Port Royal

.

.

.

Beberapa orang melangkah tergesa menaiki tangga menuju lantai dua salah satu rumah yang dianggap paling mewah di Port Royal. Sepatu militer yang mereka gunakan bertumbukkan cukup keras dengan lantai di bawahnya. Raut wajah dari empat pria tersebut berbeda-beda tak mudah diartikan. Mereka serempak berhenti di depan pintu kamar berwarna putih, salah satu mengetuknya, menunggu jawaban dari penghuni di dalam.

"Masuk," sahut suara yang tentu mereka kenali dari dalam.

Di antara mereka salah satunya menghembuskan napas berat sedangkan yang lain memasang wajah tegang. Mereka semua mulai masuk satu per satu setelah pintu dibuka. "Permisi Tuan, ahli pengobatan milik Ratu Elizabeth I akan tiba tak lama lagi, rombongan mereka telah memasuki wilayah teritorial Port Royal."

Pria paruh baya yang baru saja dipanggil 'Tuan' oleh empat pria tersebut mengangguk pelan lalu mengucapkan terima kasih. Tangan kanannya tetap mengelus lengan gadis yang dirangkulnya, gadis yang duduk di tengah ranjang. Gadis yang cantik namun menciptakan perasaan kasihan pada siapa pun yang melihat kondisinya, termasuk empat pria tadi yang ternyata pengawal gubernur.

.

.

Naruto © Masashi Kishimoto

Story © Firuri Ryuusuke

.

.

Warning : AU , typo(s), semi-OOC, fic ini berlatar kehidupan dan kebudayaan inggris abad 17, etc

.

.

.

.

.

Sasuke melumat bibir wanita di bawahnya, memakannnya, menekannya berkali-kali. Ia tak lagi ingat wanita keberapa yang kini bersatu dengannya semenjak kejadian bulan lalu, saat ia menampar kekasihnya. Bahkan gadis itu tak lagi pantas disebut kekasih karena ia memang tak pernah mengatakan dan justru membuatnya menderita.

Sasuke benar-benar beringas sekarang, ia berkali-kali membuat lawan mainnya kesakitan karena perilakunya yang kelewat kasar. Jelas ia menuntut kepuasan setiap kali melakukan kegiatannya di malam hari bersama beberapa wanita. Ia terus menggoyangkan tubuhnya di atas wanita berambut merah yang merintih, membuatnya bergerak seirama. Sasuke tak tahu apa yang ada dipikirannya saat ini, ia menuntut kepuasan bukan? Namun ia sendiri paham jika sama sekali tak menikmati perannya.

Kini ia merasakannya, merasakan puncak kenikmatan yang sering ia pikirkan. Seperti aliran lain yang juga melalui pembuluh darahnya setiap akhir permainan. Pandangannya sedikit kabur, ia memejamkan mata menahan lenguhan yang hampir keluar dari bibirnya. Saat kelopaknya terbuka ia melihat sosok lain di bawahnya, sosok yang berbeda dengan sebelumnya.

"Sakura ... nggh. A-ku." Napasnya tersengal, apa yang akan ia ucapkan terputus akibat lenguhannya.

Sasuke memegangi toraksnya, ia merasakan perih tiap kali nama itu terucap dari bibirnya. Ia beralih terlentang di samping lawan mainnya yang juga kelelahan. Memorinya berputar, berjalan ke belakang, mengingatkan betapa tak pantasnya ia untuk gadis itu. Gadis yang rela berkorban banyak untuknya, gadis yang ia lukai, gadis yang membuatnya menderita meski ia tak tahu bahwa gadis itu sekarang berjalan menjauhi kata kematian karena derita yang sama.

Semua hal yang mengingatkannya akan keberadaan Sakura membuatnya sakit. Membuatnya berpikir berkali-kali untuk melihat gadis itu sekedar mengucap maaf. Bagaimana kaubisa memandang netra seseorang jika mengingatnya saja menimbulkan rasa perih?

Ia tak pernah lupa bagaimana Sakura memejamkan mata, lalu membukannya perlahan diiringi melodi paling merdu yang pernah tertangkap olehnya. Gadis tersebut selalu melakukan hal ini ketika lidah Sasuke menjelajahi tiap inci dari leher putihnya. Ia juga tak pernah lupa bagaimana aroma tubuh Sakura yang mesti tercium dari jarak tiga langkah sebelum ia mendekatinya. Rona merah sering terlihat samar saat Sasuke tak berhenti menatapnya, lalu gadis tersebut menyunggingkan senyum manis sebagai isyarat bahwa ia nyaman diperlakukan seperti itu.

