Awal.

Layaknya matahari yang memulai beranjak meninggalkan malam, awal adalah fajar. Dimana langit mulai menyampirkan semburat jingga ditemani angin, menyibak dan menyeruak diantara riuh hamparan rumput. Dimana semburat itu menyentuh lembut dedaunan yang basah oleh embun. Membuat helai per helai terlihat menyilaukan, layaknya singkapan cahaya yang menutup kisah gelap malam lalu. Awal, yang akan menjadi mulai, meneruskan bagaimana kisah ini bergulir. Awal, yang entah kenapa terasa seperti akhir.

Saat itu adalah fajar.

Dirinya, yang tengah menyandarkan tubuh pada Pohon Oak kokoh berdaun lebat menghela nafas. Mendecak saat sosok yang berdiri tak jauh dibelakang masih kekeuh berdiam seolah keberadaannya tak diketahui.

"Mau sampai kapan kau berdiam, hm?"

Yang diajak bicara tak langsung merespon. Turut diam seolah terbius.

"Aku tahu kau sadar aku mengikutimu, Hyung."

Cho Kyuhyun menjawab akhirnya, dengan bahu yang terangkat, tahu bahwa orang didepannya tak menoleh, tapi memilih tak peduli. "Kau tidak serius berpikir akan menyusup ke Goguryeo lagi, kan?"

Dia melangkah sekarang. Menuju seseorang yang masih menyilangkan kaki dengan sebilah pedang tersisip rapi di sarungnya.

Saat wajah tanpa topeng milik Lee Sungmin tertangkap oleh iris hitam miliknya, Kyuhyun kembali berujar "Atau ini salah satu alasanmu? Supaya kita bertemu lagi disini?"

Sang Pangeran Silla mengedip. Sekali, dua kali. "Apabila memang demikian, apakah kau akan percaya padaku?"

Kyuhyun menyamankan duduknya. "Ah.. walau logikaku menyangkal, aku pikir aku memilih percaya akan hal itu."

Sungmin tersenyum, beberapa helai rambut yang terlepas dari ikatan terbawa angin pagi yang menyela. Membuat sebelah tangan kasar khas pemegang pedang terangkat untuk mengembalikannya ke belakang telinga.

"Kau mudah sekali percaya padaku, Kyuhyun-ah."

"Kita hanya bertemu beberapa kali sejak malam itu," Kyuhyun menjeda, turut membantu Sungmin merapihan helai rambut yang lepas ke ikatannya, "aku juga bingung kenapa aku mudah sekali mempercayaimu. Aku hanya berpikir bahwa kau adalah sosok yang mudah terbaca olehku. Entah kenapa."

Kembali, desau angin pagi menyela keduanya. Membuat danau kecil disamping mereka ―yang berada ditengah hutan perbatasan Goguryeo, kembali meriak. Memainkan beberapa teratai liar yang tersebar diatasnya.

Sungmin tidak langsung merespon ucapan itu. Memilih jeda kembali mengisi percakapan yang dia sendiri pun tak tahu apakah akan kembali terulang. Ditatapnya wajah Pangeran Goguryeo yang masih tenang tanpa emosi. Wajah milik seseorang yang belasan purnama lalu pernah menyelamatkan nyawanya dari racun mematikan milik Negeri Biru. Heh. Hutang nyawa selalu meninggalkan bekas, ne?

Selalu meninggalkan rasa yang terkadang sulit diartikan.

"Kyuhyun-ah." Dia berujar akhirnya. Membawa satu kalimat yang sama sekali lain dengan apa yang mereka bicarakan sebelumnya. Satu kalimat yang membuatnya menempuh berjam-jam berkuda menembus belantara hutan yang menjadi perbatasan Silla dan Negara tetangganya.

"―Silla akan segera turun."

Kyuhyun menghela napas, melanjutkan jawabannya dengan satu senyum sedih yang kentara. "Aku tahu, Hyung."

"Aku tahu kalau kau tahu."

"Jangan menatapku seperti itu," Dia membalas, "aku tidak menghabiskan berhari-hari membaca pola serangan Silla untuk melewatkan satu langkah jelas itu setelah Baekjae."

