Ethereal Lie

Disclaimer:

Naruto belongs to Masashi Kishimoto

Warning:

OOC adalah peringatan utama saya, typos, cracked-pair, etc.

so, seriously, DON'T LIKE DON'T READ

I already warned you

.

.

.

.

Chapter IX

Dia adalah matahari perak yang membakar seluruh bagian dalam dirimu,

Habis, tak bersisa, menjadi arang; tak menyisakan satupun bagian dirimu yang kau kenal,

Dia menyinari semesta, namun membiarkan dirinya sendiri diliputi gelap,

Bagi dunia, dia adalah seseorang,

Bagimu, dia adalah dunia; semesta tak berbatas yang mengikatmu pada tempat terbaik,

Bagimu, dia adalah cahaya; ikatan terkuat yang membuat hidupmu bermakna,

Bahkan jika alam raya berakhir melalui sebuah sobekan besar, cintamu padanya kan selalu utuh.

9.

Sasuke meregangkan tubuhnya yang kekar namun ramping dengan perasaan tak tentu. Celana renang hitam merah merupakan satu-satunya pakaian yang melekat di tubuhnya. Otot pada dada dan lengannya mengencang saat dia melakukan salah satu gerakan pemanasan. Dia menghembuskan nafas dengan keras dan teratur sebelum kemudian melompat ke kolam renang pribadinya yang sepi.

Air yang dingin seketika menyelimutinya. Dengan gerakan yang atletis, Sasuke berenang menuju sisi yang berlawanan, lalu kembali lagi. Hanya orang gila yang masih menghabiskan waktunya di kolam renang pada akhir bulan november seperti sekarang. Tapi dia memang gila, jadi tak apa-apa.

Setelah berenang dengan berbagai gaya selama beberapa puluh menit, lelaki itu keluar dan mengenakan jubah mandinya. Pikirannya masih belum bisa beralih dari kejadian kemarin malam. Seringai terbentuk mengingat berbagai kejadian manis itu.

Rencananya dan Itachi memang tidak berjalan semestinya—terima kasih pada pengendalian dirinya yang payah. Namun karena hal itu, dia justru menemukan celah dari berbagai hal. Hinata memaafkannya. Untuk pertama kalinya gadis itu menciumnya dan berjanji memberitahu hiashi mengenai hubungan mereka. Dan yang paling hebat, Hinata menyiratkan kemungkinan dia mulai mencintai Sasuke dengan cara yang Sasuke inginkan.

Dan dia masih juga serakah menginginkan pernyataan jelas dari Hinata kalau gadis itu mencintainya.

Tetesan air mengalir dari rambut hitamnya. Masih jam sembilan pagi, dan dia merasa sudah siap terbang menjemput Hinata dimanapun gadis itu berada sekarang. Yang Sasuke butuhkan hanya satu telepon, satu email, atau satu pesan singkat dari kekasihnya itu. Tapi, Sasuke mendecih dan meminum campuran jus tomat dan lemonnya, itu masih beberapa jam lagi. Selama selang waktu itu, dia hanya bisa menunggu.

Sebatang rokok berbalut kertas emas ditarik dari kotaknya. Sudah lama sejak terakhir kali Sasuke merokok—sekitar dua atau tiga hari. Dia membuka kertas pembungkus itu dan menyalakan rokoknya lalu menghisapnya dengan gaya maskulin.

Ini gila.

Sasuke mendengus dan mematikan rokoknya pada hisapan yang ke tiga. Hinata jelas membenci rokok, dan dia, orang yang paling ingin dicintai gadis itu malah menghabiskan waktu dengan benda itu. Naruto yang tingkat kecanduannya lebih parah darinya saja sanggup berhenti karena Hinata memintanya, kenapa dia yang jelas-jelas kekasih Hinata tidak bisa berhenti?

Karena Hinata tak pernah memintanya berhenti dan gadis itu sama sekali tidak peduli padanya. Tidak sebesar rasa pedulinya pada Naruto.

Sasuke membanting gelas jusnya dengan amarah. Pecahannya bertebaran, salah satunya memantul dan menusuk ujung kakinya. Darah yang perlahan muncul diabaikannya.

Sialan. Apa-apaan sih dia ini?

Padahal dia sendiri yang bersumpah untuk menghilangkan nama bocah kuning itu dalam dirinya dan Hinata. Sasuke meremas kotak rokoknya lalu melangkah pergi, berniat melanjutkan mandi dan pergi sebentar sebelum bertemu Hinata. Harus ada kesibukan yang mengalihkan pikirannya sebelum dia jadi terlalu emosional saat bertemu gadis itu nanti.

.

.

"Hinata?"

Sasuke merasa terkena serangan jantung ketika melihat kekasihnya itu berdiri di depan pintu rumahnya, dengan keraguan dan kepanikan yang khas.

Hinata terlihat sesegar udara pagi, dalam balutan jaket panjang dan celana tebal yang sederhana. Salju terlihat menumpuk pada beberapa bagian di rambutnya. Bibir gadis itu pucat dan menggigil dengan kedua tangan yang memegang tas anyaman besar.

"Ano..."

"Astaga, sudah berapa lama kau di sini?" Sasuke meremas jemari kemerahan yang sangat dingin milik gadis itu. Pada temperatur udara sedingin ini, Hinata tidak memakai sarung tangan!

"Eto," gadis itu mengalihkan pandangannya. "Itachi-san... tidak memberitahu Sasuke-kun? A... aku tadi menghubungimu. Otou-san harus menghadiri sidang di luar kota, jadi... kami tidak bisa... mengunjungi Hanabi-chan." Gadis itu kelihatan gugup. "Ku... kurasa aku datang di... waktu yang tidak tepat..."

"Bukan itu," Sasuke merengkuh wajah dingin gadis itu. "Masuklah, tubuhmu sedingin es." Sasuke bersumpah akan membunuh Itachi yang berani-beraninya mengusik ponselnya dan tidak menyampaikan pesan sepenting itu padanya.

"Sa... Sasuke-kun kelihatan... akan pergi... ku... kurasa kita bisa... bertemu lain waktu..."

"Hinata, jangan mempersulit keadaan. Kau tahu aku tak mungkin kemana-mana saat kau ada di sini."

"Ma... maaf," ekspresi gadis itu terlihat penuh rasa bersalah.

Sasuke mengecup pipi kemerahan Hinata dengan lembut. Menahan diri, pikirnya sinis pada dirinya sendiri. "Kau tidak melakukan kesalahan, kau justru mempermudah banyak hal." Satu-satunya yang salah adalah Itachi, dan aku berjanji, dia akan membayarnya. "Seharusnya kau menungguku mengangkat teleponmu. Aku pasti akan menjemputmu."

"Ano," Hinata menunduk. "Aku... tidak ingin... merepotkan."

"Omong kosong," Dia membawa Hinata menuju kamarnya agar tak ada gangguan yang tak diharapkan dari Itachi. Meskipun dia tak di rumah saat itu, tak ada jaminan lelaki itu tak bisa mengganggunya dengan berbagai cara. Terutama jika lelaki itu tahu Hinata ada di sini. Tepat saat pintu terbuka, Sasuke langsung menyesalinya. Kamarnya masih berantakan, persis seperti dua hari yang lalu sebelum dia bertemu Hinata. Tak ada yang diperbolehkannya masuk dan mencampuri urusannya kecuali Itachi, karena kebetulan lelaki itu memang tak bisa dihalangi.

Dan kini Sasuke menyesalinya.

Kamarnya masih diselimuti asap rokok dengan pecahan barang yang berserakan dan abu rokok di mana-mana. Dia mendengar Hinata yang terkesiap.

Sasuke berbalik cepat. "Kita pindah."

"Sasuke-kun," Hinata mundur dan menatapnya. "Kenapa dengan... ruangan ini?"

"Satu dan lain hal," lelaki itu menjawab tak acuh sambil membalikkan tubuh Hinata. "Tapi sebagian besar karena kau menghindariku kemarin," akunya.

Gadis itu meringis dan mundur. Pandangan gadis itu kembali dipenuhi rasa bersalah. Sial. Lagi-lagi Sasuke menyampaikan hal yang tidak perlu pada kekasihnya itu. Kenapa sih dengan pengendalian dirinya yang selalu ditakuti orang-orang itu?

"Tidak apa-apa, Hinata," Sasuke membersihkan bulir-bulir salju yang masih menempel di rambut gadis itu. "Yang penting kau akan selalu bersamaku mulai dari sekarang."

"Ba... bagaimana kalau... aku membantumu... membersihkannya?"

Horor muncul pada ekspresi Sasuke. "Tidak," jawabnya tegas. "Aku akan meminta seseorang—atau beberapa orang untuk membersihkannya. Kita pindah, masih banyak ruang di rumah ini yang bisa dipakai." Biar bagaimanapun, Sasuke adalah laki-laki normal yang menyimpan banyak rahasia tentang hasratnya pada gadis yang dia cintai. Sangat tidak lucu jika tiba-tiba Hinata menemukan hal-hal memalukan di antara kekacuan itu.

"Ba... baiklah," Hinata kelihatan ragu. Dia menoleh untuk terakhir kalinya sebelum Sasuke menutup pintu dan menariknya pergi.

Sasuke membawa gadis itu naik menuju lantai di atasnya. Dia menggenggam jemari Hinata yang sedingin es itu, berharap bisa membagi kehangatan dari tangannya. Itachi benar-benar keterlaluan.

"Berapa lama kau berdiri di luar?"

"Eto..."

"Jangan berbohong mengenai waktu untuk melindungi baka-Itachi," Sasuke meraih tas anyaman yang di pegang Hinata, "Astaga, apa yang kau bawa? Laptop?" dia berhenti pada pintu pertama yang mereka temui di puncak tangga, dan membukanya.

"Ano... bagaimana ini... yang mana yang... harus ku jawab dulu," Hinata bergumam pada dirinya sendiri.

Sasuke menyeringai kecil melihat tingkah gadis itu.

"Mungkin... 30 menit?"

"Dan tak ada seorangpun pekerja yang membukakan pintu?" nada suara Sasuke meningkat marah.

"Bu... bukan," pipi Hinata merona. "Aku... hanya ragu... jika ini akan merepotkanmu."

Tepat saat mereka melangkah masuk, lelaki itu menutup paksa pintu dan mencium Hinata. Tas anyaman yang dipegangnya dibiarkan jatuh, tapi dia tidak peduli. Nafasnya terengah, dia seolah menemukan oksigen setelah lama terkepung dalam ruangan pengap imajiner. Lama, berarti sekitar 15 jam sejak terakhir mereka bertemu kemarin. Setelah itu Sasuke tak pernah benar-benar bernafas. "Hinata," bisiknya lembut. "Aku merindukanmu."

"A... aku..." Hinata berusaha menemukan irama nafas yang tepat. Dia sudah mengira akan ada serangan tiba-tiba dari Sasuke, seperti biasanya. Tapi kapan waktunya tidak pernah bisa ditebak. "Kemarin... kita baru bertemu..."

