Disclaimer: bukahkah seluruh karakter dalam Naruto milik Masashi Kishimoto?

Genra:Com-Rom(Comedy-Romence), Hurt/Comfort.

Main Chara: Ino Yamanaka and Shikamaru Nara

Warning: author amatiran, abal tak terkira, banyak kesalahan dalam penulisan, payah EYD, bergelimpungan typo(s), hanya berharap maklum dari para readers.

Summary: aku sangat menyukai bulan september, karena di bulan itu aku dilahirkan sebagai seorang gadis dari keluarga yang mencintaiku. Tapi semuanya sedikit berubah, saat di awal september kali ini ayahku mengatakan bahwa aku akan dijodohkan dengan seorang yang tak kukenal. Lalu dari semua yang kulakukan, kuharap septemberku akan menjadi lebih baik.


Sweet September

"Jodoh memang takkan ke mana!"

Di saat beberapa jam yang lalu, kalimat itu pertama kali kudengar dari ayah Shikamaru. Sekarang, layaknya sebuah fenomena dejavu, indera audiotoriku kembali menerima lisan yang sama dengan kepemilikan artikulasi yang berbeda. Sakura, ia dan tampang dipenuhi rasa tak percaya menatapku sedikit keheranan. Hingga, tak ayal kata-kata itu yang diujarkannya.

Namun itu taklama, saat wajah bingungnya berubah mendadak menjadi usil. Ia menyipitkan kedua matanya, berlagak agen rahasia yang sedang mengintrogasi tersangka. Tersenyum, ia meruncingkan tiap ujung bibirnya sembari memberikan anggukan berulang-ulang. Sungguh, dengan gaya yang seperti itu ia nampak sangat menyebalkan. Entah apalagi kesimpulan yang bertahta dalam otaknya, tidak tahu sekiranya apa buah pemikiran yang mendiami benaknya.

Masih mempertahankan sunggingan bibirnya, ia menarik napas sesaat, dan rasanya ia bersiap untuk melontarkan konklusi yang dimilikinya. Salah, karena saat tiga detik telah berlalu, tapi yang ada ia terus saja memberikan pandangan menyelidik. Takut-takut sebab terus menerima delikan mata tak biasa, aku mencari objek lain untuk kujatuhkan pada retina.

Sial! Harusnya aku tidak meminta Shikamaru untuk mengantarkanku ke sini, sebaiknya juga aku tidak menceritakan apa yang baru saja terjadi. Benar saja, semuanya sudah terlambat untuk disembunyikan. Akan tetapi, terlalu berlebihan bila harus diteliti seperti ini. Sakura masih saja tak henti mengamatiku, tidak tahu apa yang sebenarnya betul-betul salah dari penuturanku.

"Apa salahku?" aku ini bodoh atau memang tidak pintar? Bukannya memintanya untuk tidak lagi meneruskan aksi selidik, aku malah mengatakan kalimat pendek tanpa guna sama sekali. Tapi, setidaknya walau nampak tidak terlalu berarti, akhir Sakura tidak lagi menjadikanku objek atas seluruh atensinya. Perhatiannya berpindah pada gadis mungil di dekapannya, "Sucia-chan, tante Ino mau tunangan sama paman Shika."

Sontak, aku agak terkejut demi mendengar Sakura berucap demikian. Memperbaiki posisi dudukku, dan mengambil ancang-ancang untuk menyangah penuturan yang ia curahkan terhadap anaknya, "siapa bilang?" berkata seperti itu seraya membuang arah wajah darinya, kutambahkan pula dengan silangan tangan yang mengartikan tidak suka.

"Kau."

"Kapan?"

"Tadi."

"Di mana?"

Alih-alih langsung menjawab pertanyaanku yang mengandung keterangan waktu dan tempat, Sakura menggelengkan kepalanya terlebih dahulu, lalu jari telunjuk kanannya yang bebas mengarah ke direksiku. Tidak mengerti apa maksudnya, hingga ia beranjak dari posisinya semula untuk mengantarkan Sucia kembali ke kamar – tanda, ia memintaku untuk menunggu sejenak. Beberapa detik kemudian, ia datang kembali dan menduduki tempat yang tak ubah. Tidak tersenyum, juga tidak lagi memberikan picingan mencari tahu. Melainkan…

"Oke, begini, saat aku membuka pintu, dan melihat kau melambaikan tangan pada Shikamaru yang baru saja melajukan mobilnya. Kau berbalik padaku, lantas berteriak dengan nyaringnya, bahwa pria yang di tunangkan denganmu adalah S-H-I-K-A-M-A-R-U." Pada akhirnya, aku paham kenapa sebelum Sakura menjawab dengan panjangnya seperti ini, ia terlebih dahulu menaruh Sucia di kamarnya. Terang saja, karena tidak ingin membuat putrinya menangis histeris mendengar suara sang ibu yang berdesibel tinggi.