Satu tangannya terangkat kini, mulai mengusap ragu sebelah wajah halus miliki Lee Sungmin yang biasa tertutup topeng. Disentuhnya kulit pucat itu dengan sangat hati-hati, seolah tekanan sekecil apapun akan membuat sosok itu hilang bak khayalan yang tak pernah nyata.

"Hyung, apakah kau tahu? Kau sudah menjadi seseorang yang penting bagiku. Membunuhmu tidak akan mudah." ujarnya sambil tersenyum.

Sungmin menaikkan sebelah alisnya. "Aku yakin pandanganmu bagiku akan berubah saat kita bertemu dengan warna baju yang berbeda."

"Jangan terlalu pesimis lah, Hyung. Kau tidak bisa menebak apa yang akan terjadi di kemudian hari, ne?"

"Kita bukan berada dalam dongeng, Kyuhyun-ah. Berhentilah berpikir jika kelak akan ada akhir yang lain bagi kita."

Kyuhyun masih tersenyum. Tangannya yang bebas mulai memutar santai pedang besi keperakan berulir rumit. "Nde, hyung. Meski begitu, apa yang terjadi di antara kau dan aku sekarang, membuat mati pun terasa sepadan.

―Aku tidak akan merubah apapun."

.

.

.


.

Senbonzakura

Aku hanya ingin sebebas ribuan sakura yang terbang bersama angin.

.

KyuMin/Romance/Drama/Colossal Fiction/YAOI/Rated T+


PS: Terkait apa yang terjadi saat ini, saya hanya meminjam nama Lee Sungmin dan Cho Kyuhyun sebagai nama bagi tokoh utama cerita. Tidak ada kaitan apapun bagi Super Junior Sungmin atau pun Super Junior Kyuhyun, dan tidak ada unsur komersil apapun yang didapatkan penulis. Pembaca diharapkan maklum. #bow

PPS: Terlepas dari semua yang terjadi saat ini, saya selalu mengagumi bagaimana hubungan Lee Sungmin dan Cho Kyuhyun. Biarlah apa yang menjadi pilihan mereka menjadi yang terbaik bagi keduanya.


Antara kedamaian yang semu, kejayaan kerajaan yang menaungi, serta cinta yang tumbuh tanpa tahu asalnya. Mana yang akan kau pilih? Cho Kyuhyun, Sang Pangeran Goguryeo, Lee Sungmin, Putra Silla yang agung, bersama cinta mereka yang merekah dalam rengkuhan peperangan.


Mereka berkata bahwa kehidupan seorang anggota kerajaan merupakan hidup yang penuh dengan kesenangan. Serba berkecukupan. Serba penuh dengan harta, hormat, kasih sayang.

Mereka juga berkata bahwa kehidupan di istana sering kali dipenuhi beragam intrik tentang perebutan kekuasaan dan tahta. Bagaimana mengerikannya perselisihan antar perebut kursi utama yang memegang tonggak tertinggi pemerintahan.

Mereka berkata akan banyak hal.

Tapi satu yang selalu tertanam di pikiran Lee Sungmin tentang kehidupan di istana adalah bagaimana Silla menjadi cinta pertamanya.

Memiliki seorang Raja yang aktif memegang pedang membuatnya sadar akan banyak hal diusia yang sangat muda. Sungmin mengerti apa itu Silla. Apa itu arti kemenangan saat Negara yang dulu sering diinjak karena luasnya yang tak seberapa mulai tertatih dan melawan. Bagaimana rakyatnya yang selalu mencari perlindungan saat musim dingin ke Negara tetangga mulai mampu berdiri dengan dua kakinya sendiri. Membangun suatu peradaban yang membuat mereka disegani, pun menarik ratusan pedagang, seniman, dan pekerja dari segala penjuru semenanjung Korea untuk singgah dan menengok Negeri yang dulu terabaikan.

Lee Sungmin mencintai Silla dengan seluruh darah yang ada di tubuhnya. Dia melihat bagaimana rakyatnya dihina, dia mendengar bagaimana negaranya diremehkan. Bagaimana nama Silla itu adalah sesuatu yang tak ada harganya. Dia melihat bagaimana Silla tumbuh menjadi Negara yang tak tergoyahkan dari satu tatihan pertama. Kokoh. Bak panji merah darah nan gagah yang berkibar penuh kebanggaan di setiap penjurunya.