"Arrggh!" Sasuke mengerang, membuat wanita di sebelahnya menoleh khawatir. Ia menyorotkan tatapan tajam membuat wanita itu mengurungkan niat untuk sekedar bertanya atau menyentuhnya. Gambaran akan Sakura menyebabkan penyakit tersendiri untuknya, menyiksanya, tak membiarkan ia merasakan hal yang disebut kenikmatan walaupun hanya beberapa detik.

Beberapa hari yang lalu, ia sempat berpikir apa ini yang disebut karma oleh kawannya; Gaara. Jika benar, bagaimana keadaan Sakura saat ini? ia hanya sanggup menghirup napas dalam-dalam lalu menghembuskanya berkali-laki sebagai jawaban. "Keluar," ujarnya pada wanita di sampingnya tanpa mengalihkan pandangan dari langit-langit kamar.

"Tapi Sasuke ...," balas wanita itu dengan suara yang terdengar pilu.

Laki-laki itu mendecih pelan. "Ambil uang di laci, sekarang cepat keluar!" nada perintah Sasuke terdengar meninggi dari sebelumnya.

Wanita itu terlihat kesal dan menggerutu, namun tetap saja ia melakukan perintah laki-laki yang telah menyewanya. Perempuan itu memunguti pakaiannya yang tergeletak di lantai, memakainya tergesa lalu mengambil uang yang Sasuke katakan di laci meja satu-satunya yang berada di kamar tersebut. Ia berjalan keluar kamar dan menghilang saat pintu di tutup.

Sudah lima hari Sasuke bersama kawanannya berada di Isla de Muerta setelah sebelumnya mengarungi laut tengah mencari jarahan, Isla de Muerta adalah pulau lain dengan kota kecil untuk persinggahanya. Tentu ia tak boleh berlama-lama berada di Port Royal, kecuali ia ingin menerima hukuman pancung di sana. Sudah lima hari pula ia merasakan tubuh wanita-wanita yang disewakan sekedar meringankan beban seperti saat sebelumnya.

Sasuke menarik selimut kusut di bawahnya, menghangatkan tubuh telanjangnya dari hawa dingin yang tiba-tiba ia rasakan. Ia merasa sangat lelah dan malas sekedar mengenakan pakaiannya yang juga tercecer di bawah. "Sakura," gumamnya lebih dari sekali mengiringi kelopaknya yang tertutup pelan-pelan.

**Port Royal**

Sasuke merasa lebih segar sekarang, ia menghirup napas, merasakan udara segar di pagi hari. Ia menyibak selimut, memperlihatkan tubuh polosnya yang tampak sempurna. Laki-laki itu berjalan untuk menyegarkan tubuhnya. Tak memerlukan waktu lama ia telah kembali dengan handuk yang menutupi bagian penting untuknya; untuk setiap laki-laki.

Sekarang ia memilah pakaian di lemari lalu mengenakan pilihannya. Sasuke berjalan keluar kamar, menemui rekan-rekannya di bar untuk sarapan. Ia tak lagi berjalan setegak bulan lalu, sebelum insiden itu terjadi. Walau bagaimanapun ia pihak yang bersalah saat itu, saat telapak tangannya melayang keras menyentuh pipi kekasihnya. Ah, harus berapa kali dikatakan jika gadis itu tak pantas disebut kekasih untuk saat ini atau bahkan beberapa bulan lalu.

"Sasuke, kemarilah!" seorang pemuda seumuran dengannya terlihat melambaikan tangan, memberi isyarat agar Sasuke duduk dan berkumpul bersama rekannya yang lain. Faktanya tanpa tindakan laki-laki itu—Naruto, Sasuke tahu apa yang harus ia lakukan. Acara sarapan pagi berjalan lancar tanpa adanya percakapan berarti dari sepuluh pemuda tersebut.

Sasuke menyudahi sarapannya, menegakkan tubuhnya kembali. "Kita harus kembali berlayar nanti siang," ujarnya dengan tatapan tajam dan intonasi datar seperti biasanya.