Dengan lantang Sakura menjelaskan kronologi kejadian satu jam yang lalu, di mana hal itu memang faktanya. Jelas menjadikan sebuah rasionalisasi teramat tepat baginya, hingga membuatku terdiam dan tidak tahu harus membalas apa. Dosaku sendiri, harusnya ini menjadi pembelajaran penting untuk tidak terlalu terburu-buru menyampaikan perujaran tersirat. Bahkan, ia melisankan secara mengeja untuk memberikan penekanan pada objek hidup yang ditujukan.

Aku mengangkat kedua bahuku bersamaan, ditemani bibir bawah yang sengaja kumajukan, aku seolah menampilkan sebentuk raut tak merasa berkata demikian. "Aah, masa?" seenaknya aku berkelit, semaunya aku melarikan diri. Harus diakui, mekanisme pertahanan diriku terus bekerja kali ini. Membentengi diri dengan berbagai spekulasi, bertemeng dengan klise mati.

Sakura menghela napas pelan, lalu menggelengkan pelan kepalanya begitu mendapatkan tanya yang berupa pembelaan semata. Aku beranjak dari dudukku, bertujuan untuk mengambil segelas air mineral dari dalam kulkasnya. Jujur saja, masalah ini membuat tenggorokanku cekat. Tanpa perlu diantar Sakura, aku melang-lang menuju dapurnya. Sekalinya, Sakura yang mengikutiku menyandarkan tubuhnya pada ambang pintu.

Bukan untuk mengawasi, namun aku yakin sahabatku itu tidak akan membiarkanku lari semudah inginku. Aku meneguk air mineral dengan arah pandang pada ia, seolah saling memantau satu sama lain. Selesai, aku langsung mengembalikan benda yang kuambil pada tempatnya. Berupaya berjalan kembali ke ruang santai, hal itu akan berhasil kulakukan apabila tidak terhalang oleh posisi Sakura yang menghadang.

"Kau mencintainya." Tudingan itu ia lontarkan, menjadikanku dalam keadaan statis yang tak terduga. Kugelengkan kepalaku pelan, mengartikan kalau aku terkejut mendengar apa yang baru saja ia tuturkan. Tersenyum hampa, kode bahwa aku tidak menyangka ia akan melemparkan kalimat demikian. Kugaruk bagian pundakku yang sebenarnya tidak terasa gatal, melainkan gerah.

"Apa itu?" oouch! Apa yang kulakukan malah membuat Sakura menemukan sesuatu yang kucoba sembunyikan – kissmark olahan mantan kekasihku. Cepat-cepat aku memperbaiki tatanan dressku, aku yakin tampangku kala ini terlihat kaku. Untuk kesekian kali, aku menerima tatapan nakalnya. Tidak hanya itu, jari telunjuknya mengarah padaku bersamaan senyum iseng andalannya.

"Coba aku lihat!" ia memaksa, menurunkan dressku dan mendapati apa yang telah dilihat sebelumnya. Aku tidak dapat mengelak, dengan pasrahnya aku membiarkan Sakura berbuat semau ia. Sunggingan bibir usilnya semakin jelas terlihat, mengangguk-anggukan kepala – yang aku sendiri tidak tahu apa yang ia pahami.

"Itu tanda dari Shikamaru, kan?" bingo! Entahlah, aku tak mengerti bagaimana cara Sakura bisa menerka dengan tepat siapa pelakunya. Belum menjawab pertanyaan yang kudapat dari sahabatku, aku lebih memilih untuk merapikan gaunku. Ikut menyandarikan diri di sisi lain ambang pintu, "kau tahu dari mana?" Bukannya memberikan klarifikasi, aku malah meminta penjelasan dari Sakura mengenai tebakan benarnya.

"Tuh, kan, benar!" oke, memang terjadi diskomunikasi di sini. Aku berkata apa, lalu ia menyahuti yang mana? Tidak ada relasi antara tanya dan jawaban, juga tak ada hubungan antara satu premis dengan dasar penarikan kesimpulan yang lain. Aku tahu, kami seperti dua orang bodoh yang ditakdirkan Tuhan untuk tetap berkawan.

"Aku, kan, juga pernah." Bagiku, ucapan sahabatku ini terasa sangat ambigu. Kata ' pernah' yang ia maksudkan itu, sama sekali tidak kumengerti. Sekarang, ia yang menerima tatapan sarkatisku. Kusipitkan mataku, memberikan gaya skeptis terbaikku. Ia santai saja, malah mengelus-elus bagian lehernya. "Kau tahu, Shikamaru seorang pencium yang handal?" apa yang ia ujarkan tadi sukses membuatku membulatkan mata dengan penuhnya, terkejut parah. Kok, dia bisa…?

