Title :Scenario of My Life

Genre :Romance / Family

Rated :T

Pairing :Alaude x OC / Alaude x Stella | Giotto x OC / Giotto x Yukihime | G. x OC / G. x Rhea | Any x OCs

Warning :OOC, OC, Typo (mungkin)

Disclaimed :KHR © Amano Akira | OCs © Me

.

Chapter 11, Memory of The Storm

.

PRANG!

Suara benda pecah membuat Verde menoleh untuk menemukan Stella yang tampak berdiri dengan pecahan gelas di bawahnya. Ia tampak tidak bergerak dan hanya melihat gelas yang ada di bawahnya itu dengan dahi berkerut. Entah kenapa sekelibat tadi ia merasakan sesuatu yang buruk terjadi.

"Stella?"

"A—ah maaf sensei, aku akan membereskannya!" Stella membungkuk dan mencoba untuk memunguti pecahan gelas itu. Lagi-lagi detak tak biasa itu terdengar, membuatnya semakin yakin terjadi sesuatu walaupun ia tidak tahu apa itu.

Suara handphone berbunyi tampak membuat Verde mengambil handphonenya dan melihat ID Number yang ada di layar itu. Fon, tidak biasanya ia menghubunginya seperti ini—dan seharusnya ia masih beristirahat di markas Vongola Italia bersama dengan Colonello.

"Fon?" menjawab telpon itu dan mendengarkan apa yang dikatakan oleh Fon. Terdiam, benar-benar membisu mendengar setiap huruf yang terangkai menjadi sebuah kata dan terus menjadi sebuah kalimat yang seolah menghantamnya, "dan kau baru menghubungiku sekarang?!"

Suara yang sedikit keras terdengar saat itu, sepertinya Colonello yang memaksakan diri untuk berteriak.

"Aku akan…segera kembali."

"Sensei, ada apa Fon-san menghubungimu?" Stella menoleh pada Verde yang masih membelakanginya. Verde sendiri bahkan tidak sanggup untuk menoleh dan melihat langsung satu-satunya murid yang ia miliki itu. Ia benar-benar tidak tahu harus mengatakan apa.

"Kembalilah ke markas—keadaan disini kacau. G-san tewas karena penyerangan oleh Millefiore…"

"Kita harus meninggalkan ini semua terlebih dahulu Stella," Stella memiringkan kepalanya bingung dengan apa yang dikatakan oleh sang guru. Verde benar-benar tidak suka memberikan kabar ini pada Stella—kenapa tidak menghubungi Stella ketimbang dirinya.

"Untuk apa tiba-tiba kembali sensei? Kita baru berada disini selama 3 hari dan belum menemukan—"

"G tewas karena Millefiore menyerang markas sehari yang lalu…"

"Eh?"

Waktu yang buruk untuk melakukan perjalanan—saat Lampo mencoba untuk menghubungi Giotto dan juga yang lainnya tidak ada yang mengaktifkan handphone mereka. 'Terima kasih' untuk Millefiore yang membuat mereka tidak bisa menggunakan jet pribadi Vongola untuk bepergian. Hingga mereka terpaksa menggunakan pesawat biasa yang sangat memakan waktu banyak.

"Mereka belum bisa dihubungi…" Lampo tampak menggenggam handphonenya dan hanya menatapnya saja. Fon dan juga Colonello berada di sayap timur saat itu hingga tidak mendengar suara dengan jelas. Lagipula saat itu mereka dalam pengaruh obat yang membuat mereka tertidur dengan lelap, "bahkan Bucking Bronco dan Shimon itu sudah bisa dihubungi..."

Dan itu membuat mereka berdua sangat kesal…

"Lampo-san, bagaimana kalau kau istirahat? Sudah seharian kau tidak beristirahat sama sekali," Fon tampak tersenyum kearah Lampo yang menggelengkan kepalanya saja. Malam itu ia terlambat memberikan pertolongan karena beberapa orang yang juga menerobos dari beberapa arah yang berlainan.

Saat ia sampai disana, yang ia lihat hanyalah genangan darah dan juga Rhea yang menunduk sambil menangis dan Kyouya yang hanya berdiri membelakangi mereka. Mereka membutuhkan waktu seharian untuk membereskan semua yang ada disana, sementara Lampo mencoba untuk menghubungi Giotto dan juga yang lainnya dan Fon menghubungi Verde.

G tampak dibaringkan di ranjang tempat tidurnya setelah beberapa pelayan mencoba untuk mengganti pakaiannya dengan yang tidak terkena noda darahnya. Dan Rhea, tampak hanya duduk di samping tempat tidur G dan tidak bergerak sama sekali.

"Tidak, yang perlu diperhatikan adalah Rhea—" menghela nafas dan menatap kearah pintu yang sedikit terbuka, "—tentu saja ia sangat terguncang dengan kematian G yang tepat terjadi di depan matanya…"

"Ngomong-ngomong dimana Kyouya?"

"Setelah kejadian itu ia langsung menghilang—" Lampo menghela nafas panjang dan berat. Benar-benar, seperti inikah rasanya saat G harus menahan semua emosi untuk mementingkan pekerjaannya terlebih dahulu—itu benar-benar menyesakkan.

"Lampo-san," Fon memegang tangan Lampo yang ternyata gemetar, memeluk kepalanya dan membenamkannya di atas bahu. Menepuk kepala guardian termuda yang dimiliki oleh Giotto itu sambil tersenyum lembut, "tidak apa-apa… kau tidak perlu bersikap tegar seperti ini kalau kau tidak mau bukan?"