Naruto berdecak pelan, merasa tidak terima dengan perintah pemimpin kelompoknya. "Ayolah Sasuke, kita sepertinya harus lebih lama menikmati kota ini."

"Jika kaumau, kau boleh berlama-lama di sini seumur hidupmu, Naruto," jawabnya dingin menusuk.

Naruto tersenyum getir, beginilah watak Sasuke. Namun akhir-akhir ini semakin parah dari sebelumnya. "Baiklah." ujarnya pasrah.

"Apa kita tak kembali di Port Royal?" tanya pria lain berambut hitam klimis tanpa rasa bersalah. Sasuke tak menoleh dan berpura-pura tak mendengarkan nama kota tersebut. Sedangkan anggota lain menghentikan aktivitasnya sejenak, menaikkan atensi apa ujung dari pembicaraan ini.

Pria lain berambut merah melirik ke arah Sasuke, bibirnya sedikit terbuka, ia akan menanyakan suatu hal. "Kudengar acara pertunangan putri gubernur itu ditunda karena gadis itu sedang sekarat."

"Tak adakah kata yang lebih pantas untuk menggambarkan keadaan gadis itu sekarang?" sahut pria berkuncir tak lain adalah kakak Sasuke Uchiha—Itachi.

Gaara sedikit memijit pelipisnya. "Sekarang? Peristiwa itu telah terjadi sebulan lalu. Kukira gadis itu telah meninggal."

Semua pihak yang berkumpul di situ tak tahu harus mengatakan apa, yah mereka semua mengetahuinya. Mungkin menutup mulut adalah hal terbaik yang dapat mereka lakukan meski mereka tak menutup mata, menyadari betapa emosionalnya Sasuke saat ini. Mereka semua juga tak menyangka Gaara akan menyinggung persoalan tersebut.

Sasuke pun tak tahu apa yang harus ia rasakan, ia telah berkali-laki mendengar hal itu meski tak secara langsung. Jika hal itu benar adanya mungkin ia akan membawa tubuh tak bernyawa Sakura bersamanya, membawanya keliling samudera seperti keinginan gadis itu. Entahlah tiba-tiba saja hal absurd tersebut terlintas di otaknya. Ia menyunggingkan senyum tipis, itulah salah satu cara agar ia dapat bersama dengan Sakura tanpa memikirkan perbedaan atau masalah yang lain. Namun, apa bisa ia bahagia hanya dengan melihat wajah pucat pasi, tanpa binar mata, senyuman atau rona merah gadis tersebut. Atau sekedar jasad kaku, dingin dan tak dapat bergerak ceria seperti gadis itu lakukan pada kesehariannya. Setidaknya hal itu lebih baik daripada harus merasakan sakit seperti ini, pikirnya. Setelah itu ia akan segera menyusul Sakura, menemui gadis itu di dimensi lain.

"Arrggh!" Sasuke kembali mengerang lantas mengacak helai ravennya. Jika ada kata yang lebih menggambarkan arti rasa sakit, itulah yang ia alami saat ini. Keadaannya akhir-akhir ini sungguh membuat kawan-kawannya khawatir, mereka bukan tak pernah mendengar Sasuke mengerang, terkadang pria itu juga berteriak kesakitan. Sasuke lebih sering melamun walau tatapannya masih terlihat tajam, atau tanpa sadar pria itu juga menggumamkan satu kata—Sakura.

"Kau tak mungkin selamanya seperti ini, jika hal ini masih berjalan satu bulan bagaimana dengan bulan-bulan berikutnya yang harus kaulalui tanpa gadis itu?" Itachi beralih menghadap adiknya. Memberi jeda sejenak. "Mengertilah hidupmu tak hanya sampai di sini, Sasuke. Apa tak ada hal lain yang bisa kaulakukan?" Itachi menghela napas berat setelah mengatakan ucapan terpanjangnya barusan. Ia berharap adiknya itu dapat mendengar dan menyadari bahwa masih ada pihak yang peduli akan masalahnya saat ini.

