sneakers-ku. Berhubung aku tidak punya sandal atau sepatu lain, kemana pun aku pergi, aku selalu menginjak alas kaki yang sama," aku menendang-nendang udara sambil menunjukkan sneakers putih yang telah menguning.
Malfoy terdiam, matanya dingin, "Kau tidak perlu memberitahuku serinci itu," komentarnya tajam.
Aku menjulurkan lidah tidak peduli, "Kau terlihat seperti sedang lambat berpikir, sih."
Malfoy memandangiku, lama. Mungkin otaknya lagi lelet, "Apa ada hal buruk menimpamu yang menyebabkan kau tidak bisa ke sini?"
"Oh," aku duduk di sebelah Malfoy, tapi tidak terlalu dekat. "Um. Apa maksudmu? Kau merindukanku?"
"Aku akan menjawabnya kalau kau sudah menjawab pertanyaanku."
Aku memberikan tatapan tajam, "Aku tidak tahu," aku menjawabnya. Aku berusaha mencari jawaban yang lebih logis, tapi jawaban inilah yang paling logis untukku. "Aku hanya sedang tidak ingin ke sini."
"Jujur?"
Aku menunjuk pelipisku, "Aku tidak membohongi apa yang melintas di pikiranku."
Malfoy memasang ekspresi berpikir keras, "Hmm," Malfoy menopang dagunya yang menoleh ke arahku dengan tangan yang bersandar di sandaran bangku. "Sesuatu pasti ada sebabnya."
"Kau masih menganggapku berbohong? Fine, belah kepalaku dan periksa kebenarannya di sel-sel otakku," aku menggerutu. Aku memang jujur, cuma ucapan itu saja yang berhasil diproses otakku!
"Maaf," kata Malfoy.
"Whatever," aku teringat momen sebelumnya. "Oh iya! Kau bilang kau akan menjawab pertanyaanku yang sebelumnya. Ayo, jawab. Jangan pura-pura amnesia."
"Kau tidak perlu menyerocos begitu," Malfoy menggumam, lalu menatapku dalam-dalam. Aku tidak tahu apa maksudnya menatapku begitu. "Mau jawaban jujur atau bohong?"
"Kejujuran harus dibalas dengan kejujuran," aku sok berkata mutiara.
"Oke," kata Malfoy, dan pria itu terdiam cukup lama, matanya terarah pada danau yang mulai membeku. Kalau ditanya kenapa aku selalu mendongak menatap langit, karena aku kurang menyukai air. "Um," jeda lagi. "Aku merindukanmu."
Aku mengerutkan kening, perasaan aneh meraupku, indera perasaku terasa asing. "Merindukanku?" Malfoy pasti bercanda... tapi, mukanya serius dan datar seperti biasa! Goddamnit. Ini pertama kalinya ada seseorang merindukanku... mengatakannya dengan gamblang, pula! "Merindukanku?" aku mengulang, kata-kata itu terlalu mustahil untuk jadi kenyataan.
Malfoy memandangku. Aku membalas pandangannya dalam diam sama lamanya. Aku tahu dia sedang meng-judge responsku. Akhirnya, aku tahu alasan di balik cara memandang Malfoy yang lama, panjang, dan tidak berekspresi itu apa.
Malfoy masih memandangku, "Aku merindukanmu," ia mengulang, segamblang sebelumnya.
Aku harus menolehkan kepalaku ke arah lain. Aku mendongak untuk menatap langit, bukan Malfoy. "K-kenapa?" suaraku dipenuhi tanda tanya dan keheranan. "Kenapa merindukanku?" bagian apa dari diriku yang kau rindukan?—aku ingin bertanya begitu, tapi... itu terlalu berat di lidahku untuk dikeluarkan.
Hening.
Hening.
Lama sekali hening, sampai kupikir ini waktu yang tepat untuk kabur dan pulang ke rumah.
"Listen," Malfoy tiba-tiba berkata, memutuskan kontak mataku dengan langit yang bersemburat oranye, dan aku kembali tenggelam di samudra keperakan yang berupa bundaran iris matanya. "I will not repeat this twice."
Aku mengangguk pelan.