"Aku tidak perlu menangisinya—kepala gurita itu hanyalah orang bodoh dan lemah yang bahkan kalah hanya karena orang-orang dari Millefiore itu," Lampo tampak tidak bergerak dari posisinya dan hanya menggigit bibir bawahnya, "apa-apaan perkataan terakhirnya itu… jaga diri? Bahkan ia tidak bisa menjaga dirinya sendiri…"

Lampo tampak melingkarkan tangannya di lengan Fon dan membenamkan wajahnya di bahu Storm Arcobaleno itu. Fon bisa merasakan bahunya yang basah, dan tahu kalau pemuda itu menangis di bahunya—dan ia membiarkan hal itu.

"Ia orang yang seenaknya saja—orang terbodoh yang pernah kutemui…" sementara Fon tampak menenangkan Lampo yang semakin terisak, Colonello tampak melihat kearah jendela saat menemukan Knuckle yang berjalan ke dalam mansion. Urusannya sudah selesai, dan ia tidak membawa alat komunikasi yang bisa digunakan untuk berhubungan dengan yang lainnya.

Dengan kata lain, sang pendeta belum mengetahui kematian dari Storm Guardian Vongola Primo itu.

"Apa yang terjadi—" Knuckle mengerutkan dahinya saat melihat markas yang tampak kacau di beberapa bagian. Berjalan cepat karena merasa ada yang gawat, membuka pintu untuk menemukan Colonello yang menyilangkan kedua tangannya di depan dada dan menyenderkan tubuhnya di dinding.

"Colonello-san?"

"Kau terlambat kora…" Colonello membenahi sikapnya dan menghela nafas panjang, "seharusnya kau datang lebih cepat daripada ini…"

"Ada apa?"

"Sebaiknya kau lihat saja sendiri…" Colonello bahkan tidak yakin apakah ia sanggup untuk mengatakan hal itu pada Knuckle. Ia sempat mengajarkan Ryouhei adik Knuckle meskipun hanya sebentar—dan hubungan mereka cukup dekat sampai sekarang.

Berjalan menelusuri mansion Vongola, melihat beberapa anak buah dan juga pelayan yang tampak tertunduk dan entah kenapa berwajah sedih membuat Knuckle semakin yakin ada yang benar-benar tidak beres. Terus berjalan mengikuti Colonello, hingga di depan ruangan G dimana Fon masih menenangkan Lampo yang semakin terisak disana.

Knuckle mencoba untuk menanyakan keadaan Lampo saat Fon meletakkan telunjuknya di depan bibir mengatakan untuknya tidak bertanya apapun untuk saat ini. Colonello membuka pintu kamar G dan tidak masuk seolah memberikan jalan pada Knuckle.

"Sebaiknya kau lihat sendiri… Knuckle…"

Entah kenapa bau disinfektan benar-benar tercium di kamar G saat itu. Walaupun ia sering berurusan dengan kesehatan seperti ini, sebenarnya ia tidak begitu menyukai bau ini karena mengingatkannya akan kematian. Knuckle berjalan mendekat—melihat Rhea yang tampak diam dan duduk sementara G tampak 'tertidur' di tempat tidurnya.

"Tumben G tertidur jam segini?" Knuckle melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul 5 sore. G bukan orang yang tertidur pada pukul segini, dan sangat tidak biasa melihatnya tertidur cukup pulas hingga pintu yang terbuka sedikitpun tidak membuatnya terbangun.

"Rhea-san, apa yang kau lakukan disini?"

"Ia benar-benar tampak seperti tertidur eh?" senyuman Rhea saat itu tampak kosong. Matanya tampak tidak fokus dengan apa yang ada di depannya, meskipun matanya tidak lepas dari wajah G yang ada di sampingnya. Kalau seperti ini, saat luka itu tertutupi oleh kemeja putih dan darah sudah berhenti mengalir—G benar-benar seolah hanya tertidur dan akan terbangun kapanpun.

"Aku benar-benar berharap kalau ia akan terbangun lagi dan menepuk kepalaku…" Knuckle mengerutkan dahinya, kenapa Rhea mengatakan hal seperti itu seolah G tidak akan bangun lagi, "aku benar-benar berharap malam itu tidak pernah ada…"

Malam itu, hancurnya beberapa sisi mansion dan tatapan mereka yang tampak sangat sedih. Ia benar-benar bisa menyimpulkan keadaan terburuk yang ada disini—dan keadaan G menjelaskan semuanya.

"Tidak mungkin…"

Kepalanya pusing, Hyper Intuitionnya benar-benar kali ini seolah hendak membunuhnya. Pesawat mereka baru saja mendarat dan mereka segera turun dari pesawat. Giotto, Ugetsu, Tsuna, Hayato, dan juga guardian lainnya selain Kyouya dan Mukuro tampak ada disana. Mereka tidak menyangka kalau akan ada yang menjemput mereka, karena selain mereka yang tidak mengatakan akan kembali hari ini juga karena yang menjemput mereka adalah Dino dan semua anggota Cavallone.

"Dino-san!" Tsuna bergegas mendekati Dino yang mencoba untuk tersenyum meskipun berita kematian G sudah ia dengar langsung dari Lampo. Situasi Vongola saat ini benar-benar kacau, dan Dino menawarkan bantuan untuk menjemput Giotto dan yang lainnya karena ia juga berada di Roma saat itu, dan sangat dekat dengan bandara Fiumicino.

Meskipun ia tidak tahu apa ia bisa memberikan kabar buruk itu pada Tsuna dan juga yang lainnya.

"Hei, kebetulan aku berada di Roma dan Lampo menyuruhku untuk menjemput kalian!" Jawab Dino tersenyum lebar menunjukkan deretan giginya. Mobil limo tampak sudah menunggu untuk mereka naiki, dan sekarang semuanya tampak masuk dengan segera tanpa ada yang protes.

Masuk dulu, setelah itu bertanya...

