Lylul's Note :

Halo semuanya, ini fic Harry Potter terbaru buatan Lylul. Ber-main pairing Drarry, gendernya adventure dan romance (tentunya) dengan sepercik humor (garing). Cerita ini berdasar dari dongeng Snow White, tapi ceritanya dicampur-campur sama beberapa bumbu dongeng lain seperti Sleeping Beauty, Rapunzel, Alice In Wonderland, Romeo and Juliet, dan masih banyak lagi. Bukan! Ini bukan kumpulan cerita dalam satu fic, ini adalah satu cerita dalam satu fic!
Mungkin cerita ini memang dibumbui oleh beberapa dongeng klasik, namun garis besar cerita ini berdasarkan pada dongeng Snow White.

PERHATIAN! INI PENTING : Voldemort dan Tom Riddle adalah dua orang yang berbeda di cerita ini! Voldemort adalah penyihir jahat pucat yang tak berhidung! (Pfffftt XDD) sementara Tom Riddle adalah pemuda tampan dengan umur normal! Timeline disini adaalah masa Medieval, tau 'kan? Masih berupa kerajaan-kerajaan, kuda dan kereta kuda, pedang dan perisai, putri dan pangeran gituuu.. disini, ada penyihir, kurcaci, raksasa, makhluk-makhluk aneh, juga benda-benda sihir dan ramalan-ramalan. -Sekian.

Enjoy!


Tom selalu duluan. Aku mengikuti.
Tak apa. Toh, kami selalu seperti ini.
Yang terpenting adalah, kami selalu bersama.
Aku terlalu menyayanginya untuk membencinya.

Kami berdua selalu bersama. Tak ada hari dimana kami melangkah berpisah.

Tom selalu berjalan didepan. Aku mengikuti. Ia cahaya. Aku bayangan. Tapi ibu selalu mengatakan akulah cahayanya. Namun aku tak pernah mempercayainya. Kenyataannya, akulah yang mengikuti, Tom yang menuntun. Dia 'kan kakakku. Ibu selalu menggeleng pasrah mendengarnya, dan selalu berkata :

"Suatu saat, jika roda takdir sudah mulai berputar, kau akan mempercayai kata-kata ibu, Harry."

~0~0~0~0~0~0~0~0~0~0~0~0~0~0~0~0~0~0~0~0~0~0~0~
~0~0~0~0~0~0~0~0~0~0~0~0~0~0~0~0~0~

~Once Upon A Dream~

A multi-chapter fanfiction by : LylMccutie07
Inspired by classic children tales
Harry Potter (c) J.K Rowling
Pairing : Draco/Harry (Drarry)

~0~0~0~0~0~0~0~0~0~0~0~0~0~0~0~0~0~
~0~0~0~0~0~0~0~0~0~0~0~0~0~0~0~0~0~0~0~0~0~0~0~

Prolouge :
"Pada Suatu Masa..."

~0~0~0~0~0~0~0~0~0~0~0~0~0~0~0~0~0~0~0~0~0~0~0~

Dahulu kala, kerajaan-kerajaan hidup berdampingan sebagai saudara, saling tolong-menolong, rakyat hidup sejahtera. Manusia, penyihir, kurcaci, peri, goblin, dan raksasa hidup sederajat bersama dengan damai. Semua orang hidup bahagia, dikarenakan persatuan kerajaan yang tercipta oleh keempat raja dan ratu legendaris untuk memperoleh sirnanya masa kegelapan yang berasal dari perang besar bepuluh-puluh tahun yang lalu.

Keempat raja dan ratu tersebut terdiri dari dua orang raja pemberani dan dua ratu baik hati. Yakni, raja Godric sang pemberani dari kerajaan singa emas dari timur bernama Gryffindor. Ratu Helga yang baik hati nan jujur dari kerajaan jauh terselubung di hutan barat, Hufflepuff. Ratu Rowena yang bijaksana dari kerajaan tinggi di gunung selatan, Ravenclaw, dan raja Salazar yang cerdik dan berambisi dari kerajaan misterius di pantai utara bernama Slytherin.

Keempat kerajaan bersatu untuk menciptakan kehidupan yang damai bagi mereka dan rakyat mereka, juga membuat hak sederajat bagi seluruh makhluk di dalam wilayah kerajaan mereka. Keempat kerajaan tersebut membentuk sebuah negeri nan luas yang mulai dikenal dengan 'Hogwarts'.

Belasan tahun berlalu, Hogwarts hidup dengan damai, harmonis, penuh kejayaan. Sampai akhirnya, raja Salazar memiliki seorang penerus, seorang pangeran tampan dengan sorot mata penuh keyakinan dan kecerdasan. Ia memberi nama anak lelakinya dengan Gellert sebagai nama pertama, Grindelwald sebagai nama tengah, dan tentunya, Slytherin sebagai nama akhir. Tapi ia lebih dikenal sebagai Gellert Grindelwald.

Grindelwald adalah seorang pemuda yang cerdas, tumbuh menjadi seseorang yang berambisius, sama seperti ayahnya. Namun, ia memandang makhluk selain penyihir dan manusia lebih rendah darinya. Dia berpendapat bahwa seharusnya bangsa selain penyihir dan manusia tak layak hidup sederajat dengan mereka.

Tergoda oleh perkataannya, beberapa masyarakat berpengaruh teryakini oleh pendapatnya. Semua dimulai dengan rasa benci, rasa benci berubah menjadi kekhawatiran, kekhawatiran berubah menjadi ketakutan, ketakutan berubah menjadi amarah, dan amarah menimbulkan sebuah pemberontakan. Pemberontakan tumbuh besar, sampai akhirnya perang meletus tak terhentikan.

Gellert Grindelwald kemudian tekalahkan oleh Albus Dumbledore, seorang ahli sihir yang bijak. Dibantu oleh kerajaan Gryffindor sepenuhnya. Sungguh ironis, karena Albus Dumbledore sesungguhnya adalah sahabat Grindelwald sendiri semenjak kecil. Perang tersebut membawa nama kerajaan Slytherin menuju jurang terdalam, menjatuhkan martabat kerajaan yang dulu begitu dihormati. Dikarenakan dalang penyulut api perang adalah pewaris tahta kerajaan itu sendiri, juga banyaknya pengikut yang berasal dari kerajaan berlambang ular perak tersebut. Kerajaan Slytherin dicap sebagai kerajaan licik yang berhati buruk.

Lambat laun, rakyat Slytherin mulai memeluk kenyataan pahit yang dilemparkan kepada mereka. membuatnya tertelan racun ketidakpercayaan antar satu sama lain, menjaga jarak dari orang asing, memegang pikiran licik, dan kegelapan pun menggenggam seisi kerajaan sepenuhnya.

