Asrama Zoo terletak di tengah-tengah hutan Pulau ISCV. Jadi, kalau kalian menemukan anak-anak berjaket hijau yang senang memanjat pohon seperti monyet, janganlah kaget. Mereka sudah terbiasa hidup dekat dengan alam.
Tak terkecuali dengan seorang gadis bernama Michiyo Suzuhara. Pagi-pagi benar, para penghuni asrama Zoo, bahkan kepala asramanya, Christopher Lo, belum bangun. Ia sudah duduk di dahan pohon yang cukup tinggi. Ia bersandar pada batang pohon itu, mata indigonya memandang ke gedung asrama beratap biru yang dekat dengan pantai.
"Michiyo?" Yang dipanggil tidak menoleh kepada yang memanggilnya. Seorang anak laki-laki dengan rambut hitam yang agak kriwil dan mata coklat tua memanjat pohon yang sama dan menyeimbangkan dirinya di dahan di bawah milik Michiyo. Wajahnya yang mirip artis Korea membuatnya menjadi salah satu anak populer di Nation-nya. "Sedang apa pagi-pagi keluar?"
"Nggak ngapa-ngapain, Yong Ji. Hanya ingin sendiri saja," Michiyo menjawab dengan nada datarnya.
Park Yong Ji tertawa pelan. "Tapi kamu selalu sendiri," komentarnya. Michiyo hanya mengangkat bahunya.
Yong Ji pun duduk di dahannya. "Kau tahu," katanya. "Aku pikir kalau misalnya Mizuki tidak pindah ke Magallanica, kamu mungkin tidak akan merasa sendirian." Ia menengok ke dahan atas. "Apakah kamu merasa makin sepi."
"Ia tidak pantas di Zoo," kata Michiyo dengan suara tanpa perasaan sama sekali. "Ia bahkan tidak pantas di ISCV."
Yong Ji hanya bisa menghela nafas. Entah apa yang terjadi antara Michiyo Sazanami dan Mizuki Kaname, masalah mereka terdengar parah, namun ini sudah tahun ketiga mereka bersekolah bersama? Tak bisakah mereka menyelesaikannya bersama?
.
.
.
Brother Sister Production
present
.
.
A collaboration fanfiction by the authors of ISCV
.
.
.
Indonesia School of Cardfight Vanguard
(Rewritten Edition)
.
.
.
Disclaimer: Indonesia School of Cardfight Vanguard is a non-profit fanfiction of Cardfight Vanguard. The following media is owned by Bushiroad. Please support the official media.
OR ELSE!
.
Rate: K+ - T
.
WARNING(s): AU (Link Joker, Legion Mate dan G tidak pernah terjadi), lots of OC, canon character perannya hanya sebagai secondary characters, typos menyebar dimana-mana.
.
.
.
Opening Song: Masterpiece by mihimaru GT (from Yu-Gi-Oh! ZEXAL)
Turn 06: Growth and Struggle
Tok… Tok… Tok…
…
Tok… Tok… Tok…
Asa yang sedang mengerjakan tugas sekolahnya menoleh ke pintu kamarnya yang masih terus menerus diketuk. Ia memutar badannya agar bisa melihat teman sekamarnya. "Sakurada-kun, kayaknya ada tamu."
Tsuruyoshi saat ini sedang duduk di tangah tempat tidurnya dengan kaki menyilang. Ia memegang sepasang sumpit di tangan kirinya dan gelas styrofoam ramen cup di tangan satunya. Pipinya sedikit menggembung karena penuh dengan ramen instan yang baru saja ia seruput. Mata kuning-keemasannya memandang Asa dengan tatapan 'terus kamu mau aku ngapain?'.
Asa menghela nafas, bisa menebak kalau Tsuruyoshi tidak akan merubah posisinya. Ia bangkit dari kursinya dan berjalan ke arah pintu kamar mereka (yang masih diketuk tanpa henti dengan tempo yang sama. Asa bisa membayangan tangan merah yang mengetuk). Ketika ia meutar kuncinya dan membuka pintunya, jujur, ia tidak menyangka ada seorang gadis bertubuh pendek sesama United Sanctuary yang memiliki rambut jingga-kemerahan sepunggung yang ujungnya ia ikat dengan pita raksasa berwarna putih. Poninya agak panjang, hampir menutupi mata jingga-kekuningannya bersinar penuh semangat.
"Aimi-chan?" Mengapa anak ini ada di sini? Ada peraturan bahwa anak cewek dilarang pergi ke asrama cowok. Kalau ia ketahuan Misaki-sensei, bisa-bisa ia dihukum.
