Disclaimer: bukahkah seluruh karakter dalam Naruto milik Masashi Kishimoto?

Genra:Com-Rom(Comedy-Romance), Hurt/Comfort

Main Chara: Ino Yamanaka and Shikamaru Nara

Warning: author amatiran, abal tak terkira, banyak kesalahan dalam penulisan, payah EYD, bergelimpungan typo(s), hanya berharap maklum dari para readers.

Summary: aku sangat menyukai bulan septermber, karena di bulan itu aku dilahirkan sebagai seorang gadis dari keluarga yang mencintaiku. tapi semuanya sedikit berubah, saat di awal september kali ini ayahku mengatakan bahwa aku akan dijodohkan dengan seorang yang tak kukenal. Lalu dari semua yang kulakukan, kuharap septemberku akan menjadi lebih baik.


Sweet September

Ceeetttaaaarrrr...! Rasanya seperti halilintar bergaung tepat diatas kepalaku, memekik telinga dan membuat amigdala dalam otakku berteriak, 'awaaaaaaas..!'.

Berharap salah mendengar, berharap ayahku salah ucap, dan lebih kuharapkan lagi ini adalah lelucon April Mop! Tapi mirisnya, ini bukan bulan april, sekarang sudah awal september dan tidak pernah ada ceritanya September Fools Day. Aku hanya mampu memasang raut wajah tak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan oleh kedua orang tuaku, bahwa aku sudah ditunangkan saat masih dalam kandungan.

Ini hari apa sih, sehingga masih berlaku saja sistem perjodohan, dari dalam kandungan lagi. Bayangkan saja, seandainya memang kau sudah ditunangkan dengan seseorang dari dalam buaian perut ibumu, tapi begitu kau dan ia lahir, keduanya memiliki jenis kelamin yang sama?! Astaga, kalau tidak salah orang-orang menyebutnya Shonen-Ai, Shojo-Ai, Boys Love, Girl Love, entahlah apa! Pikiran negatif ku mulai memberikan beberapa opsi. Pertama, aku akan menjadi pecinta wanita dan kedua, calon tunanganku adalah pria yang sangat-amat-sangat tua! Tidak tahu itu om-om atau malah duda dengan banyak anak.

Kutarik napasku perlahan, pandanganku terarah lurus pada kedua orang tua. Aku tersenyum hampa, kuyakin mereka bisa membaca isi gurat di wajahku yang mewakili kata ' kalian bercanda!' Ibuku hanya membalas dengan senyuman manis, sesekali diliriknya ayahku. Ayahku sendiri malah memilih untuk bungkam, yang sepertinya ia masih menyusun fonem demi fonem hingga menjadi sebuah kalimat yang tepat untuk diuraikan padaku.

"Sebenarnya, ayah tidak terlalu memperdulikan persoalan mengenai pertunanganmu ini,"ayahku akhirnya bersuara. Mengehela napas pendek dan bersiap melanjutkan kata-katanya.

"Tapi melihat keadaanmu saat ini, rasanya perjodohanmu memang harus diteruskan."

"Keadaanku? Keadaanku yang bagaimana? Aku baik-baik saja, tidak kekurangan apapun, bisa tetap membantu ibu yang bersalin dengan baik, masih perawan dan..."

"Naaah, itu dia..!" sela ayahku, padahal aku belum selesai membela diriku. Aku terdiam lagi, tubuhku menjadi lebih tegap sesaat setelah mendengar selaan dari ayahku. Benar-benar tidak mengerti.

"Apa kau sadar bahwa kau sudah dapat dikatakan sebagai perawan tua? Liat teman-temanmu, semuanya, dari Ayame hingga Sakura! Semuanya sudah berkeluarga dan telah memiliki anak. Dan kau, tetap saja seperti ini, tidak laku-laku!"

Sakitnya mendengar ucapan dari ayah sendiri yang mengatakan aku tidak laku-laku. Orang tua macam apa ayahku ini yang seenaknya mengatai anak sendiri wanita yang tidak laku-laku? Apa dosaku, aku hanya belum mendapatkan seseorang yang menjadi target incaranku, tapi tolonglah jangan mengatakan kata-kata sadis seperti itu.

Kuberikan pandangan mata pada ayahku, dengan tidak percaya bahwa ia baru saja mengutukku menjadi batu. Kualihkan tatapanku ke arah lain, tapi beberapa detik kemudian kembali melihat objek yang sama, ayah dan ibuku.

"Teganya ayah berkata seperti itu..!"

" Ayahmu bukan tega, nak. Ayahmu hanya mengatakan apa yang sebenarnya harus dikatakan, bahwa kau memang sudah seharusnya menikah. Jangan buat ayah dan ibumu ini khawatir..!"