Dengan kematian raja pertama mereka juga membuat kerajaan yang dulunya begitu bersinar kini semakin terpuruk. Walau kecerdikan dan kepandaian mereka untuk bertahan hidup lebih unggul dari kerajaan manapun oleh itu. Tertempa dengan kenyataan perih membuat mereka kuat dengan cara sendiri dan hanya dapat mempercayai diri mereka sendiri.

Juga fakta bahwa kerajaan Gryffindor-lah yang memusnahkan perang, kerajaan singa emas tersebut dipuja-puja oleh seluruh rakyat, sementara kerajaan Slytherin menaruh rasa dendam dibalik sorak puja-puji pada mereka.

Untuk menghormati jasa kepahlawanan mereka, kerajaan-kerajaan memutuskan untuk membangun sebuah gereja megah nan indah untuk kerajaan Gryffindor. Oh, gereja ini bukan gereja biasa, gereja ini selain indah juga memendam sebuah sihir kuno yang begitu kuat. Legenda menyatakan, sihir tersebut berasal dari batu bertuah legendaris yang diciptakan oleh seorang Sorcerer sekaligus ahli alkimia bernama Nicholas Flamel.
Konon, batu tersebut dapat membuat logam apapun menjadi emas. dan dengan batu tersebut, kita dapat menciptakan eliksir kehidupan yang membuat peneguknya hidup abadi.

Namun, dikarenakan banyak orang yang menginginkan kekuatan batu tersebut, para raja dan ratu dari tiap kerajaan memutuskan untuk membangun sebuah gereja lagi yang persis sama dengan gereja yang pertama. Mereka membelah batu bertuah menjadi dua bagian, bagian pertama disembunyikan didalam gereja pertama, sementara yang lainnya disembunyikan di dalam gereja kedua. Mereka membagun gereja kedua di kerajaan Slytherin, tersembunyi jauh didalamnya. Tak ada yang dapat menemukan gereja kedua hingga detik ini. Para raja-ratu, penyihir-penyihir, dan makhluk-makhluk yang membantu menyembunyikan batu bertuah juga terkunci mulutnya dengan Unbreakable Vow.
Sementara kembarannya terekspos di dalam kerajaan Gryffindor dan dibuka untuk umum. Mereka tak perlu khawatir potongan batu pertama akan dicuri, karena potongan tersebut tersembunyi dan dijaga oleh sesuatu yang bahkan orang-orang tak berani menyebutnya.

Walau kedua gereja ini terpisah oleh jarak yang begitu besar, keduanya membagi sebuah ikatan yang tak terpisahkan oleh jarak maupun waktu. Sebuah ikatan yang terbentuk oleh sihir kuno batu bertuah, ikatan yang tak akan pernah pupus dari apapun, yang menyatukan dan menyeimbangi hubungan keempat kerajaan.

"-dan itulah cerita sejarah kuno negeri kita," ujar seorang wanita anggun yang kemudian menutup buku tebal bersampul kuno usang di pangkuannya dengan hentakan lebut, mata hijaunya menatap sepasang anak lelaki umur lima tahun berparas identik dihadapannya. Tepatnya dibawahnya, karena mereka berdua duduk dengan santai dibawah lantai tertutup karpet tebal yang hangat, sementara ia duduk diatas kursi sofa empuk berlapis beludru merah. Lily Potter adalah nama wanita tersebut, ia tersenyum hangat kepada anak kembarnya. Kedua anak lelaki identik menatap ibu mereka dengan pandangan takjub, imajinasi mereka berputar-putar di kepala mereka, kagum akan cerita yang baru saja ibu mereka bacakan.

"Ibu! Apakah benar gereja kembar itu nyata?" tanya salah satu anak lelakinya. Mata hijau turqouise-nya menyala-nyala penuh keingintahuan.

Lily tersenyum penuh makna, "Tentu saja, Tom. Kita 'kan selalu mengunjungi gereja pertama tiap natal dan hari-hari besar," tarikan nafas tajam penuh terkejutan keluar dari bibir merah mungil anak lelaki yang satunya. Mata hijau zamrud melebar terkejut.

"Oh! Ibu maksud gereja putih megah di pusat kota yang selalu kita kunjungi itu?! Ya ampun! Kalau kita tahu, kita pasti akan mengeksplorasi isinya lebih jauh. Iya 'kan, Tom?!" serunya penuh semangat, pernyataannya mendapat anggukan mantap dari kakak kembarnya.

"Hei, hei, apa maksudnya 'mengeksplorasi lebih jauh'? Kalian bukannya berdoa, malah asyik berpetualang di dalam gereja. Tak heran kalian selalu menghilang secara misterius di dalamnya," omel Lily, yang mendapat cengiran malu-malu dari kedua anaknya.

Tawa puas tak terduga menggelegak di samping mereka, "Hahaha! Itu baru anak ayah! Berjiwa petualang! Kalian membuat ayah bangga!" seru pria tampan bersurai hitam bermata coklat yang berpakaian formal dan mewah.

"Dan aku menyalahkan segala sifat buruk mereka padamu, James," wanita anggun tersebut menatap suaminya dengan garang, membuat kedua anak dan suaminya tertawa.

Keluarga yang hangat ini bukanlah keluarga biasa, mereka adalah anggota keluarga kerajaan Gryffindor. James Potter sang pewaris tahta yang sekarang resmi menjadi raja pemerintah kerajaan singa emas, jatuh hati kepada seorang gadis dari keluarga penyihir dikalangan rakyat biasa bernama Lily Evans. Tentunya ini membuat pertentangan dari berbagai pihak, terutama pihak kerajaan sendiri. Namun setelah sekian lama memperjuangkan cinta mereka, jerih payah mereka membuahkan sebuah pernikahan restu.
Dari pernikahaan mereka, dikaruniailah sepasang anak laki-laki kembar.

Anak lelaki yang lahir pertama kali begitu tampan, ia langsung menarik hati para wanita diumurnya yang masih relatif balita. Ia memiliki rambut hitam kelam yang jika tertempa cahaya mentari lembayung akan terlihat kemerahan –merah seperti rambut ibunya. Mata hijau tourquise. Bibir tipis merah-sehat, dan kulit putih pualam yang membuat segalanya kontras dan melipat-gandakan keindahannya. Sorot matanya terlihat begitu cerdas bagai menyimpan sebuah misteri, ia diberi nama Tom Marvolo Potter. Pada umurnya yang masih lima tahun, ia sudah memiliki kharisma tersendiri, begitu cerdas untuk anak seusianya.

Sementara adiknya, begitu manis dan menawan sampai semua orang selalu tergoda untuk mencubit pipinya yang cerah dan terona alami. Bagaimana tidak? Dengan mata bagai genangan hijau zamrud yang dalam dan jelas, terbingkai dengan bulu mata lentik dan panjang. Rambut hitam sekelam malam begitu kontras dengan kulit putih sehat yang begitu lembut bagai kue, bibir merah darah berbentuk panah cupid sempurna, membuat semua orang terpukau akan kecantikannya. Ia diberi nama Harry James Potter.