―hingga saat perselisihannya dengan Baekjae meruncing dan mengantar pada genderang-genderang perang yang ditabuh, melumuri tubuhnya dengan ratusan darah musuh adalah sesuatu yang sanggup dia bayar.

Lee Sungmin tidak pernah menyesali apa yang dilakukan selama ini. Menjadi pahlawan bagi Negaranya dan pembunuh berdarah dingin bagi siapapun yang berdiri diseberangnya. Tidak sekali pun selama dia hidup diatas tanah Silla yang Agung.

―Lalu kenapa rasa sesal itu ada saat Cho Kyuhyun, Sang Pangeran Negara Biru yang menjadi sosok terdepan untuk merobohkan Silla, menatapnya dengan seulas senyum beku?

"Kau tidak perlu terlihat terkejut begitu, Hyung."

Sungmin mendengar Kyuhyun berkata.

"Apabila aku adalah orang yang tidak bertanggung jawab, aku akan mengajakmu kabur dan tidak peduli dengan perang ini." dia melanjutkan. "Hidupku selalu untuk Goguryeo. Menjadi Hwarang sebelum Jendral Perang, menjadi Pangeran sebelum seorang anak. Aku merasa setiap napas yang kutarik adalah usaha untuk membuatnya menjadi lebih besar.

―dan aku tahu kau tahu itu sangat melelahkan. Rasanya, melakukan sesuatu yang bukan untuknya sekali tidak akan terasa mengkhianati, ne?"

Satu tatapan tanpa emosi adalah apa yang menjadi respon Sungmin.

Kyuhyun melanjutkan lagi, "Hyung, kau sudah menjadi seorang Pangeran selama hidupmu. Menjadi seorang Hwarang semenjak kau bisa memegang pedang, dan seorang pembunuh semenjak satu dekade ini. Tidak kah kau lelah?"

Sang Kuroi Tenshin tertawa mendengarnya, "Kyuhyun-ah. Coba dengar apa yang kau katakan barusan?" mendekatkan pandangan pada Cho Kyuhyun didepannya. "Itu bukan dirimu. Kau tahu itu. Berhenti berkata seolah kau bukan seorang pemikir yang namanya disegani diseluruh penjuru."

"Salahkan jika seorang pemikir juga menggunakan hatinya?"

Diam kembali menyela keduanya.

"Wangseja." Lee Sungmin berujar akhirnya. "Apa yang ingin Anda ungkapkan? Sekalipun saya berpikir hal yang sama dengan Anda, Anda tidak akan melakukan apapun yang telah dikatakan. Apa yang ingin Anda raih dengan kalimat yang tak nyata itu?"

Kyuhyun menjeda cukup lama. Memilih menatap lama sepasang manik hazel yang kini berkilat penuh emosi.

"Kau hanya takut berharap, Sungmin-ah." Dia tahu dirinya melewati batas.

"―ahh... tapi kau benar. Aku tidak tahu kenapa mengucapkan semua itu. Perang ini... sudah terlalu lama, kita semua sadar bahwa Semenanjung Korea akan musnah jika tidak ada satu panji tunggal yang menancap di tanahnya. Terlalu banyak nyawa Hwarang yang terbuang karena keegoisan para penguasa."

"Aku tidak menyesal."

"―begitu pun aku, Hyung. Kita sama-sama tahu bahwa pemimpin dibutuhkan untuk membawa daerah ini menjadi lebih baik. Kau berjuang untuk Negaramu, begitu pun aku. Aku juga akan berusaha sekuat tenaga agar panji-panji Goguryeo menjadi satu-satunya yang berkibar di Semenanjung Korea. Selama masih ada warna panji yang berbeda, kedamaian yang pernah ada akan selalu semu. Jika tidak sekarang, satu atau dua dekade lagi akan ada perang untuk membawa Semenanjung Korea berada pada naungan tunggal suatu panji tertentu."

"Kau terdengar seperti gelarmu saat ini, Wangseja." Sungmin menyanjung hangat. "Daripada itu, Kyuhyun-ah. Aku ingin memberikan sesuatu padamu, sebenarnya."

"Hn?"

Dia melihat Sungmin meraih seutas tali hitam dari bajunya. Memperlihatkan sebuah batu kecil sewarna darah yang menjadi pendulum dibagian ujung.