"Hahhaha…! Ino cemburu. Kau masih mencintai Shikamaru, kan?" aku tidak memiliki alasan yang tepat, juga tak punya rasionalisasi benarnya, tapi reaksi yang kudapati dari Sakura berhasil membuatku bernapas lega. Namun itu taklama, tatkala ia semakin menekanku saja dengan diakhiri tanya mengenai rasa.

Aku terdiam, juga tertunduk lesu. Sakura yang awalnya masih sibuk dengan tawa, serta-merta langsung hening seketika. Mengamatiku yang seperti tidak memiliki jawaban atas perkataanya, ia memegangi pundak kiriku, memintaku untuk menatapnya. Begitu mengangkat kepala, kudapati ia tersenyum padaku seraya menganggukan kepala beberapa kali.

"Aku sudah menghapus namanya dari ingatanku, Sakura." Aku mengaku demikian, tapi ia tidak tahu bahwa ada degupan kencang dalam dadaku yang bertalu. Ritme frekuensinya berdetak semakin cepat, ketika sosok Shikamaru mendiami benakku. Sakura meninggalkanku terlebih dahulu, destinasi langkah kakinya tak urung menuju ruang santai. Tentu, aku menyusulnya.

Ia menepuk-nepuk sofa yang berdekatan dengannya, mengartikan untukku memposisikan diri di sebelahnya." Selama ini, kau tak pernah mendapatkan pengganti Shikamaru," ia memulai sesi ceramah yang pastinya berbuah panjang untukku. "Kau pernah menyukai Kiba. Lalu saat ia balik menyukaimu, kau menjauhinya begitu saja. Hal ini terus berulang pada siapa pun yang kau sukai."

Yaa, apa yang dikatakan sahabatku memang realita, aku selalu seperti itu. Perasaanku menggebu untuk mendapatkan targetku, namun saat kudapati feedback-nya, aku malah meninggalkan seolah tidak pernah ada perasaan apa-apa. Semuanya, setelah hubunganku berakhir dengan Shikamaru, aku seakan mencoba mencari sosok yang lebih baik darinya.

"Aku, mungkin mencari yang lebih baik dari Shikamaru." Aku berkelit, memberikan alasan yang menurutku terbaik. Tetapi, Sakura menggelengkan kepala sembari melemparkan senyuman tipis,"kau tidak mencari yang terbaik, tapi kau mencoba menemukan sosok Shikamaru di tubuh yang lain." Aku terbungkam kali ini, terlebih lagi saat kutemukan sorot mata Sakura yang berbeda.

"Kau buang perasaanmu pada pria lain, karena kau sadari itu bukan Shikamaru."

"Aku…" tidak tahu harus melanjutkan apa, secara tak sadar adanya penurunan tekanan pada suaraku – yang biasanya, dalam penulisan karya ilmiah maupun cerita fiksi akan diberikan suspension.

"Bawakan aku makanan enak, kalau akhirnya memang Shikamaru orangnya."Sakura memberikan kompensasi terhadapku yang tak mampu membalasi setiap suku kata yang ia lepaskan. Dengan berkata seperti itu, aku tidak perlu lagi menyahuti tuduhannya – hanya butuh menunjukkan, apakah tudingannya itu berarti atau tidak.

Tin…! Tin…! Dua bait suara klakson itu terdengar dengan nyaringnya, saat aku bersamaan dengan Sakura melihat ke arah jam dinding, kami dapati saat Shikamaru harus menjemputku pulang. Yaaa, aku meminta mantan kekasihku itu untuk membawaku kembali jam lima sore, dan ini sudah waktunya. Kuambil tasku yang berjenis hobo berwarna hitam polos, dan menyampirkannya di pundak kananku.

"Aku pulang, Sakura." Pamitku, dan ia mengangguk saja. Berjalan berbarengan hingga di ambang pintu, Sakura pun sempat melambaikan tangan ke arahku, ketika aku sudah duduk di bangku penumpang sebelah Shikamaru. Saat mobil sudah berjalan sekali pun, aku masih berusaha untuk menengok pada direksi sahabatku. Beralih pandang pada Shikamaru, tertancap dengan lekat apa yang dikatakan Sakura sebelumnya. Mengartikan, bahwa aku tidak berhenti mencintainya.


o

O

o

Enam hari telah berlalu, aku terus saja menimbang semua yang diutarakan Sakura waktu itu. Bersamaan pula, intensitas aku menghubungi Sai pun menurun. Aku tidak lagi menanyakan ia di mana, sama siapa, dan sedang apa. Bahkan, saat ia yang menghubungiku kembali untuk memberikan penjelasan tentang kenapa ia tidak mengangkat telepon dan membalasi pesanku, aku seakan tidak peduli.

Di ruang kerjaku, aku hanya terduduk sendiri dengan pikiran yang melintang ke berbagai penjuru. Mencoba memahami perasaanku sendiri, berusaha menyakini bahwa selama ini aku tidak menipu diri. Hening, keadaan sunyi meliputi. Na'asnya, saat aku berharap kegiatan bersantaiku diganggu, malah tak seorang pasien pun datang.