Ia mendecih, menopang dagu dengan jemarinya yang tersusun. "Aku tak peduli jika putri gubernur yang kalian maksud telah bertunangan atau mati sekalipun," jawabnya sarkastik, Sasuke menyadari jika ini adalah jawaban termunafik yang pernah ia berikan. Rasa perih dan sakit membuatnya terus berkelit, ia hanya mampu menghindar atau mengabaikan penyakit tanpa mengobatinya. Karena ia tahu obat yang ia harapkan hampir mustahil untuk didapatkan kembali.

Shikamaru menatap lekat sahabatnya yang kini menunduk. "Kehilangan memang menyakitkan, tapi memaksa diri untuk kehilangan jauh lebih menyakitkan. Aku pernah merasakan hal itu," tukasnya sambil tersenyum miring, sebagian dari anggota lain tak mengerti arti ucapan Shikamaru, namun mereka yakin hal itu menyangkut masalah Sasuke dan masa lalu Shikamaru yang hampir serupa.

Sasuke tahu betul apa yang dikatakan sahabatnya, itulah yang ia rasakan saat ini, penyakitnya muncul tiap kali ia memaksakan diri. Memaksakan untuk tidak terjerat kenangannya bersama sang putri gubernur.

"Baiklah, kita akan kembali berlayar nanti siang. Kesempatan kita kali ini adalah menjarah kapal-kapal dagang yang menjauhi Laut Karibia," perintah Itachi menggantikan kewenangan Sasuke.

**Port Royal**

Seorang gadis duduk dan memandang hamparan laut di hadapan dari balkon kamarnya. Helaian rambutnya sedikit bergerak tertiup angin laut lembut di pagi hari. Keadaannya lebih baik sejauh ini, ia telah melewati masa kritis menuju ajalnya. Ia sendiri tak mengetahui apa yang membuatnya bangkit, ia hanya tahu jika sebelumnya menderita sakit parah lalu disembuhkan oleh salah satu ahli pengobatan milik Ratu Elizabeth I. Gadis itu tak mengetahui apa yang terjadi sebelumnya, lebih tepatnya ia tak mengingatnya. Sekarang ia dalam masa pemulihan menunggu hari pertunangannya dengan kolonel angkatan laut.

Semburat merah terlihat menghiasi tubuh yang sebelumnya pucat pasi itu, malah sekarang berat badannya bertambah cukup signifikan, cukup untuk mengembalikan lekuk indah tubuhnya seperti dulu. Hal itu semakin memperjelas kecantikannya, apa lagi binar manik zambrudnya mulai bercahaya kembali.

Seorang laki-laki berjalan mendekatinya dari belakang. "Sakura," sapanya menarik perhatian gadis tersebut.

Gadis itu menoleh ke belakang, mengenali asal suara. "Sasori, apa kau tak ada ekspedisi? Kapan kaupulang?" tanyanya sambil menyunggingkan senyuman manis.

Laki-laki itu berjalan semakin dekat, merapatkan tubuh di belakang pujaannya, menyentuh helaian merah muda tunangannya itu. "Baru saja, jika ekspedisi yang kaumaksud adalah ini aku tak akan pernah keberatan," jawabnya lalu melahap bibir mungil gadis di depannya selayaknya sarapan di pagi hari.

Tak lama gadis itu menggeliat, melepaskan pagutannya. "Ciuman pagi, eh?" tanya gadis itu lagi, mengerti apa yang dimaksud dengan 'ini' oleh laki-laki bernama Sasori, ia merasa hatinya sedikit menghangat menerima sentuhan dari tunangannya.

Sasori beralih di depan gadisnya, memandangnya seksama. "Mengapa kau masih bertanya jika melakukannya tiap pagi? Bagaimana keadaanmu? Kau tak lagi menolak untuk minum obat 'kan?" cecarnya perhatian.

Sakura menampakkan lengkung kurva khas dari bibirnya. "Kukira, aku sudah lebih baik sekarang. Lihatlah aku ingin ke sana suatu saat nanti!" serunya ceria sambil menunjuk hamparan air laut. Bahkan Sakura sama sekali tak mengingat jika pernah membuat orang lain berjanji untuk mengabulkan keinginannya seperti barusan.

"Bersamaku?" Sasori bertanya antusias melihat semangat Sakura yang kembali muncul seperti sedia kala.