"Oh ya, aku benar-benar terkejut saat kau mengatakan Lampo yang memintamu," Ugetsu tampak memulai pembicaraan saat itu, "biasanya ia malas melakukan itu dan menyerahkan semuanya pada G bukan?"

...

"Mungkin mereka bertengkar," suara Dino samar-samar terdengar gemetar. Ia mencoba untuk menahannya, dan memutuskan untuk memberitahu supir mengantarkan mereka ke markas Vongola yang berjarak 2 Jam dari sana. Tetapi tiba-tiba suara kaca diketuk membuatnya terkejut dan menoleh untuk menemukan dua pria berambut merah disana.

"Boleh kami menumpang padamu Don Cavallone?"

"Cozart/Enma!" Giotto dan Tsuna tampak terkejut melihat keduanya yang tampak tersenyum kearah mereka. Sama seperti Dino, mereka sudah mengetahui kematian Hayato, dan sama seperti Dino tidak tahu apa yang harus mereka lakukan untuk mengatakannya pada Giotto dan Hayato.

"Kudengar markas sedang diserang," Cozart masuk dan duduk di dalam. Jangan tanya bagaimana mereka muat disana, "makanya aku memutuskan untuk datang ke Sicilly membantu..."

Karena ia tahu Giotto akan sangat membutuhkan seseorang setelah ini.

"Benar, aku mendengar markas saat itu diserang. Itulah sebabnya aku segera kembali dari Jepang!" Giotto tampak menghela nafas sementara Tsuna hanya bisa menggigit bibir bawahnya. Walaupun ia tidak tahu keadaan G, sepertinya ia sudah bisa menebaknya.

G sudah tewas...

"Matamu merah Cozart?"

Cozart sendiri benar-benar menahan diri untuk tidak menangis di depan Giotto. Bagaimanapun mereka bertiga adalah sahabat sejak dulu. Ia benar-benar merasa kehilangan saat Lampo menghubunginya saat itu.

"Tidak, hanya kurang tidur saja Giotto..."

Cozart tampak berkutat dengan musuh terbesar para boss yang bahkan lebih keras kepala dari Byakuran. Tumpukan laporan yang seolah bukannya semakin rendah namun semakin meninggi. Enma sendiri tampak membantu kakaknya di ruangan itu.

Handphone berdering, melihat ID Number milik G.

"G? Tumben ia menghubungi," mengerutkan dahinya sebelum menekan tombol hijau dan menempelkan handphone itu di telinganya, "G? Kenapa kau menghubungi?"

"Shimon...Cozart..." Suara itu, bukan suara G. Itu membuat Cozart semakin bingung dan waspada. Apakah musuh menculik G dan menghubunginya, apa yang terjadi pada Giotto, "aku adalah Lampo, Thunder Guardian Giotto..."

"Lampo? Ada apa?" Mengerutkan alisnya, ia pernah bertemu meskipun baru kali ini ia berbicara seperti ini. Dan lagi, kenapa harus menggunakan handphone G? Karena yang ia tahu hubungan dua guardian ini cukup...menarik.

"Dapatkah kau...a-aku ingin kau pergi ke Roma dan menjemput boss disana..."

"Boleh saja, aku sedang berada di dekat Roma...tetapi kenapa, bukankah biasanya G atau yang lain yang mengurusi kedatangan Giotto?" Cozart tampak mengerutkan alisnya. Ia benar-benar tidak mengerti apapun yang sedang terjadi. Dan keheningan itu, membuatnya merasa ada sesuatu yang tidak beres di markas.

"Giotto berada di Jepang bersama dengan Ugetsu...Alaude dan Spade entah berada dimana...dan Knuckle sedang berada di Palermo..."

"Bagaimana dengan G?"

"G..." Terdengar isakan pelan yang segera menghilang seolah tertahankan, "tako head itu ditembak oleh Millefiore...markas diserang oleh Millefiore semalam dan seseorang membunuhnya..."

...

"A-Apa?!" Cozart berdiri dari tempat duduknya dengan tatapan horror dan wajah yang memucat. Enma tampak terkejut melihat kakaknya saat itu, "a-aku akan menjemputnya, dan...aku akan pergi ke markas setelah itu..."

Mematikan handphonenya, tampak melihat handphone di tangannya itu. Tidak sadar tangannya gemetar sangat hebat dan ia tampak mematung tidak bergerak hingga adiknya mencoba untuk menyadarkannya.

"Nii-san, kau tidak apa-apa?"

"E-Enma, kau bisa tinggalkan aku sendiri?" Enma melihat bayangan yang menutupi mata kakaknya. Tangannya masih gemetar, dan ia tahu kabar yang dibawa Lampo bukanlah kabar yang baik. Buruk, sangat buruk hingga membuat kakaknya tampak terpukul seperti itu. Mengangguk dan berbalik, menutup pintu di ruangan itu.

'Giotto belum mengetahuinya...apa yang harus kukatakan,' terduduk kembali sambil memangku dahinya dengan kedua tangan. Shock, benar-benar ia tidak pernah menyangka kalau G akan tewas sekarang, 'apa yang harus kulakukan...'

Ia tidak menghentikan saat air mata itu tampak mengalir begitu saja. Ia tidak mau menahannya dan hanya membiarkannya mengalir dari matanya untuk beberapa saat.

"Seharusnya kau tidur saja Cozart, kau tidak tertular insomnia G bukan?" Tertawa, Giotto menatap Cozart yang wajahnya menegang sejenak begitu juga dengan Dino.

"A-aha..ha...mu-mungkin saja," Cozart tampak menunduk dalam tidak berani untuk menatap Giotto yang semakin aneh dengan keadaan Cozart. Tsuna menutup matanya erat, ia tidak bisa menahannya lagi dan mulutnya bergerak untuk berbicara meskipun tidak ada suara pada awalnya.