Bip…! Bip…! Adanya notifikasi di ponselku membuatnya berdering. Cepat-cepat kulihat siapa subjek pengirim pesan singkat untukku, dan kudapati seorang Sai Himura menanyakan keberadaanku. Kujawab dengan singkat, bahwa aku di rumah sakit. Cukup, itu saja dan tak ada tambahan tanya sebaliknya. Pesan kedua, ia mengajakku untuk bertemu di kafe tempat kemarin aku mencoba mendatanginya.

Memperkirakan sesaat, mungkin saja hanya aku yang terlalu memikirkan tiap verbalisasi sahabatku – di mana, perkataannya mengacu pada aku yang tak mampu move on dari Shikamaru. Tanpa berpikir lebih lama, aku mengiyakan ajakannya serta memintanya untuk menunggu di sana. Membereskan sedikit ruang kerjaku agar terlihat lebih baik, lantas pergi membuana sesukanya.

Traffic light berwarna merah memintaku untuk menghentikan jalan kendaraan yang melaju, stagnasi untuk beberapa detik ke depan seraya kusapukan penglihatan pada sekeliling jalan. Aku menikmati durasi waktu di perjalanan, hingga saat pandanganku menerima pantulan sosok yang amat kukenali di mobil sebelahku.

Itu Shikamaru, dan ia tidak sendiri. Ada gadis berkepang empat duduk di kursi kemudi, sedangkan ia tampak seperti yang menumpang. Tak memikirkan janjiku dengan Sai, aku mengikuti arah pergi kendaraan yang membawa mantanku. Sampai, saat Shikamaru keluar dari mobil itu dan berjalan sendiri memasuki apartemennya.

"Shikaaa…!" panggilku, sebelum mantanku itu benar-benar melangkah semakin jauh, dan menyebabkan aku harus turun dari mobil lalu berlari untuk mengejarnya. Ia berbalik, dan kembali menyetapakkan langkah mendekatiku. "Ino…?" Ia nampak terkejut mendapatiku di sini, aku tersenyum seolah hal ini merupakan ketidak sengajaan belaka.

"Tidak ada pasien, jadi aku mau pulang. Tahunya, aku melihatmu." Semata-mata, aku berbohong agar tidak menimbulkan hal rancu. Ia tersenyum, dan tanpa adanya perintah dariku, Shikamaru memasuki kendaraan roda empatku dari bangku kemudi lantas memintaku untuk berpindah tempat. Kuikuti saja maunya dia, merubah posisi dan pasrah saja.

"Kau pasti lari dari pekerjaanmu," demi mendengar verbalisasinya, aku tahu ke mana ia akan membawaku. Konoha Hospital, tempat kerjaku tercinta. Sesegeranya kuhentikan pergerakan tangannya yang sudah memainkan persneling mobil, kutatap dia untuk memperlihatkan kalau aku tak berdusta.

"Serius!" satu morfem itu menunjukan keyakinan bahwa aku tidak berbohong, ia mengangguk saja. Lantas mengambil ancang-ancang untuk keluar dari mobilku, yang mana hal itu akan sukses terjadi apabila tidak kucegah dengan menarik lengannya.

"Kau ada janji?" ia kembali memposisikan diri pada bangku kemudi, lantas mengelengkan kepalanya dengan singkat. Sebenarnya ingin mempertanyakan juga dari mana dan dengan siapa ia tadinya, tapi aku takut cerita karanganku akan terbongkar. Jadi, anggap saja aku tidak mengetahui apa-apa.

"Aku juga tidak. So, bagaimana kalau kita jalan saja?" membual. Yaa, aku memang berdusta, dan aku tidak tahu kenapa aku melakukannya. Sekali lagi, ia tersenyum padaku dan bersiap menjalankan mobilku. Kuambil ponsel dari dalam saku dress denim, mengirimi Sai pesan bahwa aku tak bisa datang karena tiba-tiba orang tuaku menyuruh untuk segera pulang. Bohong, tidak ada yang bilang kalau aku berkata jujur untuk moment kali ini.

Pertama-tama, aku meminta Shikamaru untuk mengantarkanku ke Konoha Square. Beralasan ingin mencari dress cantik untuk ulang tahunku yang bertepatan tanggal dua puluh tiga bulan ini. Ia mengikuti saja, lagi pula tidak pernah ada ceritanya Shikamaru pernah menolak keinginanku. Setelah memasukan kode pin immobilizer, kami berdua pun keluar dari mobil dan bersiap melangkahkan kaki memasuki gedung bertingkat lima itu.

Shikamaru berjalan terlebih dahulu meninggalkanku, aku sendiri entah kenapa membatu tepat di samping mobil. Kulihat ia dengan tangan kirinya yang dimasukan ke dalam saku celana, dan tangan kanannya bergerak-gerak bebas mengikuti setiap tapakkan kakinya. Tangan yang dulu selalu kurengkuh ketika bersamanya, jari-jemarinya yang saling tertaut denganku seolah menjagaku untuk tetap di sisinya.