Gigi putih Sasuke menggigit telinga Hinata dengan lembut, dan seluruh tubuh Hinata meremang. "Aku tetap rindu," suara Sasuke berat dan rendah. "Seharusnya kita tinggal bersama," pandangan Sasuke menangkap sekilas pada lantai, lalu dia tersentak. Sebuah kotak bertingkat berwarna merah dengan corak bunga sakura hitam tergeletak di samping tas yang terbuka.

Jangan bilang...

"Hey," Sasuke melepas Hinata. "Isi tasmu..."

Seolah tersadarkan, gadis itu ikut terkejut. Dia menatap isi tasnya yang keluar, lalu beralih pada wajah Sasuke. "A... ano..." dia menjauh dari Sasuke, berlutut dan mendekati tasnya.

"Hinata," suara Sasuke melembut oleh ketegangan. "Kau membawakan aku makanan?"

Dengan wajah bersemu, gadis itu mengangguk. "I... Itachi-san bilang... sejak kemarin Sasuke-kun... belum makan. Ta... tapi kurasa agak aneh jika tiba-tiba aku datang dan... membawakanmu makanan, kan? Jadi aku..."

Hati Sasuke mencelos. Dia memeluk Hinata tanpa peduli gadis itu masih mengenakan jaketnya yang basah. Hinatanya, Hinata yang hanya miliknya, selalu penuh kejutan. Tepat beberapa waktu yang lalu Sasuke mengira Hinata tak peduli padanya, perempuan itu datang dan memberikannya perhatian.

"Kau selalu..." Sasuke meringis dan mengecup kening gadis itu. "Kau selalu membuatku kehabisan nafas. Maaf, kurasa aku merusaknya," sama sekali tak ada rasa menyesal dalam ucapan lelaki itu. Sasuke terlalu merasa bahagia memikirkan bahwa ada sedikit bagian dalam dirinya yang dicintai oleh gadis yang paling dia cintai.

Hinata tersenyum tipis sambil memasukkan kotak-kotak itu. "Tidak apa-apa. Lain kali akan kubuatkan lagi..."

"Kau pikir aku tidak akan memakannya?"

"Tapi... ini sudah..."

"Masih bisa dimakan, astaga!" Sasuke merebut kotak itu dengan kesal. Aneh sekali cara pemilik mata Hyuuga itu berpikir. "Kalau kau campur dengan tanah pun pasti aku makan," gerutunya, lalu berdiri dan melangkah menuju meja kecil berkaki rendah di atas karpet tebal hijau tua yang terlihat nyaman.

Hinata terdiam sesaat, sebelum kemudian tertawa geli. "Sa... Sasuke-kun... lucu sekali," gadis itu menutup bibirnya dengan jemari putihnya sambil mengikuti lelaki itu.

Sasuke mengangkat bahu tidak peduli. Mereka duduk berhadapan di atas karpet tebal itu. Ruangan itu lebih kecil dari kamar Sasuke, tapi lebih banyak cahaya yang masuk dari jendela-jendela besar di dindingnya. Warna keseluruhan ruangan adalah putih, dengan ornamen hijau tua yang kuat dan menonjol. Sebuah ranjang kecil di sudut ruangan menunjukkan betapa jarangnya ruangan itu digunakan. Tapi sejujurnya Hinata merasa lebih nyaman di ruangan ini. Dia merasa diterima alih-alih diawasi dan dikurung seperti pada kamar Sasuke yang remang-remang.

Ada tiga rak buku besar dalam ruangan itu, melihat dari koleksinya, kelihatannya itu buku-buku milik Sasuke. Menariknya, lagi-lagi Hinata salah menilai Sasuke. Dia mengira pria itu terlalu jenius dan santai sehingga tidak akan mungkin tertarik pada buku, tapi tidak. Koleksi buku itu menunjukkan passionnya terhadap teknik permesinan dan otomotif. Beberapa juga tentang bisnis.

"Ada yang menarik minatmu?" Sasuke bertanya tanpa menatapnya. Jarinya sibuk memilah dan membenahi susunan bentou yang berantakan menggunakan sumpit.

Jeda sesaat muncul sebelum Hinata menjawab, "Bu... bukumu..."

"Ah, yeah," Sasuke menyuapkan makanan pertamanya ke mulut. "Tahun pertama aku kuliah, terlalu naif untuk menyadari semuanya bisa didapat dari internet."

"Ta... tapi... aku rasa ini sangat... bagus." Hinata juga punya beberapa lemari buku di rumahnya. Melihat Sasuke yang jenius dan sempurna itu memiliki kecenderungan yang sama dengannya membuat dia merasa dekat. "Ah, meskipun bagi Sasuke-kun, pasti tidak terlalu penting membaca karena Sasuke-kun bisa cepat paham apa yang diajarkan di kelas—"

"Kau kira aku ini Newton? Tentu saja aku butuh referensi untuk paham apapun yang diajarkan di kelas," Sasuke mencibir. "Kau terlalu memandang tinggi aku, sayang."

Untuk sesaat, rasanya ada puluhan belut listrik yang dilepaskan dalam perutnya akibat panggilan itu. Hinata menunduk malu.

"Jadi," Sasuke menuangkan termos berisi sup panas ke mangkuk kecil yang lengkap dibawa Hinata. "Ceritakan tentang dirimu. Aku mendengar banyak hal, tapi bukan darimu, yang berarti aku tidak mendengar apapun."

Sejumput rambut gelap yang halus jatuh ke wajah putih Hinata. Gadis itu menyisipkannya ke telinganya, sebuah gerakan rutin yang sangat dicintai Sasuke. "Eto... ti... tidak semenarik Sasuke-kun."

"Try me. Aku yang akan menentukan menarik atau tidaknya."

"Emm," Hinata menatap Sasuke yang meminum supnya dari bulu mata tebalnya. "Aku... pindah sekolah setelah... kau tahu," Hinata menarik nafas panjang. "Setelah kita... bertemu di rumah sakit," jemarinya bergerak gelisah menyadari perubahan aura dari Uchiha di depannya. Tekanan pada udara di sekitarnya terasa menyesakkan, namun kediaman Sasuke hanya berarti tuntutan untuk melanjutkan.

"Eto... Otou-san ingin aku mempelajari ilmu politik, jadi aku pindah ke SMA swasta..."

"Dan," Sasuke mendekatkan wajahnya pada Hinata. "Kau tidak mempelajari fisika, matematika lanjut, dan mekanika di sana?" SMA swasta yang dibicarakan mereka pasti adalah SMA yang khusus mempelajari ilmu sosial dan psikologi. Seandainya ada pelajaran umum, hanya akan dibahas sebentar sebelum memperdalam hukum-hukum dan kebijakan politik internasional.

Hinata mengangguk. "Aku suka sekolah baruku, tapi... aku juga suka dengan semua pelajaran yang kutinggalkan... jadi aku mempelajari semuanya... secara otodidak."

"Sejak SMP?" Sasuke tidak menyembunyikan keterkejutannya. Dia tidak bermaksud mendiskreditkan Hinata, tapi mempelajari hal-hal itu tanpa bimbingan dan menguasainya hingga terapannya seorang diri benar-benar luar biasa.

Kelihatannya gadis itu kembali menujukkan keunggulannya yang dia sembunyikan begitu rapi.

"Um, ya," suara Hinata tipis. "Aku suka sains sejak kecil," ini benar-benar baru bagi Sasuke. "Aku belajar banyak dari perpustakaan kota dan di... rumah Naruto-kun," mata peraknya menatap panik pada Sasuke. "Ano, kau tahu... di... di sana banyak buku sains dan..." Sasuke memutar bola matanya sebal tapi tidak bicara apapun. "Minato ojii-san juga hebat di bidang ini..."

"Kau kenal dia sejak kapan?" nada suara Sasuke pahit.

"Se... sejak kecil. Minato ojii-san teman satu angkatan Otou-san." Dan segalanya menjadi jelas. Sejak lama Naruto dan Hinata saling mengenal, saling menyayangi, dan mungkin saling mencintai tanpa mengetahui bahwa cinta mereka saling berbalas. Sasuke hanya tidak habis pikir, bagaimana mungkin dia yang juga sudah berteman dengan Naruto sejak berabad yang lalu bisa tidak tahu mengenai Hinata? Padahal seingat Sasuke, semua hal kecil pun akan diceritakan Naruto padanya, tidak peduli Sasuke mau mendengar, sedang mendengar, atau tidak mendengar ceritanya.

Hanya ada satu alasan atas semuanya. Naruto diam-diam menyimpan Hinata untuk dirinya sendiri. Alasan familiar yang juga akan dilakukan Sasuke jika dia berdiri di atas sepatu lelaki itu.

Bajingan itu. Jadi memang sudah lama dia menyadari perasaannya pada Hinata, namun malah memilih membiarkan Hinata berpikir cinta gadisnya itu bertepuk sebelah tangan. Bajingan.

Tapi dia suka dengan hasilnya. Senyuman Sasuke melebar dengan penuh intimidasi.

"Sasuke-kun?"

"Hm?"

"Ano... ku... kurasa ceritaku... membuatmu tidak nyaman.."

"Tidak," Sasuke menggeser meja pendek di hadapannya dan beralih ke sebelah Hinata. Dia merangkul bahu Hinata; memintanya mendekat dan bersandar di dadanya yang keras dan berotot. "Lanjutkan."

"Aku..." suhu tubuh Hinata meningkat menyadari kehangatan tubuh Sasuke yang teradiasi menuju tubuhnya. "Tidak tahu harus mengatakan apa lagi."

"Hmm," Sasuke menghela rambut Hinata. Aromanya wangi dan menyenangkan. "Apa yang terjadi ketika Hiashi-san tahu mengenai cita-citamu?"

Jemari Sasuke tak bisa diam ketika berdekatan dengan Hinata. Seperti saat itu juga, berbagai sentuhan seduktif dilakukannya dan membuat kesadaran Hinata terasa naik turun. "Sasuke-kun..."

"Lanjutkan ceritamu, Hyuuga," nada suaranya main-main. "Atau kau lebih suka aku melanjutkan yang lain?" remasan kecil mengirimkan rasa geli dan kesemutan di bagian yang disentuh Sasuke itu.

Ada apa dengan pilihan yang diberikan lelaki itu bagi Hinata? Tak pernah satupun yang benar-benar memberikan Hinata alternatif. Dia menarik nafas panjang. "Tidak banyak yang terjadi. Nii-san memberikan beberapa argumen pada tou-san... tapi... yang orang yang paling berhasil membuat Otou-san yakin untuk memberikanku kesempatan," mata gadis itu beralih putus asa. "Ku... kurasa... kita tidak perlu..."

"Naruto?" kata pendek itu kental dengan emosi dan disampaikan melalui geraman. Hinata tidak tahu apa yang harus dia lakukan ketika menyadari seluruh otot tubuh Sasuke menegang. Sebuah tanda yang hanya akan ditunjukkan ketika lelaki itu siap berkelahi. Rangkulan di bahu Hinata perlahan berubah menjadi pelukan posesif yang sangat Hinata kenal.