Aduh! Bahkan ibuku pun tidak membelaku sama sekali, malah ikut-ikutan menyudutkanku. Mereka berdua ini memang orang tua kandungku, kan? Aku bukan anak yang ditemukan didepan rumah dan dibawa masuk kedalam keluarga ini, kan? Kalau iya, lantas kenapa bisa sejahat itu?

Aku kembali tidak dapat mengucapkan sepatah katapun, memilih untuk menyandarkan punggungku disandaran sofa ruang keluarga, menyilangkan kedua tanganku, menggelengkan kepala beberapa kali.

"Apa yang ayah dan ibu khawatirkan?"

"kau itu..." ibuku menjawab dengan kalimat tergantung, yang disambungnya dengan gelengan kepala dan senyum yang dipaksakan. Ia seperti amat ragu untuk melanjutkan kalimatnya, atau bahkan tidak berani mengungkapkan kata-kata selanjutnya.

"Kau masih menaruh minat pada laki-laki, kan?" akhirnya ia selesaikan. Aku makin terkejut dengan apa yang baru saja ku dengar, bahwa aku dituduh lesbi.

Ya ampun, benar-benar aku ini tak begitu menarik untuk pria yaa, sehingga aku memilih untuk menjadi pecinta wanita? Tapi di satu sisi aku senang juga, setidaknya opsi negatif pertamaku sudah gugur dengan otomatis. Secara, mana mungkin orang tuaku akan menjodohkan ku dengan wanita, bila mereka sendiri khawatir anaknya pecinta sesama jenis. Berarti tinggal opsi kedua, aku akan menikahi om-om!

"Enak saja, mana mungkin aku tidak punya minat dengan laki-laki!"

"Kalau begitu, mana buktinya?!" aku terdiam, tak bisa memberi perlawanan apa-apa. Tidak mungkin kujawab bahwa baru dalam taraf pendekatan. Mungkin aku kurang berusaha, atau aku yang terlalu ragu untuk mendekati target yang kupilih.

Sai-kun, ia selalu dingin dan datar. Susah sekali mendekatinya, amat rumit menarik perhatiannya. Kadang aku merasa ia itu robot canggih yang berhasil melewati tes turing dengan sempurna. Aku menyebutnya robot, tak pelak karena ia kekurangan pasokan emosi. Ia hanya sering tersenyum, dan itu jelas sekali hanya bibir yang dibentuk menyudut lebih runcing yang dibuat-buat.

"Buktinya apa?" aku malah berbalik bertanya, berpura-pura tidak mengerti ucapan ayahku. Aku sebenarnya sedang berusaha menghindari percakapan ini dengan sesopan yang kumampu. Mereka orang tuaku, mana mungkin aku mengalihkannya dengan mencari topik pembicaraan lain.

"Pacarmu, mana?" to the point sekali ayahku menjawabnya. Sukses dengan sangat sempurna membuatku kembali terdiam. Aku berpikir sesaat. Berpikir dengan keras untuk dapat menjawab pertanyaan mematikan itu.

"Ada, aku punya!" bohong. Aku berbohong dengan menunjukan expresi meyakinkan pada kedua orang tuaku.

"Pacarmu itu laki-laki kan?"

"Iyalah, ayah!" kontan kujawab dengan suara yang agak lebih meninggi. Kesal karena selalu disangka peminat sesama jenis. Aku menghela napas pendek, tatapanku menjadi menajam. Benar-benar kesal rupanya aku kali ini.

"Oke kalau begitu, coba kenalkan pada ayah."

"Dia sibuk, banyak urusan!" aku menghindar denga alasan yang mungkin bisa masuk katergori general itu. Bodohnya, setiap manusia dimuka bumi ini pasti memiliki kesibukan dan tentu sibuk. Ya ampun, alasan apa yang barusan yang kugunakan? Salah.

"Setiap orang pasti memiliki kesibukan, Ino-chan." Kata ibuku dan seperti sudah kukatakan, alasanku salah.

"Begini saja, ayah beri kau waktu tiga hari untuk memperkenalkan pacarmu pada ayah dan ibumu. Dan bila saat tiga hari yang ayah beri kau tidak bisa juga membawanya kepada kami, maka dengan sangat terpaksa kau harus menerima pertunangan itu." ayahku memberikan pilihan yang sepertinya amat berat bagiku. Aku menggelengkan kepala dengan pelan, entah harus kuterima atau menyerah sekarang juga.

"Dia sibuk ayah, mana mungkin bisa meluangkan waktu, tolong mengertilah sedikit."

"Kau yang tolong mengerti sedikit! Kalau kekasih mu tidak bisa memberikan waktu dari seluruh kesibukannya untuk mu, tandanya ia tidak benar-benar mencintai mu. Buang saja..!"