Sakura sama sekali tak mengalihkan pandangannya dari likuid biru muda tak terbatas, kurvanya kembali lurus. "Entahlah, mungkin aku akan melakukannya dengan seseorang tapi ..." ia tampak berpikir, apakah pernah mengatakan hal ini sebelumnya, karena ia merasa seperti sebuah pengulangan. "... aku hanya ingin bahagia, itu saja," lanjutnya asal, ia tak mengerti apa yang baru saja terucap, hanya saja benaknya menyerukan hal lain yang tak dapat diungkapkan sekarang.

"Baiklah, apa pun itu yang penting kaubahagia. Apa kau tak ingin berjalan menyusuri pantai, hm?" tawar Sasori seraya menyentuh tangan Sakura.

Sakura menunduk, mengapa tiap kali mendengar hal tersebut menimbulkan perasaan lain di hatinya. "Aku benci hal itu," jawabnya singkat.

Sasori tak lagi memulai pembicaraan, keduanya sama-sama diam menatap ke depan, laki-laki itu berdiri di belakang tubuh duduk Sakura. Mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing. Sasori selalu meyakinkan diri jika Sakura mencintainya, sedang Sakura bertanya apa yang membuat Sasori begitu yakin jika ia mencintainya. Padahal gadis itu sama sekali tak pernah merasa membalas afeksi Sasori, atau itu dampak akibat penyakitnya, ah iya penyakitnya itu seperti menghapus sebagian memori yang tersimpan.

"Sudah berapa lama aku sakit seperti ini?" tanya Sakura, sepertinya ia ingin merangkai kembali kenangannya yang lenyap begitu saja.

Sasori menghembuskan napas sejenak. "Seingatku satu bulan, atau lebih. Aku bahkan hampir saja kehilanganmu." Pria itu benar, Sakura hampir saja beralih dunia, meninggalkannya tentu saja. Sakura hanya kehilangan memorinya sementara, bukan semua hanya sebagian khususnya untuk seseorang. "Kau tak lapar? Tunggulah, aku akan membawakan sarapan untukmu," ujar Sasori lantas berlalu meninggalkan Sakura.

Walau belum sepenuhnya sembuh, Sakura tahu ada yang janggal, ada yang hilang. Ia yakin hal itu penting, atau paling tidak berdampak besar terhadap kondisnya, yang jelas ia ingin segera mengerti apa yang menyebabkan menjadi seperti ini. Sakura beranjak dari kursi yang ia duduki lalu berjalan sedikit tertatih menuju tempat tidurnya, sesekali ia meraih-raih benda yang dapat ia jadikan pegangan agar tak terhuyung ke lantai.

"Astaga Nona!" pelayan kesayangan Sakura segera berlari membantu majikannya yang kesulitan berjalan, sebelumnya ia telah meletakkan terlebih dulu nampan berisi sarapan di meja rias kamar.

Sakura merentangkan sebelah tangannya. "Saya bisa sendiri Bi, jangan bersikap seolah saya baru saja belajar berjalan," kilahnya.

"Bibi hanya khawatir Nona," lanjutnya mengawasi Sakura yang telah mendudukkan diri di ranjang.

Sakura tersenyum, ia merasa Chiyo—nama pelayan kesayangannya seperti ibunya sendiri. "Ini sarapan untuk saya, Bi? Sasori mana? Harusnya dia yang mengantarkannya," tukasnya sedikit kecewa.

"Tuan Sasori harus menyerahkan laporan pada laksamana tertinggi angkatan laut Nona, sepertinya ia ada tugas hari ini," jawab Chiyo seadanya.

Sakura meraih nampan sarapannya, mulai melahap asupan gizi yang tersaji di atasnya. Sepertinya benar apa kata Sasori, ia benar-benar lapar. Chiyo tetap berada di sampingnya, bersiap jika Sakura membutuhkan sesuatu. Perempuan tua itu boleh bernapas lega sekarang, majikan yang telah ia anggap sebagai putrinya sendiri sudah jauh lebih baik. Ia tak ingin lagi melihat tubuh ringkih Sakura yang semakin lemah dan berujung kematian. Pengobatan yang diberikan untuk Sakura berdampak besar, ia sama sekali tak mengingat hubungannya dengan pemimpin perompak. Tapi Chiyo yakin satu hal, jika memori Sakura dapat sedikit dihilangkan bagaimana dengan perasaannya yang dulu begitu besar pada laki-laki itu, hati Sakura pasti berbicara lain suatu saat nanti.