"Sasuke-kun, dengarkan aku," Hinata melepaskan diri dari pelukan itu sebelum menjadi terlalu kuat. "Kita... tidak perlu melanjutkan ini. Ma... maksudku... cerita tentangku tidak penting..."

"Kenapa aku seolah mendengar kalau cerita tentangmu sebagian besar adalah tentang Naruto dan hanya akan menyisihkan aku dari kehidupanmu, memastikan kalau aku tidak penting, tidak cukup berharga, tidak baik?" onyxnya menajam saat memotong ucapan Hinata. Sasuke menghela nafas kemudian menarik Hinata duduk di depannya, terhimpit di atara kedua kaki jenjangnya. "Sudahlah, lanjutkan saja." Pandangan lelaki itu menerawan jauh. "Aku ingin tahu tahun-tahun yang kulewatkan setelah pertemuan pertama kita."

"Tidak... tidak banyak," bisikan Hinata merupa desahan putus asa. "Aku... menjalani... kehidupan yang akan kau bilang... membosankan?"

"Begitukah?" suara selembut beludru itu terasa menenangkan. Lagi-lagi perubahan emosi yang signifikan. "Kau pernah pacaran?"

"Tidak," Hinata merasakan pantulan nafasnya dari tangan Sasuke yang melingkari bahunya. "Aku rasa... aku tidak cukup... menyenangkan untuk hubungan semacam itu."

"Aku merasa senang denganmu dan hubungan ini," balas Sasuke. Tentu saja tak akan ada lelaki yang berani menyatakan ketertarikan mereka padanya. Selalu ada Neji dan Naruto yang Sasuke yakin siap mengintimidasi mereka. Dan akan Sasuke musnahkan jika dia bertemu dengan mereka sekarang.

Hinata menggenggam pergelangan tangannya pelan. "Ka... kau berbeda."

"Hm?"

"Sa... Sasuke-kun berbeda," wajah selembut porselen itu mendongak, menatapnya bulat-bulat dan mencuri satu detak jantungnya.

"Apa yang berbeda?"

"Kau," hembusan nafas Hinata lembut dan hangat. "Orang yang sangat baik."

"Apa?" kelihatannya ada yang sangat salah pada pendengarannya.

"Sasuke-kun orang yang baik," ulang Hinata. "Kau... tidak pernah kecewa... dengan kekuranganku."

Alasan macam apa itu?

Pipi kencang Hinata diusap lembut oleh Sasuke. "Kau sempurna. Aku hanya akan bahagia dengan kesempurnaan, dan kau sempurna. Tak ada yang harus kau ubah, Hinata, kau itu sempurna." sahut Sasuke dengan suara berat dan lembutnya. Kalimat itu membawakan getaran keras tersendiri dalam diri Hinata. Rayuan Sasuke benar-benar berbeda dari yang pernah Hinata saksikan melalui televisi, novel, atau mantan pacar Ino. Rayuan Sasuke sangat sederhana, tegas, dan langsung pada intinya... yang membuatnya seolah nyata, bukannya sekedar rayuan.

Aroma ruangan yang hangat kali ini terkalahkan oleh wangi tubuh lelaki itu. Bukan sesuatu yang berasal dari parfum atau pewangi pakaian, itu adalah aroma alami Sasuke yang baru-baru ini disadari Hinata. Persis seperti ciri yang dimiliki seorang kekasih yang hanya bisa disadari oleh pasangannya.

Pantaskah dia menganggap dirinya seperti itu?

"Ji... jika tidak keberatan... bolehkah... aku bertanya?"

"Tentu," seringaian khas muncul di bibir tipis Sasuke. Lelaki itu menikmati perbincangan ini dan hal-hal yang bisa dimanfaatkan darinya.

Untungnya, Hinata tidak dapat melihatnya dengan posisi mereka sekarang. "Umm... te... terima kasih. Ano, ke... kenapa Sasuke-kun... menyukai aku? Apa yang... kau sukai dari aku?" karena jika dibandingkan dengan wanita-wanita yang pernah dekat dengan lelaki itu, Hinata nyaris tidak memiliki kelebihan apapun.

Atau seperti itulah yang dia pikirkan.

Sasuke sama sekali tidak menyangka itulah pertanyaan Hinata. Dia mendesah. "Pertama, aku mencintaimu, Hinata, bukan sekedar suka. Kau tahu apa bedanya? Jika aku menyukaimu, aku masih ragu padamu. Tapi aku mencintaimu, yang berarti aku akan mati jika tidak bersamamu. Dan aku tak mau mati dalam waktu dekat, jadi aku harus bersamamu." Narasi yang panjang itu disampaikan dengan nada lelah dan menyebalkan.

"Kedua, kenapa aku mencintaimu? Alasan yang sama dengan pertanyaan, kenapa kau bernafas dengan oksigen? Kenapa kau merasa lapar? Kenapa jantungmu berdetak dan menyebarkan darah di tubuhmu? Itu terjadi begitu saja. Kau membutuhkan semua itu untuk hidup, sama seperti aku membutuhkanmu dan mencintaimu untuk tetap hidup."

Rayuan apa lagi yang sedang dilancarkan Sasuke padanya? Jika sebegini banyak, Hinata tidak yakin dia sanggup menahannya. Jantungnya sudah berdenyut nyeri karena terlalu lama berdebar. Kami-sama...

"Ketiga," nafas Sasuke begitu dekat dengan telinganya, mengirimkan sinyal-sinyal elektrik yang membuat bulu kuduk Hinata berdiri dan dia menggigil. "Apa yang aku cintai dari dirimu? Hmm, banyak. Terlalu banyak malah. Kecantikanmu, kelembutanmu, kerja kerasmu, kecerdasanmu, kebaikan hatimu..." nafas Sasuke berubah cepat dan kasar. "Tubuhmu."

"Me... Mesum!" Hinata melepaskan diri dari pelukan Sasuke, tapi lelaki itu tertawa keras dan menariknya mendekat, menempel pada tubuhnya lagi.

Jantung lelaki itu berdetak lebih cepat dari yang ditunjukkan pada wajahnya yang stabil. "Aku pria normal, Hinata. Ada waktu-waktu ketika aku berfantasi..." kalimat Sasuke terhenti meskipun Hinata bisa menebak apa lanjutannya. Sasuke berdehem lalu berbicara, "Apa yang ingin kau tanyakan lagi?"

Sungguh, rasanya melegakan mereka bisa terbebas dari topik yang canggung itu. "Sejak... sejak kapan... Sasuke-kun... berteman dengan... Sakura-san?"

Helaan nafas panjang mengawali jawaban Sasuke. "Sejak... aku SMP? Entahlah, sakura adalah teman kecil Naruto—yang mengherankan karena kau tidak mengenalnya, dan dia mengenalkannya padaku. Kami menghabiskan banyak waktu bersama bertiga. Lalu semua berubah ketika perasaan sakura berubah padaku dan perasaan Naruto berubah pada sakura." Hanya setengah kebenaran yang disampaikan Sasuke. Perasaan Naruto tak pernah beralih dari Hinatanya sejak dulu, itu sudah jelas, tapi dia tak ingin Hinata tahu dan kembali bimbang.

"Pasti... masa yang menyenangkan ya?" kerinduan dalam suara Hinata membuat hati Sasuke mencelos. Dia tahu apa yang dipikirkan gadis itu. Perasaan yang sama ketika Naruto berkata dia tahu lebih banyak tentang Hinata karena mereka menghabiskan seluruh waktu mereka bersama. Perasaan tertinggal yang menyakitkan.

Wajah Sasuke disandarkan pada bahu Hinata, mengakibatkan wajah mereka menempel secara intim sementara kedua tangan Sasuke memeluk erat perut Hinata. "Kehidupanku dimulai sejak aku bertemu denganmu," ujarnya pelan. "Kau memberikan aku banyak hal dari satu jam singkat itu. Yang paling berkesan adalah keberanian."

Hinata menggeleng. "Se... sebenarnya... aku mendapatkan itu... dari Naruto-kun."

Tubuh Sasuke terasa diangkat tinggi lalu dibanting hingga hancur. Kenapa kenangannya yang paling berharganya harus terkontaminasi juga oleh Naruto?

"Apakah itu berarti," Sasuke berbicara melalui gigi yang terkatup kencang. "Kau sudah mencintai Naruto saat itu?"

Sapuan halus dari tangan Hinata di wajahnya terasa panas. "Kau tidak perlu..." gadis itu terhenti. "Ya. Aku telah mencintai Naruto-kun saat itu. Tapi seiring perasaanku yang tumbuh padanya, Naruto-kun justru mencintai sakura-san."

"Bagaimana jika," suara Sasuke kental oleh keraguan yang arogan. "Sakura tidak pernah ada? Apa kau pikir... kalian akan menyatu?"

Bola mata Hinata membesar, sebelum menyipit dan melembut oleh senyuman geli. "Tidak, kalau kupikir lagi, tidak. Aku tak akan memiliki keberanian dan... Naruto-kun akan selalu menganggapku adiknya. Atau temannya." Sentuhan Hinata bergetar di dagu Sasuke. "Apakah... Sasuke-kun pernah mencintai... seseorang?"

"Ya, kau." Sasuke mencium pipi Hinata. "Aku pernah dekat dengan beberapa perempuan. Hmm, aku lupa, kapan itu. Tapi aku muak dan berhenti menerima siapapun yang mendekatiku ketika," Sasuke menelan ludah dengan jijik, "Aku tahu mereka menjadikan aku sebagai pacar bersama mereka dan menjadwal urutan siapa yang akan kencan denganku tiap bulannya."

"Astaga!" Hinata terkesiap. "Itu... kejam sekali..."

"Begitulah duniaku bekerja," dan kau hadir merupa cahaya, membawakanku segala yang kubutuhkan dan tak kutemui dalam kehidupanku, pikir Sasuke dengan tatapan sayang. "Aku sadar sepenuhnya, kehidupanku akan berakhir dengan cepat, dan jika aku tidak berusaha sedikit egois, mungkin sekarang aku sedang kencan dengan iguana betina kaya pewaris perusahaan dengan prospek bagus. Atau sedang dijodohkan dengan sosialita muda berwajah tante-tante," Sasuke membiarkan Hinata tertawa kecil mendengarnya.

"I... itu sangat jahat," Hinata tersedak oleh tawa kecilnya. Semua yang diucapkan Sasuke memang masuk akal dan tepat sasaran, tapi tetap saja. "Ti... tidak semua pewaris seburuk itu."