"Ada apa dengan kalian...?" Dino tampak menatap Cozart yang tidak dalam keadaan baik untuk memberitahu berita ini.

"Giotto, sebenarnya..."

"G-san...tewas bukan?" Tsuna yang melanjutkan perkataan Dino saat itu. Ia menunduk tampak dengan mata yang berkaca-kaca sebelum air mata itu jatuh begitu saja. Baik Giotto, Ugetsu, Hayato, maupun yang lain yang tidak mengetahui itu tampak terkejut mendengarnya, "ia...tewas saat serangan itu bukan...Dino-san...Cozart-san...?"

...

"K-kau bicara apa Tsuna, G tewas? Itu adalah lelucon yang sangat tidak lucu..." Giotto tampak menatap adiknya yang masih tertunduk. Hime yang berada di samping Tsuna mencoba untuk menenangkannya, "Dino, Cozart, jawablah—G tidak mungkin tewas bukan?!"

...

"Cozart, Dino!"

"Maafkan aku Giotto..."

Tidak ada yang dikatakan oleh Stella saat ia dan Verde berada dalam perjalanan menuju ke markas. Hanya diam dan hening, tanpa ada sepatah katapun keluar dari mulut Stella. Verde tidak menyalahkan ataupun memaksa Stella untuk mengatakan apapun, karena ia tahu kalau Stella tidak bisa menerima kenyataan yang dikatakan olehnya tadi sebelum melihatnya sendiri.

"Kita sudah sampai, kau ingin kutemani?"

"Tidak usah sensei..." Stella tampak membuka pintu dan berjalan cepat menuju ke kamar G. Fon dan juga Colonello serta Knuckle dan Lampo tampak berada di depan kamar G. Dengan segera membuka kamar kakaknya itu untuk melihat Rhea yang masih duduk disana dan G yang berbaring di tempat tidurnya.

"Benar bukan, G tidak mungkin tewas begitu saja...ia—ia hanya tertidur ia akan bangun nanti..." Stella tampak berjalan cepat dan berada di sisi lain dari ranjang itu, "oi G, sensei seenaknya saja mengatakan kalau kau sudah tewas. Kau biasanya akan marah bukan, aku tidak keberatan kau marah pada sensei."

Hening yang menjadi jawaban saat itu, bahkan ia tidak bisa melihat dada yang naik turun untuk menunjukkan tubuh di depannya ini masih bernyawa.

"Kau biasanya akan marah kalau aku membangunkanmu bukan? Kau bukan tipe orang yang akan tidur nyenyak seperti ini. Bahkan saat mendengar pintu terbuka saja kau sudah terbangun—" Stella tampak tertawa pelan dan berharap ada sesuatu yang dijawab oleh G untuk menunjukkan kalau pemuda itu masih bernafas, masih memiliki nyawa.

Ia menatap Rhea yang tampak tidak lagi menangis, namun mata sembab dan juga merah sudah menunjukkan kalau ia menangis dalam waktu yang lama.

"Kau sudah berjanji untuk tidak membuatnya menangis! Kau bohong padaku—" meremas selimut yang menutupi dada G, menunduk membiarkan air mata yang jatuh itu membasahi seprai dan juga wajah G disana. Berharap dengan itu G akan bangun dan marah padanya—bangun dan ia bisa memarahinya karena sudah membuat Rhea menangis, "jawab G! Kau bukan orang yang mengingkari janjimu seperti ini—kau benar-benar membuatku—"

"Stella, sudahlah…" Rhea tampak menutup matanya erat dan tubuhnya gemetar kembali. Ia kira air matanya sudah habis malam itu, tetapi melihat sahabatnya seperti itu—ia benar-benar merasa sedih melihatnya, "G sudah tidak ada…a—aku melihatnya tewas di depan mataku…"

"Tidak…ia tidak mungkin tewas!"

Giotto tidak akan mungkin percaya bahkan kata-kata dari sahabatnya sendiri Cozart tentang kematian G. Ia tidak ingin percaya kalau tangan kanannya itu tewas begitu saja karena penyerangan yang dilakukan oleh Millefiore saat itu.

Tetapi, melihat tatapan Dino dan juga Cozart serta Tsuna, ia benar-benar berusaha keras untuk menyangkal semua yang ada di depannya saat ini. Membuka pintu kamar G dengan cepat, melihat kamar yang didominasi oleh warna putih dan merah itu tampak rapi dan juga sepi walaupun saat itu Verde, Fon, Colonello, Knuckle, Lampo, Stella, dan Rhea serta G ada disana.

"Giotto…" Knuckle tampak menatap Giotto yang tampak berlari kearah kamar G bersama dengan semua guardian Tsuna kecuali Mukuro dan Kyouya dan juga Ugetsu. Lampo tampak tertidur di sofa, lelah dengan semua yang ia lihat sejak kemarin malam.

Matanya langsung menoleh pada G yang tampak tidak bergerak dari tempat tidurnya. Stella yang masih berdiri dan tidak mengatakan apapun bahkan menangispun tidak menoleh untuk menemukan Hayato yang membulatkan matanya tanpa mengatakan apapun. Kakinya bergerak pelan, dan berjalan menuju kearah Hayato.

"N-Ne, Hayato, lihat apa yang dilakukan G ia tidak sama sekali marah padaku dan berpura-pura tidur saat aku datang dan mengganggunya," tawanya tampak bergetar mencoba untuk tidak menerima kenyataan di depannya.

"Nee-san…"

"Ka-kalau sampai ia bangun, aku benar-benar akan memukulnya karena membuat semuanya khawatir," Hayato tampak menatap getir kakak perempuannya itu. Hayato sebenarnya merasa kehilangan—sungguh, bagaimanapun G adalah kakaknya. Tetapi, ia tahu kalau menangis tidak akan mengembalikan apapun—ia tahu kalau itu adalah konsekuensi dari seorang mafia.

