Monday, July 20th, 2025.

Hari minggu di awal liburan musim panas seharusnya menjadi liburan bersama keluarga yang menyenangkan untuk anak berusia lima tahun ini. Anak yang baru masuk Taman Kanak-kanak ini memakai bajunya sendirian dengan tenang, menyisir rambut pirang jabriknya yang malah terkesan sia-sia karena rambutnya akan tetap berdiri seolah itu menjadi hal yang permanen untuk rambutnya. Akan sangat mengherankan jika kita tahu anak berusia lima tahun bisa melakukan itu sendirian, tapi jika kita melihat matanya yang keperakan maka kita akan tahu jika ada darah Hyūga yang mengalir dalam nadinya dan semuanya menjadi tak mengherankan lagi.

Naruto © Masashi Kishimoto

Parent? © Na Fourthok'og

.

.

.

Kediaman Namikaze tetap terlihat sibuk meskipun hari libur seperti ini. Beberapa pelayan berpakaian maid terlihat bolak-balik masuk dan keluar dengan menggeleng lemah dari sebuah kamar salah satu penghuni rumah besar bergaya victorian tersebut. Anak berusia lima tahun itu keluar dari kamarnya dan mendapati para pelayan yang berdiri di kamar seseorang yang tak jauh dari kamarnya. Dia berjalan tenang melewati kamar berpintu besar dan berdiri di dekat para pelayan yang masih terlihat sibuk dan kebingungan.

"Ada apa?" suara khas anak kecil yang datar membuat para pelayan terkejut. Mereka berbalik menghadap anak kecil tersebut dan menunduk hormat kepada anak sulung majikan mereka.

"Selamat pagi, Tuan muda Hiruto."

"Hm, selamat pagi. Kenapa kalian semua berdiri di sini?" Hiruto kembali bertanya dengan datar sungguh tidak sesuai dengan usianya yang masih lima tahun.

"Tuan muda Naruhi tidak mau keluar dari kamarnya, Tuan muda." salah satu pelayan menjawab, kepalanya masih menunduk dengan hormat.

"Ada apa ramai-ramai di sini?" suara pria dewasa membuat para pelayan kembali menunduk hormat dan mengucapkan selamat pagi kepada dua orang dewasa yang baru saja keluar dari kamar berpintu besar yang tadi dilewati Hiruto. Hiruto tetap membelakangi dua orang tersebut seolah tak ingin melihat keduanya.

"Naruhi marah karena semalam aku meninggalkannya ketika dia sudah tertidur." sebelum para pelayan itu menjawab pertanyaan tuan mereka, Hiruto sudah terlebih dahulu memberitahu kepada semuanya sekaligus penyebab kenapa pemilik kamar yang menjadi tempat mereka berkumpul saat ini tidak mau keluar dari kamarnya.

"A-aku akan coba membujuknya."

"Tidak usah Bunda, biar aku saja." Hiruto melangkah memasuki kamar Naruhi, menghentikan langkah wanita berambut indigo panjang untuk masuk ke kamar anak bungsunya.

"Anak itu dingin sekali seperti ayahmu dan Neji," gerutu pria yang mewariskan rambut pirang jabriknya ke anak-anaknya tersebut, sedangkan sang nyonya rumah hanya menatap sendu punggung mungil anak sulungnya yang kini menghilang di balik pintu kamar anak bungsunya.

"Jadi kaumarah kepadaku?" Hiruto langsung saja bertanya setelah pintu kamar itu tertutup sempurna, pandangannya tertuju kepada seseorang yang membelakanginya. Hiruto berjalan semakin masuk mendekati adiknya yang masih saja membelakanginya, sang adik hanya menggerakan –naik turun– kedua lengannya yang memegang boneka kodok seolah melampiaskan kekesalannya kepada boneka kesayangannya itu.

Hiruto memegang sisi keranjang tempat tidur adiknya, mengoyangkannya pelan agar adiknya mau melihatnya.

"Ayolah, Naruhi. Aku minta maaf untuk yang semalam, sekarang lebih baik kita turun dan sarapan. Kaupasti sudah lapar kan?" Naruhi menengokkan wajahnya, menggembungkan pipinya yang gembil dan merah.

"Ndak au…~" Naruhi menggelengkan kepalanya.

"Okeh, sebagai permintaan maafku. Bagaimana kalau seharian ini aku akan menemanimu bermain?" tawar Hiruto masih berusaha membujuk adiknya. Tawaran Hiruto terbukti ampuh saat mata keperakan adiknya berbinar senang, perlahan bayi yang masih berusia sepuluh bulan itu merangkak dari ujung keranjang tidurnya untuk mendekati Hiruto. Naruhi mengangkat tangan mungilnya yang terkepal setelah ia berada di dekat Hiruto dan dibalas dengan tinjuan pelan dari Hiruto yang hanya menempel pada tangan Naruhi yang terkepal, kakak adik tersebut mengeluarkan cengiran khas sama seperti sang ayah.