"Hahahaaa..!" kudengar suara yang tak asing bagiku, dan saat aku mendireksikan netra pada muasal suara, kudapati sosok diriku sendiri tertawa sembari memeluk lengan Shikamaru. Tampak begitu senangnya aku, sedangkan ia sendiri tersenyum saja. Aku berhalusinasi, dan akan menjadi sebuah delusi bila aku mempercayai itu yang sedang terjadi.

Anehnya, meski aku tahu yang kulihat adalah khayalan, tapi pandanganku tak pelak terus terarah pada 'kami yang dulu'. Khidmatnya aku, menatap diriku sendiri yang bergelayut manja di samping Shikamaru. Sesekali aku pun ikut tersenyum, kala kulihat ia yang dahulu kekasihku menyentuh pelan puncak kepalaku. Iri, entah kenapa aku merasa demikian pada kenangan sendiri.

"Ino…!" tegur Shikamaru – yang asli, bukan ilusi. Kontan aku terkejut karena panggilannya, dan ia kini sudah kembali ada di depanku. Aku menundukkan kepala sesaat, mencoba untuk kembali dapat menfokuskan perhatian pada realitas. Saat kuangkat kepalaku, ia mengulurkan tangan kanannya untuk dapat kugenggam.

Jangan sampai ia menunggu lama dan menarik lagi tangannya, cepat-cepat kusampirkan lenganku pada salah satu komponen tubuh Shikamaru. Berjalan bersamaan seperti pandangan yang tadi kudapatkan, aku bahkan tertawa karena ia mengataiku seperti orang bodoh saja. Entah kenapa, untuk pertama kalinya, aku tidak mau berkata selamat tinggal pada masa laluku.

Untungnya, Sakura tidak ada di sini. Bila dia ada, maka yakin saja aku akan kembali kelimpungan menghadapi semua kata-katanya. Jika nyonya Uzumaki itu berada di dekatku, percaya bahwa ia akan membuatku semakin kepayahan mendapati seluruh tudingannya yang selalu saja kuhindari. Syukurlah, aku dan ia tak dalam satu alokasi.

Satu persatu, toko yang ada kami masuki. Sudah tidak tahu lagi berapa banyaknya, dan tak terhitung jumlah gaun yang kucoba. Namun, tidak satu pun menjadi pilihanku karena tidak mencakupi kualifikasi yang telah kustandarkan. Shikamaru diam saja, ia bahkan sesekali menjadi penilai dari satu pakaian yang kupikir pantas. Hasilnya, bila ada yang sesuai dengan mau kami berdua, tentu saat ini aku dan dia sudah tidak lagi berjalan ke mana-mana – nihil.

"Shikamaru, bagaimana?" tanyaku setelah keluar dari fitting room, dan mengenakan satu dress cocktail berwarna ungu. Ia berpikir sejenak, mengamatiku dari ujung kepala sampai ujung kaki.

"Payetnya terlalu banyak. Norak untukmu." Itulah penilaiannya, kurang karena aksen payet di dada pada gaun ini ia rasa terlalu berlebihan. Aku menghentakkan kakiku pelan, mau tak mau kembali memasuki ruang pas untuk mencoba gaun yang lain. Dress berbahan satin hitam-putih, dan berleher deep scoop itu menjadi pilihanku selanjutnya.

Kali ini, aku agak kesulitan untuk mengancing resleting gaun, "Shikamaru…!" panggilku, dan dalam hitungan detik kemudian ia dengan seenaknya membuka tirai penutup. Aku takkan marah, karena aku yang memintanya datang. Mundur satu langkah, ia pun mengerti bahwa aku meminta tolong untuknya mengancingkan dressku. Melakukan apa yang kupinta, namun tak beranjak setelahnya.

Kembali melihatiku, kali ini ia serta senyumannya terlihat kontras dari sebelum-sebelumnya. "Lucu," demikian penilaiannya. Alih-alih merasa suka, aku malah memberikan tatapan tak senangku padanya. "Aku bukan lagi gadis belia yang mau dikatain lucu, Shikamaru." Aku bertutur seperti itu, dan langsung menutup tirai yang tadi disibaknya.

"Bagaimana?" Aku menyuruh ia menilai sekali lagi, dengan gaun berwarna cokelat terpasang di tubuhku. Ia menggeleng – kode dari mentidakkan, "aku lebih interest dengan dress yang tadi." Kuhela napas pendek, harusnya aku tidak memintanya memberikan argumentasi. Aku sudah sangat mengenali sifatnya yang satu ini – sekali ia suka, mau dikata apapun, Shikamaru akan tetap menyenanginya.