Tetapi, semua ini… rasanya terlalu menyakitkan…

"Nee-san, aniki sudah—"

"Tidak, jangan katakan itu Hayato! A-aku yakin G akan bangun lagi—" Hayato memeluk dan membenamkan kepalanya di atas bahu Stella.

"Nee-san, sudahlah..."

...

Melepaskan pelukan Hayato, Stella hanya menunduk dan melewati adiknya itu.

"Biarkan aku sendiri... Aku akan berlatih sambil menunggu G terbangun," jawabnya berjalan kearah pintu luar kamar itu.

"Gio-nii…" Tsuna tampak menatap kearah Giotto yang hanya berdiri dengan tangan yang terkepal. Tidak ada emosi berarti yang dikeluarkan oleh Giotto saat itu dan ia segera berbalik dan berjalan cepat keluar dari ruangan G meninggalkan semuanya.

"Sebaiknya G-san tidak dikuburkan…mungkin dimasukkan ke dalam peti mati dan diletakkan di tempat yang aman," Tsuna tampak mencoba untuk membahasnya dengan Knuckle dan juga semua orang yang ada disana. Keadaan kakaknya tidak memungkinkannya untuk memimpin pertemuan itu, "Verde-san sebentar lagi sudah menyempurnakan perisai untuk anti radiasinya itu dan Gianni membantu untuk membuat pakaian anti radiasi…"

'Kau bisa memanggilku G, dan ini adalah adikku Hayato dan Stella…'

'Kau benar-benar yakin akan melakukan ini Giotto?'

'Walaupun aku tidak begitu setuju—aku akan terus mendampingimu sampai aku benar-benar tidak bisa bergerak lagi…'

'Satu-satunya harapanku, mungkin hanyalah hidup…lebih lama satu hari darimu, Hayato, dan Stella. Dan melihat kalian meninggal dalam ketenangan. Supaya aku tahu, apa yang kulindungi pada akhirnya tidak perlu tewas dengan cara yang mengenaskan. Dan setelah itu aku akan mati dengan tenang…'

"Maaf Tsuna," Giotto berdiri dari tempatnya duduk, "lanjutkan tanpa aku… Aku ingin sendiri—" jawabnya sambil berjalan perlahan keluar dari tempatnya berdiri. Tidak ada yang mencoba untuk menghentikannya dan membiarkan Giotto untuk keluar dari sana.

Suasana hening saat Giotto meninggalkan ruangan itu.

"Hayato…" Tsuna kali ini menoleh pada Hayato yang tampak hanya diam sedaritadi dan matanya tampak tertutupi oleh bayangan poninya karena sedaritadi ia hanya menunduk, "tidak apa-apa… kau tidak perlu memaksakan diri untuk ikut. Masih ada Takeshi dan onii-san…"

"Maaf boss—" Hayato tampak berdiri dari tempatnya dan membungkuk pelan, "aku akan menerima hukuman apapun darimu setelah ini…"

Dan dengan itu Hayato segera keluar dari ruangan itu meninggalkan Tsuna, Takeshi, Ryouhei, Chrome, Lambo, Lampo, Ugetsu, dan Knuckle serta Colonello, Fon, dan Verde.

Membuka kamar G yang tampak ada di depannya—melihat bagaimana sepinya ruangan itu dan rapi tanpa ada laporan yang menumpuk seperti biasanya.

"Giotto, apa yang kau lakukan disini?! Bagaimana dengan pekerjaanmu!"

Menutup matanya erat saat suara itu seolah nyata terdengar. Ia bahkan bisa melihat sekilas bayangan G yang membentaknya dari kursi kerjanya itu. Saat ini ia berharap kalau G akan berjalan dan memukul kepalanya seperti biasa.

Namun, saat ia membuka mata kembali ia hanya melihat udara kosong dan juga sosok G yang masih berbaring tidak sadar akan kedatangannya. Ia tidak akan sadar, ia akan terus menutup matanya bahkan hingga Giotto juga berada dalam keadaan seperti itu. Tidak ada yang bisa ia lakukan untuk mengembalikannya dan tidak ada yang bisa ia lakukan untuk mengubah kenyataan itu.

"Kau tidak pernah sama sekali mengingkari janjimu sebelum ini G..." Giotto bejalan dan berada di samping tempat tidur G menatap wajah damai tangan kanannya itu, "sejak dulu hingga sekarang, bahkan kau tidak pernah memberikanku kebohongan sekecil apapun."

...

"Walau begitu aku tidak akan memaafkanmu karena kau sudah berbohong padaku," menunduk, tidak mendengar jawaban apapun dari G di depannya. Tampak kesal, ia menarik kerah kemeja G dan tampak menariknya hingga tubuh itu terangkat, "kau bilang kau akan baik-baik saja bukan?! Aku bahkan mengingkari intuisiku yang mengatakan untuk tidak meninggalkanmu hari itu! Ka-kau bilang kau akan baik-baik saja sampai aku kembali. Tetapi apa yang kulihat...aku tidak membentuk Vongola untuk melihatmu tewas G..."

Menurunkan tubuh itu saat kakinya tidak bisa menompang tubuhnya lagi. Ia terduduk, masih memegangi kerah G dan terisak pelan. Isakan yang tidak ia tunjukkan saat mengetahui G sudah tewas.

"Aku tidak akan bisa melakukan apapun tanpamu... Ti prego, svegliati..."

Tubuhnya gemetar, ia benar-benar tidak bisa menahan rasa kesal dan juga sedihnya. Bagaimanapun, G adalah sahabatnya dan keluarganya.

"Per Favore..."