Harry tumbuh menjadi anak manis berhati mulia. Walau masih begitu muda, ia berhati lembut. Gigih menolong siapapun, tak peduli bangsa atau makhluk apa mereka. Memiliki hati pemaaf, jujur, dan adil. Walaupun begitu, ia juga nekat melakukan hal apapun demi menolong siapapun. Harry bukan hanya mewarisi bola mata zamrud ibunya, ia dikaruniai bakat sihir dari sang ibu. Sihirnya mungkin tidak besar dan kuat seperti penyihir agung yang melegenda, Albus Dumbledore. Namun sihirnya masih berkembang.

Dikarenakan fisik mereka, keduanya dipanggil dengan nama panggilan tersendiri. Snow-White untuk Harry, dan Rose-Red untuk Tom. Keduanya walau mirip namun berbeda, begitu dekat satu sama lain. Tak ada hari dimana yang lainnya berjalan sendiri tanpa yang satunya menggenggam tangan masing-masing, berjalan dengan langkah yang sama. Tapi sang kakak yang menuntun, sementara adik yang mengikuti. Semua orang berpendapat kalau Tom adalah cahaya yang menuntun, sementara Harry bayangannya. Tetapi kedua orangtua mereka berpendapat sebaliknya.

"Baiklah anak-anak manis, waktunya tidur," eluhan kekecewaan tercipta dari kedua bibir anak kembar itu, ibu mereka terkekeh. "Ayolah, besok kalian boleh bermain di Hill of Departure. Lagipula esok pagi, ayah baptis kalian akan berkunjung kemari, jadi kalian boleh pergi bermain diluar bersamanya."

Mendengar itu, keduanya kembali bersemangat, mata mereka berbinar penuh kegembiraan. Sirius Black –ayah baptis mereka– adalah seorang Duke, sekaligus sahabat baik ayah mereka sedari kecil. Ia terkenal jahil dan penuh ide. Tiap kali ia datang berkunjung, tak diragukan lagi bahwa dia akan datang membawa berbagai macam mainan untuk melakukan keusilan jenaka.
Si kembar kemudian berlari keluar ruangan dengan tangan saling berpegangan erat dengan yang lainnya menuju kamar yang mereka bagi bersama.
"Goodnight, mom, dad!" seru keduanya bersamaan,

"Goodnight, sons!" balas kedua orangtua mereka. Suara cekikikan riang milik anak mereka menggema di lorong istana.

Lily mengehela nafas berat, James merangkul pundaknya dengan penuh cinta.
"Tenanglah, tak akan terjadi apapun dengan mereka. Tidak selama aku masih berjalan di muka bumi. Ramalan itu masih lama akan terjadinya, aku yakin mereka sudah siap sebelum itu terjadi."

Ramalan. Itulah yang membuat keduanya begitu gelisah dikarenakan ramalan tersebut menyangkut nasib kedua anak mereka, yang tanpa secuil keraguanpun mereka sayangi sepenuh hati. James dan Lily Potter diberitahukan oleh Albus Dumbledore akan takdir besar yang keduanya bawa, sebuah ramalan terbentuk pada hari pangeran kembar tersebut lahir. Yang berbunyikan takdir mereka diharuskan memerangi kejahatan pekat yang di kemudian hari akan terbit kembali.

James dan Lily tak ingin hal itu terjadi, mengorbankan kebahagiaan darah-daging mereka kepada takdir adalah hal terakhir yang mereka inginkan. Namun ramalan Sybil Trelawney selalu benar, mereka tak berkutik kepada takdir, dan hanya dapat meratapi nasib mereka.

Hingga saat itu tiba, mereka akan membiarkan kedua anak mereka hidup dengan damai dan aman dibawah pedar hangat yang dapat mereka berikan. Hingga nanti angin meniup api lilin hangat mereka, dan membiarkan keduanya berkeliaran di dalam malam mencari sinar bulan yang tersembunyi dibalik awan, sampai fajar menjelang.

.

"–Ya, pegang seperti itu, pegang yang erat. Tahan. Stabilkan antara lengan dan pundak, luruskan pandangan matamu, rilekskan tubuhmu. dan...lepas!"

Panah mendesing di udara, melesat membelah angin, matanya menancap pada sasaran yang terbuat dari kain kanfas tebal.
"Aaaahh! Tinggal sedikit lagi!" erang anak lelaki yang menenteng busur pada tangannya. Mata hijau cerah berpedar, memelototi dengan garang anak panahnya yang menancap beberapa senti dari lingkaran bidikan paling tengah yang dilukis merah.

"Oh, ayolah! Itu saja sudah hebat! Baru saja kau belajar beberapa menit yang lalu, bidikanmu sudah nyaris sempurna! Aku saja saat pertama belajar memanah malah terjerembab oleh busurku sendiri! Kau hebat Tom!" puji seorang pria berambut hitam panjang setengkuk disampingnya, seraya menepuk-nepuk punggung anak baptisnya dengan bangga. Sirius Black adalah nama pria tersebut.

Tom tersenyum kecil mendengar pujian ayah baptisnya. Jauh disamping mereka, dibawah pohon dedalu yang dikelilingi oleh semak holly, adik kembarnya sedang sibuk merangkai-rangkai ranting menjadi sebuah benda dengan tuntunan seorang pria berambut cokelat madu disampingnya. Ekspresi kesulitan namun penuh ketelitian terlukis diwajahnya yang memerah karena frustasi.

Tom menoleh ke arah adiknya dan sahabat orangtuanya,
"Hey, Harry! Apa yang sedang kau lakukan? Kau sedang merangkai apa?" sahutnya. Mendengar sahutan keras kakaknya, Harry terkesiap, buru-buru ia menyembunyikan pekerjaannya di belakang punggungnya. "Tidak! Aku tidak melakukan apa-apa! Aku hanya merangkai ranting menjadi bentuk yang berbeda-beda dengan sihir!"

Nada paniknya menimbulkan ketertarikan dan keingintahuan pada kakaknya. "Kalau begitu, biarkan aku melihatnya!" Tom berlari menuju Harry, dan Harry spontan berlari menjauh. "Tidak boleh! Ini belum selesai!" dan terjadilah permainan kejar-tangkap yang tak diundang.

Pria berambut cokelat madu yang tadinya duduk tenang menerangkan sihir kepada Harry di padang rumput tempat mereka berada, kini terkekeh menonton kakak-beradik identik tersebut berlari dengan yang satunya berusaha menghindari tangan saudaranya menggapai dirinya.

"Hei, twins! Sudahlah, ayo kita kembali ke kastil! Sebentar lagi gelap, dan makan malam juga sebentar lagi siap!" sahutnya. Si kembar mengeluh bersamaan, "Tapi Remus! Kami masih ingin bermain disini!" seru keduanya bersamaan.