Sial! Ayahku kali ini berhasil menyudutkanku, benar-benar mampu membuatku terpojok. Aku bungkam lagi, tidak tahu harus menjawab apa, tidak punya alasan lebih rasional lagi. Jadi...

"Oke, ayah. Aku akan memperkenalkan pacarku pada ayah dan ibu. Dan tolong setelah itu, biarkan aku menjalani hubunganku tanpa ada paksaan ini dan itu."Jujur, aku sebenarnya tidak berniat sama sekali menerima tantangan ini. Tapi rasa ego ku yang tinggi dengan seenaknya membiarkan mulut ku untuk mengatakan bahwa aku menerima tantangan ayah ku.

"Baiklah, tiga hari lagi, jam sebelas siang ayah akan mengadakan acara barbeque dengan teman lama ayah, harap kau datang membawa kekasihmu."

Aku memasang tampang yakin akan membawa kekasih yang sebenarnya fiksi itu, kudengar tiap kata ayahku. Hingga ia melanjutkan, "tapi bila kau tidak bisa membawanya, maka bersiaplah bertemu dengan orang yang sudah ayah pilihkan."

Jleb..! Rasanya ada kunai menusuk tubuhku, yang tepat mengenai jantungku. Aku ingin berteriak sekeras-keras yang aku mau, sekuat yang aku bisa. Ancaman itu benar-benar mengerikan, mampu membuatku membulatkan sepenuhnya mata sipit ku. Ayah dan ibuku pergi melangkah meninggalkanku sendiri di ruang keluarga ini. Aku hanya dapat menatap punggung mereka yang sedikit demi sedikit menjauh itu.

"Oh iya..." ucap ayahku, menghentikan langkahnya sambil berbalik kembali ke arahku yang masih terpaku.

"Sekali lagi, ingat juga dengan umurmu, nona! Kau benar-benar bisa disebut sebagai perawan tua." Setelah mengucapkan kata menyakitkan itu, ayahku dengan seenaknya melenggang pergi.

Oh my my..! Kenapa harus ngebawa umur segala? Aku tertunduk, meresapi setiap kata singgungan dari ayahku. Hebat! Setelah mengatakan aku tak laku-laku, sekarang ia mengataiku perawan tua, yang dibila disimpulkan aku adalah wanita berstatus perawan tua yang tak laku-laku. Miris..!

Tiga hari. Bagaimana mungkin aku bisa mengenalkan seorang kekasih pada ayahku? Ya Tuhan, tolong aku..!


o

O

o

Aku duduk termangu dikursi kerjaku, masih memikirkan tentang siapa yang bisa kukenalkan sebagai seorang pacar pada kedua orang tuaku. Biar bagaimanapun aku harus bisa membawa seorang pria agar mampu terlepas dari perjodohan terkutuk ini. Pikiranku tidak konsisten, satu sisi aku ingin menyerah saja tapi disatu sisi yang lain mengatakan tidak. Kusandarkan punggungku pada sandaran kursi di belakangku.

Aku menghela napas panjang, aku bergerak pelan mencari-cari sesuatu di jas putih penanda identitasku sebagai dokter, yang juga tersampir di belakang sandaran kursiku. Sekali lagi kuhela napas pendek, begitu kutatap layar smartphone-ku selebar empat inci. Ragu untuk mengetik pesan singkat kepada seseorang. Tapi aku sadar, bahwa aku harus bergerak cepat.

Sai-kun, aku menyukainya dari satu tahun yang lalu. Saat itu ia mengantar kakak iparnya untuk memeriksakan kandungan. Aku sudah terpesona dengan pembawaannya yang tenang, santai dan terkesan dingin. Apalagi begitu kutahu bahwa ia adalah seorang pelukis yang tengah naik daun, tanpa membuang kesempatan, saat ia mengundangku ke pagelaran lukis solo-nya, aku pun dengan senang hati menerimanya.

Sudah satu tahun ini pula aku terus berusaha untuk menjadikan-nya kekasihku, namun seperti yang telah diungkapkan oleh fakta bahwa aku masih sendiri, tanda bahwa aku gagal. Ia itu tidak peka sama sekali, padahal sudah seringnya aku memberikan clue kalau aku menyukainya. Kira-kira dia itu robot atau bodoh, yaa?

Kuketikan pesan pada subjek yang menjadi incaranku itu, menanyakan ia sedang apa dan di mana. Standar sekali. Setelah pesan terkirim, aku merosotkan tubuh sedikit tubuhku dan ikut membaringkan kepalaku pada sandaran kursi.