Menghela nafas, Hayato sendiri tampak berada di ruangannya dan memutuskan untuk melepaskan jas hitam dan dasinya. Sesak, ia tahu kalau itu bukan disebabkan oleh jas dan dasi yang selalu ia kenakan setiap hari. Ia tahu alasan lain yang membuatnya tampak lemah seperti ini.

Tubuhnya merosot begitu saja, tangannya memeluk lutut dan membenamkan wajahnya di atas tekukan lutut itu.

Ia tidak pernah merasa selemah ini, semenjak ibu kandung mereka tewas, semenjak luka di wajah G disebabkan olehnya. Ia tidak pernah sama sekali menginginkan untuk menunjukkan sisi lemahnya sama sekali.

"Jangan menangis lagi bodoh!"

"Bisakah kau berhenti menangis adik bodoh!" Anak laki-laki berusia 12 tahun itu tampak kesal melihat kedua adiknya yang tampak berada di depannya terisak sementara dirinya tampak duduk di atas tempat tidur rumah sakit dengan wajah di sisi kanannya tampak diperban.

"Tetapi kau terluka karena aku tidak membantumu/tetapi kau terluka karena kau menyelamatkanku!" kedua adiknya tampak berbicara bebarengan membuat kepalanya semakin pusing mendengarnya. Rumah mereka terbakar, oke—dan Stella adik perempuannya terjebak, oke—dan ia memang tidak ingin Hayato adik paling kecilnya ikut saat ia mencoba untuk menyelamatkan Stella.

Dan ibu mereka tewas…

"Jangan membuatku marah! Kalau kubilang aku tidak apa-apa aku tidak apa-apa!" jawabnya sambil membentak dan memukul kepala keduanya dengan cukup keras.

"Tetapi mama tidak ada lagi—apa yang bisa kita lakukan aniki…" Stella yang saat itu berusia 7 tahun hanya bisa terisak pelan dan membuat G tampak menggaruk kepala belakangnya. Menepuk pelan Hayato dan Stella sebelum tersenyum kearah mereka berdua.

"Tenang saja, aku tetap akan menjaga kalian sampai kapanpun! Meskipun ayah dan ibu tidak ada sekalipun…"

'Saat pemakaman kaa-san ia tidak menangis, begitu juga saat tou-san menghilang—' Hayato tampak hanya menatap kearah lantai dengan tatapan kosong. Dua kali kehilangan seseorang, G sama sekali tidak menangis bahkan menenangkannya dan juga Stella yang menangis semalaman.

'Bagaimana cara ia melakukannya—aku tidak mengerti bagaimana caranya menahan perasaan seperti ini…'

Entah kenapa saat ini semua yang ada di dalam fikirannya dipenuhi oleh G dan semua kenangan tentangnya. Memalukan, tetapi itu kenyataannya—bagaimanapun selama ini yang menjaganya dan Stella adalah G, yang menggantikan posisi ayah dan ibunya adalah G.

Dan yang lebih menyebalkan, ia mengingat bagaimana percakapan terakhirnya dengan G, satu hari sebelum penyerangan itu.

Hayato sedang sibuk dengan semua laporan dan juga pertemuan yang mengharuskannya mengawal Tsuna. Semenjak Tsuna menjadi boss, prioritas utamanya menjadi Tsuna baru kakaknya—membuat hubungannya dengan G menjadi sedikit renggang dalam artinya tidak memiliki waktu yang cukup untuk mengobrol selain tentang Vongola.

"Baiklah, saya permisi boss—" membungkuk pelan dan berjalan keluar ruangan Tsuna, mendapati handphonenya berbunyi dan menampakkan ID Number milik G. yang membuatnya mengerutkan dahinya. Tumben sekali G menghubunginya, dan kalau ia menghitung waktu di Jepang dan Italia, tempat G sudah pukul 12 malam, "aniki?"

"Ah ternyata perhitungan waktuku benar, pekerjaanmu sudah selesai?"

"Belum, tetapi yang penting sudah selesai kukerjakan," melihat jam tangannya sambil berjalan menuju ke ruangannya, "kenapa kau menghubungi?"

"Tidak boleh? Aku hanya ingin berbicara dengan adikku," tawa pelan yang menjadi khas G saat berbicara serius terdengar membuat Hayato tampak tidak lagi menganggap telpon itu hanyalah keisengan semata, "bagaimana keadaanmu disana?"

"Seperti biasa, sibuk." Menghela nafas sambil berjalan kembali ke ruangannya untuk disambut beberapa tumpukan laporan disana, "kau sendiri juga seperti itu bukan?"

"Tidak, bahkan besok aku akan berkencan dengan Rhea," jawabnya membuat kepala Hayato memunculkan beberapa persimpangan yang berkedut menandakan ia sedang sangat kesal. Apakah ia hanya ingin mengatakan hal itu, karena kalau iya ia akan menghapus dan memblokir nomor kakaknya itu.

"Cepat katakan apa urusanmu, kalau hanya ingin pamer karena pekerjaanmu sudah selesai dan kau akan berkencan, aku akan menutupnya sekarang." Membuka pintu ruangannya dan menutupnya dengan keras.

...

"Sebenarnya memang hanya itu keperluanku."

"Aku akan menutupnya," semakin kesal dengan perkataan kakaknya yang seenaknya saja. Tangannya sudah menjauhkan handphone dan akan mematikannya.

"Tunggu-tunggu, sebelum kau menutupnya aku ingin mengatakan sesuatu padamu!"

"Apa!"

Hening sejenak, G tampak tersenyum meskipun ia tahu Hayato tidak akan melihatnya seperti itu.

"Aku bangga dengan apapun yang kau lakukan... Hayato."

"Hayato…" suara pintu yang diketuk terdengar oleh Hayato. Ia tahu siapa yang mengetuk namun ia sama sekali tidak bergerak dari tempatnya, "Hayato, apakah Haru bisa masuk?"