Remus Lupin, seorang penyihir yang bersahabat dengan Lily semasa sekolah mereka dulu, terkekeh geli bercampur heran. Ia tak akan pernah mengerti bagaimana caranya anak kembar selalu mengucapkan kalimat dengan bersamaan. Mungkin mereka punya telepati?
"Ayolah, besok kita bisa bermain dan berlatih lagi disini! Sekarang ayo kita pulang! Orangtua kalian sudah menunggu!" kata Sirius, melambaikan salah satu tangannya kepada anak-anak baptisnya.

Kakak-beradik kembar tersebut pun berlari menyusul ayah baptis mereka menuju kastil yang tak berada jauh dari padang rumput di bukit kecil tempat mereka bermain dan berlatih. Keempatnya memasuki kastil dengan melewati gerbang benteng terlebih dahulu, Kemudian berjalan –berlari untuk kasus si kembar– menuju ruang makan, tempat kedua orangtua pangeran kembar hiperaktif itu menunggu mereka.

"Ibu! Ayah! Kalian tidak akan percaya apa yang baru kami lakukan tadi!" seru pangeran identik bersamaan, seraya melompat duduk pada kursi mereka. Remus dan Sirius bergabung bersama mereka di meja makan.

"Oh? Kalian melakukan apa saja dari pagi?" tanya ibu mereka sembari tersenyum geli melihat tingkah kedua bocah berumur lima tahun tersebut.

"Pagi tadi, kami belajar naik kuda! Kemudian uncle Sirius mengajariku cara memanah!" sahut Tom dengan bangga, Harry mengangguk dengan semangat. "Ya! Ya! Ibu harus melihat bagaimana hebatnya Tom memanah! Pada bidikan pertamanya saja sudah dekat sekali dengan sasaran paling tengah!" Harry menyabung, tak mau kalah berbagi cerita dari kakaknya.

"Oh, itu belum seberapa! Coba ibu lihat bagaimana Harry menyembuhkan luka pada kaki kuda uncle Remus yang tadi tersangkut duri semak liar dengan sihirnya! Hebat sekali!" Harry tersipu mendengar pujian kakanya. "Itu cuma goresan kecil.." gumamnya pelan, malu-malu.

"Siapa bilang? Itu saja sudah hebat! Aku melihat cahaya merah keemasan yang berpedar lembut dari tangannya saat ia mengobati kaki kuda itu!" Harry semakin tenggelam dengan rasa hangat yang menjalar dari dadanya ketika mendengar pujian kakaknya. "Tom juga hebat dengan pedang, ia kuat sekali.." gumam Harry dengan nada terkagum, "Aku juga ingin kuat seperti dia. Tapi aku tidak berani melukai siapapun, atau apapun.." lanjutnya lagi.

"Kalau begitu aku yang akan melindungimu! Tapi benar-benar deh, Harry! Masa cuma karena aku menebas boneka jerami dengan pedang saja, kau bergeming ngeri? Itu 'kan cuma benda mati!" dengus Tom seraya memutar bola matanya.
"Benda mati juga sebenarnya memiliki jiwa! Hanya saja, mereka tak bisa bergerak!" bela Harry.

"Sudah, sudah. Ayo kita santap makanannya! Aku sudah lapar!" sahut ayah mereka, menunjuk makanan yang sudah tersaji di meja makan dengan garpunya. Dalam sekejap, ia dan Sirius langsung berlomba mengisi piring mereka dengan cekatan. Seolah makanan yang tersaji di meja dapat menguap menjadi udara kosong dalam sedetik. Lily dan Remus hanya dapat menggeleng pasrah memperhatikan aksi kedua sahabat itu.

"Hei kalian! Beri contoh yang baik pada Rose-Red dan Snow-White! Sirius! Mengunyah jangan dengan mulut terbuka! Mana sopan santunmu?!" oceh Remus.
Lily menghela nafas, menatap anak-anaknya dengan tatapan pasrah. "Ibu berharap kalian tidak akan berakhir seperti ayah dan ayah baptis kalian..." Tom dan Harry terkikik geli, kemudian mengangguk mantap kepada ibu mereka dengan cengiran lebar, lalu mulai mengisi piring mereka dengan makanan.

Tom mengeluh ditengah acara santap, "Haaah...aku kesulitan memanah dengan busur uncle Sirius. Busurnya terlalu besar dan berat, panahnya terlalu panjang. Lebih panjang dari lenganku! Seandainya aku punya panah sendiri.." Tepat pada saat itu, James tersedak. Sirius membantu menepuk-nepuk punggungnya.

"Oh sial! aku hampir lupa! Ehm, uuh..twins?" James membeo, kedua pangeran mengadahkan kepala untuk menatap ayah mereka. Lily memelototi suaminya karena telah menyumpah didepan darah-dagingnya, James tak menghiraukan pelototan istrinya, kefokusannya tertuju pada anak kembarnya. "Kalian ingat hari apa ini?" si kembar mengerenyitkan alis bersamaan, menunjukkan kebingungan mereka.

"Tiga-puluh satu Oktober? Malam Hollow Eve?" coba ayah mereka lagi. Sedetik. Dua detik. Tiga detik. Dan kerutan alis identik pun berubah menjadi melebarnya mata, mulut terbuka lebar, dan alis naik menyembunyikan diri didalam poni. "Ulang tahun kami!" seru keduanya penuh semangat, James bertepuk tangan seraya berseru "Benar! Dan apa kalian tahu artinya?"

"Kue dan hadiaaah!" dan benar saja, seorang maid datang membawa sebuah kue vanili dengan enam buah lilin merah kecil di atasnya. Si kembar bertepuk tangan penuh semangat, "Ayo, buatlah harapan! Lalu tiup lilinnya!" ujar Remus.

Sejenak, keduanya terdiam dengan mata tertutup, kemudian meniup lilin bersamaan. Para orangtua bertepuk tangan, "Apa yang kalian harapkan sayang?" tanya ibu mereka, kedua pangerannya memberi ibu mereka cengiran lebar penuh misteri. "Rahasiaaaa!"

James tertawa, "Baiklah, saatnya membuka hadiah!" dua orang maid kembali memasuki ruang makan, masing-masing membawa bungkusan dari kertas. Kemudian meletakkan masing-masing di depan Tom dan Harry. Tom membuka bungkusannya yang paling besar diantara keduanya, bola matanya melebar, ia berseru penuh semangat;

"Busur dan panah!" ia memperaktikan gerakan memanah, "-dan ukurannya pas! Tunggu, apakah ini terbuat dari kayu Yew–cemara?" Ayahnya mengangguk mantap, "Yap! Dari kayu cemara yang paling bagus! Bagaimana? Kau suka?" Tom tersenyum sangat lebar –Harry yakin pasti pipinya keram–, "Sangat!" jawabnya girang.