Jangan mengira bahwa aku tidak memiliki kekasih hingga saat ini, sebenarnya dulu aku pernah menjalani sebuah hubungan dengan seorang pria tanpa sepengetahuan orang tuaku, yang tahu persoalan ini hanya beberapa teman baikku. Bayangkan, lima tahun aku menjalani hubungan backstreets itu, yang berakhir sekitar dua tahun yang lalu! Memang sayang, tapi mau dikata apa.

'And I will make sure to keep my distance.

Say "I love you" when you're not listening.

How long can we keep this up, up, up?'

Kudengar ringtone ponselku bersuara, tanda sedang ada orang yang mencoba menghubungi ku. Lagu Distance, yang cocok sekali untuk orang yang menjalani hubungan tanpa status sepertiku. Kutatap layar ponsel ku, mendapati sahabatku yang menelpon.

"Ya Sakura..?" tanyaku tanpa ucapan 'halo' sebelumnya, dengan tanpa antusiasme.

"Kenapa kau? Seperti orang yang tidak punya bakat hidup saja," ucap Sakura di seberang sana. Jelas ia menyadari ada yang aneh pada diriku. Karena memang tumben, seorang Ino yang berisik ini nampak lesu.

"Ayahku menunangkanku dengan seorang yang tak kukenal, Sakura." Aku mulai membuka sesi curhatku padanya. Jika ia ada di depanku saat ini, pasti ia akan menertawakan expresi bodohku saat mengeluh. Syukurlah, ia masih cuti melahirkan yang baru dua minggu yang lalu, kalau tidak habislah aku jadi bahan ejekannya.

"Kok bisa?"

"Kata mereka aku sudah dijodohkan dari dalam kandungan, dan karena sampai sekarang belum juga mendapatkan pasangan, mereka jadi khawatir. Aku bingung"

"Ya sudah, terima saja..!" dengan gampang Sakura menyarankan seperti itu, dan mampu membuat ku menegapkan tubuh ku dari sandaran.

"Enak saja, terus Sai-kun mau dikemanakan?"

"Hubungan kalian begitu-gitu saja kan, tidak ada perubahan?" Skakmat! Aku takkan bisa mengelak.

"Aku sedang berusaha. Aku harus mendapatkannya dalam waktu tiga hari dan mengenalkannya pada ayah dan ibu ku. Atau.."ucapanku menggantung, ragu untuk melanjutkannya.

"Atau apa?"

"Aku harus menerima perjodohan ini. Aku tidak mau Sakura!"

"Alasannya?"

"Mungkin saja orang yang ditunangkan dengan ku ini om-om, atau malah duda beranak banyak."

"Kau dapat pemikiran itu dari mana?"

"Mungkin saja. Karena kalau ia muda, mana mungkin menerima pertunangan ini begitu saja!" Aku memberikan alasan yang menurutku sangat logis ini. Ya benar, itu alasan yang tepat.

"Konyol!"

Haah? Konyol? Bisa-bisanya Sakura berkata seperti itu padaku. Ia ini seorang sahabat atau musuh dalam selimut? Sadis.

"Mungkin saja tidak seburuk yang kau kira, banyak kok pertunangan yang berakhir baik. Contohnya saja Hinata, siapa sangka ia akan dinikahi sepupunya sendiri? Kau tahu Neji, ia bukan om-om dan duda beranak banyak, kan?" Sakura melanjutkan kata-katanya, yang membuatku kembali kalah dalam perdebatan jarak jauh ini.

"Tapi, aku tak mengenalnya, Sakura." Saat berkata itu, aku hampir menangis seperti gadis kecil yang permintaannya tidak diikuti oleh orangtuanya. Bibirku sudah mengkrucut ke depan. Jeleknya!

Kutahu Sakura menghela napas pendek yang terdengar dari desahannya, "terus bagaimana? Kau naksir seseorang yang sepertinya tidak meyakinkan bisa kau dapat."

"Kan sudah kubilang, aku akan lebih berusaha hingga hari H."

"Bagaimana bila kau gagal? Harusnya kau juga memikirkan kemungkinan terburuknya."

Aku bungkam lagi dan lagi, memang tidak tahu harus membalas apa untuk perkataannya barusan. Kugaruk kepalaku yang tak gatal, masih bingung harus memberikan respon verbal padanya.

"Jujur saja, aku jadi kasihan juga." Sakura kembali bersuara setelah beberapa tidak mendapatkan tangggapan ku.

"Maksud mu?"

"Kau seorang dokter spesialis kandungan, Ino. Tapi jangankan untuk hamil, orang yang menghamilimu saja kau tak punya!"

Sial kuadrat! Setelah ayahku kemarin menyindir soal usia, sekarang sahabat baikku sendiri mengataiku dari pekerjaan yang kumiliki. Sakura ini sepertinya memang musuh di dalam selimut, ia membunuhku dari belakang. Kecewa aku. Setelah ini, kira-kira siapa yang akan menyindirku mengenai keduanya? Semoga tidak ada.