Suara pintu yang terbuka tidak membuatnya bergerak dari tempatnya. Ia hanya menundukkan kepala dan tidak sama sekali berbicara sepatah katapun saat Haru mendekatinya dan menatapnya. Ia segera pergi dari Namimori saat mengetahui markas di serang meskipun lebih terlambat daripada Hayato dan yang lainnya.

"Hayato tidak apa-apa?"

"Ia tidak akan kembali," suaranya tampak berbisik dan pelan namun masih bisa didengar Haru yang ada di depannya. Haru berjongkok dan menatap Hayato yang tidak menatapnya namun masih berbicara dengannya, "i-ia tidak akan menunjukkan wajah bodohnya lagi di depanku. Tidak mendengarkan bantahan dan juga omongannya lagi…"

Tangannya bergerak dan mencengkram erat rambutnya, giginya tampak mengerat dan kepalanya semakin tertunduk.

"Bodoh! Ia yang mengatakan untuk tidak melakukan hal yang nekad, tetapi ia sendiri berbuat hal yang bahkan membunuhnya," Haru tampak memutuskan untuk mendengar dan hanya diam, "kau tahu apa yang ia katakan terakhir kali padaku?"

...

"Ia bilang, ia bangga dengan apa yang kulakukan..." Isakan kecil terdengar membuat Haru tampak mendekapnya erat, tidak mengatakan apapun dan membiarkan isakan itu semakin keras, "kalau itu adalah kata terakhirnya, itu semua benar-benar tidak berguna! Aku tidak butuh kata-kata itu jika pada akhirnya ia tidak melihat apa yang ia katakan bangga padaku. Ia seenaknya meninggalkan Giotto-san dan Stella, pergi dan tidak kembali lagi. Ia orang yang paling egois, paling menyebalkan, paling bodoh, dan...dan paling..."

"Hayato..."

"Ia adalah orang yang paling kujadikan panutan Haru," membalas pelukan gadis itu dan terisak hingga air matanya mengalir deras begitu saja, "aku bahkan tidak pernah mengatakan kalau aku bangga memiliki kakak sepertinya. Aku, adik yang payah dan menyusahkan. Dan ia masih merasa bangga dengan apa yang kulakukan..."

...

"Aku merindukannya...aku tidak mengerti, tetapi saat ini aku benar-benar ingin bertemu dengannya, mengatakan apa yang ingin kukatakan selama ini..."

"Ia tahu apa yang ingin kau katakan, Haru yakin itu Hayato..." Mengusap kepala Hayato yang masih terisak seperti saat usianya 2 tahun saat itu. Menginginkan seseorang yang perduli padanya, beranggapan dan merasa tidak ada yang perduli padanya.

"Perché...? Mi sei mancato, Fratello..."

Suara benturan dan juga asap yang mengepul di ruangan yang besar itu tampak terlihat disana. Wall logic yang biasanya terlihat di dalam sistem komputer seolah nyata saat ini, memenuhi seluruh ruangan dengan matriks yang kasat oleh mata seseorang.

Stella tampak kacau, luka di sekitar tubuhnya tampak nyata dan ia tidak perduli, terus saja berdiri dan mencoba lagi.

"Belum, kalau seperti ini...G akan mentertawakanku..." nafasnya memburu, kembali ia mencoba untuk menggunakan flame mistnya untuk dialirkan pada cincin yang diberikan oleh Verde. Verde memberikan cincin tingkat A padanya untuk meningkatkan kemampuannya. Namun, pada akhirnya ia kesusahan untuk mengendalikannya membuat ia harus menerima semua luka ini.

BUM!

Suara ledakan lainnya membuat Stella menoleh untuk melihat Logic Wall yang ia buat tampak hancur dengan flame berwarna ungu.

"Siapa?!"

"Lemah..." Suara itu membuatnya membulatkan mata saat melihat sosok pria berambut platinum yang berjalan kearahnya dengan borgol berselimutkan flame ungunya. Stella yang melihat Alaude hanya memalingkan wajahnya saja. Tentu saja ia tidak bisa menahan serangan dari guardian terkuat dari kelompok mafia terkuat di dunia itu.

"Bukan urusanmu, aku sedang tidak ingin bertengkar denganmu."

...

"Hanya segini kekuatanmu untuk membalas dendam kakakmu?" Stella tetap tidak merespon apa yang dikatakan oleh Alaude. Ia tidak bisa membalas karena memang apa yang dikatakan oleh Alaude itu benar. Kekuatannya belum cukup untuk melindungi semuanya.

Bagaimanapun Mare Ring dan Vongola Ring memiliki tingkatan yang sama—cincin tingkat S.

"Jangan katakan seolah G tidak akan bangun lagi!"

Alaude masih menatap Stella.

"Aku tidak seperti G yang kuat dan tidak mudah menyerah," jawabnya sedikit berbisik dan tampak masih menatap bawah tidak bergerak dari posisinya, "aku tidak bisa menjadi sepertinya…"

"Kuat? Ia hanya seorang herbivore yang lemah, yang bahkan tidak bisa melindungi dirinya sendiri. Itu salahnya yang terbunuh oleh Millefiore," Merespon saat mendengar hal itu, tampak menoleh pada Alaude dan berjalan sebelum menamparnya dengan keras.

"Kau tidak berhak mengatakan hal itu tentang G—kau tidak tahu siapa dia dan apa saja yang selama ini ia lakukan untukku dan juga Hayato!" jawabnya sambil mencengkram kerah Alaude di depannya, "ia-ia adalah orang yang kuat. Makanya ia tidak akan terbunuh begitu saja!"

"Kenyataannya, ia sudah tewas..."