"Aku teringat aku tidak pernah membalas pertolonganmu malam itu. Karenanya, terimalah ini. Batu ini selalu bersamaku semenjak aku mampu mengingat. Yang mulia Ratu selalu berkata ini yang akan menjagaku saat beliau tak ada."

Kyuhyun mengambil ragu rubi merah darah yang disodorkan ke arahnya. "Apabila demikian... bukankah ini benda yang berharga bagimu, Hyung?"

Sungmin mengangguk. "Nde, Kyuhyun-ah. Ijinkan aku sedikit bercerita." Dia mengambil kembali tali hitam berujung rubi dari tangan sang Pangeran Goguryeo. Melepas kaitan diujungnya dan memasangnya langsung pada Cho Kyuhyun yang terdiam. Terkejut dan hanya bisa mengamati bagaimana rubi merah marun itu kini terkalung aman di lehernya.

"Ibuku, Baginda Ratu, selalu sakit-sakitan. Beliau meninggal saat aku memulai mengangkat pedang pertamaku. Meski seorang Ratu, Yang Mulia tidak pernah segan kepadaku. Selalu bercerita dan menjadi guru pertamaku tentang sejarah para Raja terdahulu. Beliau selalu berkata:

Jeoha, saat kau ragu akan Silla, pandanglah batu ini dan ingat bagaimana dulu tanah-tanah kita penuh oleh darah para rakyat.

―Batu itu yang menjadi pengingat bagiku agar terus mengangkat pedang untuk Silla, Kyuhyun-ah. Kau... tahu kenapa aku memberikannya padamu sekarang? Karena malam itu, kau sudah menyelamatkan nyawaku. Nyawaku tidak hanya milikku lagi."

"Hyung―"

"Tapi dari awal, nyawaku tidak pernah menjadi milikku seorang. Nyawa ini adalah milik Silla, dan Aku tidak bisa memberikan itu padamu. Karenanya, aku berharap batu itu mampu memberimu keberuntungan padamu. Sama seperti saat aku memakainya."

Sang pangeran dari Negeri Biru itu terdiam kini.

"Ingat aku dengan itu, Kyuhyun-ah."

"Hyung... bolehkah aku mencoba sesuatu?"

Orang didepannya menaikkan sebelah alisnya. "Nde?"

"Tutup matamu." Bisiknya. "Kau percaya padaku, kan?"

Lee Sungmin menutup matanya perlahan. Merasakan bagaimana gelap mulai melingkupi. Menunggu dalam diam, dan menangkap bagaimana desau angin pagi terdengar di telinga. Sekali, dua kali, sebelum dia merasakan orang didepannya bergerak. Mendekat, hingga akhirnya merasakan sepasang bibir yang mengecup dahi.

Ragu, tapi penuh kehangatan asing yang tak pernah dia rasakan.

Kyuhyun turut menutup matanya. Membiarkan hanya hangat tubuh Sang Pangeran Silla yang menuntun. Merasakan, dalam setiap rengkuhnya pada wajah mungil yang terasa rapuh dalam genggaman. Mengecup dahi,

Aku harap bahagia selalu ada padamu

―dua kelopak mata yang tertutup,

Kenapa aku harus bertemu denganmu jika kita tidak pernah sampai pada akhir?

―hingga bertemu pada sepasang bibir sewarna petal sakura. Merasakan bagaimana perasaan asing di dada mulai meledak selama tiga detik yang terasa seperti selamanya.

Apakah terlalu berlebihan jika aku meminta waktu berhenti dan tak berjalan lebih jauh?

"Tanpa kau minta pun aku akan selalu mengingatmu, Hyung." Kyuhyun membuka suara yang bergetar saat keduanya terpisah. Masih merasakan bagaimana adrenalin menyebarkan perasaan hangat yang meledak di perut setelah beberapa detik lalu menyentuh wajah yang selalu berada di balik topeng.

Dia mengamati bagaimana Lee Sungmin terdiam dengan sepasang iris sewarna madu terfokus penuh padanya dan melanjutkan "―aku juga selalu mengerti alasan kenapa kita melakukan perang ini," sambungnya lirih. "Aku hanya menyesal kenapa saat ini tidak bisa berjalan lebih lama. Aku tidak ingin semua ini menuju akhir. Aku tidak ingin kau pergi."