"Sedangkan kau sendiri, Neurolog yang sukses membuat otakku rusak dengan kata-katamu barusan..!" aku mencoba mempertahankan harga diriku, yang malah ditanggapinya dengan suara tawa yang terbahak. Kutunggu hingga reda suara tawa-nya beberapa detik, "Iyaa...tertawakan saja aku lagi."

"Hmmph..! Maaf" jawabnya singkat.

"Lalu bagaimana?" kami berdua hening untuk sesaat. Memikirkan pemecahan yang tepat untuk permasalahan yang ku miliki, hingga akhirnya Sakura bersuara untuk sesuatu yang membuatku sedikit terkejut.

"Bagaimana dengan Shikamaru?"

"Kau bercanda, dia itu sahabatku."

"Dan juga mantanmu, Ino-chan!" aku nyerah sudah. Ia kembali mengingatkan nostalgia beberapa tahun yang lalu.

Yaa..Shikamaru adalah mantan kekasihku, yang sekarang kami melanjutkan hubungan satu sama lain sebagai seorang sahabat. Tidak lebih. Aku juga masih ingat putusnya hubungan kami kemarin, ketika aku mengatakannya tak peduli ,dan ia membalas bahwa aku egois.

"Kau lima tahun bersamanya Ino, masa hanya dua tahun kau sudah melu..."

"Saat ini yang kuinginkan itu Sai-kun, Sakura. Lagi pula setahuku saat ini Shikamaru sedang dekat dengan seorang gadis," kusela perkataan Sakura, aku tahu akan lari ke mana arah pembicaraannya. Sebelum akhirnya ia malah menceramahiku panjang lebar, sebaiknya kuhentikan saja.

"Yaaa..yaa.. !Terserahmu sajalah, Ino. Aku sebagai teman baikmu hanya menyarankan, kau tetap yang mengambil keputusan."

Hening sesaat untuk kesekian kalinya. Hingga kudengar suara bayi yang baru berumur kurang dari satu bulan itu menangis, "Ino, sudah dulu, yaa? Sucia menangis. Di rumah hanya ada aku, sedangkan Naruto masih di kantor."

"Yaa, nanti kapan-kapan aku akan mengunjungimu." Itu kalimat terakhir yang kuucapkan sebelum kata 'bye'. Sekarang aku jadi semakin bingung, pikiranku malah mengarah pada seseorang yang sekarang sudah menjadi mantanku. Aku sadar, mana mungkin aku bisa memperbaiki hubungan kami yang dulu. Shikamaru, mungkin ia sekarang sudah punya kekasih baru. Kuhela napasku lagi dan lagi. Aku bisa gila dibuat oleh permasalahan ini.

Bip...bip..! Bunyi ponselku sekali lagi, mengartikan sebuah pesan baru saja kuterima. Subjeknya, Sai-kun. Cepat-cepat ku buka pesannya, ia menjawab bahwa saat ini ia ada dikafe bernama Konoha Coffe, kafe yang memang menjadi langganannya dan ia sekarang tengah sendiri. Setelahnya, tanpa membuang waktu yang kupunya, aku meninggalkan ruanganku untuk menemuinya di sana.

Tinggal dua hari lagi


o

O

o

Bruuukk...! Aku menduduki kursi kerjaku dengan setengah membanting tubuhku sendiri, dan melemparkan tas yang kubawa ke meja. Kesal, benar-benar kesal. Bagaimana tidak, saat kemarin aku mendatanginya di kafe yang ia sebutkan dalam pesannya, tahu-tahu ia sudah pergi sekitar lima belas menit yang lalu. Sampai sekarang, ia belum ada membalas pesan yang kukirim dan juga tidak kembali menelpon ku setelah ku tinggalkan beberapa missed call untuk ponselnya.

Waktu yang kupunya hanya tinggal hari esok, besok aku sudah harus membawa seorang kekasih ke hadapan orang tuaku demi membatalkan sebuah pertunangan bodoh ini. Sekarang aku makin bingung bisa berbuat apa.

Ingatanku kembali kepada pria jenius yang disarankan kemarin oleh Sakura, bukan bermaksud memintanya kembali menjadi kekasihku, tapi bila aku menceritakan masalahku ini dengannya. Mungkin ia dan IQ-200 miliknya itu bisa membantuku. Langsung saja kukirimi messanger yang menanyakan ia di mana dan mengatakan langsung bahwa aku ingin menemuinya. Harusnya kata-kata itu kukirimkan dengan Sai kemarin, agar ia menungguku di kafe.