Harry membuka bingkisannya, alisnya bertautan melihat isinya. Ia mengangkat sepotong perkamen kosong, sebuah jubah yang terlalu besar untuknya, dan sepotong ranting.
"Apa ini, ibu?" tanyanya penuh keheranan. Kakaknya juga ikut dibuat kebingungan, kenapa adiknya diberikan benda-benda aneh yang nyaris tidak mungkin ia pakai, sementara ia mendapat benda yang ia inginkan? Rasanya tidak adil.

"Itu benda-benda sihir, sayang. Jangan menilai mereka dengan tampak mereka, mereka adalah benda-benda yang akan membantumu kelak," kebingungan Harry malah bertambah dengan pernyataan ibunya.

Remus mengangkat sepotong perkamen milik Harry, "Ini bukanlah perkamen biasa Harry, perhatikan baik-baik," Harry dan Tom berdiri berjinjit diatas kursi mereka, memperhatikan Remus dengan teliti. Remus meletakan perkamen kosong diatas meja. Dari sakunya, ia mengangkat sepotong ranting yang mirip dengan hadiah Harry, meletakan ujungnya diatas perkamen. "Dengarkan baik-baik," si kembar menuruti perintahnya.

"I solemnly swear, I am up to no good,"
seketika, perkamen tersebut membuka lipatannya sendiri, tinta hitam mulai menyebar menjadi garis-garis, hingga membentuk sebuah peta. Tom terkesiap, "Ini 'kan denah kastil kita! Oh, lihat! Itu kita!" ia menunjuk nama-nama mereka yang terlihat sedang berkumpul di satu tempat yang bertuliskan 'Ruang Makan'.
"Hei, maid Diandra sedang berjalan menuju dapur!" Harry menunjuk bentuk jejak kaki diiringi tulisan 'Diandra Rey' yang bergerak menuju 'Dapur'.

"Nah, anak-anak. Ini adalah Marauder's Map!" kata Sirius penuh kebanggaan dalam nadanya. "Ini bukan peta biasa! Seperti yang kalian lihat, kalian bisa mencari keberadaan orang-orang yang ada di dalam sebuah tempat, dan apa yang sedang mereka lakukan! Lebih tepatnya kemana mereka ingin pergi."

"Dan peta ini akan berubah denahnya sesuai dimana tempat kalian berada!" lanjut James, "Dulu, peta ini milik aku, Sirius, Remus, dan Peter. Dan sekarang ini menjadi milikmu, Harry." Harry tersipu dibuatnya.

"Lalu ranting ini untuk apa?" Tom mengangkat sepotong ranting yang menjadi salah satu hadiah Harry.

Lily terkekeh, "Sudah ibu bilang 'kan? Jangan menilai dari wujudnya, sayang. Itu adalah tongkat sihir, 'ranting' yang dibawa Remus juga tongkat sihir. Ini akan membantu Harry menggunakan sihirnya. Tongkat itu dulu milik ibu, terbuat dari kayu dedalu, berdesir jika digerakkan. Cobalah merapalkan mantra dengan itu, sayang," jelas ibunya.

Harry menggenggam erat tongkatnya, ia mencoba memikirkan matra yang tidak akan menghacurkan apapun dan menyakiti siapapun. Ia menujuk garpu diseberangnya dengan tongkatnya,
"Accio garpu!" dan garpu itupun melesat menuju tangannya yang segera menangkap alat makan tersebut. James bertepuk tangan, "Ow! Hebat! Hebat!" sahutnya. Harry mengangkat jubah merah beludru yang terlipat rapi, "Kalau ini apa, ayah?" tanyanya.

"Kau akan tahu. Tapi sihir jubah ini akan aktif saat kau sudah menemukan apa yang kau butuhkan dalam hidupmu. Untuk sekarang jubah itu hanya jubah biasa," jawab ibunya, Harry mengangguk, walau ia tidak tahu apa yang ia butuhkan dalam hidupnya. Rasanya ia sudah hidup berkecukupan. Harry memutuskan untuk membereskan kembali hadiah-hadiahnya.

James menepuk tangannya satu kali, "Oke, saatnya tidur! Sudah jam sembilan malam!" Harry dan Tom menuruti perintah ayah mereka, berlalu pergi menuju kamar sambil membawa hadiah-hadiah ulang tahun mereka.

.

Tom terbangun dari mimpinya, matanya menelusuri seisi kamarnya yang redup. Hanya diterangi oleh cahaya bintang dari jendela. Matanya melirik langit dibalik jendela tepat disampingnya, kasur mereka diletakan bersentuhan tepat dengan jendela atas permintaan ia dan adiknya.

Ia terkesiap menatap pemandangan yang ia lihat. Hujan Meteor!
buru-buru ia mengguncang tubuh adiknya yang sedang tertidur lelap disampingnya, "Harry! Harry! Bangun! Hujan meteor! Kau harus melihatnya!" desis Tom dengan sedikit kencang. Harry mengerang jengkel, Tom terus mengguncang tubuhnya lebih kuat. "Oke! Oke! Aku bangun!" kata Harry akhirnya dengan pasrah.

"Ayo kita ke bukit! Disana kita bisa melihat lebih jelas! Lagipula letaknya tidak terlalu jauh dari kamar kita!"

Keduanya pun perlahan keluar dari kamar mereka. Tom membawa panah-panah dan busurnya –entah untuk apa, katanya sih untuk 'jaga-jaga'. Sementara Harry mengenakan jubahnya dan menyelipkan tongkat sihir beserta peta Marauders di dalamnya. Keduanya mengendap-endap keluar kastil, berjalan perlahan menuju bukit kecil dekat kastil, bukit yang tadi sore mereka jadikan tempat bermain dan berlatih. Bukit yang diberi nama 'Hill of Departure' oleh masyarakat setempat. Disana mereka dapat melihat jelas desa diselimuti titik-titik cahaya keemasan lampu, hutan dan bukit yang tersamar kegelapan terhampar luas dibawah mereka.

"Wow...aku belum pernah melihat hujan meteor sebelumnya.." gumam Harry, disaat mereka telah mencapai bukit. Tom menggangguk. "Aku juga, indah sekali.." keduanya terkagum-kagum pada langit bertabur bintang jatuh yang terlihat begitu jelas. Tom menyandarkan tubuhnya pada batang pohon dedalu di dekat mereka, daun-daunnya berguguran disekeliling kaki mereka, perlahan-lahan tertiup angin musim gugur yang segar nan kering. Mereka hanya terdiam menonton jatuhnya beribu-ribu bintang di angkasa, membiarkan kesunyian membuai keduanya dengan nyaman.

"Hei, Harry, apa yang sebenarnya kamu buat tadi sore?" Tom memecah keheningan. Harry terlihat baru teringat sesuatu. Ia segera merogoh saku celananya, menarik sepasang untaian kalung dengan bandul yang terbuat dari sebuah simpul kayu berbentuk lingkaran yang di dalamnya terdapat sebuah jarring-jaring anyaman dengan lubang di tengahnya. Di bagian bawah lingkaran kayu itu terdapat enam buah bulu merah keemasan yang tergantung-gantung.