"Good boy," seru Hiruto sembari mengacak pelan rambut pirang adiknya. Lalu dengan perlahan dia mengangkat tubuh adiknya keluar dari keranjang bayi tempat tidur adiknya, menggendong adiknya keluar dari kamar dan turun dari lantai dua menuju ruang makan. Para pelayan sudah tidak heran lagi jika Hiruto berhasil membujuk adiknya, karena dengan kedua orang tua yang selalu sibuk mereka selalu menghabiskan waktu hanya berdua saja. Bahkan Hiruto sering tidur bersama Naruhi, entah itu di kamar Hiruto ataupun di kamar Naruhi agar mereka tidak merasakan kesepian.

"Kenapa kau yang menggendongnya? Bukankah ada pengasuh atau pelayan?" sesampainya di ruang makan, sang kepala rumah tangga langsung bertanya kepada Hiruto yang masih menggendong Naruhi dengan santainya. Namun tidak dengan pelayan dan pengasuh Naruhi yang menunduk ketakutan.

"Dia tidak mau turun jika orang lain yang menggendongnya," jawab Hiruto datar. Mendudukan adiknya di kursi khusus bayi di sampingnya, kemudian mengelus rambut adiknya dan tersenyum tipis mencoba menenangkan adiknya agar tidak ketakutan.

"Lalu untuk apa aku menggaji mereka tiap bulan?"

"Su-sudahlah, Naruto,"

"Ini semua karena kau terlalu memanjakan mereka berdua, Hinata." Hiruto memejamkan matanya erat-erat, menyembunyikan mata keperakannya dari pertengkaran kedua orang tuanya. Inilah yang selalu terjadi jika kedua orang tuanya bertemu.

"Paall…~" rengekan yang tak jelas dari Naruhi membuat Hiruto membuka matanya untuk mendapati adiknya yang menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Hiruto sangat bersyukur mempunyai adik yang cerdas. Pada awalnya Naruhi akan selalu menangis setiap melihat kedua orang tuanya bertengkar tapi tak ada salah satu dari Naruto dan Hinata yang mau menghentikan pertengkarannya yang malah semakin hebat dan berisik karena tangisan Naruhi dan tak jarang Hirutopun meneteskan air matanya, karena bagaimanapun dia tetaplah seorang anak-anak.

Setiap hari, setiap jam, setiap menit, Hiruto tak pernah bosan untuk selalu memberitahu adiknya agar tidak menangis saat melihat ayah dan bunda mereka bertengkar, tak hanya untuk adiknya tapi juga itu untuk dirinya sendiri. Bahkan terkadang Hiruto ikut menangis kencang bersama adiknya jika suara pertengkaran kedua orang tuanya sudah terlalu banyak menyumpal telinga kecilnya, membuat para pelayan kebingungan mencari cara untuk menghentikan tangisan kedua tuan muda mereka. Untung saja saat itu ada Neji yang ingin bertemu dengan kedua keponakannya dan berhasil menenangkan Hiruto dan Naruhi sekaligus menghentikan pertengkaran Naruto dan Hinata.

"Matsuri-san, tolong ambilkan sarapan untuk Naruhi," kata Hiruto kepada pengasuh Naruhi yang berdiri tak jauh dari mereka berdua. Gadis berambut coklat pendek yang sedari tadi menunduk ketakutan itu terkejut sesaat sebelum dengan sigap dia mengambil mangkok berisi bubur seral untuk Naruhi dan menyuapi Naruhi dengan pelan. Hiruto sendiri hanya mengambil dua roti panggang yang dia oles dengan selai jeruk ditambah dengan parutan keju cheddar kesukaannya dan memakan sarapannya dengan tenang mencoba untuk tak memperdulikan pertengkaran kedua orang tuanya.

"Bunda berangkat sayang, ma-maaf…" Hinata mengecup pipi kedua putranya bergantian, kemudian dia bergegas pergi meninggalkan ruang makan, meninggalkan Naruto yang melempar lap yang tadi betengger rapi di pahanya ke meja, meninggalkan kedua anaknya yang terdiam.

Hiruto menatap punggung Hinata yang perlahan menghilang dan Naruto yang perlahan bangkit dari tempat duduknya.

"Ayah berangkat, jaga diri kalian," pamit Naruto sebelum dia juga pergi tanpa melihat kedua putrnya.