Aku dapati balasan dalam hitungan detik dari Shikamaru, jawaban darinya bahwa saat ini ia tengah meeting, dan menyuruhku menemuinya di kafe dekat kantornya sekitar satu jam lagi, yang kubalas dengan jawaban mengiyakan.

Bip..bip..! Bunyi ponselku yang mengartikan pesan baru masuk, kupikir dari Sai. Ternyata, dari ayahku yang mengingatkan ku untuk pasti membawa priaku.

Huh..! Sedari di rumah tadi ia terus saja mengatakan hal yang sama, itu yang menjadi faktor utama mempengaruhi moodku hingga seburuk ini. Jadwalku tidak ada klien, jadi aku tidak perlu merasa bersalah bila meninggalkan ruanganku untuk sejam atau dua jam ke depan. Kuambil kembali tasku dan bergegas pergi, kupikir perjalanan ke kafe yang ia maksud tentu membutuhkan waktu sekitar lima belas menitan. Sisa waktunya, mungkin kupakai saja untuk menunggunya.

Aku duduk sendiri di pokok kafe, menunggu Shikamaru. Kulihati jam dipergelangan kiriku menunjukan tinggal beberapa menit lagi ia akan datang. Tanganku kembali memainkan pecahan-pecahan es batu didalam jus jerukku.

Dreet...! Pintu kafe yang saat ini sedang sepi-sepinya terbuka, membuat pandanganku beralih pada datangnya suara itu. Kudapati Shikamaru dengan jas di lengan dan ponsel di genggamannya. Kulihat ia mencari sesuatu, mengedarkan pandangan di sekelilingnya, dan berjalan mendekatiku begitu menemukanku melambaikan tangan padanya.

"Hai..!" Sapaku begitu ia mendudukan dirinya di hadapan ku yang ditanggapinya dengan senyuman.

"Sudah lama?"

"Lumayan," jawabku. Seorang pelayan mendekati kami, ia yang tadinya sudah kupesankan untuk mengantarkan milk shake cokelat segera begitu kedatangan Shikamaru mengantarkan pesanan. Shikamaru sudah merasa wajar akan hal itu, dan lima tahun aku menjadi kekasihnya tentu mendapatkan banyak informasi mengenai pria di depanku ini tanpa perlu bertanya pada siapapun.

"Ada apa?" tanyanya setelah meminum sedikit milk shake cokelatnya. Aku jadi ingat kembali dengan persoalan perjodohanku itu. Aku mengambil jeda sesaat, "aku ditunangkan dengan seseorang yang tidak aku tahu."

Shikamaru sudah kuanggap menjadi sahabat baikku, untuk apa memutar-mutar cerita padanya. Lagipula, ia takkan suka hal yang merepotkan. Shikamaru tidak terkejut. Ia malah dengan santainya menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi.

"Kau tahukan, saat ini aku sedang berusaha mendapatkan Sai-kun? Tapi selalu gagal." Dari pada berkata 'aku belum mendapatkan penggantimu', jadi kupikir kalimat tadi jauh lebih baik. Ia tetap pada posisinya, namun beberapa detik kemudian ia kembali tegap dan lebih condong kearah ku, walau masih tidak mengucapkan apa-apa.

"Bagaimana hubungan mu dengan..." ucapanku menggantung, bukan aku tak tahu, tapi memancingnya untuk mengucapkan sesuatu.

"Temari?"

"Iya, dia. Bagaimana?"

"Sama sepertimu." Hanya itu jawabanya. Kenapa ya, kok ada sedikit rasa sakit di dalam dadaku begitu aku tahu posisiku sudah digantikan orang lain? Aah, mungkin aku hanya takut kehilanganya sebagai sahabat.

"Aku bingung. Besok aku harus mengenalkan kekasihku pada ayah, kalau tidak aku harus menerima perjodohan bodoh ini. Ayahku memaksa," lanjutku dengan memasang tampang super kusut.

"Mungkin paman hanya khawatir padamu, Ino. Mengingat statusmu sebagai wanita karier yang sepantasnya seumuran kau untuk menikah," lanjut Shikamaru. Sekarang, terjawab sudah pertanyaanku kemarin tentang siapa orang yang akan menyindir usia dan pekerjaanku. Shikamaru orangnya!

Aku merasa benar-benar sial. Bahkan mantanku sendiripun mengatakan yang sama mengenai hal ini. Sedihnya. Aku tak lagi dapat isak yang sedari beberapa waktu lalu kutahan. Aku menangis.

"Heeii..! Jangan menangis disini, Ino! Mendokusei," ucapnya dengan nada khawatir.

"Hikss...lalu kau menyetujui aku dijodohkan dengan orang lain. Teman macam apa kau?" salah, harusnya aku katakan 'mantan macam apa kau?'. Aku semakin terisak, Shikamaru mengedarkan pandangan ke sekelilingnya lagi dan kuyakin ia mendapati sorotan dari pengunjung lain yang ada, karena ia semakin kalang kabut.