Kalah, aku mengikuti maunya. Memasuki fitting room sekali lagi untuk memakai gaunku sendiri, lalu keluar sembari membawa tiga dress kepada pelayannya. "Sist, aku pilih yang ini," tunjukku pada pada gaun satin berwarna hitam-putih pilihan mantan kekasihku. Shikamaru di belakang tubuhku, tanpa kuminta ia sudah menyerahkan kartu debitnya pada kasir, bermaksud untuk membayarkan harga gaunku. Aku terdiam, menatapnya penuh kebingungan. Aku, kan, sekarang mantan kekasihnya.

"Angap saja, hadiah dariku." Ia seolah paham arti destinasi netraku yang tertuju padanya. Mengucapkannya, meski tidak memberikan atensi barang satu detik saja. Aku mengendikkan bahuku, berarti aku juga harus memberikannya sebuah hadiah. Tapi apa, Shikamaru sukanya apa? Shogi? Aku sudah memberikannya dulu. Tidak, tidak, aku tak akan memberikannya catur jepang lagi.

Menerima kartunya yang telah digunakan untuk prosesi pembayaran, ia dengan baiknya mau membawakan shopping bag yang berisikan dress baruku. Terulang lagi saat aku menggengam tangannya, kami memutuskan untuk segera keluar dari toko dan mencari makan. Jam sudah menunjukan pukul tujuh malam, tapi rasanya aku tidak memiliki alasan untuk segera pulang.

''Coz i know you can't stay, so i won't be waiting, anticipating for the fall.

We had our time, baby, so i won't be waiting, anticipating for the call.'

Samar-samar, kudengar dari dalam tas, ringtone ponselku mengalun yang memperdengarkan lagu Turn It Up. Cepat-cepat aku mengambilnya, dan mendapati ibuku yang mencoba menghubungkan saluran telekomunikasi jarak jauh denganku. Ragu, aku merasa enggan untuk menjawab panggilan via telepon itu. Namun, saat ibuku mencoba menelepon yang ketiga kali, barulah aku mau mengangkatnya. Kupikir, mungkin saja ada hal yang sangat penting.

"Yaa, bu?" Suaraku yang pertama kali terlontar. Di seberang sana hening saja, tidak ada tanggapan apa-apa dari verbalisasi tanya yang kulisankan.

"Inoo, kau di mana?" akhirnya, ada juga yang meresponiku. Padahal, jika lima detik ke depan tidak kudapatkan reaksi dari si penghubung, yakin saja aku akan menekan tombol fungsi reject.

"Aku? Aku jalan dengan Shikamaru, bu," kujawab dengan arah pandang sesekali terdireksi pada Shikamaru yang menatapku biasa. Ia menghembuskan napas, lalu menarikku ke sudut ruang – agar kami tidak berdiri di tengah jalan orang yang lalu-lalang.

"Ooh, kau bersamanya? Mana dia?" jelas sekali, kan? Tanya sembari memerintah itu memintaku untuk menyerahkan ponsel pada Shikamaru. Saat kuberikan smartphone-ku padanya, ia tanpa banyak bicara langsung menerima panggilan orang yang ingin berbicara dengannya.

"Iya, bibi?" entah apa yang mereka bicarakan, aku hanya bisa mencoba untuk menerka-nerka. Tak pelak, pandanganku berisikan rasa ingin tahu yang mencuat. Terlebih lagi, saat kudapati raut wajah Shikamaru yang berubah ekspresi. Ia yang tadi biasa saja, kini sesekali memandangiku dan beberapa kali menggelengkan kepala.

"A-apa…?" untuk momentum yang ini, rasa penasaranku sudah melambung ke mana-mana. Usai Shikamaru meminta klarifikasi dengan bertanya satu kata itu, selekasnya aku menarik ponselku dari genggamannya. Aku diam saja agar tidak curigai bahwa bukan Shikamaru pendengarnya, bersiap mengetahui penuturan orang di tempat yang berbeda dengan kami saat ini.

"Aah, kau, Shikamaru." Bukan, ini bukan suara ibuku, melainkan orang tua priaku. Rupa-rupanya, sedari tadi Shikamaru tak berbicara dengan orang tua wanitaku, tapi terhubung dengan ayahku.

"Yaa sudahlah, aku titip putriku." Itu kalimat terakhir ayahku, rasanya mungkin tidak memiliki sinkronisasi dengan ujarannya yang terdengar sayup-sayup oleh Shikamaru – karena itu ia meminta pengulangan. Sungguh, sangat rancu sekali. Jelas saja, bahwa ayahku mencoba melupakan pembicaraan dengan berkata demikian. Bukankah, verbalisasi yang ayahku ucapkan tadi sangat tepat sebagai pengalihan?

Sudahlah, untuk apa mempermasalahkan sesuatu yang tidak penting? Aku sudah mengambil ancang-ancang untuk berjalan seraya menarik pergelangan tangan Shikamaru, tapi terhalang saat aku melihat seseorang yang sudah sangat aku kenali. Sai, entah kenapa bisa bertemu dengannya di sini. Wanti-wanti didapatinya aku tidak seperti yang telah kukabarkan padanya, langsung saja aku menarik Shikamaru dan bersembunyi di balik tegapnya tubuh mantan kekasihku.