Tapi sepertinya cewek ini tidak peduli. Ia melambaikan tangannya dengan senyuman selebar buan sabit. "Yahoo! Asa-senpai!" sapanya.
"Fujisaki, siapa itu?" tanya Tsuruyoshi dari dalam kamar. Tanpa diundang, Aimi melangkah masuk, meninggalkan Asa yang masih memegang gagang pintu. Tsuruyoshi mengangkat kepalanya, ramen masih menggantung di bibirnya selagi alisnya terangkat.
"Hai, Sakurada-kun!" sapa Aimi. Tsuruyoshi hanya memandanganya dengan kebingungan sambil menyeruput ramennya. Dengan cepat ia mengunyah dan menelan sebelum ia bertanya, "Kamu siapa?"
Aimi membentuk tanda peace dengan jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya, Ia mengedipkan mata kirinya dan jari peace-nya ada di dekat mata kanannya. "Aku adalah Aimi Suzuhara! Salam kenal!"
Tsuruyoshi diam saja tanpa ekspresi. Barulah ketika Asa memutuskan untuk bergabung dengan mereka, ia bertanya kepada teman sekamarnya, "Ini siapa?"
"Dia anak mentor temanku." Kata Asa, dibarengi dengan rengekan dari Aimi, "Eh! Jangan menghiraukanku!"
Asa menoleh ke Aimi. "Ada apa sampai kamu datang ke sini, Aimi-chan!"
Aimi memandang dari Asa kemudian kepada Tsuruyoshi. Ia tersenyum dan meletakkan tangan kanannya di depan dadanya. Ia menutup matanya dan sedikit membungkuk. "Aku datang kemari untuk memberikan surat wasiat kepada Sakurada-kun."
"Kamu akan wafat?" tanya Tsuruyoshi.
"Bukan!" teriak Aimi, mungkin dengan muncrat-muncrat. Ia menarik dan menghela nafas dengan mata tertutup. Tenang… Ia membuka mata dengan sebuah smirk. Tangan kanannya terentang ke Tsuruyoshi seakan menunggunya untuk meraihnya. "Tsuruyoshi Sakurada, jadilah anak mentorku!"
…
Tsuruyoshi memiringkan kepalanya. "Apa…?"
"Aku bisa melihat kamu memiliki potensial untuk menjadi card fighter yang hebat," kata Aimi dengan nada yang mendramatisir. "Tidak, bahkan menjadi card fighter terkuat. Aku yakin jika diasah, tak lama lagi kamu akan bisa menjadi setingkat dengan pro! Dan aku dengan rendah hati-"
"Tidak."
GUBRAK!
Aimi membelakkan matanya. "Eh?! Kenapa?!"
"Aku tidak perlu seorang guru untuk mengajari aku hal yang aku sudah tahu," kata Tsuruyoshi dengan ketus. "Card fight adalah card fight, lakukan saja."
Awan hitam mulai mengumpul di sekitar kepala Aimi. Poninya menutupi matanya. "Tapi…"
Tsuruyoshi memutar bola matanya. "Kalau hanya itu yang ingin kamu katakan, tolong keluar, kamu mengganggu makan siangku."
Asa berjalan kecil ke arah Tsuruyoshi. "Sakurada-kun, bukankah itu agak kasar?" Tapi Tsuruyoshi malah membuang muka.
"Makan siang?" Dua cowok itu menoleh ke Aimi yang sudah tidak depresi mendadak. Mata Aimi menoleh ke dapur kamar itu. Tidak terlihat bumbu dapur sederhana seperti garam atau merica, bahkan peralatan dapur pun tidak ada (mungkin masih di simpan di lemari di bawah kompor elektrik itu). Benda yang terlihat sering digunakan adalah termos elektrik untuk merebus air. Aimi menoleh lagi ke Tsuruyoshi. Matanya tertuju pada ramen cup yang ia pegang.
Mendadak semuanya connect…
"Itu makan siangmu?!" Aimi menunjuk makanan di tangan Tsuruyoshi dengan nada ketakutan. "Bukankah kamu punya poin untuk setidaknya beli makan di kantin?"
"Kalau bisa murah, mengapa harus mengeluarkan uang banyak?" jawab Tsuruyoshi singkat.
Mulut Aimi bergerak mengatakan 'what the frick?' Ia menoleh ke kakak kelasnya. "Asa-senpai setuju-setuju saja?"
"Well…" Asa menggaruk-garuk belakang kepalanya yang tidak gatal. Pipinya sedikit merah. "Kita mau berhemat…"
Mata Aimi semakin membulat. Ia berlari ke dapur kecil kamar itu. Belum sempat Asa menghentikannya dengan, "Aimi-", gadis itu telah membuka salah satu lemari.