"Kyuhyun-ah." Sambung Sungmin setelah diamnya. "Sebuah cerita ―akan tiba saat dimana kita tidak ingin cerita tersebut berakhir. Entah karena takut akan akhir, atau segan meninggalkan senang yang tengah menggelayut. Tapi apakah kau pernah melihat cerita yang berhenti? Yang tidak memiliki akhir? Tidak, ne?

―semua cerita pasti berakhir, Kyuhyun-ah. Terlepas dari pemerannya ingin mengakhiri atau pun tidak, akhir akan selalu menjemput. Akan ada banyak sekali kemungkinan yang tidak kita tahu, menunggu dan mengantisipasi bagaimana akhir cerita itu terbentuk. Tapi satu yang harus kau diingat adalah bagaimana bersikap ―apakah turut memilih suatu akhir ataukah pasif pada waktu, sikapmu-lah yang akan menjadi sesuatu yang membentuk apa itu hidup. Pilihan itu selalu ada.

―dan semua tergantung padamu, apakah kau memilih menjalani, atau melawan takdir."

Lee Sungmin tersenyum kini. Sedih, satu lengkungan bibir tipis yang tak mampu menyamarkan kilatan bening di mata.

"Kau tadi berkata aku adalah orang yang penting bagimu, demikian juga aku, Kyuhyun-ah. Kau adalah orang yang penting bagiku, tapi kau tidak akan pernah berada di depan Silla.

―kau tahu itu. Kau pun berpikir demikian, ne?"

Hembusan angin pagi menyela untuk kesekian kalinya. Membawa desau bagi matahari yang mulai beranjak. Meninggi dan mengganti dingin yang sejak tadi memeluk dengan kehangat khas musim semi. Seolah itu adalah pertanda akan adanya awal disetiap akhir.

―layaknya ribuan petal sakura yang terbawa angin, terombang ambing dan tersesat. Tetapi selalu berakhir dalam rengkuhan daratan yang menjanjikan istirahat.

"Lee Sungmin," balas Kyuhyun. Ditatapnya lurus wajah pucat itu, lama, berusaha mematri dalam ingatan setiap lekukan yang merangkum wajah Kuroi Tenshin dari Silla. "Saat kita bertemu lagi setelah ini, saat tidak ada Goguryeo atau pun Silla, mau kah kau menjalani hidup bersamaku sekali lagi?"

"Tentu saja." ujar Sungmin cepat. Dia menawarkan satu tangan pucat yang langsung disambut Kyuhyun. Menatap sejenak pada bagaimana dua tangan berbeda itu bertaut apik, melengkapi dan memenuhi satu sama lain.

"Sekali, ribuan kali lagi, aku akan selalu memilihmu, Cho Kyuhyun. Selalu."

.


.

Derap kuda saling sahut menyahut saat matahari mulai menyinsing dari balik tebing. Sinar – sinar keemasan memantulkan bias pelangi saat membentur baju zirah yang tersampir di pundak masing – masing hwarang. Panji – panji kemerahan berkibar gagah, dengan pedang dan gada yang siap ditangan. Tak lupa barisan pemanah yang bersiaga dari arah matahari, dengan sepunggung penuh anak panah yang siap dilontarkan.

Sang jendral perang ―masih terduduk gagah diatas kuda putih bersih kebanggaannya, kini memandang datar hamparan rumput di depan. Sepasang mata cokelat yang tersembunyi di balik topeng keperakan menyisir tajam setiap sudut. Tidak melewatkan celah – celah pepohonan, atau bahkan arah angin fajar yang tengah bersemarak. Dua pedang berbeda warna masih tersampir aman dipunggung. Dengan ketajaman yang siap mengoyak siapapun yang menjadi lawan, tanpa ragu saat tangan terlatih itu sudah melebur bersama pedangnya.

"Semua siap, Pangeran."

Sang pangeran masih betah dengan diamnya.