"Oke, maafkan kata-kataku tadi. Tolong hentikan tangismu! Aku malu, Ino." Tak kupedulikan ucapannya, siapa suruh bicara tidak hati-hati kepada gadis yang sedang sensitif.

Bip..bip..! Pesan baru masuk ke ponselku, ku ambil dari saku celanaku dan kudapati ayahku mengirimi pesan yang sama untuk kedua kalinya. Aku semakin terisak dengan setengah membanting ponselku ke meja.

"Ayah ini, menyebalkan sekali!" Shikamaru bergerak mengambil ponselku, didapatinya pesan yang tadi kubaca."

"Oke, baiklah. Kau butuh bantuanku apa? Apa saja akan kulakukan, tapi berhentilah menangis. Kau bisa membuatku dicap pecundang karena membuat seorang wanita menangis, Ino."

Aku berpikir sesaat. Waktu kutinggal satu hari, dan aku harus keluar dari persoalan perjodohanku ini. Lalu, timbul sebuah ide di dalam otakku.

"Kau akan melakukan apapun?" tanyaku sembari menghapus sisa air mataku. Ia mengangguk.

Kucondongkan tubuhku ke arahnya, Shikamaru ikut-ikutan melakukan hal yang sama. Apa yang akan kukatakan ini benar-benar bersifat privasi,"kau mau pura-pura menjadi kekasihku untuk besok?"

Mendengar ucapanku barusan, seketika Shikamaru kembali menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi,"kau gila, mana mungkin aku mau membohongi paman Inoichi!" jawabnya setengah berbisik. Mukaku cemberut lagi, butiran air mata sepertinya kembali akan tumpah.

"Kau bilang akan melakukan apapun untukku!"

"Iya, tapi tidak yang seperti ini." sanggahnya, membuatku kembali menundukkan kepala dan menutupi wajahku dengan kedua telapak tanganku.

"Mendokusei..!" demi mendengar kata kramatnya, kuangkat wajahku, kupamerkan sisa air mataku yang masih membasahi pipi putihku. Ia kulihat kembali menghela napas panjang.

"Aku janji hanya untuk besok Shikamaru, aku janji setelah ini tidak akan merepotkanmu lagi." Klise. Kalau diingat-ingat, setiap aku memintanya melakukan hal bodoh untukku, selalu kupakai kata-kata itu dan aku melangggarnya. Tetap saja kurepotkan dia.

"Dan aku janji, ini tidak akan berimbas pada hubunganmu dan Temari..!" nah, untuk yang ini baru kuucapkan sekarang, dan tentunya tidak berani kulanggar.

"Plissss..! Hanya kau yang bisa membantuku Shikamaru. Setelah esok aku tidak akan meminta macam-macam." Aku memohon kembali. Shikamaru mengalihkan pandangannya dariku, menghela napas kembali dan...

"Bagaimana setelahnya, paman pasti akan menanyakan hubungan kau dan aku?"

"Itu gampang, untuk ke depannya, bilang saja kita putus, atau apa sajalah nanti. Intinya sekarang aku harus punya alasan untuk menolak perjodohan ini." Kudapati Shikamaru mengangguk-anggukan kepalanya pelan beberapa kali.

"Baiklah, hanya untuk besok."

Asiiikk...! Selaaamaaat..! Untung aku mengenal orang yang tepat. Cepat-cepatku bersihkan sisa airmataku di pipi. Tersenyum manis ke arahnya. Shikamaru sendiri, malah menggelengkan kepalanya sekali lagi.

"Besok jam sebelas ku tunggu kau disini. Aku naik taksi dan kita ke rumahku naik mobilmu, oke?" Tak ada pilihan, Shikamaru mengangguk saja. Beranjak berdiri dari duduknya, masih menatapku dengan tatapan yang sama, lalu melangkah pergi tanpa permisi padaku,malah mengucapkan kata 'mendokusei!' andalannya.

Masa bodoh dengan sikapnya tadi, yang penting ia sudah mau membantuku. Sampai tidak ada lagi kulihat wujud Shikamaru, aku segera memanggil pelayan untuk membayar tagihan pesananku. Senangnya..! Masalahku akan selesai.


o

O

o

Aku sekarang sudah berada pada kafe yang sama dan duduk di meja yang serupa dengan kemarin. Yang kulakukan menunggu dengan tidak sabarnya. Sedari tadi sudah kukirimi ia berulang-ulang pesan bahwa aku sudah menunggunya, dan ia harus datang. Taklama, kudapati sebuah pesan masuk, kubaca. Itu dari Shikamaru yang menyuruhku untuk keluar dari kafe sekarang. Kutaruh beberapa lembar uang untuk membayar harga jus yang tadi kuminum dan bergegas keluar.