"KYAA!"
Isinya penuh dengan gelas styrofoam ramen instan yang bertumpuk-tumpuk!
"Lebay. Ini hanya ramen instan," komen Tsuruyoshi, menyeruput makan siangnya lagi.
Aimi berbalik menghadap dua cowok itu. Pundaknya bergetar seakan akan meledak. "Hanya ramen instan…" Ia berjalan perlahan ke arah Tsuruyoshi, membuat Asa mundur untuk menghindarinya. Dengan sigap ia merebut ramen cup itu, kuanya sedikit tumah ke lantai. Tsuruyoshi berdiri dari tempat tidurnya dengan tatapan kesal. "Hei!"
Aimi mengangkat dagunya, walaupun tingga hampir sama dengan Tsuruyoshi (dan anak cowok itu termasuk kalangan siswa terpendek di angkatannya). "Kamu tahu berapa banyak MSG dalam mie dan bubuk terkutuk itu!" teriak Aimi. Ia melempar gelas styrofoam itu ke belakang, kebutalan sekali masuk tempat sampah tanpa menumpahkan kuahya sedikitpun.
Gadis itu menunjuk bergantian ke kedua cowok itu dengan mata penuh determinasi. "Ini tidak bisa diterima! Aku tidak akan biarkan calon anak didik dan pacar mentorku menderita seperti ini!"
Menghiraukan teriakan "Aku bukan anak didikmu!" dan "Dia bukan pacarku!" dari mereka, Aimi melanjutkan, "Tenang saja, tuan-tuan! Kalian akan merasakan lezatnya masakan karya Aimi Suzuhara, sang penyelamat perut kalian!"
Dengan kecepatan kilat yang bahkan mengalahkan the Flash, Aimi berlari keluar kamar itu, meninggalkan dua cowok yang tidak tahu harus bagaimana.
Komen Tsuruyoshi: "Dia gila."
Mizuki tidak menduga akan menemukan Shiori di kantin umum lagi, pada tempat duduk yang sama pula. Mereka belum membahas bagaimana jalannya mentor-mentee mereka dan baru akan ketemuan lagi setelah sekolah besok. Tapi melihat bagaimana Shiori tampak memegang sebuah booster pack di tangannya seperti jimat, Mizuki mungkin akan mempercepat pertemuan mereka.
Shiori menutup matanya rapat-rapat, seakan berdoa kepada beberapa dewa Mesir untuk memberikannya keberuntungan. "Ayo…" Dengan menahan nafas, Shiori membuka mata merah darahnya dan merobek ujung atas booster pack itu. Dengan cepat ia mengeluarkan kartu-kartu baru dari dalamnya. Ia mengehela nafas penuh kekecewaan ketika melihat semua kartunya berasal dari Kagero.
"Tidak ada yang bagus?" Shiori menoleh ke arah suara itu, bersiap untuk melempar kartu di tangannya seperti shuriken ke musuhnya (dan mungkin saja kartunya akan terbakar karena jiwa naga di dalamnya). Ia menghela nafas lega ketika melihat itu adalah mentornya.
Shiori menggelengkan kepalanya dengan kecewa. "Bahkan tidak ada Bermuda Triangle."
Mizuki duduk di seberang Shiori. Ia melihat bungkus booster pack yang baru saja dibukan oleh adik kelasnya itu. Dahinya mengkerut.
"Booster Set 2: Onslaught of Dragon Souls," gumamnya. Ia mengangkat wajahnya sehingga mata teal bertemu dengan mata merah darah. "Hanya ada 4 kartu Bermuda Triangle di booster pack itu. Mengapa kamu nggak beli extra booster saja?"
Shiori menggaruk-garuk belakang kepalanya yang tidak gatal. "Extra booster biasanya lebih mahal dari pada booster pack biasa." Ia tersenyum sedih dan menutup matanya. "Aku selalu diajarin untuk berhemat. Aku tak bisa terlalu banyak mengeluarkan uang. Lagipula, deck-ku sudah punya cukup kartu." Ia membuka matanya lago dan Mizuki bisa melihat kilatan sedih, kilatan yang ia biasa lihat ketika seseorang merenung soal masa lalu mereka. "Kalau kamu lahir dari keluarga yang miskin, kamu akan memanfaatkan setiap rupiah untuk makan dan uang sekolah."