"Aku tahu," tatapan Sasuke padanya dipenuhi cinta dan pendambaan. "Kau tidak begitu. Aku," Sasuke mengambil jeda panjang dan menarik nafasnya. "Beberapa kali mendengar pewaris Hyuuga yang dibanggakan yang terjun di politik. Kupikir itu kau, tapi ketika... aku menemuinya, well, ternyata Neji." Dia mendengus, "Menyebalkan, tapi aku jadi mengenal dan bisa melacakmu." Sasuke kembali mencium bahunya. "Aku benci pesta dan pertemuan apapun, tapi kupikir kau mungkin akan ada di salah satu pesta itu, kau tahu, sebagai pewaris Hyuuga. Tapi hingga satu tahun aku menunggu, kau tidak pernah ada. Ketika," jeda panjang kembali tercipta. "Aku memutuskan menyerah dan kembali mencarimu dengan caraku yang biasa, Naruto menyeretku ke pesta ulang tahunnya. Dan aku menemukanmu begitu saja," dengan kecantikan yang melampaui kenangannya, wajah kemerahan, dan ekspresi penuh cinta bagi Naruto.

Hati lelaki itu berdenyut nyeri. Hinata pada saat itu terlihat bersinar oleh kebahagiaan dan sejak dia memaksakan ikatan di antara mereka, cahaya itu seolah perlahan luntur. Tapi dia tak bisa menyerahkan Hinata dan merelakannya begitu saja. Semua itu hanya ada dalam teori—bukan teorinya, sih.

Hinata hanya perlu menemukan kebahagiaan baru, cahaya baru yang lebih kuat dari sebelumnya.

Dan dia yakin bisa memberikan cahaya itu.

"Aku..." Hinata memecah lamunan Sasuke. "beberapa kali juga mendengar tentangmu," lanjutnya. "kupikir, itu pasti bukan anak yang pernah kutemui. Kau benar-benar berbeda dengan... terakhir kali kita bertemu. Kau kelihatan hebat dan tak terjangkau... membuatku takut," akunya.

"Apakah itu alasanmu tak pernah menghadiri pesta yang kuadakan?" padahal secara khusus Sasuke selalu memberikan undangannya disertai hadiah-hadiah kecil untuk menunjukkan perhatiannya.

Hinata mengangguk. "Aku senang sekali kau mengundangku, tapi aku takut malah merusak pestamu—"

"Aku mengadakan pesta itu untuk bertemu denganmu," potong Sasuke sedih. "Kau benar-benar harus membuang ke-rendah diri-anmu, itu menyiksaku. Thank god, aku punya keberanian hari itu untuk memintamu jadi milikku."

"Sasuke-kun memaksaku," ralat Hinata dengan lirih.

Lelaki itu mengangkat bahu dengan arogan. "Hasilnya akan tetap sama. Meski kau tidak mencintaiku... sudahlah," Sasuke menghentikan lagi kalimatnya. "Sekarang, aku minta bayaran atas pertanyaanmu."

Pernyataan pertama Sasuke mengganggu Hinata, namun kalimat terakhirnya lebih menarik perhatian Hinata. Kening sang Hyuuga berkerut kaget. "Tapi... tidak ada perjanjian..."

"Tak perlu ada perjanjian, aku menyetujuinya. Aku akan memberimu ciuman sebanyak pertanyaanku, dan kau akan menciumku sebanyak pertanyaanmu. Sederhana dan mudah, kan?"

Itu sama saja!

Tubuh Hinata terlalu kaget ketika Sasuke membalik tubuhnya sehingga kini mereka saling berhadapan. Punggungnya bersandar pada salah satu rak buku yang menempel pada dinding dan diapit oleh kedua kaki panjang Sasuke. Lelaki itu melipat kakinya hingga jarak di antara mereka memendek sedemikian rupa. Seringai jahil kembali muncul di bibirnya. Siapa bilang Sasuke itu lelaki dingin dan tidak punya ekspresi?

"Baiklah aku akan..." ciuman kasar dan tiba-tiba melanjutkan ucapan lelaki itu. Sejujurnya Sasuke tidak ingat berapa banyak pertanyaan yang dia ajukan, tapi rasanya banyak. Hinata terlihat kelabakan oleh serangannya dan cenderung menjauhinya. Sasuke melenguh menahan bagian belakang kepala Hinata untuk tidak menghindar hingga nafasnya habis.

Dalam banyak hal, Sasuke adalah master pengontrolan diri dan emosi. Tapi ketika bersama Hinata, ketika bersentuhan dengan Hinata, dia kehilangan kontrol itu.

Dadanya berdetak dengan keras dan terasa sesak. Dia memberi sedikit jarak untuk menarik nafas dan membiarkan Hinata terbatuk sebentar, kemudian mencium gadis itu lagi. Kali ini ibu jari dan telunjuknya menekan rahang Hinata agar mulutnya terbuka, lalu menjilat bibir bening gadis itu sebelum membiarkan lidahnya masuk ke dalam mulut Hinata.

Panas.

Sangat panas.

Sasuke membuka dua kancing teratas kemeja hitamnya.

Panas.

Tubuh Sasuke terasa sangat panas.

Hinata tidak melawannya. Hinata membalas ciumannya. Dia merasakan kedua tangan Hinata melingkari lehernya dan itu benar-benar membuatnya gila.

"Musim dingin ini," suaranya serak, kasar dan terengah-engah. "Bibirmu akan lebih cepat kering dan membutuhkan pelembab," Sasuke terkekeh melihat mata Hinata yang setengah tertutup dan pipinya yang benar-benar merah. Dia mengendus kulit gadis itu dengan pelan.

"Kau tidak perlu," nafas lelaki itu berat dan cepat. "Memakai apapun di bibirmu," desahannya kuat dan seksi. "Aku akan selalu membuatnya basah dan lembab. Dan bengkak." Sasuke mencium bibir Hinata lagi. Lidahnya bergerak lebih liar dari yang pernah dia lakukan. Hasratnya berada pada puncaknya saat itu, dan Hinata seolah menyiramkan bensin pada tubuhnya yang panas. Sasuke sadar, gadis itu akan melawan tepat ketika dia nyaris menginjak tahap itu. Selalu seperti itu, tepat ketika Sasuke siap melepas seluruh pakaiannya, Hinata akan mendorongnya menjauh. Atau menatapnya dengan mata berkaca-kaca.

Sekarang dia menunggu perempuan itu menghentikannya. Sampai saat itu, dia tak mau kehilangan satu inchi pun esensi dari tubuh kekasihnya. Nafsunya bekobar liar. Dia mendorong Hinata, memaksanya terbaring dibawahnya. Ciuman mereka terlepas, dan Sasuke mengutuk dirinya sendiri. Inilah akhirnya. Hinata akan sadar dan mendorongnya menjauh—

Tak ada yang terjadi. Pandangan Sasuke kini melekat pada gadis yang ditindihnya. Rambut gelap Hinata menyebar di karpet yang hijau, seperti hamparan langit malam yang indah. Nafasnya tersengal-sengal dengan wajah kemerahan dan mata yang tak mau menatapnya. Dada Hinata naik turun dan sebagian kerah tinggi blousenya robek hingga tulang selangkanya, terima kasih pada Sasuke yang tak sadar melakukannya.

"Hey, Hinata," Sasuke tiba-tiba merasa gugup. "Kau serius—"

Hinata mengalihkan pandangannya dan berusaha duduk. Sasuke menggeram frustasi, lalu menahannya tetap pada posisinya. "Kau serius," geramnya. Karena setelah yang tadi ditunjukkan Hinata, dia tak akan bisa menahannya. Gerakan Sasuke berubah menjadi seperti predator; dia merobek bagian depan pakaian Hinata hingga sepenuhnya terbuka. "Katakan kau serius, Hinata."

Mata gadis itu berair. Tungkai tangannya yang panjang bergerak, mengantarkan kedua tangan gemetarnya pada wajah Sasuke. Gadis itu mengusap lembut wajah Sasuke seolah takut merusak ukiran yang sempurna pada lelaki itu. Tapi justru itulah yang menyiksa Sasuke.

"Baiklah," Sasuke menggeram, "Kita tak harus melakukan ini sekarang. Aku yakin," Sasuke menelan ludahnya dengan susah payah. "Aku bisa menunggu."

"Aku mencintaimu, Sasuke-kun," bisik Hinata, cukup untuk membuat jantung Sasuke terhenti lalu bergemuruh.

Tidak... mungkin.

Lelaki itu melongo, pandangannya melekat pada wajah sang Hyuuga, mencari titik-titik kebohongan dari kalimat itu yang tak bisa ditemuinya, atau disembunyikan dengan begitu baik. Sasuke merasa melayang. Senyumannya menyatakan dia masih tak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan Hinata. Jarinya membelai wajah Hinata, menuju lehernya, lalu semakin kebawah...

Hinata tercekat. "A... aku mungkin... tidak cukup baik," nafasnya timbul tenggelam oleh sentuhan Sasuke yang membuatnya merasa aneh. "Sasuke-kun... kumohon..."

Dan cukup untuk membuat Sasuke menjadi... liar.

Liar yang sebenarnya.

.

...noverius...

.

Ruangan itu sudah mengalami beberapa perubahan dalam beberapa tahun terakhir. Dulu fungsinya adalah sebagai ruang bermain, lalu berubah menjadi ruangan khusus merokok dan bermalas-malasan. Pada awal Sasuke kuliah, dia membeli dan membaca terlalu banyak buku lalu kewalahan untuk menempatkan bukunya dengan aman. Rumah itu luas, tapi yang benar-benar aman dan mudah diakses kebetulan hanya ruangan itu. Dan ketika Sasuke terlalu sering menghabiskan waktu di sana, Itachi menambahkan karpet tebal itu hanya untuk menjaga suhu udara dalam ruangan tetap hangat—sekaligus memamerkan barang langka yang dia beli dari luar negeri itu.

Perlahan furnitur dalam ruang bertambah, lalu di tahun ketiga, semua buku referensi yang Sasuke butuhkan sudah dia baca dan dia ingat habis. Dia sangat jarang masuk ke dalam ruangan itu lagi. Dan kini, peristiwa terbaik dalam hidupnya terjadi dengan manis dalam ruangan itu.

Senyuman lembutnya muncul begitu saja, merasakan nafas hangat Hinata yang halus di pundaknya. Langit mendung, tapi dia dapat menebak cahaya matahari sore akan tepat masuk melalui jendela-jendela lebar pada musim semi. Dia bergerak perlahan, mengunci pintu lalu mengambil selimut dan bantal di ranjang lalu menyelimuti tubuh mereka. Ini hal tergila yang pernah dia lakukan dalam rumahnya. Bercinta dalam ruangan yang bisa saja dibuka kapanpun oleh siapapun dan tak menguncinya.

Tapi dia menyukainya. Hinata mekar dengan menawan selama proses menyakitkan itu—bagi Hinata, sementara Sasuke merasa benar-benar bahagia. Gadis itu memanggilnya. Menatapnya. Memberikan penyerahan yang sangat berharga.