Chiyo ingat betapa bahagianya Sakura ketika menyusuri pantai bersama pemimpin perompak tersebut, senyum Sakura sangat sempurna dan begitu menyenangkan walau ia hanya mampu melihatnya dari jauh. Atau betapa hancurnya Sakura saat ayahnya memaksakan kehendak untuk menikahkan putrinya dengan Sasori. Sekarang semuanya berbanding terbalik, Sakura seolah berubah begitu saja, Chiyo menyadari ada yang tidak adil di sini. Tapi toh ia tak terlalu menghiraunya jika ternyata Sakura lebih bahagia sekarang.

"Bibi ... Bibi Chiyo melamun ya?" tanya Sakura seraya mengguncang pelan tubuh renta di sebelahnya.

Chiyo mengerjab. "Ah tidak Nona hanya teringat beberapa hal. Sebaiknya Nona segera mandi, hari semakin siang Nona," ujarnya lembut.

"Baiklah, tapi nanti saya akan menanyakan beberapa hal pada Bibi," balasnya lalu berjalan pelan menuju kamar mandi. Sakura tak perlu repot karena semua keperluannya telah disiapkan oleh pelayannya tersebut.

Cukup lama bagi Chiyo menunggu Sakura selesai mandi, lantas wanita tua tersebut membantu Sakura mengenakan pakaian yang dipilih sendiri oleh gadis itu. Sakura lebih memilih gaun tipis dan ringan berwarna putih tulang dari pada gaun ungu selutut yang penuh hiasan.

"Apa saya pernah jatuh cinta sebelumnya, Bi?" tanya Sakura spontan.

Chiyo hampir saja menjatuhkan sisir yang ia genggam mendengar pertanyaan Sakura, ia benar-benar bingung sekarang. Apa yang harus ia katakan. "Mengapa anda bertanya seperti itu Nona?" Berharap Chiyo dapat mengetahui alasan Sakura mengungkit masa lalunya sendiri, atau ingatan Sakura telah kembali.

"Saya hanya ingin tahu, tak lama lagi saya harus bertunangan dengan Sasori. Tapi ..." jawaban Sakura terdengar menggantung, lagi-lagi ia merasakan benaknya berkecamuk tiap kali mengungkit masa lalunya sendiri. "... saya merasa ada yang lain, Bi?"

"Maksud Nona?" tanya Chiyo lagi, tanpa ia sadari keringat dingin mulai menetes melewati pelipisnya.

Sakura menatap bayangannya sendiri di cermin, melihat sisir yang terayun pelan di surainya oleh tangan pelayannya. "Ada yang hilang, saya tak yakin apa itu."

Chiyo telah berjanji pada dirinya sendiri untuk merahasiakan masa lalu Sakura dengan pemimpin perompak jika Sakura bahagia sekarang, tapi sepertinya Sakura tak terlihat begitu senang karena gadis itu mulai menyadari ada yang hilang. "Apa sekarang Nona bahagia dengan kolonel Sasori?"

"Saya tidak tahu Bi, jika saya sudah menjawab pertanyaan Bibi maka Bibi harus berjanji menceritakan semua yang hilang. Saya yakin Bibi mengetahui suatu hal," sahut gadis itu penuh keyakinan, hingga ia menyentuh kedua tangan pelayannya.

"Iya Nona, saya janji. Saya permisi dulu ada tugas lain yang harus saya selesaikan." Chiyo berlalu meninggalkan Sakura, wanita tua itu harus mempersiapkan jawabannya.

Tak ada yang dilakukan Sakura setelah itu, ia kembali mengambil buku-buku tebal dari laci kamarnya, lalu membacanya di pangkuan. Gadis itu selalu melakukan kegiatan ini hampir setiap hari jika tak ada acara kerajaan, atau terkadang mengelilingi taman bunga di halaman belakang rumah megahnya.

**Port Royal**

Langit yang menjadi atap samudera terlihat begitu cerah, menimbulkan perasaan tersendiri bagi yang menatapnya. Lain halnya dengan pria itu, sudah sebulan ia tak lagi berdiri di depan kemudi kapal seperti sebelumnya. Kakaknya menggantikan tugasnya, semua anggota telah mengetahui apa yang membuat pria itu menjadi seperti ini. Ia hanya terbaring memandangi langit di atas kursi panjang dekat anjungan, langit sepertinya terlihat begitu cerah, menimbulkan beberapa spekulasi. Perasaan lain sangat mengganggunya untuk hari ini, ia merasa sesuatu yang buruk akan terjadi malam ini, entah apa itu, ia sendiri tak yakin akan terjadi pada kelompoknya.