"Aku merindukanmu karena... kaulah orang pertama yang mau membagi rahasia pribadimu kepadaku. Kaulah orang pertama yang menentang perkataanku. Kaulah orang satu-satunya yang bertahan bicara empat mata denganku, di tempat yang sama, dan terlebih—denganku. Orang sepertiku," Malfoy memulai, dan tenggorokanku kering—padahal dia yang bicara, bukan aku. "Aku dikenal sebagai orang paling menyebalkan, egois, dan licik sedunia. Aku tidak pernah punya teman yang bertahan lama sampai umurku dua-puluhan begini. Mereka bilang aku bukan teman yang baik—mereka bilang aku pantas lapuk dirayapi kesepian. Aku sangat egois, sampai mereka tidak bisa tahan berteman denganku," helaan napas, "Aku orang yang begitu buruk, dan kau tetap bersedia bicara denganku. Di bangku ini."
Hanya kebisuan yang mampu kuutarakan.
"Kupikir aku akan membenci tipe orang sepertimu," kini, Malfoy yang mendongakkan kepalanya. Aku masih mendengarkannya dengan hening. "Cuek, bicara seenaknya, berantakan," mata kelabunya melirikku sekilas, jeda sesaat, "Otak rebel," ia menekankan satu kata itu, "Dan sangat bebas."
Aku terus diam. Aku tahu dia belum selesai.
"Tapi, nyatanya," Malfoy memulai lagi. "Di hari-hari yang lalu, saat aku kembali mencari relaksasi di sini, aku merasa ada sesuatu yang hilang," jeda. "Itu kau. Kau tidak duduk bersamaku, dan aku merasa ada yang kurang. Aku pikir aku gila mengharapkan orang asing yang bahkan baru akhir-akhir ini kutemui—terlebih, masih remaja—tapi aku tidak bisa menyangkal bahwa itulah kenyataannya," Malfoy mengakhiri pernyataannya dengan kalimat awalnya, "Aku merindukanmu."
Aku masih merasa tidak familier dengan penyataan rindu itu, dan aku merasa semakin aneh kalau yang mengatakannya itu om-om berseragam pebisnis yang baru kutemui kemarin sore... tapi...
Aku merasa nyaman. Selain aneh, aku merasa aku ingin terus berada di posisi ini, di tempat ini. Bersama Malfoy. Maksudnya, duduk di sebelahnya, bukan tunangan atau kawin...
"Apa perkataanku mengagetkanmu?" tanya Malfoy.
Aku tersadar dan cepat-cepat membalas, "Tidak juga," kataku. "Cuma, sedikit ajaib untuk mengetahui sisi fluffy-mu itu. Kau yang mukanya dingin, datar, pelit emosi... mendadak ngomong panjang lebar dan penuh kejujuran," aku tertawa renyah. "Seakan aku tengah bicara dengan orang yang berbeda."
Malfoy memberiku tatapan yang lebih datar lagi, "Well. Aku tarik ucapanku yang merindukanmu dan mulut ceplas-ceplosmu itu."
Aku nyengir, "Tanpa ditarik pun, aku sudah menolak mentah-mentah ucapan sok fluffy-mu itu."
"Aku tidak—fluffy," gerutu Malfoy, jeda panjang lalu ekspresinya jijik, sebelum menyebut kata 'fluffy'.
"Yes, you are," aku mengangguk-angguk, lalu terdiam. "Um, Malfoy?"
Malfoy melirikku, "Apa?" tanyanya dengan nada curiga, seolah-olah aku akan menanyakan hal yang sangat idiot.
"Kenapa kau bisa ketiduran tadi?" tanyaku pelan.
"Oh," Malfoy memalingkan wajahnya, kentara sekali malunya karena tertangkap basah ketiduran di bangku taman, "Kelelahan. Atasanku menggila dan memberiku tumpukan paperwork yang menggunung untuk diselesaikan."
Aku turut prihatin. "Kasihan sekali kau," komentarku.
"Terima kasih atas simpatimu," gumam Malfoy, lalu menatapku lagi. "Kau tidak pulang?"
Aku sunyi sejenak, sebelum mengangguk. Benar katanya... sudah petang.
"Sampai jumpa," Malfoy memandangku.
Aku berjalan menjauh, lalu menoleh ke belakang untuk nyengir pada om-om itu. "Jangan merindukanku lagi, ya," ujarku asal, lalu memasukkan kedua telapak tangan ke saku jaketku yang hangat. Aku paling benci udara malam.
Setelah aku beberapa kali melangkah menjauh—jangkrik-jangkrik menemaniku— aku menoleh ke belakang lagi, dan aku cukup kaget. Aku kembali membalikkan kepalaku, dan tidak menoleh ke mana-mana lagi sampai pintu rumah.