Kutemukan Shikamaru bersandar di pintu kemudi mobilnya, segera saja aku berlari pelan menghampiri mantanku itu, "mana mobilmu, dan ini mobil siapa"? itulah yang pertama kali kata yang keluar dari mulut ku begitu mendapati bukan Nissan Juke Silver-nya Shikamaru, melainkan sebuah CR-V berwarna cokelat metallic.

"di-service, ini mobil ayahku," hanya itu jawabnya. Aku segera berjalan ke arah kursi penumpang dan memasukinya.

Beberapa detik suara mesin berbunyi dan siap untuk mengantar kami ketujuan. Shikamaru yang memang dari sejak sekolah menengah atas bisa menjalan benda dengan roda empat ini, tentu tidak perlu dikhawatirkan bila ia membawa dengan kecepatan tinggi.

"Memangnya ayahmu tidak pakai mobilnya untuk kerja apa?"tanya ku memecah suasana sunyi.

"Dia bilang akan dijemput rekannya."

Hampir duapuluh lima menit kami di dalam mobil yang kadang hanya terdengat suaraku yang mendominasi percakapan. Kami memasuki pagar yang menjulang mengelilingi rumahku dan sampai pada pekarangan depan rumah. Segera saja aku membawa Shikamaru untuk kehalaman belakang tanpa harus memasuki rumah terlebih dahulu, kugenggam tangannya agar lebih nampak meyakinkan.

Hanya tinggal mengitari setengah rumah, kudapati ayahku sedang menyiapkan perapian guna pemanggangan daging sapi. Ia ditemani ibuku nampak benar-benar sibuk. Aku tersenyum yakin, mendekati keduanya.

"Haaiii yah, bu..!" tegur ku. Benar-benar yakin kemenangan ada ditangan ku. Kedua orang tua ku yang baru saja ku tegur, mengalihkan perhatiannya pada ku dan Shikamaru. Keduanya masih belum bersuara.

Yeeaaahh..! Aku menang..!

"Ayah, ibu, ini Shikamaru. Pacarku! kalian pasti sudah mengenalnya, yaa?" intermezzoku.

Ayah dan ibuku memberikan senyum yang amat lain. Mereka secara bersamaan mengamati Shikamaru dari ujung ke ujung. Berulang-ulang. Shikamaru jadi canggung sendiri, "apa kabar paman, bibi..?"

Bukannya menjawab, ayahku malah berteriak memanggil nama seseorang...

"Shikaku... Yoshino.. Kemari kalian..!" dari arah dalam rumahku, keluarlah dua sosok pemilik nama yang tadi diteriakan ayahku. Orang tua Shikamaru. Mereka berdua pun nampak sama terkejutnya dengan orang tuaku sebelumnya.

"Kalian benar berpacaran?" ayahku memastikan bahwa tadi ia tak salah dengar. Kepalang basah, aku dan Shikamaru pun spontan mengangguk. Alhasil membuat empat orang tua di depan kami saling menatap satu sama lain. Tersenyum yang bagiku begitu mengerikan. Setelah puas saling menatap, keempatnya melangkah untuk lebih dekat dengan kami.

"Memang, kalau jodoh takkan kemana!" perkataan paman Shikaku kontan membuatku dan Shikamaru terkaget-kaget.

Jadi, orang yang mau dijodohkan dengan ku itu, Shikamaru?

To Be Continued...


A/N:

Haaai minna..! Alleth kembali datang dengan fic keempat. Padahal Crazy 22 Hours belum selesai, Foolish Heroic stagnan ide, sekarang author abal satu ini dengan pedenya mempublish cerita amatiran baru.

Masih dengan chara tercinta alleth, shikaino. Fic ini benar-benar dibuat dengan penuh perjuangan berhari-hari, alleth sempet-sempetin mikirin jalan ceritanya disela-sela kerepotan yang sekarang melanda sipemalas satu ini. Berharap hasilnya tidak mengecewakan# ga yakin sih.

Sekali lagi, shikamaru menjadi anak baik di fic ini, entah kenapa saya belum tega merusak image-nya. Belum tega, bukan berarti gak bisa tega.

Pada dasarnya cerita ini sebaiknya dipublish pas september nanti saja, tapi alleth udach kegatelan pengen cepet-cepet publish. Dan fic ini special buat semua pecinta pairing shikaino dari A hingga Z.

Pasti banyak kesalahan disana-sini, typolah, alurnya yang maksalah, banyak lagi. So, please berikan saran dan motivasi untuk saya melalui review...!# ngarep akut.