Ia ingat bagaimana ibunya sebelum bisa bekerja di ISCV bekerja membanting tulang hanya untuk menghidupi keluarga kecilnya setelah ayahnya meninggal karena demam berdarah. Shiori kecil hanya bisa tersenyum walapun keadaan terpuruk sekalipun, memberikan semangat untuk ibunya untuk terus maju. Dan Vanguard telah memberikannya inspirasi untuk tetap tersenyum dalam setiap card fight. Biasanya, ketika Shiori mendapat nilai yang bagus di sekolah, ibunya akan rela menghabiskan uangnya untuk membeli extra booster sebagai hadiah, dan hari koleksi kecilnya itu, Shiori berhasil membuat sebuah deck. Ia belum pernah mengganti deck ini, uang hadiah lomba shop tournament (yang ia selalu syukuri walaupun mendapat juara 4) ia berikan untuk ibunya. Bahkan ketika membeli booster pack tadi, ia harus bertapa di pantai.
"Vanguard benar-benar berarti untukmu, ya?" tanya Mizuki.
Shiori tersenyum. "Bukankah kita semua begitu?"
Mizuki membalas semyumannya. Rasa ingin membantu anak ini semakin kuat. Itulah mengapa kemarin ia membeli beberapa booster khusus untuk mentee-nya itu. Dengan sebuah anggukan untuk diri sendiri, ia mengeluarkan sesuatu dari kantong jaketnya, menaruh di atas meja dan menyodorkannya ke Shiori. "Ini untukmu."
Shiori membelakkan matanya. Di depannya ada beberapa booster. Bukan sembarang booster pack, tapi Extra Booster: Banquet of Divas dan Dazzling Divas. Ia mengangkat wajahnya untuk melihat ke Mizuki yang terus tersenyum.
Mizuki mengangguk. "Salah satu keuntungan memiliki Bermuda Triangle adalah banyak extra booster. Jadi kamu tidak harus terus mengandalkan keberuntunganmu dalam booster pack biasa. Kamu tidak akan pernah kecewa dengan setiap kartu dalam extra booster."
Shiori melihat dari Mizuki, ke booster itu, dan kembali lagi ke Mizuki. Matanya berbinar, seakan tidak percaya ini terjadi padanya. "Semuanya ini untukku?"
Sekali lagi, Mizuki mengangguk. "Tentu saja." Ia tersenyum lembut. "Mentor dan mentee, harus saling membantu bukan?"
Sebuah senyuman terulas di biibir Shiori, dan Mizuki tahu itu adalah sebuah senyuman yang jujur, tidak dibuat-buat, senyuman penuh rasa syukur. "Terima kasih."
Mizuki mengangguk dan mengambil salah satu booster itu. Ia membukanya sambil berkata, "Bagaimana kalau kita merekonstruksi ulang deck-mu sebagai mentoring pertama?"
Shiori mengangguk dengan mantap. "Ya!"
Ibu. Aku tidak akan mengecewakanmu!
"Eh. Eh. Lihat tuh. Itu Dame-Kaname!"
Michiyo berhenti berjalan. Di tangannya ada sebuah roti melon yang baru saja ia keluarkan dari plastiknya. Namun semuanya berhenti ketika ia melihat tiga gadis dari Nation-nya (ia tidak peduli dengan nama mereka) yang berdiri di belakang pilar dengan senyuman kejam di wajah mereka. Tak jauh dari tempat mereka berdiri, dua anak berjaket biru tadi sedang asyik membangun deck dan membandingkan kartu berhenti ketika mendengar tiga gadis tadi. Ia tidak kenal anak Magalanica kecil itu, tapi ia sangat kenal dengan yang satunya.
"Dame-Kaname mengajari anak itu?" bisik Gadis 1.
"Emangnya dia bisa?" balas Gadis 2 dengan sebuah tawa yang mengejek. Michiyo dapat melihat pundak Dame-Kaname bergetar sedangkan anak Magallanica kecil itu hanya tampak kebingungan.
"Dame-Kaname?" tanyanya. Michiyo tidak tahu apakah ia murid baru atau murid lama yang ketinggalan berita.
Menganggap pertanyaan dari Magallanica kecil itu adalah sebuah undangan, ketiga gadis itu keluar dari persembunyian mereka dan "Kamu nggak kasihan dengan dia, Dame-Kaname?" ejek Gadis 1. "Liciknya kamu menipunya."
Anak kecil Magallanica malah tampak makin bingung. "Menipu?"
"A-Ah." Sepeti pengecut, Dame-Kaname berdiri. Ia terkekeh pelan. "Aku mau belikan green tea dingin dulu, ya?" Ia lari. Anak Magallanica semakin bingung. Tentu bingung. Bagaimana seorang mentor meninggalkan mentee-nya sendirinan.