'Apa mereka tidak pernah bisa akur?' teringat akan sesuatu yang pernah diberikan pamannya, Hirotu mempercepat mengunyah sarapannya.

.

Kini mereka berada di kamar Hiruto, Naruhi bermain dengan apapun yang ada di dalam kamar Hiruto. Hiruto sendiri terlihat sedang mengelurkan sesuatu dari lemarinya dengan susah payah.

Sebuah kotak yang memilik panjang dan lebar setengah meter berhasil Hiruto keluarkan, dia membuka kotak tersebut dan melihat sebuah alat yang memiliki keyboard, layar dan pemancar yang terus berputar searah jarum jam. Mencari buku panduannya, Hiruto membacanya pelan-pelan. Karena jujur saja ada beberapa kata yang tidak ia mengerti. Naruhi merangkak mendekati kakaknya melihat isi kotak dan mengambil sebuah remote yang hanya memiliki sebuah tombol berwarna merah di tengahnya.

"Paman Neji. Apa dulu Ayah dan Bunda juga selalu bertengkar seperti itu?"

"Aku membawakanmu alat yang bisa membawamu kembali ke masa lalu, jika kau ingin tahu betapa mesranya Ayah dan Bundamu dulu dan membuat semua orang iri melihatnya."

"Apa ada alat seperti itu?"

"Kau ingat Paman Lee? Teman paman yang seorang ilmuwan gila itu baru saja memberikannya kepadaku, hanya saja alat ini hanya bisa digunakan dua kali. Sekarang hanya tinggal satu kali lagi bisa digunakan karena Lee sudah mencobanya sekali."

"Kenapa hanya bisa digunakan dua kali?"

"Itu agar tidak banyak orang yang kembali ke masa lalu, karena saat orang kembali ke masa lalu sudah pasti mereka akan mengubah masa lalu mereka yang sudah terjadi dan itu akan mengacaukan masa sekarang atau masa depan."

"Bukankah jika aku datang ke masa Ayah dan Bunda dulu itu juga berarti aku merubah masa depan? Mereka juga akan tahu bahwa di masa depan nanti mereka akan menikah dan mempunyai anak?"

"Cerdas… jika kau membuka kotak itu kau akan menemukan sebuah remote. Tombol merah pada remote itu akan membuat semua orang pada masa lalu yang kau temui akan lupa kepadamu, remote itu juga bisa mengambalikanmu ke masa sekarang sebelum waktu yang kau minta habis. Jadi kau harus menekan tombol merah itu sebelum kau kembali ke masa sekarang. Kemarilah, kau juga pasti kelelahan kan, Hiruto?"

Teringat akan percakapannya dengan pamannya ketika Neji menjenguk kedua keponakannya yang saat itu sedang menangis keras karena pertengkaran Naruto dan Hinata. Saat itu Neji sedang memangku Naruhi yang tidur karena kelelahan sehabis menangis dengan tangan kanannya dan tak lama Hirutopun terlelap di bantal dekat Neji yang tangan kirinya tak berhenti mengusap kepala pirang Hiruto.

Hiruto mengetik sesuai apa yang tertera di buku panduan tersebut dengan pelan karena bagi bocah yang baru bisa membaca dan menulis ini termasuk sulit baginya. Mengetik dengan asal tanggal yang ingin dia masuki dan mengetik satu bulan saat sebuah pertanyaan 'Berapa lama anda ingin berada di masa itu?' terpampang di layar.

Menekan sebuah tombol enter sebagi akhir dari buku panduan, munculah lubang portal berwarna hitam yang tidak terlalu besar mungkin hanya bisa dimasuki satu orang dewasa saja di dekat kotak tempat alat tersebut. Mencari-cari remote yang tidak boleh dia lupakan yang ternyata berada di genggaman Naruhi, Hiruto mengulurkan tangannya hendak meminta benda tersebut kepada adiknya.

"Kut…~" rengek Naruhi yang sepertinya tahu jika kakaknya akan pergi. Hiruto berpikir sebentar, jika dia membawa adiknya dia takut akan ada kejadian yang berbahaya. Tapi jika dia meninggalkan adiknya sendirian mendengarkan pertengkaran kedua orang tuanya itu membuatnya merasa kasihan.

"Baiklah," kata Hiruto. Menggendong adiknya dan mengambil remote tersebut dan memasukannya ke kantong celananya. Hiruto berhenti sebentar di depan lubang hitam tersebut untuk menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan.

"Siap?"

"Hum!" dengan anggukan yakin dari Naruhi, Hiruto mengeratkan gendongannya kepada Naruhi dan mulai melangkah memasuki lubang portal tersebut. Perlahan lubang portal tersebut mengecil dan menelan Hiruto dan Naruhi di dalamnya.