Denyutan kecil mencubit hatinya. Sasuke menarik Hinata mendekat dengan lembut, khawatir membangunkan pujaannya itu. Gadis itu memakai kemeja hitam yang sebelumnya Sasuke pakai karena bluosenya robek parah dan praktis tidak bisa dipakai. Sang Uchiha mengerenyit saat denyutan itu mengeras. Tangannya membawa telapak tangan Hinata untuk menyentuh dadanya yang telanjang.

"Kau bisa merasakannya?" bisiknya pelan, entah pada siapa. "Jantungku selalu menggila saat bersamamu. Tapi saat ini, dia berdetak melebihi kegilaan itu," dia mengecup kening Hinata. Dia mengira saat Hinata mengatakan mencintainya dan mereka menyatu, tak akan ada lagi yang perlu dia khawatirkan. Tapi justru sebaliknya. Dia malah semakin takut.

Penyatuan mereka menyadarkannya betapa dia membutuhkan Hinata dan menjadikannya semakin rakus. Dia mengira selama Hinata di dekatnya, kebohongan gadis itu akan bisa diterimanya. Namun tidak, Uchiha Sasuke tidak merasa puas sama sekali. Alih-alih, lelaki itu menginginkan hanya dirinya yang ada dalam hati dan pikiran Hinata. Dia menginginkan Hinata seutuhnya mencintainya, sebesar cintanya pada Hinata.

Sesuatu hal yang sangat tidak mungkin saat ini. Dia tahu kekasihnya itu masih mencintai Naruto—atau memiliki perasaan semacam itu pada orang itu.

Sasuke mendesah, lalu memeluk Hinata dengan erat.

Gadis itu menggeliat, kemudian kelopak matanya terbuka, menampilkan mutiara tercantik yang pernah ada.

Wajah Hinata memucat dan menyakiti hati Sasuke. Ketika gadis itu tak mau menatapnya, Sasuke merasa... marah dan tersinggung.

"Penyesalan setelah percintaan?" ujarnya sinis. "Kukira itu hanya ada di film." Dia takut kembali tersesat oleh ketidakpastian.

Hinata menghela nafas dan memainkan jemarinya di dada telanjang Sasuke. Bagian yang disentuh Hinata membuatnya merasa kesemutan.

"Aku... tidak tahu," Hinata menempelkan wajahnya pada tubuh Sasuke. "Rasanya akan seaneh dan sesakit itu. Ta... tapi... aku merasa lega."

Lelaki itu diam dan mencerna kalimat Hinata, sebelum tertawa keras. Dia membungkukan tubuhnya sehingga berhadapan dengan wajah Hinata yang pucat. "Kau tidak terlihat... kesakitan," Sasuke menelan kegeliannya. Ini jelas bukan pengalamannya yang pertama sebagai lelaki, tapi tidak bagi Hinata. Ini pengalaman pertama gadis itu. "Maaf, lain kali aku akan lebih pelan dan lembut sebelum jadi kasar dan cepat..."

"Sasuke-kun!" gadis itu mencubit perut Sasuke yang meskipun keras oleh otot tetap bisa merasakan sakit.

Sasuke meringis nyeri, tapi tidak berhenti terkekeh. Kakinya yang ditutupi jeans panjang mengusap kaki telanjang Hinata dengan seduktif. "Kau menyenangkan dimanapun aku bersamamu, terutama tadi," lelaki itu menahan jari Hinata yang tetap sukses mencubitnya.

Rasanya lega dan aneh, Sasuke paham maksud Hinata. Telapak kakinya masih nakal menyusuri kaki Hinata naik dan turun dengan pandangan penuh cinta.

"He... hentikan itu..." Hinata hampir menangis. "Jam... jam berapa... sekarang?"

Ciuman lembut diterima bibirnya yang bengkak. "Sekitar jam lima sore? Kita melakukannya cukup lama," rekor terlama Sasuke, "dan kau tidur beberapa jam."

Hinata terkesiap, lalu berusaha berdiri ketika menyadari beberapa bagian tubuhnya berdenyut sakit. Dia menahan diri untuk tidak meringis, namun Sasuke tertawa dan menariknya bersandar di dadanya.

"Pasti sakit kan?"

"Aku harus pergi," Hinata bersikeras.

"Tidak sebelum kau mengatakannya," sahut Sasuke tenang.

"Mengatakan apa?"

"Kau tahu apa."

Pergelangan tangan Hinata dicengkram keras oleh Sasuke di atas sesuatu yang Hinata tahu pasti apa. Tanpa perlu cermin, dia yakin apa warna kulitnya kala itu. Tangannya bergerak berusaha lepas, mengirimkan erangan pada Sasuke. Dan rangsangan.

"Kau mau melakukannya seperti itu?" lelaki itu bernafas dengan berat. "Aku sedikit lelah, tapi aku masih punya banyak energi untuk melakukannya lagi."

Gelengan cepat di kulitnya membawakan tawa yang lainnya. Gadis itu terlalu lelah dan kesakitan akibat beberapa jam percintaan mereka. Dan Sasuke menjadi bajingan yang tak memikirkan itu adalah pengalaman pertama Hinata dengan melakukannya secara keras dan terburu-buru. Dan berkali-kali.

"Katakan, Hinata," bisik Sasuke rapuh.

Sang Hyuuga menyerah. Dia memeluk erat tubuh kokoh lelaki di depannya, "Aku mencintaimu Sasuke-kun, sungguh."

"Dan aku," Sasuke tak bisa menahan seringai idiotnya saat itu. "Jutaan kali jauh lebih mencintaimu, Hinata."

"Sasuke-kun!" protes Hinata.

Lelaki itu mengusap punggung Hinata dengan lembut. "Tidak apa-apa. Aku mencintaimu sejak selang waktu yang tak bisa kau bayangkan, jadi wajar jika cintaku padamu lebih besar, kan?"

Hinata diam, entah karena terlalu lelah untuk mendebat pangeran itu, atau sebagian juga membenarkan kalimat itu.

"Setelah ini... bagaimana?" bisik Hinata pada akhirnya. Bibir pink gadis itu bersentuhan dengan tubuhnya secara intim. Gadis pemalu itu memiliki berbagai sisi yang menyenangkan, salah satunya sisi seduktif yang tak pernah disadarinya.

Pikiran Sasuke masih terpaku pada beberapa jam yang lalu. Sejujurnya dia tidak menyangka Hinata bisa mengimbangi ledakan hasratnya, meskipun berkali-kali Hinata memohon padanya untuk berhenti. Sasuke bersyukur dia bertemu dengan Hinata hari itu. Bersyukur pada takdir yang membuatnya menyatu dengan Hinata, secara fisik dan psikologis. "Bagaimana maumu?"

Kecupan ringan di bahu Hinata diabaikan gadis itu. Hinata menjauh dari atas tubuh Sasuke dan berbaring di sebelahnya, kemudian menatapnya. "Kau tidak... pernah... memberiku... apa yang... benar-benar ku mau," tuduhan itu begitu manis dan menyenangkan.

"Hinata, sayangku," Sasuke membuka salah satu kancing kemeja yang dikenakan gadis itu dengan geli. "Kau tahu, aku akan memberikan segalanya untukmu, termasuk satu dua hal yang tidak kau mau. Tapi," dia terkekeh saat Hinata menahan tangannya membuka kancing lainnya, "Dalam waktu dekat, aku berencana memberikanmu namaku."

Sorot wajah Sasuke berubah sendu seketika, berlawanan dengan rona yang menyebar di wajah Hinata. Dia memainkan anak rambut yang menyebar liar milik sang Hyuuga. Gadis ini sempurna sebagai malaikat yang polos maupun iblis yang seksi. Jika... jika setelah ini... semua yang terjadi saat ini adalah trik bodoh gadis itu, Sasuke akan mati.

Mata gelapnya berair.

"Ke... kenapa..." Hinata menggantungkan tanyanya dengan ragu.

Sasuke menenggelamkan wajahnya di dada gadis pujaannya itu. Pusat kehidupannya.

Alasan keberadaannya.

"I'm fucked off." Jawabnya singkat. "Aku takut setelah ini kau meninggalkanku."

Jawaban itu membuat Hinata tertawa kecil. Apa-apaan ini? Bukankah seharusnya Hinata yang merasa seperti itu?

Dia mengelus pipi tirus Sasuke dengan lembut. "Kenapa Sasuke-kun bersikap seperti perawan begini?" godanya. "Normalnya, aku yang takut kau meningalkanku setelah aku menyerahkan semuanya kan?"

Lelaki itu menghadapkan wajahnya pada wajah Hinata. Gadis itu benar-benar cantik dan seksi. Sempurna.

Dia mencuri satu kecupan kecil sebelum menjawab. "Kalau setelah ini kau ragu dan meninggalkanku, Naruto akan menerimamu dengan tangan terbuka. Tapi aku, aku akan hancur, demi tuhan, aku akan mati." Lelaki itu kembali membenamkan wajahnya di atas dada Hinata. Mendengarkan detak jantung gadis itu yang menyenangkan dan penuh warna.

"Ne, Hinata," mata gelapnya berkabut tanpa disadari sang Hyuuga. "Apakah aku perlu mengurungmu sekarang? Supaya kau tidak bisa berpaling dariku dan memilih lelaki lain?"

Dan Hinata tahu, Sasuke serius dengan ucapannya.

"Ti... tidak."

"Tapi," jemari Sasuke membuat gerakan melingkar di area tulang selangka Hinata. "Bagaimana jika kau memilih Naruto?"

"Aku memilihmu, Sasuke-kun."

Sasuke terhenti hanya untuk mendapati kepalanya kosong. Maksudnya... benar-benar kosong. Dia menatap Hinata dengan bingung selama beberapa detik, dan begitu mulai paham dengan situasinya, dia tersenyum lembut. "Ah." Seolah-olah semua beban yang di tahannya hilang begitu saja. "Apakah maksudnya, kau melamarku, Hyuuga?"

Astaga!

Pipi Hinata merona dengan cepat saat dengan seenaknya lelaki itu memposisikan dirinya seperti itu.

Sasuke menahan tubuhnya.

"Ke...kenapa..."

"Aku bercanda, tentu saja," Sasuke membiarkan Hinata menghembuskan nafas lega sebelum melanjutkan. "Tradisinya adalah, aku yang melamarmu, kan?" ciuman di puncak kepala Hinata membuat sang Hyuuga melayang. Jantungnya seolah disentuh langsung oleh Sasuke, mengirimkan denyut menakutkan dan manis.

"Apakah kau bersedia?"

"A..." mulut Hinata terasa kaku. Dia takut salah menjawab dan salah menginterpretasikan ucapan Sasuke, itu pasti benar-benar memalukan.

"Aku melamarmu, Hinata," Sasuke terkekeh mengetahui kebingungan gadis itu. Dia selalu merasa terhibur dengan segala sisi dalam diri Hinata, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi. Hinata baginya adalah labirin panjang yang dipenuhi oleh-kejutan-kejutan menyenangkan...

"Ya."

... dan bersamanya, Sasuke tak akan pernah merasa cukup.

"Kau menerima lamaranku?" senyumnya begitu tulus dan menyegarkan.