"Pheonix. Bulu ini berasal dari sayap burung Pheonix. Remus membawakannya untukku," kata Harry saat ia melihat kakaknya begitu tertarik dengan bulu-bulu yang menggantung pada bandul lingkaran kayu kecil kalung itu. Harry mengalungkan salah satunya pada leher Tom, sementara yang lain ia kenakan sendiri.

"Kalung apa ini? Aku baru lihat ada kalung seperti ini.." ujar Tom, Harry menyengir.

"Namanya 'Dream Catcher', aku menyembunyikannya tadi karena belum selesai. Aku ingin membuatnya menjadi kejutan. Kebetulan hari ini ulang tahun kita, jadi ini hadiah ulang tahun dariku," jelas Harry, Tom memberikan ekspresi bersalah kepada adiknya.
"Maaf aku tidak bisa memberikan apapun.." Harry terkekeh.

"Tak apa, Tom bersama denganku pun sudah menjadi hadiah paling berharga untukku," Harry memeluk erat kakaknya penuh sayang, Tom balas memeluknya sama erat. Pelukan diakhiri, mereka kembali menatap hujan meteor diatas mereka. Mengagumi ratusan cahaya berkilat-kilat bersama, seolah saling mengejar. Harry memutuskan untuk mengakhiri kebisuan nyaman yang menyelubungi mereka.

"Hei, Tom, kau tahu tidak? Dream Catcher itu digunakan oleh orang-orang Indian zaman dulu untuk 'menangkap mimpi'. Mereka percaya kalau menggantungkan Dream Catcher diatas tempat tidur mereka, akan mengusir mimpi buruk dan memanggil mimpi indah," jelas Harry.

"Jadi kita harus menggantung ini diatas tempat tidur kita?" Tom mengangkat sebelah alisnya dengan terheran, anak lelaki beriris zamrud menggeleng mendengar pertanyaan kakaknya.
"Tidak, kita tak perlu menggantungnya. Dream Catcher buatanku tidak seperti itu,"

"–aku membuat ini bukan untuk memanggil mimpi indah buat kita, tapi sebagai jimat. Jimat untuk mengabulkan permohonan kita. Yah, secara teknis, memang tidak bisa mengabulkan harapan, tapi sebagai penyemangat kita meraih mimpi yang ingin kita capai." Lanjut Harry.

Tom mengangguk mengerti, Harry tersenyum ganjil. senyuman yang mengingatkan Tom akan senyuman yang biasa ibu mereka berikan jika akan menjelaskan sesuatu yang menarik.
"Kau ingat cerita tentang gereja kembar yang ibu ceritakan kemarin?" anak yang paling tua diantara keduanya mengangguk,

"Disana diceritakan bahwa ada sihir kuno yang amat kuat dari batu bertuah yang tersembunyi didalamnya, sihir yang menciptakan sebuah ikatan yang tak terkekang oleh tempat maupun waktu. Kalung ini berfungsi seperti batu itu. Yah, walaupun kekuatannya tak sehebat batu bertuah, tapi aku memberikan sedikit sihir didalamnya."

"Sihir apa?" Harry tersenyum lebar mendengar pertanyaan kakaknya,

"The Unbreakable Connection!" seru Harry penuh rasa bangga.

"–Kayu yang digunakan untuk membuat kalung ini berasal dari kayu Holly, yang digunakan para penyihir untuk melindungi mereka yang berada dalam misi spiritual. Burung Pheonix adalah burung yang bebas, tak terkekang oleh perintah dan larangan. Mereka hidup abadi, pada akhir hidup mereka, mereka akan terbakar menjadi abu, dan dari abu munculah bayi burung Pheonix baru. Mereka dapat menghilang dari suatu tempat dan muncul di tempat lain dengan sekedip. Mereka tak tekekang oleh tempat maupun waktu. Jadi aku menggunakan bulu Pheonix." Lanjutnya lagi.

Ia menggenggam bandul kalungnya yang kecil, menatapnya dengan dalam, "Sihir yang kugunakan pada kalung ini memang tidak kuat, besar, maupun kuno dan gaib, tapi penuh perasaan. Jadi, selama kita mengenakannya, kita akan selalu terhubung dengan satu sama lain. Tak peduli seberapa jauh jarak yang memisahkan, takdir kita akan terus terikat. Tak peduli seberapa pekat kegelapan yang mengabuti mata kita, kita akan terus menemukan satu sama lain. Jika kita tersesat dalam malam dingin, cahaya lain akan menemukan kita dan menuntun kita menuju cahaya yang lain. Jadi, jangan khawatir, tak akan ada yang dapat mengusik kita."

Tom menatap adiknya dengan pandangan kagum dan kaget, lalu perlahan berubah menjadi tatapan lembut dengan senyum hangat.
"Ya, kita 'kan kembar. Tak akan ada yang dapat memisahkan kita. Tapi kau ini terkadang bertingkah seperti perempuan," ujarnya.

"Apa kau bilang?" Harry tersenyum ganjil, yang memperingatkan Tom akan ada kematian pelan nan perih menantinya. Tom hanya menyengir lebar, "Bercanda." Katanya.

Keduanya tertawa, "Happy Birthday," ucap mereka bersamaan.
Beberapa saat dalam kesunyian, mereka terus memeluk satu sama lain, tak ada yang dapat membedakan yang mana Rose-Red, yang mana Snow-White. Pada saat itu, mereka tersembunyikan dari dunia yang dingin. Hanya kehangatan satu sama lain yang mereka rasakan.

Derap langkah kaki kuda membangunkan mereka dari dunia yang mereka bagi bersama, keduanya menoleh ke arah suara tersebut berasal. Dibawah bukit pasukan ksatria hitam bertopeng perak mengendarai kuda berderap kencang menuju gerbang kastil.

"Siapa mereka? Tidak ada yang bilang kita akan kedatangan pasukan sebanyak ini!" desis Tom.

"Sebaiknya kita bangunkan ayah dan ibu! Aku tidak merasa mereka berniat baik pada kita.." Keduanya berderap menuju kastil secepat yang kaki-kaki kecil mereka bisa. Anehnya, gerbang benteng kastil terbuka sendiri, membiarkan pasukan hitam tersebut masuk dengan leluasa.

"Harry! Kau bangunkan ayah dan ibu! Aku akan membangunkan Sirius dan Remus!" seru Tom, Harry mengangguk. Ia berlari menuju kamar ayah dan ibu mereka, mendobrak pintu dengan kencang, seketika membangunkan orangtuanya.

"Ayah! Ibu! Diluar ada pasukan hitam! Apakah ayah mengundang mereka? Karena tak ada penjaga yang menyambut mereka dengan ramah!" seru Harry.
Sedetik, kedua orangtuanya berpandangan, kemudian kilat ketakutan menyambar keduanya. James melompat keluar kasur, menyambar jubah dan pedangnya.