Untuk apa Malfoy terus memandangi kepergianku?
o
o
o
Hari ini aku mendapat detensi dari Profesor Snape. Aku lupa mengerjakan PR Kimia yang berupa merangkum tiga bab berturut-turut, dalam periode waktu selama lima hari. Bayangkan, merangkum tiga bab Kimia, ditambah dengan tugas lainnya, dalam waktu lima hari? Aku tidak salah 'kan kalau aku tidak mengerjakan tugas Snape?
Tapi, anehnya, semua orang telah mengerjakan tugas Snape, dan hanya aku seorang yang tidak mengerjakan tugas itu sama sekali.
Aku masih ingat bagaimana pandangannya bagaikan tombak es yang telah diasah ribuan kali (khusus untuk menyiksaku), menghunus mataku dan ucapannya yang kaku, mengucap detensi untukku.
Detensi sepulang sekolah itu membuatku menghabiskan waktu sekitar satu jam lebih (dan tubuh pegal-pegal), karena aku harus membersihkan WC untuk staf, WC untuk Kepala Sekolah, dan WC untuk murid. Hal yang paling berat dilakukan adalah WC murid. Sudah jumlah biliknya paling banyak, paling kotor pula... kalian harus tahu, kalau tadi, hidungku sudah nyaris tidak bisa berfungsi lagi. Aku lupa pinjam masker atau tabung oksigen untuk menghalangi polusi itu.
Dan untuk keempat kalinya dalam hari ini, aku ingin kembali ke bangku favoritku itu.
Aneh.
Aku tidak pernah terlalu rindu dengan bangku itu. Bangku itu memang salah satu benda yang kucintai, tapi aku tidak pernah sampai benar-benar membuatku ingin sekali kabur dari sekolah untuk duduk di sana.
Aku mengangkat tasku, memanggulnya bak karung beras seperti biasa (tapi dengan satu tangan), lalu melangkahi koridor. Bunyi setiap langkah menggema karena waktu pulang sekolah untuk seluruh kelas sudah lewat dan suasana mulai sepi. Cukup horor, sebenarnya, tapi aku penggemar horor, jadi enjoy saja...
Ketika aku hendak melewati ruangan Snape untuk sampai di aula, masih sendirian, aku mendengar ada dua suara yang sedang berdebat.
Karena aku penasaran—soalnya aku kenal dua suara ini; yang satu punya Snape, yang satu lagi... err, entah, tapi terasa tidak asing—aku bersembunyi di balik tiang dengan motif untuk menguping. Aku tidak berani mengintip karena jelas sekali akan ketahuan, dan aku berakhir dalam posisi memunggungi dua suara ini, dengan telinga berusaha menangkap pembicaraan. Bisa saja aku tak sengaja mendengar aib si Snape yang bisa kugosipkan dari pembicaraan itu.
"...Kau ingin menjalin hubungan dengan orang semacam dia?" tanya Snape, suaranya makin jelas terdengar setelah aku bersembunyi di balik tiang: suara Snape terdengar kaget. Tumben. Snape orangnya cuma diam saja, pasang ekspresi mengintimidasi, dan berada di kegelapan, sih (ini yang kutahu dari gerak-geriknya saat mengajar di kelasku). "Pikirkan belasan kali, Draco."
Siapa itu Draco? Apa itu orang yang sedang bicara dengan Snape? Aneh sekali, suara 'Draco' ini kedengaran mirip dengan milik seseorang...
"Dengarkan alasanku dulu, Severus," God, aku baru pertama kali mendengar ada seseorang yang memanggil Snape dengan nama kecilnya! Dan... kenapa aku seakan kenal sekali dengan suara 'Draco' ini? Hmmm. Bertemu dengan yang namanya Draco pun aku tidak pernah. "Aku bukan anak didikmu yang masih remaja. Mau mendengarkanku?"
Hembusan napas. "Baiklah," kata Snape. "Cukup bicara di sini. Ringkas, karena aku sedang sibuk."
"Kenapa kita tidak bicara di ruang kantormu?" tanya Draco.
"Ada eksperimen berhargaku di sana. Kau tidak diperbolehkan untuk menggerecokinya."
Dengusan, lalu Draco mengatakan sesuatu yang volumenya sangat kecil. "Dengarkan," kata Draco, memulai penjelasannya. "Beberapa hari yang lalu, aku menemukan sebuah tempat yang nyaman di dekat danau. Tempat itu cukup angker, tapi aku merasa—"
"Langsung ke intinya, Draco."