Mata sewarna madu itu sibuk menjelajah, pada padang hijau yang akan berganti merah, pada jajaran hwarang gagah berseragam dan berpedang yang sibuk dengan panjinya. Lee Sungmin akhirnya menjejakkan kaki pada tanah perbatasan antara Silla dan negeri tetangganya. Meninggalkan kuda putih gagah dibelakang, dan mendekatkan diri pada tebing curam yang menjadi pintu menuju calon medan perang dibawahnya. Tak lupa, dengan dayang Hyorin yang mengekor dan berpakaian serupa.

"… hey Hyorin-ah," suaranya terdengar lirih. "Menurutmu, apakah setelah ini semuanya.. selesai?"

"Semua akan selesai saat pangeran menghendaki demikian."

Sungmin terkekeh, "Hm. Kau membuatku terdengar seperti seorang bertangan besi yang siap melakukan apapun untuk keinginannya."

"Bukankah memang itu yang tengah pangeran lakukan saat ini?"

"Kata-katamu sungguh berani untuk seorang dayang, Hyorin-ah."

Sang dayang tersenyum, "Tapi saat ini hamba bukan dayang Anda, pangeran. Hamba adalah Hyorin yang menjadi tangan kanan Kuroi Tenshin."

Sang pangeran terkekeh sebelum menyahut renyah, " Hm, tentu saja. Saat ini kau adalah bayangan Kuroi Tenshin yang akan mengintai dari puncak bukit." Dia melangkah lagi kini, semakin mendekatkan kaki berselimut kulit berwarna hitam legam dengan ujung lebar bukit hijau dikejauhan. "Aku benar-benar berharap hari ini adalah kali terakhirku mengangkat pedang."

Hyorin menatap pangerannya lama. Genggaman tangannya pada busur panah yang penuh ukiran sakura menguat, sebelum satu kalimat lirih yang sejak dulu tertahan berani terucap. "Semua... masih belum terlambat, Pangeran."

"Kau membujukku, Hyorin-ah?" decak Sungmin lirih.

"―Ucapan Anda adalah kebenaran. Tapi kebahagiaan pangeran adalah apa yang terpenting bagi hamba."

Lee Sungmin kembali menatap lama pada hamparan hijau didepannya. Luas dan bebas dengan rimbunan pepohonan, dengan langit biru jernih yang terbentang melingkupi. Satu semilir angin membawakannya petal sakura berwarna merah muda, menyibak halus surai hitam kelam yang memaksa kelopak mata lentik mengecup tulang pipi.

"Bendera Silla akan berkibar hari ini Hyorin-ah. Kedamaian di Semenanjung Korea akan terbentuk dibawah naungan Silla yang agung."

―tekad tak tergoyah itu terbentuk, akhirnya.

.

.

.

Jika ada yang mengatakan bahwa hwarang Goguryeo adalah pasukan tanpa cela, hal itu bukanlah melebih-lebihkan.

Negara yang sering disebut sebagai tempat para ksatria langit itu memiliki panji-panji biru yang sesuai dengan julukannya. Ribuan hwarang gagah berbalut besi yang menenteng pedang dan tombak tajam yang konon mampu mengiris angin, ribuan pemanah memanggul kantong anak panah bermandikan racun yang konon katanya tak berpenawar. Derap kuda berlapis besi yang tak kenal rasa takut.

Goguryeo adalah apa yang meraka sebut sebagai benteng dibawah naungan Dewa. Dengan alam yang seolah menjaga dibalik bukit-bukit terjal dan pepohonan lebat, juga jarak terbentang yang seolah tak berujung. Menjadikan Negara biru itu kokoh tak tersentuh.

Cho Kyuhyun sadar dan paham akan hal itu.

Strategi yang diusungnya mencakup seluruh luasan batas hutan. Memaksimalkan tenaga ribuan Hwarang dan melengkapinya dengan berbagai informasi yang berhasil dikumpulkan oleh telik sandi terbaik yang berhasil kembali. Dia sudah berusaha. Dia sudah menepati apa yang pernah diucapkannya pada calon lawannya. Pada Lee Sungmin yang dia tahu tengah mengamati dibalik bukit terjal setelah hamparan luas padang hijau di depannya.

Cho Kyuhyun tidak akan membiarkan panji biru Goguryeo roboh. Tidak hari ini, tidak selamanya.

Sampai jumpa lagi, Sungmin-ah.