"Lily, jaga Harry! Aku akan membangunkan Sirius dan Remus!" James berderap pergi meninggalkan keduanya.

"Tom sedang membangunkan mereka berdua!" teriak Harry saat melihat ayahnya sudah melesat keluar kamar. Ibunya merangkul Harry dengan erat, tangannya mengelus kepalanya dengan lembut. Harry mengadahkan kepalanya untuk memandang wajah ibunya yang pucat pasi penuh kekhawatiran.

"Ibu, apa yang terjadi?" tanyanya dengan ragu-ragu, air mata menggenangi kelopak matanya, ia takut sekali. Tubuh ibunya meneggang, dengan suara serak seakan berusaha menahan tangis, ia berkata dengan suara yang tak lebih besar dari bisikan;

"Pasukan Voldemort..mereka datang.."

Harry dapat mendengar suara pedang beradu, teriakan memekakan telinga, tebasan dan hentakan sepatu kuda, menggema pada dinding batu. Apa yang terjadi? Mau apa pasukan Voldemort ini? Apakah ayahnya tak apa-apa? Bagaimana dengan Sirius dan Remus? Apakan kakaknya terluka? Apa yang akan terjadi dengan mereka?

Tebasan pedang dan teriakan diiringi dengan rintihan terdengar jelas di lorong, hentakan sepatu dengan lantai batu bergema didekatnya, pelukan ibunya mengerat, kemudian dilepaskan.
"Harry, ibu ingin kau berdiri di dekat pintu, saat para pasukan itu menyerbu masuk, kau harus kabur. Cari kakakmu dan Sirius juga Remus, pergilah dengan mereka. Kau akan aman," bisik Lily di telinga mungil anaknya.

"Bagaimana dengan ibu?" Harry menggenggam erat lengan pakaian ibunya.

"Ibu akan mengalihkan perhatian mereka, kau larilah selagi ibu mengambil perhatian mereka,"

"Tapi aku tidak ingin pergi tanpa ibu!" jeritnya. Ibunya menggeleng-geleng miris padanya.

"Harry, kau harus mengerti.." air mata jatuh di pelupuk mata zamrud yang ia bagi bersama anaknya, "..Kau dan kakakmu membawa takdir besar, nak. Berjanjilah pada ibu, apapun yang terjadi, kau harus tak boleh kehilangan semangat dan harapan. Apapun yang masa depan bawa, ibu ingin kau tabah, tegarlah..dan yang paling penting, jangan lupakan siapa dirimu. Sikap pemaaf yang menyukai orang-orang disekitar kita. Itu merupakan hal yang sulit, tapi ibu yakin, kau pasti bisa melakukannya, Harry."

Lily mengecup puncak kepala Harry, mengelus rambutnya dengan lembut, kemudian merangkul erat tubuh kecil itu. "Apapun yang terjadi, jangan lupakan bahwa ada orang-orang yang lebih membutuhkanmu. Ibu dan ayah akan selalu menyayangimu, kau dan Tom adalah anugerah paling berharga yang pernah kami dapatkan. We will always love you, little Snow-White.."

Ibunya mendorong Harry ke samping pintu, menyuruhnya diam sampai ia memberikan aba-aba untuk kabur, lalu kembali pada posisi awalnya. Dan tepat pada saat itu, prajurit-prajurit berzirah hitam dengan topeng perak mendobrak masuk.
"Dimana anak itu, Potter?! Dimana anak ramalan itu?!" tuntut salah satu prajurit yang paling depan. Mata Lily terbelalak kaget mendengar suara yang dia kenali.

"Vernon? Apa– Kenapa kau menghianati kami? Dimana Petunia?" tuntutnya.

"Tutup mulut, Darah Lumpur! Dimana anak itu?!" sembur Vernon, mengacungkan mata pedangnya pada Lily.

"Kau pikir aku tahu dimana dia? Kalau aku tahu, pasti ia sedang bersamaku sekarang," balas Lily dengan nada penuh bisa. Tak menunjukkan sekilas pun rasa takut oleh ancaman Vernon.

Vernon mendecakkan lidahnya, "Bunuh dia, ia tak berguna untuk kita," Mata Harry terbelalak lebar saat pedang ditebaskan tepat di leher ibunya.Tanpa sadar, Harry menjerit memanggil ibunya, membuat para prajurit hitam menoleh padanya. "Itu dia! Tangkap anak itu!" teriak salah satunya.

Harry melesat keluar dari kamar, berlari menyelusuri lorong yang bersimbah darah dan tubuh tak bernyawa. Bau batu lembab dan darah menyengat indera penciumannya. Dia berlari dengan air mata menggenang di pipinya, mendobrak pintu kayu raksasa yang akan membawanya menuju halaman kastil.

Lorong rasanya jauh lebih indah jika dibandingkan dengan halaman kastil.
Semua penjuru didekorasi dengan darah segar, mayat bergelimpangan, para prajurit istana sekuat tenaga melawan pasukan hitam, tebasan dan adu pedang mengiringi pemandangan mengerikan didepannya. Ia dapat mencium bau amis darah dan besi memuakkan dari segala penjuru. Jeritan histeris dan tangisan membisingkan telinganya, dentangan pedang beradu, sementara para prajurit bentrok dalam pertarungan. Telinganya mendeteksi suara yang amat ia kenal, memanggil namanya, memecahkan dirinya dari mimpi buruk. Harry menolehkan kepalanya menuju asal suara, ia melihat Tom berada diatas kuda yang ditunggangi ayah baptisnya. Tepat didepannya, seorang penjaga istana menunggangi kuda, menunggu dirinya.

"Harry! Ayo naik! Kita harus pergi dari sini!" teriak Sirius dari kejauhan.

Tanpa ba-bi-bu lagi, Harry melompat menaiki kuda yang sudah menunggunya. Di detik ia naik, kuda sudah berderap dengan kencang. Beradu menuju gerbang. Samar-samar, telinganya dapat mendengar teriakan orang asing;
"Tangkap salah satu pangeran itu!" Harry berpegangan erat dengan penjaga istana yang mengendarai kudanya, takut jika ia melepaskan, ia takkan pernah dapat melihat mentari fajar kembali.

Erangan kesakitan terdengar didepannya, getaran menjalar ke tubuhnya, Harry mengadahkan kepala, hanya untuk bertemu pandang dengan panah yang menacap pada leher penjaga yang mengendarai kudanya. Hal selanjutnya yang ia ketahui, seseorang menarik kerah bajunya, dan menyeret tubuh kecilnya bersama. Teriakan penuh kemenangan memekak dari orang yang menariknya.

"Kita mendapatkannya! Kita mendapatkan pangeran kedua!"