Dia selalu siap jika harus tersesat dalam labirin bernama Hinata.

Warna crymson menggantikan pucatnya kulit gadis itu. "Ya." Lalu gadis itu menutup matanya, membiarkan sang pangeran menciumnya.

.

...noverius...

.

"Jadi sekarang aku bisa menemui ayahmu sebagai kekasihmu?"

Hinata mengusap kening Sasuke dengan lembut. Rona di wajahnya tak juga berkurang. Lelaki itu; kekasihnya, berbaring dengan santai berbantalkan kaki telanjang Hinata.

"Te... tentu,"

"Tapi?"

Mata pucatnya melebar, lalu senyuman menggantikan ekspresi terkejutnya. Dia menggeser tubuhnya, memaksa Sasuke dengan halus untuk duduk berhadapan dengannya.

Lelaki itu memandangnya dengan tajam dan penuh tanda tanya.

Hinata tahu, ada perasaan khawatir dan curiga yang muncul dalam benak Sasuke. Kepercayaan minim lelaki itu terhadap perasaannya tidak bisa disalahkan. Hinata menyadari betapa kejam dan berengseknya dia karena membuat Sasuke selalu merasa gelisah akibat keragu-raguannya terhadap perasaannya sendiri.

Jadi, alih-alih berdebat, Hinata memilih menggenggam kedua tangan Sasuke. Menyalurkan seluruh perasaannya pada lelaki itu lewat sentuhan tangannya.

"Tapi aku ingin kita menyetujui beberapa kesepakatan," gadis itu mempercepat kalimatnya. "Sebelum kita melanjutkan hubungan kita menuju jenjang yang lebih serius."

Jenjang yang lebih serius.

Kata-kata itu merupa mantera yang membungkam Sasuke. Lelaki itu ditinggalkan pada debaran jantung yang memompakan darah menuju otaknya dengan deras.

Gadis itu menjanjikan masa depan yang memungkinkan Sasuke ada di sebelahnya. Jika hanya satu atau dua kesepakatan, kenapa tidak? Bahkan jika Hinata menginginkan Sasuke membuang organ-organnya, selama Hinata bersumpah bersama dengannya, Sasuke tidak akan keberatan.

"Katakanlah."

Gadis itu bergerak gelisah. Kemeja hitam Sasuke yang dipakainya nyaris melorot, menampilkan bahu halus yang diisi oleh beberapa bercak kemerahan.

"Mu... mungkin Sasuke-kun akan menganggapku cerewet dan tukang mengatur, ta... tapi," bola mata perak itu menatap lurus pada mata Sasuke. Menyerapnya. "Ji... jika memungkinkan, aku harap Sasuke-kun bisa... berhenti merokok."

"Hm?"

Lelaki itu disorientasi akibat tatapan dan suara Hinata.

"Eto... me...merokok tidak baik... ji... jika kita... memiliki anak..." wajah Hinata benar-benar merah dan gadis itu sangat malu dengan ucapannya sendiri. Tapi ini penting untuk disampaikan. Dia benci asap rokok, tapi tak pernah berani menghentikan Sasuke yang kecanduan benda itu. Dan jika mereka benar-benar serius, Hinata harus melakukan sesuatu terkait kebiasaan buruk lelaki ini.

Itu yang ada di pikiran Hinata.

Lalu Sasuke?

Lelaki itu masih terpana oleh ucapan gadis itu. Memiliki anak?

Dia menelan ludah.

Jantungnya masih tak mau menuruti perintahnya untuk berdetak dengan normal. Ayolah, sampai kapan dia tak mau terbiasa dengan kehadiran gadis ini?

"Sasuke-kun?" Hinata mengusap dagu lancip pria itu. Dia heran dengan kediaman Sasuke yang begitu tiba-tiba. "Apa... kau keberatan?"

"Hm? Kau gila," lelaki itu mengecup jemari Hinata di wajahnya. Tubuhnya meremang oleh kebahagiaan. Hinata peduli padanya, kami-sama! Dan dia menginginkan kehidupan yang panjang bersamanya dan keturunannya...

Wajah Sasuke memerah.

"Jika... jika kau tidak keberatan memiliki anak dariku yang seperti ini, aku... akan melakukan semua yang kau mau," suaranya bergetar.

Dia benar-benar mencintai gadis di depannya.

Hinata terenyuh oleh suara penuh pengharapan lelaki itu. Lelaki itu, Uchiha Sasuke, memiliki dunia yang terbentang dihadapannya. Segalanya bisa dia raih dengan mudah, termasuk wanita. Namun Sasuke mau merendahkan dirinya untuk mencintai Hinata yang penuh kekurangan. Hinata yang hanya seperti ini.

Gadis itu menarik wajah Sasuke dan menciumnya. "Aku mencintaimu."

"And I, with uncountable number, love you forever." Dia membiarkan dirinya tersesat dalam pelukan ringkih gadis itu. "Tapi ngomong-ngomong, aku belum mau memiliki anak dalam waktu dekat. Aku ingin menikmati keseluruhan dirimu sampai aku benar-benar puas." Dan cubitan keras serta gelak tawa mengantarkan mereka pada kelegaan yang sama.

.

...noverius...

.

Hinata tersenyum menatap lelaki di hadapannya yang tengah tertidur dengan nyenyak. Entah berapa malam yang telah dilewati kekasihnya tanpa tidur. Terutama setelah pertengkaran mereka. Sisa-sisa kelelahan itu masih membayang di wajah pucat Sasuke. Kantung mata yang tebal, lingkaran hitam, dan yang pasti wajah yang semakin tirus.

Hinata meringis. Seluruh tubuhnya nyeri, but it's worth. Dengan ini Sasuke akan berhenti khawatir dan Hinata akan berhenti meragu.

Jemarinya menelusuri bingkai wajah sang pangeran yang pemarah dan posesif. Kenapa dia dulu ragu? Terlepas dari segala keanehannya, Sasuke adalah lelaki sempurna. Keanehan Sasuke adalah bentuk rasa cintanya yang melimpah, dan Hinata bersyukur karenanya. Perlahan, dia akan berusaha mengobatinya. Nanti.

Tapi sebelum itu, Hinata merasa perlu menuntaskan satu hal. Satu sauh yang masih mengikatnya pada dirinya yang dulu.

Jarinya menuliskan sesuatu pada smartphone barunya. Dua puluh detik kemudian, sebuah pesan singkat dia terima.

Ya. Galeri seni. 10 a.m.

Hanya kau dan aku.

-U. Naruto-

Dan senyumnya melebar dengan penuh kebahagiaan.

.

noverius…

.

"Hinata-chan." Senyuman sehangat mentari itu menyapanya dan tanpa basa basi membuatnya gugup.

"Na… Naruto-kun." Tarik nafas. "Ka… kau su… sudah di sini?"

Laki-laki itu tertawa dengan cerah. "Yah, aku baru mendengar kabar tentang… kalian dan setelah mambaca emailmu aku langsung kemari," ada jeda singkat dalam kalimat penuh keyakinan Naruto. "Beruntung sekali idiot itu karena kau menerima lamarannya. Atau dia memaksamu lagi?" suara lelaki itu berubah menjadi kering.

"Ano… ti… tidak. A… aku memang menginginkan ini dan…" Hinata menunduk. "Kurasa, justru... aku yang beruntung."

Sebuah tepukan halus dikepalanya membuat gadis Hyuuga itu mendongak. Cukup senyuman tipis yang tak pernah kehilangan cahayanya, dan rona merah menjalar di seluruh wajahnya. Kami-sama, Sasuke lagi-lagi benar, dia belum sepenuhnya mampu melupakan laki-laki yang telah dia cintai sejak lama ini.

"Kau tidak ada masalah kok. Aku sangat mengenalmu, Hinata. Yah, aku memang agak lebih kenal Sasuke sih, jadi aku tahu kalau idiot itu benar-benar benar beruntung."

Hinata terkekeh. "ba… bagaimana bisa… na… Naruto-kun memanggil te… temannya sendiri be… begitu?"

Ucapan polos itu membuat sang Uzumaki tertawa kecil. "Ne, Hinata, inilah yang membuat aku selalu jatuh cinta padamu."

"Eh?"

Naruto duduk disebelah Hinata dengan postur bimbang. "Ini agak sedikit menyedihkan, tapi kurasa kau… sedikit banyak tahu dari perkelahian Sasuke dan Pein, kan?'

"Ano…" wajah pucat dan seluruh tubuh gemetaran. Ya, Hinata memang tahu jika laki-laki yang disukainya menyukainya, dan ya, memang tujuan utama pertemuannya hari ini adalah itu. Tapi mendengar langsung dari Naruto adalah… sesuatu yang tak pernah dia sangka.

"Jadi," Naruto meregangkan tubuhnya dengan gestur santai. "Apa kau memintaku kesini untuk menamparku? Mengejekku? Atau hanya memberikan undangan pertunangan kalian secara personal?"

"Tidak!" horor meliputi wajah jelita sang Hyuuga. Demi tuhan, apapun yang Naruto katakan tadi, dia sama sekali tidak berniat melakukannya.

Lelaki itu tertawa nyaring. "Astaga, aku hanya bercanda, 'Nata." Dia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aku tahu meski aku menodongkan senjata padamu, kau tak akan pernah melakukan semua itu. Kecuali mungkin yang terakhir," nada suaranya berubah pahit. Safir terangnya menatap tajam pada Hinata. "Dan aku tak butuh undangan. Sasuke tahu, aku tak akan datang."

Hinata menahan dirinya untuk bersikap sopan dengan memaksa Naruto menghadiri pertunangannya. Dia tahu rasanya mencintai, dan sejak ini adalah Naruto, dia tahu persis seperti apa luka itu akan terasa sakit. Kebetulan dia beruntung ada Sasuke—entahlah. Apakah disebut beruntung jika dipisahkan dari orang yang dicintai secara paksa hanya untuk bersama seseorang yang kemudian lebih dia cintai.

"Aku paham," Hinata menatap permata biru itu dengan perasaan campur aduk. "Aku meminta Naruto-kun kemari... untuk mengatakan secara langsung... perasaanku. Aku..."

"Tidak, jangan, Hinata," Naruto menegakkan tubuhnya dari motor besarnya dan menghampiri gadis mungil itu. "Kumohon, jangan."

"Naru..."

"Aku tahu," potong lelaki itu keras. "Sungguh, aku tahu apa yang akan kau sampaikan, tapi jangan." Mata elektrik yang biasanya berkilat penuh semangat itu kali ini seolah pudar. "Jika kau... mengucapkan kata itu aku... tak akan bisa melepasmu. Padahal itu yang harus ku lakukan, bukan?" senyumnya tak lagi mencapai matanya.

Hinata memejamkan matanya dengan keras, menelan empati tak berguna yang meledak dalam dadanya. Dia belajar banyak dari Sasuke untuk berhenti menebarkan harapan yang tak mungkin.

Tapi, "Rasanya penat," dia menunjuk dadanya. "Rasanya penat sekali, disini."