"Kita berangkat sekarang." Ujarnya dari atas kuda hitam gagah bersurai gelap. Sebelah tangan yang tidak memegang kekang mencengkeram kuat pedang panjang keperakan bergagang kepala naga yang mengaum.

"Saat hari ini berakhir, seluruh Semenanjung Korea akan bernaung pada panji Goguryeo."

Teriakan memekakkan menjadi sahutan. Mengiring derap kuda dan kibaran panji biru langit menyebrangi batas akhir Goguryeo. Bersiap memasuki hamparan luas yang akan segera dipenuhi merah. Pun menyamarkan satu senyum terakhir sang pangeran dan bisikan lirihnya.

―"Aku akan membunuhmu, Hyung."

.


.

Itu adalah sebuah padang yang luas.

Dimana awalnya rumput hijau membentang menjadi alas, dan tebing tinggi disisi matahari terbenam yang menjulang. Sungai lebar yang menjadi pewarna lain di potret alam itu turut berpartisipasi. Menyusur sepanjang padang, dengan pantulan bias keemasan saat pagi dan senja, atau hijau kebiruan saat siang meraja. Pepohonan tumbuh berjajar di kejauhan, tak ubahnya benteng alam yang berselang – seling antara hijau tua kecokelatan, dan gelapnya hutan disela – selanya.

Tak lupa, desir angin nyaris tiap detik terasa. Merebahkan rumput – rumput segar yang hanya menurut kemanapun arah perginya. Damai, sekaligus sepi. Itulah gambaran pagi lalu.

―dan seperti layar film yang berganti hanya dalam putaran detik, padang yang kosong itu berubah.

Gelimpangan tubuh penuh luka tersebar. Ceceran darah, sobekan kain berwarna biru dan merah marun, patahan pedang, juga tangkai – tangkai anak panah yang menempel di tubuh para pejuang. Hwarang gagah berani yang mengangkat pedang sampai akhir. Mempertahankan panji kebesaran Negara masing – masing agar terus berkibar. Berdiri hingga akhir. Menentang siapapun yang berani menghadang jalannya untuk melebarkan sayap.

Menjejek tanah dengan beringas. Tak sabar merenguk bebasnya angin tanpa belenggu, dimana hanya ada dunia tanpa perang dan pertumpahan darah.

Hyorin merekam semuanya dalam bola mata sejernih malam.

Pada panji – panji Silla yang masih berdiri tegak, pada raut bangga dan haru rekan – rekannya yang tersisa, pada rintihan sakit, juga ongokan tubuh penuh luka yang nyaris tak terhitung olehnya. Meraup semua pemandang padang rumput yang kini tak ubahnya lembah kematian. Juga, pada seongok tubuh tak bergerak dibawah kakinya. Dia yang topengnya telah retak, menampilkan seraut wajah pucat yang kelopaknya tertutup.

Tapi dengan bibir membiru yang mengulas senyum damai.

.

.

.


Akhir itu tidak selamanya buruk, karena diakhir, kau bisa memejamkan mata dan melupakan dunia. Beristirahat setelah ribuan perjalanan berliku. Tidak terdengar mengerikan, bukan?


To be continued


Notes:

Hai. Saya lama sekali, ya? Maafkan. Ada banyak yang telah terjadi, dan saya baru memulai lagi semua dari awal. Saya rasa, alur, diksi, dan 'rasa' di chapter ini sungguh berbeda jauh dengan chapter-chapter sebelumnya. Saya paham itu, mungkin karena saya sudah meletakkannya terlalu lama, ne?

Yah.. meskipun dengan gaya bahasa yang berbeda, saya ingat betul ending ini adalah apa yang saya mau saat mulai membuat Senbonzakura. Silahkan sampaikan pendapat kalian dengan bebas di kotak review, yaa. Saya sangat berharap mendengar dari kalian, karena saat membaca ulang apa yang telah saya tulis, rasa ragu makin menumpuk. Apakah layak dilanjut? hehe...

Satu chapter lagi dan senbonzakura akan selesai. Saya harap kalian menikmati apa yang saya tulis. Karena selain untuk saya sendiri, saya menulis bagi semua pembaca yang sudah mengikuti dari awal hingga sekarang. Terimakasih banyak untuk semuanya.

PS: Bagi yang pembaca baru, salam kenal, ya : )

Salam sayang,

Cla