Untungnya, kami di satu sudut yang tidak terlalu memakan banyak perhatian. Aku merengkuh Shikamaru, menyembunyikan wajah dan badanku dengan memanfaatkan ia. Shikamaru diam saja, ia malah menengok kanan-kiri, berusaha mencari sumber mengenai prilakuku yang seperti itu. "Peluk aku, Shikamaru!" suruhku padanya, dan ia mengikuti saja. Tidak menanyakan kenapa, juga tidak meminta penjelasan mengenai karena siapa, ia melakukan apa yang aku diktatorkan.

Seakan kami pasangan kekasih yang lama tak berjumpa, aku tidak peduli beberapa pasang mata melihati kami dengan berbagai persepsi tentunya. Dari indera visual yang agak tersimbul, kudapati juga Sai melihat ke arah kami, dan ia sama sekali tidak tahu bahwa aku yang menjadi sorotan. "Kenapa?" bisik Shikamaru pelan, yang kubalas dengan menggelengkan kepala ringan dan semakin mengeratkan dekapanku.

Sekali lagi aku melirik keluar, dan menemukan Sai sudah pergi semakin jauh. Lantas, sesegeranya aku langsung membawa Shikamaru untuk berlari berlainan arah dengan si targetku. Entah kenapa aku seperti ini, rasanya seakan tidak ingin diketahui bahwa sekarang aku tengah menikmati waktu bersama pria lain. Ia bukan kekasihku, tapi aku malu saat bertemu dengannya dan memperkenalkan ia pada Shikamaru.

Aah, jika aku berani jujur, maka sebenarnya aku hanya mencari kesempatan untuk dapat kembali berada dalam rengkuhan mantanku. Andai aku dapat berkata benar, jika saja aku punya keyakinan untuk tidak lebih lama mendustai diriku sendiri, aku hanya merindukan Shikamaru lebih dari yang bisa kuakui. Sakura benar, selama ini aku hanya mencari sosoknya di tubuh yang lain.

Jauh dari dalam palung hati, aku merasa menyesal telah memutuskannya. Tidak tahu seberapa bodohnya aku saat berkata ingin mengakhiri semuanya, entah separah apa rendahnya tingkat kemampuan intelegensiku hingga aku berlari menjauhinya. Kukatakan, aku sudah membuang namanya dari ingatanku. Tapi satu hal yang baru kusadari, bahwa aku…

"Tadi kenapa?" di sela langkah kami yang seperti diburu, ia akhirnya melontarkan tanya sekali lagi. Aku menggeleng pelan, bingung untuk dapat mengutarakan apa padanya. Selama dua tahun ini, aku mencoba mengikis dirinya, menyapu bersih ingatan tentangnya, serta menjauhkan angan tentang ia dan kami untuk di masa depan.

"Aku lihat Sai." Kuberikan kejujuran saja padanya, dan ia malah menggerakkan kepala berulang ke arah kiri dan kanan – tanda tidak memahami. "Loh, bukannya bagus kalau kau bertemu dengannya?" imbuh Shikamaru, dan aku tanggapi dengan tertawa renyah sebisaku. Kau tidak tahu, Shikamaru, kalau aku mendustainya agar bisa pergi denganmu. Kau tak mengerti, aku merubah semua janji supaya dapat bersamamu.


o

O

o

Aku baru saja melewati ambang pintu rumahku, dan bergegas untuk memasuki ruangan pribadiku dengan menenteng satu kantung hadiah yang terlalu dini dari Shikamaru. Kadang, setelah mengantarnya pulang, aku masih sering tersenyum-senyum sendiri seperti ini. Katakan saja, kewarasanku telah hilang untuk satu hari.

"Ino…!" suara baritone ayahku terdengar dari ruang keluarga. Dipanggil seperti itu, jelas saja aku akan melangkahkan kaki mendekati kedua orang tuaku. Berhadapan langsung dengan mereka, dan mendudukan diri di sofa yang saling berdepanan. Kuhela napas pelan, tahu bahwa akan diinterogasi macam-macam.

Bukannya, tadi aku sudah mengaku kalau aku pergi bersama Shikamaru? Ayah juga sudah menitipkanku padanya, lantas kenapa sekarang malah ingin menyelidikku? Banyak pertanyaan mengucur di pikiranku, namun tak ada satu pun yang bisa kucurahkan. Diam saja, menunggu mereka menuntut padaku memberikan penjelasan.

"Apa kau baik-baik saja?" Sadar atau tidak, ibuku malah memberikan pertanyaan mengenai keadaan fisik dan psikisku. Aku mengangguk saja, tidak ada satu patah kata pun yang kusuarakan.