"Aku tahu," Naruto menggenggam kedua tangan gadis itu. "Hanya saja... jika kau yang mengatakannya, aku akan sobek; antara surga dan neraka."

"Maaf," Hinata baru menyadari besarnya perasaan Naruto untuknya. Cintanya selama ini seimbang. "Seharusnya aku memiliki keberanian sejak dulu."

"Tidak, 'Nata," Naruto merangkum wajah halus cintanya dengan kedua telapak tangannya. "Aku, aku yang pengecut. Tapi jika pun aku bisa memutar waktu—kurasa kita sama-sama tahu, itu tidak mungkin. Hubungan kita tidak mungkin. Dengan Sasuke yang telah mencintaimu, itu tidak mungkin. Aku tak akan memaksakan kebahagiaanku jika itu berpotensi melukaimu. Dan Sasuke."

Hati Hinata terenyuh. Bahkan hingga saat seperti ini, Naruto masih memikirkan kebahagiaan Sasuke. Uchiha itu memang telah merupa matahari panas yang membuat semuanya mau tak mau memperhatikannya. Seandainya pun bisa, Hinata tak mau kembali ke masa lalu untuk mengubah apapun yang telah terjadi saat ini.

Meskipun pusat hatinya masih menggemakan nama Naruto, dia telah mencintai Sasuke. Namun dia tak bisa begitu saja mengabaikan perasaan Naruto, tidak, demi tuhan, setelah dia mengetahuinya. Hinata tak pernah mau Naruto tersisihkan dengan rasa sakit.

Dan Naruto pun menyadarinya.

Dengan penuh kelembutan, jemari tan lelaki itu menyisiri poni ratanya. "Kau tahu, jika kau menolakku dan meninggalkanku sekarang, aku akan merasa sakit. Terluka. Hancur. Lalu sembuh asal melihatmu bahagia. Tapi jika kau meninggalkan Sasuke, dia akan hilang. Mungkin mati. Hancur tanpa bekas saat melihatmu bahagia tanpa dirinya."

Hinata menunduk dan memejamkan matanya.

"Aku… sangat mencintaimu. Tapi Sasuke membutuhkanmu. Kau tahu, Hinata-chan, berbicara seperti ini terasa seperti neraka buatku. Aku..."

"Aku paham." Bisik Hinata pelan. "Bahkan jika pilihan itu datang sebelum aku mengetahuinya, aku mungkin masih akan merasa ragu untuk meninggalkan Sasuke-kun. Dia… akan merasa banyak kehilangan."

Tapi tak pernah memiliki satu-satunya yang di inginkannya. Naruto tersenyum tipis sambil menatap Hinata. Yah, sekali ini aku akan mengalah lagi untuk idiot itu, biarpun menyakitkan. Matanya tak bisa berpindah dari kelembutan yang dipancarkan gadis yang dicintainya itu. Senyumnya semakin lebar. Apalagi Hinata-chan semanis ini. Sasuke benar-benar berhutang padaku.

"Nah, Hinata-chan. Bagaimana jika… ciuman sebelum berpisah?"

"Eh?"

"Oke, aku bercanda," Naruto tertawa. "Kemari, aku…" tubuh itu menyelimuti Hinata dengan aman melalui pelukan besarnya. Mencintaimu. Sangat.

Hinata terbelalak. Kaku.

Sementara Naruto merasakan sobekan besar pada dirinya. Seolah-olah mendapatkan sesuatu yang sejak lama diimpikannya hanya untuk menyadari sesuatu itu akan pergi selamanya. Kecuali jika Sasuke mati. Dia mendengus sambil tersenyum menyedihkan. Perlukah dia membunuh Sasuke?

Dan kemudian gadisnya kehilangan rona itu.

Tidak mungkin kan?

Cintanya pada Hinata hanya akan berujung pada kesakitan. Seperti halnya Sasuke, Naruto hanya mampu mencintai seorang gadis untuk jangka waktu yang sangat lama—dan selama ini dia memang hanya mencintai Hinata. Tapi rasa cintanya masih jauh lebih sehat dibandingkan Sasuke. Jauh.

Sasuke, rival sekaligus teman terdekatnya itu dijamin berani meyakiti siapapun bahkan Hinata itu sendiri agar selalu berada pada jarak sedekat mungkin dengannya. Bukan berarti Naruto tidak akan melakukan hal itu, tapi baginya, Hinata yang tersakiti jauh lebih menakutkan dibandingkan kehilangan gadis itu sendiri.

Seperti itulah cintanya.

"Na… Naruto… kun…"

"Sebentar lagi, Hinata," bisiknya parau. Ada jutaan perasaan kalah yang menggelayuti hatinya, tapi gadis ini layaknya jangkar yang menahannya dari arus yang menghancurkan. Kenapa bukan sejak dulu Naruto menyadarinya? Kenapa tidak sejak awal dia melakukan pergerakan pada gadisnya?

Aah, benar, pikirnya frustasi. Bukan semata-mata rasa cintanya yang membuatnya terpisah dari Hinata. Semuanya sepenuhnya karena kelemahannya. Ketakutannya. Kepengecutannya. Seharusnya dia lebih berani; seperti Sasuke, yang dengan buruk menunjukkan cintanya pada Hinata, dan tanpa segan memproklamirkan isi hatinya.

Pelukannya mengerat, seolah setiap sel dalam tubuhnya menyatakan keberatannya untuk berpisah dari gadis itu. Logikanya melebar dengan elastis, tak mau lepas dari perasaan yang tertancap begitu dalam dan tak mau pindah. Dia menginginkan gadis itu lebih dari apapun.

"Naru…"

"… mencintaimu," suara pria itu bergetar dan parau. "Mencintaimu… lebih dari apapun…" mata birunya menatap tajam dan dalam pada mata perak keunguan gadis didepannya. Begitu gelap dan biru, seperti lautan tak bertepi. "Aku…" nafasnya begitu penat. "berjanjilah…" matanya terpejam menahan kesakitan. "Kau akan… bahagia dengan Sasuke… kan?" lebih daripada denganku, kumohon.

Karena kalau tidak, melepasnya menjadi semakin tidak mungkin.

Mata gadis itu berair. Tanggung jawab terasa semakin mencekiknya, membuatnya merasa seolah menjadi pengkhianat entah bagi siapa. Tapi untuk kali ini, dia harus yakin.

"… ya," bisiknya. Matanya semakin basah, tenggorokannya sakit menahan getaran asing lainnya di sekujur tubuhnya. "Aku… masih memiliki perasaan itu…" nafasnya memendek, ketika jemarinya menciptakan sedikit jarak. Senyumnya terkembang tipis, menghanyutkan jantung sang Uzumaki dengan penuh perasaan. "Tapi… a… aku tak bisa… aku hanya akan bahagia… jika Sasuke-kun bahagia. Aku," mata gadis itu melembut. "ingin selalu bersama Sasuke-kun." Selama mungkin. "Aku... mencintai Sasuke-kun."

Safir Naruto melebar, kemudian senyumnya terkembang dengan megah seperti biasa. Ada kelegaan sekaligus rasa sakit pada setiap inchi perasaannya, tapi gadis itu telah membuatnya tenang. Ya, dia yakin, jika orangnya adalah Sasuke, semua pasti menjadi mungkin. "Baguslah," lalu bibirnya menyentuh milik Hinata tanpa sadar. Ciuman pertama mereka selama sekejap terasa bagaikan hujan. Lembut dan menyegarkan, sekaligus menyedihkan.

Pipi Hinata merona hebat, sementara Naruto terkekeh. "Sebaiknya Sasuke tidak tahu, atau aku bisa dibunuhnya," dia melepaskan pelukannya dengan gerakan cepat sambil mengedipkan sebelah matanya. "Nah, Hinata-chan, temuilah Sasuke sekarang. Bisa-bisa dia menghancurkan barang-barang dan melukai dirinya sendiri karena kau tiba-tiba menghilang begini."

Hinata tersentak, seolah tersadarkan sesuatu. Dengan cepat dia berdiri, menoleh sebentar, lalu menatap Naruto dengan penuh kebimbangan. "A… ah, na… Naruto-kun benar… Sa…. Sasuke-kun bisa marah… aku… eto, aku… eh…"

Mata Naruto melembut. "Pergilah,"

"I… iya," gadis itu berbalik dan setengah berlari menembus kerumunan orang-orang yang bergerak menuju arah yang berlawanan darinya.

Pandangan Naruto tak juga teralihkan dari gadis itu. Senyumnya menghilang perlahan. Ah, siapa bilang Hinata masih mencintainya secara utuh? Tidak. Sebagian besar hati gadis itu jelas telah menggemakan Sasuke pada setiap sudutnya. Dan hanya butuh sekejap, Naruto yakin dirinya sudah kalah. Matanya menatap salah satu jendela kelas di lantai tiga dengan tajam dan penuh cemoohan. Senyuman lebar kembali dipasangnya, saat dia kemudian melambai dengan ringan.

Bayangan yang sejak tadi berdiri di dekat jendela itu berbalik, kemudian menghilang.

Matanya meredup.

Selamat tinggal, Hinata-chan.

.

...noverius...

.

Nafas Hinata tercekat ketika melihat mobil hitam metalik yang terparkir dengan arogan di depan gang kecil tempatnya berjalan. Pemiliknya tengah bersandar pada pintu pengemudi dengan kharismatik sambil merokok dalam balutan pakaian serba gelap dan kacamata hitam yang begitu kontras dengan kulit putih pucatnya. Insting gadis itu memintanya untuk kabur, tapi jelas tak akan mungkin dengan mobil yang secara sengaja diparkirkan melintang jalan, menghalangi apapun untuk melewatinya tanpa seizin pemiliknya.

Melarikan diri ke arah berlawanan juga tidak rasional. Secara matematis dan naluriah, dia tahu, lelaki itu akan dengan mudah mengejarnya.

Gugup, dia memutuskan mendekati lelaki itu. Toh memang itu pilihan yang disediakan untuknya.

"Sa... Sasuke-kun," dia berusaha tampil dengan santai, berharap lelaki itu tidak tahu kenapa calon tunangannya itu ada di kampus saat itu.

"Hinata," sapa Sasuke kering.

Ah, lelaki itu benar-benar marah.

"Ano... aku..."

"Masuklah," perintahnya datar sembari membuka pintu mobilnya. Pandangan lelaki itu begitu serius dan tak bisa didebat. Dengan waswas, Hinata menaiki mobil itu lalu memasang sabuk pengamannya.

Suasana yang canggung memenuhi mobil itu selama perjalanan. Sasuke pasti tahu semuanya. Hinata menelan ludah.

"Jangan lakukan itu," suara Sasuke yang gelap memecah kediaman di antara mereka.

"Eh?"

"Jangan gigiti kukumu begitu." Secara refleks, Hinata menjauhkan jarinya dari wajahnya. Kebiasaan buruknya saat benar-benar takut.

"Ma... maaf."