Ia hanya bisa memberikan death glare kepada Dame-Kaname yang berlari melewatinya. Dame-Kaname sendiri juga ingin memberikan death glare, tapi tidak berhasil karena air mata yang mulai membasahi pipinya.
"Hei, hei. Kamu mentee-nya dia ya?"
Michiyo kembali menoleh ke tempat kejadian perkara lagi, dimana anak kecil Magallanica itu menatap kawan-kawannya dari Zoo dan mendekatinya. "E-Eh?"
"Kok kamu mau sih diajar olehnya?" tanya Gadis 1. "Anak pengkhianat macam Dame-Kaname nggak usah didekatin!"
"Pengkhianat?"
"Lucu sekali ketika data baru masuk kalau Dame-Kaname menjadi mentor," kata Gadis 2 dengan sebuah tawa. "Anak bodoh macam dia mana mungkin bisa mengajar!" Dua gadis lainnya juga tertawa. "Sekali Dame tetaplah Dame!"
"Mendingan kamu sama orang lain saja! Sia-sia!" kata Gadis 3. "Tinggal hitungan waktu saja Dame-Kaname pasti akan mengkhianati Magallanica juga, mungkin semua Nation. Nggak akan mengagetkan jika ia akhirnya keluar dari sekolah."
Ketiga gadis itu tertawa, sementara anak kecil Magallanica itu menggretakkan giginya. Tangannya meremas keras deck-nya yang baru saja selesai dibangun bersama Dame-Kaname.
"Minggir. Kalian menghalangi jalan."
Oh, sesuatu yang tidak terduga.
Keempat akan itu menoleh kepada seorang anak berjaket ungu, yang membawa nampan makan siang mungkin satu angkatan dengan anak kecil Magallanica itu. Anak perempuan dengan rambut lavenderdengan poni miring ke kiri dan dikucir high ponytail dengan pita berwarna hitam, mata merah, dan tatapan bosan.
Gadis 1 mengeluarkan "cih" dari mulutnya. "Heh, kamu berani sama kakak tingkatmu, bocah?"
"Kamu berani dengan mentee-ku, nyonya-nyonya?"
Seorang lagi mendekati rombongan itu, membuat ketiga gadis Zoo yang menoleh padanya menjadi pucat pasi, sedangkan anak kecil Magallanica itu tidak tahu harus bagaimana dan anak Dark Zone itu tetap terlihat bosan. Dan kali ini Michiyo kenal dengan yang itu. Yong Ji pernah menyebutkannya sebagai sesama representatif. Seorang pemuda berkulit putih dengan rambut hitam sedikit bergelombang dan mata biru. Ia tidak mengenakan lengan jaket kuningnya, hanya menaruhnya pada pundaknya seperti sebuah jubah.
"Takiya Nizar!" ciut Gadis 3 dengan ketakutan. Takya Nizar, representatif dari Malaysia.
"Mohon maaf, jika kalian tidak ada urusan lain selain menyeret Nation-mu ke jurang karena tingkah lakumu, aku sarankan pergi dari sini." Ada kilatan berbahaya dalam mata Takiya. "Karena aku tidak akan ragu-ragu melapor pada Misaki-sensei."
Dengan ketakutan, ketiga gadis Zoo itu berlari terbirit-birit menghindari duo mengerikan itu. Takiya menepuk kepala anak Dark Zone yang bahkan tidak mengucapkan terima kasih. Anak Dark Zone itu duduk di depan anak kecil Magallanica yang awalnya di tempati oleh Dame-Kaname.
Salah satu alis anak Dark Zone itu terangkay "Kamu akan tetap diam saja di situ? Aku pikir kamu ini mentee-nya."
Anak kecil Magallanica itu berkedip beberapa detik, sebelum akhirnya membulat dan dengan cepat-cepat membereskan sisa-sisa kartunya dan memasukkannya ke kantongnya bersamaan dengan deck-nya. Ia membungkin kepada anak Dark Zone dan Takiya. "Terima kasih!" Takiya hanya memberikan sebuah anggukan sebagai balasa sedangkan anak Dark Zne sudah mulai makan ramen-nya.
Anak kecil Magallanica itu berlari ke arah yang sama dengan Dame-Kaname. Dan tentu saja, sempat-sempatnya melirik ke Michiyo.
Tapi ia tidak ingin berurusan dengan anak kecil. Ia meninggalkan posisinya sebelum anak kecil itu bisa menanyakan apapun.
Ia tahu bahwa Takiya menatapnya dengan dingin ketika kedua mata mereka bertemu.