"Shikamaru…" perkataan yang mengambang seperti itu dari ayahku, membuatku semakin tidak mengerti arah pembicaraan yang diajukan oleh kedua orang tuaku ini. Kudelikan mataku ke atas, seolah ikut menimang perujarannya.

"Tidak ada apa-apa antara aku dan Shikamaru. Semua baik-baik saja," aku langsung berkata demikian, saat mengira orang tuaku menebak adanya perselisihan pada aku dan pemuda Nara itu. Tapi, aku rasa, mereka juga tahu bahwa tidak ada permasalahan apa-apa antara kami. Lantas, tepatkah aku menjawab dengan kalimat itu?

"Sayang sekali." Oke, jawabannya adalah tidak. Jelas aku salah dengan mengungkapkan kalimat yang tadi kuberikan. Mereka ingin aku dan Shikamaru bertengkar, begitu?

"Maksud ayah?"

"Tidak apa-apa." Aku langsung berdiri, hendak menuju kembali ke kamarku. Saat sudah sosokku tak terlihat karena terhalang dinding, kudengar ayahku berkata singkat, "padahal, aku sudah menyuruh Shikamaru untuk segera memberiku cucu." Terperangah, tentu saja itulah yang terjadi padaku saat ini. Namun, aku tetap berpura-pura tidak mendengar apa yang dikatakan orang tua lelakiku barusan.

Cepat-cepat aku menaiki tangga, dan memasuki ruang pribadiku. Membuka bungkusan yang kubawa, dan memeluk gaun yang dipilih sekaligus terbelikan oleh Shikamaru. Masih saja seperti orang yang terkena gangguan jiwa, senyum sumringahku tersungging dengan sendirinya. Sama sekali tidak ada dalam prediksiku semua rasa itu, tak di dalam jangkauan estimasi bahwa aku akan merasa sebahagia ini.

Aku tentu dapat mengakui, kalau aku telah membuang namanya dari dalam memoriku. Aku bisa saja mendusta nurani dengan berkata tidak lagi mencinta, aku dapat menipu siapa saja dengan mengaku telah melupakan perasaan.

Tapi satu hal yang tidak mungkin bisa aku lakukan, bahwa aku tidak akan pernah mampu menghapus bayangannya dari dalam pikiranku.

'I can't erase your shadow from my mind, cause your shadow always in my mind! Everywhere i go, yours always follow me'

Aah, anggap saja aku baru menemukan satu frase indah yang layak untuk dipertimbangkan seluruh dunia sebagai seorang pujangga.

To Be Continued…


A/N:

Pertama-tama, akhirnya saya bisa juga membawakan quote C-SIF, 'your shadow always in my mind!'. Setengah hidup mikirin alur agar bisa sampai ke sana, dan Sweet September chapter tiga inilah hasilnya. Serius, maaf kalau cerita di chap ini rada ngawur dan acak-kadut, tapi saya tetep seneng karena bisa menuliskan kata-kata itu. *merasa tertantang sendiri.

Awalnya ada niat buat fic baru dengan membawakan tema quotes itu, tapi setelah dipikir-pikir, lebih baik saya melanjutkan SS dengan memasukan ide tersebut. Fic ini, salah satu fic yang saya targetkan untuk cepat selesai. Karena, saya gregetan untuk membuat salah satu dari trilogy September ini.*udah mikirin judulnya segala.

Bagaimana chap tiga ini, apa lebih baik atau malah lebih buruk? Saya tidak bisa menilainya seorang diri, tapi kalau boleh jujur, saya benar-benar suka interaksi ino dan shikamaru (mulai dari ia berpura-pura, berhalusinasi, sampai di ujung scane).*ngayal, sih, kalau Yank-chan dalam posisi Ino. Juga pengen di beliin dress cantik begitu.*maniak dressnya keluar.

Semoga tidak mengecewakan chapter ini, saya benar-benar harap-harap cemas. Ooh, iyaaa, ini fic pertama saya dengan nama baru. Saya mengganti kata Magenta menjadi Pixie, karena lagi merasa tertarik berat dengan kata itu.*sumpah mateng, gak penting, Yank!

Terimakasih untuk para reviewers: Kirei-Neko, Zeroplus (rho-chan, momma), Saqee-Chan, Co-Bebh (tau ajalah siapa makhluknya), Yoyol-Chan, Beauty-Rose, Evil Smirk Of Black Swan, MInori Hikaru, NiaNara, Guest, Puput Mochito, Zielavenaz96, My Crazy Twin (sadar diri aja, kok, orangnya.)

Juga untuk pada semua yang telah memberikan icon favorite dan mengikuti fic ini. Thank's a a lot, guys! Love you!

Oke, terakhir, seperti biasa saya mengharapkan dapat banyak tanggepan dari teman-teman yang telah membaca fic ini.

So, rewiew pleaseeeee…!

Salam,

Pixie (Yank)-chan