Mengeluarkan pistol dengan cepat dan menembakkannya kearah Alaude yang segera menghindar. Belum selesai sampai situ, sederet peluru ditembakkan tepat pada Alaude di depannya.

"Ia tidak mungkin mati! Kau bohong, semuanya juga begitu! G tidak mungkin semudah itu mati—" tampak menutup matanya erat. Alaude masih menghindar tanpa sedikitpun ia mencoba untuk membalas serangan itu. Hingga akhirnya peluru itu tampak habis dan Stella hanya bisa menekan pelatuknya berkali-kali. Alaude tampak mendekat dan mengambil pistol itu, memberikannya pistol baru yang menjadi miliknya.

"Kalau memang itu membuatmu puas, gunakan itu—tetapi herbivore itu tidak akan kembali…"

Stella tampak menunduk dan menurunkan senapan yang baru diberikan oleh Alaude itu. Walaupun ia menembakkan pistol itu hingga tempat ini hancur, walaupun ia membunuh orang yang membunuh G—tetapi ia tahu kalau kakaknya tidak akan kembali sampai kapanpun.

"Aku benar-benar tidak berguna… aku bisa saja melindunginya kalau aku lebih cepat menjadi kuat," tampak terisak pelan dan terduduk di tempatnya saat itu, Alaude hanya menatapnya dan tidak melakukan apapun, "kalau saja saat itu aku tidak ikut pergi… G tidak mungkin tewas…"

Alaude hanya terdiam dan menunduk, namun tidak menyentuh Stella sama sekali hingga gadis itu tampak bergerak dan melingkarkan tangannya di leher Alaude secara tidak sadar sebelum semakin terisak dan menangis tersedu-sedu.

Sementara Alaude, tidak melakukan apapun dan membiarkannya untuk melakukan itu.

"G-san memintaku untuk menghubungimu setelah penyerangan itu—" Tsuna tampak berada di ruangannya dan sudah memastikan kalau kamar sepi dan tidak ada sama sekali orang yang berada disana. Irie segera menghubungi setelah pertemuan itu.

"Apakah peluru itu berhasil?"

"Ya—dari grafik gambar yang kau kirimkan, keadaan G-san memang tidak memiliki detak jantung dan juga nafas. Namun, gelombang otaknya masih terlihat bergerak pelan—" Tsuna hanya mengangguk dan sedikit menghela nafas, "namun kita masih harus melihat perkembangannya hingga 2 bulan lagi…"

"Kalau begitu aku tidak bisa melakukan rencana itu dalam waktu singkat," Tsuna sebenarnya menginginkan untuk melakukan rencana itu secepat mungkin sebelum tahu kalau G memiliki rencananya sendiri bersama Irie, "aku akan terus memberikan perkembangannya padamu…"

"Mohon bantuannya Tsunayoshi-kun…"

Mematikan handphonenya dan Tsuna hanya menghela nafas, memikirkan apakah rencana yang ia buat ini benar-benar tidak akan membuat Vongola hancur. Tetapi, tentu saja ia yakin Irie dan juga G memiliki rencana lain selain membuatnya berpura-pura mati seperti itu.

Maka ia harus menunggu 2 bulan yang dikatakan oleh Irie untuk melihatnya.

"Aku mengandalkanmu untuk ini, Kyouya…" menatap kearah seseorang yang sedaritadi berada di sofa di depannya. tersenyum pada sang Cloud Guardian yang hanya menutup matanya setelah menurunkan laporan yang ada di depannya.

"Hn…"

"Kau tidak bisa lebih cepat menyelesaikan tangisanmu itu Herbivore," Alaude yang sebenarnya sudah lelah dengan apa yang dilakukan oleh Stella tampak hanya menghela nafas. Sementara yang bersangkutan tampak melepaskan pelukan yang belum berakhir sedaritadi.

"A—aku minta maaf," memalingkan wajahnya yang memerah karena menangis dan juga malu, "kau bisa saja menolak saat aku memelukmu tadi."

Ia sendiri juga tidak tahu kenapa ia tidak bisa menghindar dan memukulnya saat menangis seperti herbivore.

"Apakah—kau tahu siapa yang membunuh G…? Maksudku—kau mengetahui banyak hal," mencoba untuk menghapus air matanya dan berdiri dari tempatnya duduk, "kau dan juga adikmu…"

"Ren-san—" suara itu membuat Alaude dan juga Stella menoleh untuk menemukan gadis berambut kuning pucat itu berdiri dan menghampiri mereka, "yang membunuh G adalah Ren-san…"

To be Continue

Masih Angst XD sama AlaudexStella XD

Yah, mulai besok masih agak galau sih tapi ga full juga—soalnya sudah mulai battle aktif dan romance dari pairing-pairing lainnya ^^ mungkin besok lebih ke AlauStella, GioHime, sama TsunaAria :-?

Glosarium :

Ti prego, svegliati (Please Wake up. / Kumohon, bangunlah)

Per Favor (Please / Kumohon)

Perché...? Mi sei mancato, Fratello... (Why…? I missed you, brother / Kenapa…? Aku merindukanmu, kakak…)

Untuk OC sudah penuh ya :D makasih buat Jackfrost14 (Lampo) dan Andiandi (Yamamoto) ^^ biografi akan dituliskan kalau karakternya muncul :3

Makasih buat SH309 (Tehe, kan dibilangin itu Cuma pura-pura mati :D AlaudexStellanya habis ini ya :D soalnya yang ini lebih ke reaksi semuanya pas tahu G mati ^^) ZuMiSa Kahyuchi (Makasih ^^ dan sudah diupdate BTW :D), JackFrost14 (itu Cuma skiptimenya aja kok yang cepet XD dan OC yang Lampo Approved :D), dan Andiandi (Approved, tapi boleh ada yang saya ganti? ^^) Urara (Hehehe :D)buat reviewnya ;D