Ia menemukan Mizuki duduk sendirian di pantai. Posturnya membungkuk, memeluk kedua lututnya, dan dahinya di tempelkan pada atas lututnya. Sebuah posisi yang menyedihkan dan Shiori sangat tidak menyukai itu.
Ia mencoba memanggilnya, "Kaname-senpai!"
Rasanya sedih ketika melihat pundak Muzuki membeku. Dengan perlahan, seakan itu adalah sebuah pekerjaan yang berat, Mizuki mengangkat kepalanya dan menoleh ke belakang. Shiori dapat melihat pipinya basah dan matan teal-nya sedikit mererah. "Ozawa-kun." Bahkan suara terdengar serak.
Dengan sebuah tarikan nafas, Shiori berjalan mendekati mentornya itu. Ia duduk di sampingnya. Ia ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi ia takut kalau ia akan melewati batasnya.
"Mengapa mereka mengejekmu?" Shiori bertanya dengan pelan. Ia tidak akan merasa kecewa jika Mizuki tidak mau menjawabnya. Ia tahu ada beberapa masalah pribadi yang tidak seharusnya diceritakan kepada orang lain.
Tapi, Mizuki menghela nafas. "Karena… Sebelumnya aku adalah anak Zoo, pengguna Neo Nectar, clan yang cukup variasi." Suaranya terdengar berat dan serak. "Namun, karena aku merasa sangat tertekan aku memutuskan untuk pindah ke Granblue, memisahkan jarak kita sejauh mungkin, lebih jauh dari jarak puncak pohon tertinggi di hutan dengan palung terdalam di dasar lautan."
Mezuki semakit erat memeluk lututnya. "Mungkin di luar sana, jika seseorang berganti clan adalah hal yang biasa. Tapi tidak di ISCV." Ia menggelenkan kepalanya dengan pelan. "Di sini menggunakan almameter berwarna kita adalah kebanggaan tersendiri untuk tiap Nation. Dan seperti sebuah negara, terkadang kita kita memihak bahkan sampai indah ke negara lain, kalian akan dicap sebagai seorang pengkhianat." Ia meletakkan dagunya di atas lututnya. "Apalagi jika yang berkhianat adalah kerabat dari seorang yang berkuasa di sana."
Shiori berkedip. Ia tahu bahwa semua murid di sini menganggap Vanguard sebagai masalah yang serius, tapi sampai sebegitukan? "Siapa yang berkuasa?" ia mencoba bertanya.
Mizuki mengeluarkan e-hanbook-nya. Ia menekan layarnya beberapa kali sebelum akhirnya menemukan apa yang ia cari. Ia kemudian menyodorkannya ke Shiori. Ada profil dua orang. Yang pertama adalah seorang pemuda Korea rambut hitam yang agak kriwil dan mata coklat tua. Yang kedua adalah gadis dengan rambut birunya terurai dan mata berwarna indigo.
Shiori mendengar Mizuki melanjutkan. "Ada dua figure di asrama Zoo di 8th Generation: Park Yong Ji representatif dari Korea, dan Michiyo Sazanami siswa terkuat di 8th Generation."
"Michiyo Sazanami…" gumam Shiori memandang pas foto gadis itu. Gadis yang sama yang ia berpapasan dua kali di kantin utama. "Dia sangat nggak suka denganmu, ya?" Dan anak ini yang berkuasa di Zoo di generasinya.
…
Tunggu…
Shiori memandang dari pas foto itu, kemudian ke Mizuki yang menoleh kepadanya. Shiori sengaja mengangkat e-handbook itu, memposisikan agar pas fotonya ada di sebelah wajah Mizuki.
Persis.
Bentuk wajahnya, bentuk matanya, warna kulitnya, warna rambutnya, semua sama! Yang membedakan hanya style rambut dan warna mata. Tapi hiraukan kedua elemen itu, mereka persis seperti hasil fotokopian.
Dan bagaimana Mizuki dan Michiyo saling menatap dengan benci…
"Mungkin kamu sudah tahu jawabannya," bisik Mizuki, namun otak Shiori masih memproses semua kemiripan ini. "Sebenarnya… Michiyo dan aku… Kita adalah saudara kembar."
Saudara kembar yang saling membenci.
Pernahkah kalian menatap makanan yang tampaknya bersinar? Seakan awan bergerak dan cahaya surga turun dari atas? Itulah tipe makanan yang sedang ditatap Asa saaat ini. Ketika Aimi kembali ke kamar mereka sambil membawa berbagai macam bahan makanan, ia segera mengeluarkan peralatan dapur yang tak pernak kedua cowok itu gunakan. Ia segera memasak seperti ahli, bahkan menghalangi Asa ketika ia ingin membantu. Mulai dari memasak nasi, memotong ayam, meracik bumbu, sampai memasak dalam wajan dengan suhu yang bahkan mengalahkan suhu AC.