.

Saturday, July 20th, 2013.

.

Dua orang remaja berbeda gender berjalan beriringan. Tangan kiri pemuda dengan rambut pirang jabik memegang tali tas yang berada di bahu kirinya. Sedangkan tangan kanannya ia masukan ke dalam saku celana seragamnya. Mata birunya sesekali melirik gadis berambut indigo panjang yang menunduk menyembunyikan wajah merahnya. Kedua tangan gadis itu mengeratkan pegangan tangannya pada tali tas yang berada di depan tubuhnya, gugup karena saat ini dia sedang berjalan berdua melewati jalan setapak bersama pemuda yang dia sukai sedari masih kecil.

Seharusnya hari sabtu adalah hari libur untuk anak sekolah, tapi mereka diharuskan berangkat untuk mengambil buku doriru atau buku latihan dan pengarahan lainnya untuk tugas mereka di liburan musim panas yang panjang ini.

"Hinata, nanti kita kerjakan tugas menyebalkan ini bersama yah?" pemuda berambut pirang itu memecah kesunyian di antara mereka berdua. Gadis yang dipanggil Hinata terebut mengangkat sedikit kepalanya, melihat ke arah pemuda di sampingnya dan mengangguk pelan.

"I-iya, Na-Naruto," jawabnya terbata dan singkat, menciptakan kesunyian lagi di antara mereka.

Naruto menghentikan langkahnya di salah satu pohon besar dan menatap danau jernih tak jauh dari tempatnya berdiri. Hinata yang menyadari Naruto berhenti turut menghentikan pergerakan kaki mungilnya di dekat Naruto, menatap Naruto dengan bingung dengan kepala yang ia miringkan sedikit ke kiri membuatnya semakin imut. Naruto mengalihkan perhatiannya dari danau ke Hinata, menelan ludahnya gugup dan semburat merah tipis terlukis di pipi berkulit tan dan begaris seperti kumis kucing tersebut. Tak menyadari sebuah lubang hitam muncul di pohon, tak jauh dari tempat Naruto berdiri.

"Hinata, A-aku menyukaimu. M-maukah kau menjadi kekasihku?" pernyataan cinta yang terbata-bata dari Naruto membuat wajah Hinata semakin memerah. Gadis Hyūga tersebut menutup mulutnya dengan tangan yang bebas dari memegang tas miliknya, dia sungguh tidak percaya dengan semua ini yang seperti mimpi baginya.

"Uwaaaaaaa…..!"

Brukh…!

"A-a-aduuuhh…~"

"Sa-sakit…"

Belum sempat keterkejutan Hinata hilang, Hinata semakin dibuat terkejut dengan 'sesuatu' yang jatuh menimpa Naruto yang kini terbaring di tanah dengan memegang atau memeluk dengan protektif 'sesuatu' tersebut.

"Hu-huweeehh…" untuk ketiga kalinya Hinata dibuat terkejut dengan suara tangisan bayi yang ternyata dipeluk oleh 'sesuatu' yang ternyata anak kecil yang berada dalam pelukan Naruto. Hinata langsung mengambil alih dengan pelan bayi tersebut, menggendongnya penuh kasih sayang. Menenangkan bayi yang sepetinya terkejut itu.

"Ssstt… apa ada yang sakit?" Hinata bertanya pelan membuat bocah yang masih berada di atas Naruto memandangnya terkejut.

"Hey bocah, apa kau tidak apa-apa?" bocah berambut pirang itu mengalihkan pandangannya ke bawah mendapati Naruto yang menatapnya khawatir. Bocah itu tak menjawab, hanya memandang Naruto dan Hinata bergantian membuat Naruto dan Hinata kebingungan. Ditambah dengan setetes air mata yang mengalir di sudut matanya, bocah itu mengelap kasar air mata yang menetes dari mata keperakannya.

"Nda… Bun-da," bayi dalam gendongan Hinata yang masih menangis kecil memanggil dan memeluk Hinata.

"A-ayah…!" bocah berambut pirang yang berada di atas Naruto itu menubruk Naruto dan menangis, memeluk erat leher Naruto, membuat Naruto dan Hinata saling berpandangan kebingungan sekaligus terkejut.

"EEEEEHHHHHHH….?!"

Bersambung….

Wkwkwk
Bukanya update tapi malah publish fic MC lainnya. Gomen buat keterlambatan update fic yang lain, abisnya ide ini mendsak terus pengen keluar sih.

Pertanyaan, kritik dan saran silahkan, Na tunggu.^^

Terima kasih banyak sudah membaca…

Tuesday. January 24th, 2013.

Na Fourthok'og