Sunyi sejenak. Aku membayangkan pasti Draco ini memberikan poker face pada Snape. Memang, Snape orangnya tidak sabaran, ya.
"Oke," Draco bersuara lagi, suaranya tidak sehangat sebelumnya. "Aku menemukan sebuah bangku juga di sana. Dan seseorang menduduki bangku itu. Kukira orang itu sedang tertidur, makanya aku melangkah sembunyi-sembunyi mendekatinya, dan aku memanggilnya. Orang itu terbangun, dan ia menamparku. Sepertinya aku mengagetkannya..."
Aku merasa déjà vu, tapi aku merasa bingung. Aku tidak pernah bertemu dengan seseorang bernama Draco, tapi... ceritanya mirip sekali dengan awal pertemuanku dengan Malf—eh, tunggu.
Sebentar...
...apa?
Aku masih shock. Aku memandang kosong udara di depanku yang tak kasat mata, dan masih berusaha memroses informasi, ketika Draco melanjutkan ucapannya.
"Aku cukup kesal dengan orang itu, tapi, lama-kelamaan aku malah makin menyukainya. Dia mengucapkan hal-hal yang menarik, dia tidak membosankan... tak terpungkiri, kurasa aku mulai lebih dari menyukainya. Dia cerdas, dia... orang yang hatinya terlalu baik, sementara aku merasa dialah orang yang paling cocok kucintai. Dia tidak membenciku, dan aku selalu merasa nyaman berada di dekatnya," jeda yang cukup lama, "Well? Bagaimana menurutmu?"
"Draco," Snape menghela. "Kau harus melihatnya dari sisi pandangku, Potter orang yang urakan dan pemalas. Lagipula, bukankah kau baru-baru ini bertemu dengannya? Mustahil dewasa sepertimu jatuh cinta dalam waktu yang cepat."
Potter?! Aku merasa perutku melilit.
"Severus, aku tidak peduli pada kemalasannya. Aku hanya peduli apakah dia mencintaku juga atau tidak," helaan. "Kami memang baru bertemu, tapi, dia berbeda dengan setiap orang yang pernah kutemui."
"Jatuh cinta tak mungkin bisa secepat cerita pendekmu itu."
"Mau bagaimana lagi? Itu yang kurasakan terhadapnya, Severus."
"Kalau kau berpikir begitu, untuk apa kau bercerita panjang lebar padaku?"
"Aku ingin tahu di mana dia tinggal. Siapa orangtuanya, keluarganya, dan pengasuhnya," jeda. "Aku bukan penguntit, Severus, aku tahu dia bersekolah di sini karena seragam yang dikenakannya, dan aku berniat untuk mengirim... um, beberapa barang ke rumahnya untuk, err, menunjukkan bahwa aku bisa lebih dari sekedar kenalan di matanya."
Snape berdecak, "Terserah. Kau merepotkan, Draco," kata Snape, dan bunyi pintu yang dikunci dari luar terdengar. "Ikuti aku. Kita akan bertanya pada Minerva."
Suara langkah-langkah kaki itu menjauh, dan koridor pun sunyi senyap.
Aku nyaris merosot jatuh. Aku menyandar pada tiang begitu lemas, lalu menutup wajahku.
Namanya itu... Draco... Malfoy?
Aku merasa ujung jemari di wajahku seakan beku, telapakku lengket dengan keringat dingin, dan sejenak aku merasa dunia berputar, membuatku mual dan sakit kepala. Kalau ada kaca, mungkin wajahku akan terlihat pucat di sana...
Malfoy...
...mencintaiku?
.o.o.o.
.o.o.
.o.
TBC
"akhir dari awal"
hana's notes: ...a-ahaha, sebelumnya hana malah publis baru dan mau bilang kalo hana beneran lagi gabisa stabil mood-nya ahaha #dibuang maaf ya hana ga bisa nahan diri buat ngetik 'orz. gomenasai! #sujud btw hana udah buat chapter duanya doooong hehe *bangga banget lu* pokonya hana minta maaf karena gabisa konsisten... oya, jangan lupa cek profil hana ya. disitu cukup banyak informasi kalo kalian tau maksud hana (?) thanks for your time!
Maapin karena publis baru yaaaa,
-Hana.
finished: 9th of December, 2012.