"Ta-ra!" seru Aimi ketika menghidangkan dua piring masakannya di depan dua cowok itu. Mereka berdua duduk di meja belajar Asa dengan semua buku yang sudah dilempar ke kasur. "Ayam asam manis karya Aimi Suzuhara! Selamat menikmati."
Nasi yang dibentuk seperti muka panda dengan biji wijen dan serpihan nori di atasnya, ayam dan sayuran yang diselimuti oleh saos cokal dengan sedikit biji wijen, Aimi bahkan membuatkan secangkir the hijau untuk mereka.
Dan Asa tidak sabar untuk memakannya.
Ia melihat ke sampingnya. Muka Tsuruyoshi sangat dekat dekan piringnya dan hidungnya hampir menyentuh pinggirnya. Matanya menyipit dan sumpitnya terangkat, dengan teliti mengambil sayurannya dan menyisihkannya.
"Ada apa?" tanya Asa.
Tsuruyoshi masih fokus dengan memilah makanannya. "Bawang dan paprika…" bisiknya penuh dendam. "Musuh bebuyutanku…"
Asa berpikir sepertinya Tsuruyoshi mendapat pengalaman buruk dengan kedua sayuran itu. Ia melirik ke belakang san melihat Aimi hampir memukul kepalanya ke tembok.
Sampai akhirnya Tsuruyoshi memasukkan satu potong ayam ke dalam mulutnya.
…
Ia tidak bergerak. Tapi Asa bisa melihat mulutnya bergerak kecil, menghisap saos dari ujung sumpitnya.
Sepertinya itu bertanda bagus.
Asa menyumpit sepotong ayam beserta sedikit nasi ke dalam mulutnya.
Pernahkah kalian merasakan sesuatu dan seakan surga bernyanyi di atas kepalamu? Seperti itulah perasaan Asa ketika merasakan suapan pertama dari masakan Aimi. Ia benar-benar bisa memasak! Ayamnya sangat empuk dan saosnya seakan meleleh di lidah namun tidak kehilangan kerenyahan dari paprikanya.
Aimi meletakkan kedua tangannya di masing-masing bahu kedua cowok itu. "Enak? Enak?" tanyanya sedikit melompat-lompat.
Asa menoleh ke Aimi dengan seyuman. "Enak sekali!" katanya. "Kamu pintar masak ya?" Di sampingnya, Tsuruyoshi tetap makan tanpa suara dengan kecepatan yang tak pernah Asa lihat ketika makan ramen instan.
Aimi tersenyum lebar. "Keluargaku adalah pemilik restoran turun-temurun, jadinya ya, wajar mungkin."
Asa mengangguk mengerti dan melanjutkan makannya. Aimi melirik ke cowok satunya, agak kaget sebenarnya ketika melihat piringnya sudah kosong (kecuali sayuran yang tidak ia sentuh). Dan ia ingin tertawa ketika melihat mulut adik kelasnya itu cemot-cemot dari saos asam manisnya.
Aimi mengambil selembar tisu dan muai membersihkan bibir Tsuruyoshi, menghiraukan bagaiman cowok itu beruasaha mendorong tangannya. "Gimana jauh lebih enak daripada ramen instan kan?" tanya Aimi dengan nada menggoda, membuat Tsuruyoshi menengang dan melirik ke piringnya, menghindari tatapan licik Aimi. "Kalo kamu jadi anak didikku, aku akan masakkan kalian berdua makanan enak setiap hari!"
Asa menoleh ke Tsuruyoshi. Dimasakin seperti ini setiap hari? Ini adalah sebuah anugerah! Tapi, ia agak kasihan dengan Aimi. Apa dia tidak akan merasa kerepotan memasak setiap hari. Tsuruyoshi tidak berkata apa-apa, dan Asa berpikir mungkin ia anak menolak tawaran itu.
"Tanpa bawang dan paprika?" tanya Tsuruyoshi.
Atau tidak.
Aimi tersenyum semakin lebar. "Dilumat sedemikian rupa sampai kamu tak akan bisa merasakan mereka."
Tsuruyoshi menghela nafas kesal dan menoleh ke Aimi. Ia memijat dahinya. "Oke. Terserah kamu."
Aimi melempar kedua tangannya ke atas dengan terakian "YES!" penuh kebahagiaan. Langsung kedua tangan itu melingkari tubuh Tsuruyoshi dan ia mengeluskan pipinya ke pipi Tsuruyoshi. "THANK YOU, SAKURADA-SAN!"