Harry menjerit ketakutan, matanya mencari sosok kakaknya, dan ia menemukannya. Berderap jauh bersama kuda yang ditumpangi ayah baptisnya, ia menjerit memanggil Tom. Dan kakaknya berbalik ke arahnya, mata torquise-nya melebar penuh dengan perasaan tercampur aduk. Harry dapat menangkap suara kakaknya berteriak padanya, berteriak pada Sirius untuk kembali dan mengambilnya dari tangan yang asing baginya. Dan hal berikutnya yang Harry ketahui, kegelapan memenuhi penglihatannya.

.

Cahaya memaksa masuk ke dalam pupilnya, Harry bergeming penuh ketakutan, dan ketakutannya bertambah saat ia menatap seseorang di hadapannya.

Harry tidak tahu harus menyimpulkan kata 'seseorang' atau 'sesuatu' pada apa yang ada dihadapannya. Seorang pria dengan kulit putih sepucat pualam, berwajah mirip ular, dengan mata merah menyala yang membuat sekujur tubuhnya menggigil menatapnya. Pria tersebut berjalan perlahan mendekati dirinya, Harry berusaha menjauh, namun ia sadar, tubuhnya telah diikat erat oleh tali yang panjang.

"Jadi," desisan tercipta dari bibir yang nyaris tidak tampak, "Inilah, anak yang disebut-sebut di dalam ramalan itu. Yang menyatakan akan mengalahkanku. Sungguh, aku tak akan pernah mengerti bagaimana cara cermin itu berpikir. Ia hanyalah anak kecil tak berdaya, secuil gandum pun tak mungkin ada kesempatan untuknya menang dariku. Atau mungkin kakaknya-lah yang berpotensi untuk mengalahkanku?" desisannya membuat bulu kuduk Harry terangkat seluruhnya. Nada dingin tak berperasaan yang terdengar keji di telinganya, sudah membuat Harry tidak sanggup untuk terus membuka mata.

"Crucio!"

Jeritan pembeku darah menggema pada dinding marmer. Harry bergeming ditempat, mendengarkan jeritan pilu dari belakangnya.
"Kalian semua tak punya otak. Kenapa tidak sekalian kalian bawa kembarannya? Dasar makhluk tak berguna!" desis pria itu. Permohonan maaf menyedihkan terdengar disampingnya, Harry tak berani mengangkat kepala. Telinganya dapat mendengar seseorang menyerukan sebuah nama pada pria berwajah ular tersebut.

Lord Voldemort.

Orang jahat yang ibunya bilang adalah dalang penyerangan yang terjadi di kastil. Matanya melirik ke sekitarnya, ini bukan kastil Gryffindor. Dinding batunya terbuat dari batu marmer, jampi-jampi pada dinding bukan berwarna merah, melainkan hijau dan perak. Aura dingin dan gelap memenuhi seisi ruangan, membuat siapapun yang tengah berada didalamnya terasa terintimidasi.

Jari lancip panjang yang dingin menyentuh dagunya, Harry mengeluarkan suara seperti tercekik dari tenggorokannya, matanya menatap langsung iris merah darah yang meneliti dan menilainya dalam diam. Setelah beberapa detik yang bagi Harry rasa bagai berabad-abad, jari telunjuk itu meninggalkan dagunya, mata merah itu sudah tak menatapnya lagi. Bukan main rasa lega yang dirasakannya. Sayangnya rasa lega itu hanya bertahan sementara, pria berwajah ular itu mengacungkan sebuah tongkat sihir tepat pada keningnya, kemudian merapalkan sebuah mantra dengan penuh racun dalam suaranya.

"Avada Kedavra!"

Serekah cahaya hijau menyilaukan memenuhi pandangannya, keningnya terasa ditekan dengan keras oleh sesuatu, tubuhnya terpental jauh ke lantai, Harry tak sempat menjerit. Sekujur tubuhnya terasa sakit luar biasa, seakan aliran listrik menyetrumnya dengan tenaga terbesarnya, kepala terasa terhantam dengan keras dan diputar berkali-kali, lehernya seakan dipelintir tanpa ampun, panas menjalar dari dadanya, seakan jantungnya pecah berkeping-keping. Kegelapan pun menyelimuti pandangan Harry.

Voldemort menatap dengan pandangan kosong pada tubuh anak lelaki yang terpental jauh di lantai dan teronggok begitu saja disana, tak bergerak, tak bernafas. Ia membalik menghadap singgasananya, berjalan perlahan penuh keanggunan misterius nan kejam pada tiap langkahnya. Mulutnya terbuka dengan lidah siap menyuarakan perintah untuk menyingkirkan 'sampah' dari aula singgasananya. Namun, kata pada pangkal lidahnya menghilang begitu saja ketika suara tarikan nafas tajam tercipta dari keheningan mencekam.

Harry menarik nafas dalam, kelopak matanya terbuka secepat berkedip, bola matanya bergerak liar kesegala arah, nafasnya tak teratur. Ia tak tahu apa yang terjadi, tapi ia tahu mantra yang dirapalkan 'Voldemort' tadi sangat berbahaya, tubuhnya terasa perih disegala arah. Pertanyaan yang tersangkut di benaknya adalah : Bagaimana ia bisa selamat?

Perlahan, tarikan dan hembusan nafasnya kembali normal, dipaksanya tubuhnya untuk bangun. Dan ketika ia sudah dalam posisi setengah duduk, matanya bertemu kembali dengan seasang iris merah darah itu. Tanpa sadar, ia menyentuh keningnya. Jemarinya merasakan cairan. Saat ia bawa tangannya kepandangannya lagi, tinta merah segar melumuri ujung jemari. Dengan itu, ia tahu luka telah menoreh kulit pada keningnya. Seisi ruangan menatapnya seakan kepalanya tumbuh satu lagi, ekspresi pria berwajah ular tersebut juga hampir sama kagetnya. Namun terkejutannya dihalangi dengan baik oleh topeng lain. Penyihir hitam itu akhirnya mendesis kembali;

"Bawa dia ke dalam menara selatan, dan kurung dia. Kita takkan pernah tahu apa yang darah murni kerajaan dapat lakukan."


Lylul's Note :

Nah, gimana? Seru gak..? jelek ya..? ;_; *hiks* Mau dilanjutin gak? Kalau ga mau, ya gpp sih... Lagipula sebenernya Lylul tengah menulis chapter baru 'The Dawn'. Takutnya gak bisa ngetik dua-duanya. btw, Hollow Eve itu bagi yang ga tau, adalah nama lain dari Halloween. Maid Diandra Rey disini bukan siapa-siapa, cuma karakter 'dibuat dadakan'. Dan maaf kalo dialog lebih banyak dari deskripsi disini! Maklum, Lylul emang gak jago mendeskripsi sesuatu.
Review pleaseeeeeeeee! *puppy eyes*

Oh, iya! Hampir lupa! Fic ini cuma percobaan! Kalo kalian mau Lylul lanjutin, yang sabar ya! Soalnya Lylul masih punya satu fic lagi yang masih dalam progress!