Lalu keheningan kembali tercipta.

"Ta... tadi aku..."

"Sudahlah," Sasuke menghentikan mobilnya dengan tiba-tiba. Dia menatap Hinata tanpa menunjukkan ekspresi apapun. "Aku tak peduli."

Hinata hampir menangis oleh kalimat itu. Rasanya lebih baik jika Sasuke meledak seperti biasanya dibandingkan menanggapinya dengan dingin dan monoton seperti itu.

"A... aku hanya mengakhirinya, Sasuke-kun," nafasnya tercekat.

Rona panik muncul begitu saja. Sasuke tidak menyangka dia telah menyakiti Hinata sebegitu besar. "Aku tahu. Aku mendengar semuanya," dia menarik Hinata mendekat dalam pelukannya. "Aku hanya... marah dan takut ketika... kau tiba-tiba hilang pagi ini. Ku kira kau berubah pikiran dan berniat menginggalkanku. Dan aku nyaris gila saat... membaca emailmu untuk Naruto. Kukira... kau memutuskan untuk bersamanya," pelukannya mengerat. "Aku mencintaimu, Hinata," Sasuke membisiki telinganya, seolah berharap kata itu bisa menjadi mantra untuk menghentikan isakan cinta sejatinya itu. "Maafkan aku," ujarnya lirih.

Hinata menggeleng. "Se... seharusnya aku... memberitahumu..."

"Tidak," Sasuke menggeram. "Jika kau memberitahuku aku tak akan mengizinkanmu pergi. Aku tidak peduli, Hinata, sungguh. Apapun yang terjadi dulu, kemarin, dan tadi, asal sekarang dan nanti kau bersamaku, aku tak peduli."

"Aku sudah bilang, aku ingin selalu bersamamu," gadis itu merajuk dengan manis.

"Ya, aku tahu, maafkan aku," Sasuke menyentuh bibir gadis itu dengan miliknya, menuntaskan segala kegelisahan bodoh dalam dirinya.

"Da... darimana... Sasuke-kun tahu... aku menemui Naruto-kun?" seolah ada kilat yang membuat Hinata menyadari hal-hal janggal dari kalimat Sasuke.

Sasuke memeluknya, namun kelihatan aneh. "Well,"

"Lalu... kenapa kau bisa membaca emailku?"

"Well," lelaki itu sama sekali tidak menjawab pertanyaannya.

"Sasuke-kun," suara Hinata berubah sedikit jengkel dengan isakan yang tersisa. "Kau tidak menyadap handphoneku kan?"

"Tidak," jawabnya cepat. Hinata seketika merasa lega. "Well, tidak juga," namun ketika Sasuke melanjutkan, dia menjengit kecil. Hinata menengadah hanya untuk melihat seringai nakal di bibir tipis lelaki itu. "Tidak sesederhana itu."

"Maksudmu..."

"Sederhananya, aku membuat beberapa pengaturan supaya aku bisa mengawasimu. Email, nomor handphone, akun bank, itu hanya beberapa hal yang bisa ku deteksi," dia mengangkat bahu. "Hanya tindakan pencegahan. Aku tahu kau tidak akan meninggalkanku pada keadaan normal, tapi aku tak tahu apa yang terjadi di masa depan. Kau bisa saja dihipnotis atau diculik?"

Astaga.

"Dan," suara Hinata bergetar, "Bagaimana kau bisa tahu percakapanku dengan Naruto-kun?"

Sasuke mengerutkan keningnya. "Hanya... penyadap di jam tanganmu. Dan handphonemu. Dan beberapa tempat lain."

"Kau... benar-benar... berbakat sebagai... stalker," Hinata terpana oleh detail kegilaan Uchiha itu. "A... apa kau berniat membuka... kantor detektif atau toko khusus penguntit di masa depan?" Hinata berusaha memunculkan sarkasme terbaiknya.

Ciuman panjang diterimanya. Dia bisa merasakan Sasuke tersenyum di bibirnya. "Tidak. Aku hanya mau melakukan ini padamu, dan aku tak akan membiarkan orang lain memiliki kesempatan untuk menguntitmu dengan teknikku." Sasuke menjilat bibir bawahnya. "Tapi kalau kau bertanya, di masa depan aku berencana segera menikahimu, dan itu akan terjadi dalam waktu dekat."

Kalimat Sasuke merupa sebuah janji termanis yang bisa diingat Hinata. Dia menatap calon tunangannya itu dengan penuh cinta, membiarkan lubang hitam itu menariknya semakin dalam. Karena Sasuke tak akan membiarkannya jatuh lagi.

"Jadi, apapun yang aku lakukan, aku akan tetap terjebak denganmu, ya?" gurau Hinata.

Sasuke mengerutkan keningnya dengan pandangan tidak setuju. "Aku tidak suka dengan pemilihan katamu. Bagiku, menghabiskan waktu denganmu sampai aku mati adalah kebahagiaan. Tapi mungkin saat ini, itu cocok untukmu. Ya, apapun yang terjadi, kau akan selalu bersamaku, bagaimanapun caranya."

Semu merah muncul di seluruh wajah Hinata. "A... aku... tidak bilang... aku tidak bahagia jika terjebak denganmu," gumamnya.

"Wow," Sasuke meremas pinggangnya. "Good thing happens for a while. Jadi," Sasuke mendesah, "Aku tak perlu menghubungi siapapun untuk mengikatmu sampai pernikahan kita, kan?"

Bahkan orang buta pun tahu betapa seriusnya lelaki itu dengan kata-katanya.

Tak akan ada yang bisa menggoyahkan keputusan Hinata, gadis itu meyakini hal itu. Dia tersenyum lembut dan mengusap lengan keras Sasuke. "Bagaimana... jika... kau yang mengikatku? Ah, bu... bukan secara harfiah tentunya," lanjutnya buru-buru ketika mata Sasuke menggelap oleh hasrat.

"You really have to learn a lot from me to act seductive, meskipun menurutku, kau sudah cukup menggoda dengan caramu," Sasuke menenggelamkan Hinata dalam ciumannya. "Dan aku akan melakukannya," bisiknya di sudut bibir Hinata. "Aku akan mengikatmu—bukan secara harfiah, persis seperti yang kau minta—malam ini?"

.

Owarimasho...

.

Naruto memainkan kameranya sambil berjalan di atas pagar pembatas di atap gedung favoritnya. Jaraknya kritis dengan pemandangan puluhan meter di bawahnya. Senyumnya melebar dengan sendu.

Satu per satu isi kantongnya dikeluarkan dan dilemparkan pada jalanan di bawahnya. Rokok menthol.

"Hinata membenci ini," kekehnya.

Bolpoin hitam.

"Dia suka merek ini."

Obat batuk.

"Kenapa sih, cewek itu?" dia terkekeh lebih keras. "Benar-benar semangat membuatku berhenti merokok, tapi malah jadi pemalu untuk membuatku menunjukkan aku menyukainya."

Senyumnya memudar.

Dia melemparkan botol obat batuk itu ke bawah.

Dompet.

Smartphone.

Hingga yang terakhir di tangannya hanyalah kameranya. Harta berharganya. Hadiah Hinata untuknya. Layar kameranya menampilkan foto seorang gadis berambut nila panjang yang tersenyum tanpa sadar pada kamera.

Mata birunya, biru elektrik yang selalu memancarkan semangat dan binar kali itu membeku. Berkabut. Berkaca-kaca. Dan kehilangan kehidupannya.

"Kenapa kau tak bisa jadi milikku ya?" dia mengalungkan kamera itu dan mendekapnya di dadanya. "Kalau begini, hatimu akan tetap mengingatku dan mencintaiku kan?" dia menggoyang-goyangkan kakinya pada bagian berbahaya gedung itu. "Kalau aku mati seperti ini, hatimu tak akan sepenuhnya dikuasai Sasuke, kan?"

Mata biru itu semakin berair. Dia tersenyum dan merentangkan tangannya.

Menjatuhkan tubuhnya pada jalanan puluhan meter di bawahnya.

Melayang...

Pada keabadian.

Pada satu titik di hati seorang gadis yang dicintainya.

Air mata itu menetes.

Naruto tersenyum, memejamkan mata menantikan rasa sakit yang akan mencabut kesadarannya.

Dengan ini akan selalu ada aku di hatimu, kan, 'Nata?

Gelap.

Gelap.

Gelap.

Kemana rasa sakit itu?

Apakah memang kematian itu tak pernah menyakitkan?

"Na... Naruto... kun?"

Matanya seketika terbuka. Melebar. Takjub.

Gadis pemilik jiwanya berada di hadapannya dengan ekspresi panik dan khawatir. Namun yang membuat Naruto kehilangan fokusnya adalah tubuh mereka yang sama-sama polos.

"Hi... nata? Kenapa kau..."

Dia terhenti. Dia tidak berada di jalanan ramai yang seharusnya ada di bawah atap gedung tempatnya melompat. Alih-alih, naruto berada dalam kamar luas yang berhiaskan bunga. Apakah ini surga? Setelah segala kejahatannya, dia masuk ke surga?

"Naruto-kun?" gadis itu mengusap keningnya. "A... apakah kau sakit?" jemari lentik itu memakai cincin pernikahan putih yang menyakitkan. Kenapa ini?

Naruto meremas rambutnya. Rasa pening menyerang kepalanya. Lalu dia tertegun. Dia menatap jari manisnya yang memakai cincin yang sama dengan gadis di depannya. Matanya melebar, bersamaan dengan detak jantungnya yang memacu. Sebuah potret yang menampilkan dirinya dan hinata yang berpelukan mengirimkan penjelasan-penjelasan yang bisa dipikirkannya.

"Na... Naruto-kun?"

Senyuman tipis tergores di bibir lelaki itu. Dia menarik Hinata dengan cepat dan memberinya pelukan besar yang kuat. Kami-sama, desisnya.

Gesekan antara kulitnya dan kulit Hinata membuatnya yakin ini nyata. Ini nyata.

Hinata adalah miliknya.

.

... ka?

.

Gomen for this crapy ending. I've lost my appetite.

Saya rasa saya tidak cocok membuat fic multi chapter sepanjang ini.

Maafkan kelabilan author abal ini, yang kena writer block di akhir cerita. Gomen.

Btw, terima kasih kepada reader-tachi yang masih menunggu fic ini.

Kepada reviewers yang menyemangati saya, baik dengan kelembutan, pengharapan, maupun kata-kata kasar. Saya paham itu bukti kebaikan hati kalian menanti lanjutan EL.

Juga flamers, ah, flamers yang selalu berhasil membuat saya tertawa.

Kalau tidak ada flamers, tidak mungkin saya memiliki semangat memperbaiki dan melanjutkan tulisan ini.

Yess! Finally, hutang saya lunas. Rasanya seperti jerawat yang akhirnya pecah, lega. Silahkan mampir ke fic saya yang baru, jika berkenan dengan Naruhina. Yang entah kapan akan saya upload, hehehe.

Jaa, ne!