Asa tertawa. Ia bisa membayangkan Tsuruyoshi mulai berpikir dua kali sebelum ia menerima tawaran itu.
Komen Tsuruyoshi: "Tolong jangan memelukku."
Dua siswa angkatan atas tampak berjalan melewati hutan yang lumayan lebat. Namun, mereka tidak tampak khawatir. Mereka tahu juka mereka melalui jalan kuning, mereka akan mencapai asrama mereka dengan tenang.
"Michiyo, kamu hari ini masak nggak?" tanya Yong Ji.
Michiyo tertawa pelan dengan pipi yang sedikit memerah. "Nggak sih," katanya pelan. "Aku bangunnya kesiangan, jadinya makan di kantin saja."
Yong Ji terkekeh dengan senyuman pepsodennya. "Kalo gitu, bareng, yuk! Katanya hari ini mereka menyediakan paket kimchi di kantin."
Michiyo menoleh pada Yong Ji tersenyum. "Tentu." Ketika ia menoleh ke depan lagi, ia menghentikan langkahnya. Yong Ji pun juga melihat ke depan, kebingungan mengapa kawannya itu tiba-tiba berhenti. Ia melihat ke depan, dan semakin bingung mengaa ada anak berjaket biru berdiri di depan pintu asrama mereka.
"Anak siapa ini?" bisik Yong Ji kepada Michiyo. Anak itu lebih muda daripada mereka. Rambutnya penuh dengan daun dan ranting, dan mukanya kotor karena tanah, dan jaketnya tampak lusuh seakan habis berkali-kali jatuh. Ini mengingatkan Yong Ji ketika pertama kali ia mencoba pulang ke asrama Zoo namun tersesat selama tiga jam sebelum Christopher Lo menemukannya. Dan sekaang, buat apa anak Magallanica datang jauh-jauh dari pantai ke sini?
Di sampingnya, mata Michiyo menggelap. Tangannya ia masukkan ke dalam saku jaketnya dan meraih deck case-nya, meremasnya dengan erat. "Kamu mentee-nya Mizuki," kata Michiyo.
Yong Ji melihat anak itu mengangguk. Ujung bibir Shiori terangkat dan matanya berkilau berbahaya. Ia mengangkat tangannya yang memegang deck-nya ke arah Michiyo. "Michiyo Sazanami…" katanya dengan nada yang berbahaya dan senyuman yang bisa membunuh. "Aku menantangmu dalam Vanguard fight!"
Ending Song: Wake Up Your Heart by KENN (from Yu-Gi-Oh! GX)
Mood swing-nya sangat aneh di chapter ini…
Kalian tahu, aku pernah iseng-iseng menghitung jumlah words sampai saat ini. Dan ternyata dari episode 0 – 4 saja udah mencapai 18 ribu, sama banyaknya dengan ISCV versi lama! Jauh lebih banyak dari novel yang sedang authoress tulis! Padahal diperkirakan versi kali ini akan memiliki jumlah episode yang sama dengan versi lama. Apakah ini berarti kemampuan authoress bertambah?
Menambah biodata Aimi: aku buat dia pintar memasak, sebut dia Super Duper High School Level Chef. Dapurnya adalah kebanggaannya! Alasannya mengapa, karena aku ingin membuat Tsuruyoshi seakan sangat mudah dibujuk dengan makanan, karena dia tidak bisa masak dan akan menerima makanan gratis, entah itu penuh MSG atau ganja. Inilah mengapa Ryuji sangat khawatir akan sepupu/adiknya.
Mizuki dan Michiyo memiliki biodata yang sama, namun karena authoress ingin memperbanyak siswa di sini, maka sekarang mereka anak kembar! Apalagi kalau Michiyo memiliki peran penting yang berhubungan dengan Ryuji dan naga-naganya. Data personality mereka juga sangat sedikit, jadi aku kepikiran untuk mengubah mereka jadi Bawang Putih Bawang Merah saja.
Dame-Kaname sebenarnya mengambil dari Dame-Tsuna dari Katekyoshi Hitman Reborn 'Dame' artinya 'useless' atau 'tidak berguna', jadi kalian bisa banyangkan betapa tersakitinya Mizuki ketika disebut seperti itu.
Oh. Hai, Takiya Nizar! Akhirnya kamu muncul!
Udah dulu, ya.
See you in the next update!
Stand up, Vanguard!
Next episode: Shiori seharusnya berpikir dua kali sebelum menantang Michiyo Sazanami. Mungkin seharusnya ia menantangnya adu panco saja.