"Sepertinya nanti malam akan terjadi badai dasyat," ucap salah satu rekannya berambut coklat panjang, mata keunguannya juga menerawang ke atas. Sasuke menyadari pada siapa rekannya itu berbicara, sedang ia diam tak menyahut. Pria itu; Neji Hyuuga mendudukkan tubuhnya di atas kursi panjang yang sebagian digunakan Sasuke untuk merebahkan diri.

"Cobalah kaumencari tahu bagaimana keadaan gadis itu, atau kaumemilih untuk semakin menyesal," lanjut Neji. Sasuke sadar betul apa maksudnya, namun ia sendiri tak dapat melakukan hal itu, rasa bersalah merubah segalanya.

"Dia akan memaafkanmu jika masih mencintaimu," ujarnya mengetahui pikiran Sasuke.

Sasuke bangkit dari posisinya, duduk di samping rekannya walau tak saling berpandangan. "Bukan urusanmu," celetuknya tajam.

"Kau hanya berpura-pura, aku hanya ingin mengatakan satu hal. Kau adalah laki-laki termunafik yang pernah kukenal. Kami bukannya tak peduli, tapi kaumenutup kedua mata dan telingamu."

Sasuke mengumpat sebelum melanjutkan ucapannya. "Tahu apa kau tentangku, urus saja persoalanmu sendiri," jawabnya datar.

Neji mendengus, sikap Sasuke sangat berbeda dari biasanya, ia tahu Sasuke sangat peduli dengan gadis itu, namun ia takut dengan kenyataan yang akan ia hadapi jika mencari tahu keadaan putri gubernur tersebut. "Aku memang memiliki urusan yang lebih penting daripada harus memandangi langit memikirkan keadaan seseorang," balasnya sambil berdiri lantas berjalan menuju geladak kapal.

Sasuke merekam segala ucapan Neji, cinta? Benarkah kata cinta masih pantas untuknya, setelah apa yang ia lakukan. Setelah semua skandal itu. Pertunangan? Tamparan atau semua kenangan manis antara ia dengan gadis istimewa tersebut. Bahkan kata maaf sekalipun tak cukup untuk menebusnya.

Sasuke tak yakin apa Sakura masih hidup setelah berita itu tersebar, bahwa gadis itu menderita sakit parah tanpa sebab yang jelas. Atau sekarang Sakura tengah menertawainya dari langit karena ia begitu merana. Jujur ia masih sangat mencintai Sakura, lebih dari apa pun, ia akan mengabulkan semua permintaan Sakura jika gadis itu memaafkannya. Tapi bagaimana jika semua itu sudah terlambat, bagaimana jika Sakura benar-benar telah meninggalkannya. Bahkan untuk menikah dengan orang lain, atau malah gadis itu telah menghilang dari dunianya.

Napasnya mulai terputus saat memikirkan itu semua, terasa sangat sesak dan nyeri. Sasuke berjalan menuju kakaknya yang memegang kemudi kapal, berencana untuk melaksanakan tugasnya kembali.

"Sebaiknya kaumengumumkan persiapan badai nanti malam, aku akan tetap di sini," tukasnya setelah cukup dekat untuk memulai pembicaraan dengan kakaknya.

Itachi menoleh, mengetahui suara siapa yang mengusiknya. "Apa kau sudah merasa lebih baik?" tanyanya setelah mengalihkan pandangan.

Sasuke meraih kemudi kapal, memutuskan kembali pada tugasnya. "Hn."

"Baiklah jika itu keputusanmu." Itachi beralih menuruni tangga dari lantai atas kemudi kapal, mengumumkan persiapan badai yang diprediksikan akan terjadi nanti malam. Semua anggota mulai melakukan tugasnya masing-masing, sepertinya badai itu benar adanya, mengingat mereka telah memahami bagaimana kondisi laut dan tanda-tanda sebelumnya. Kawanan perompak itu terus berlayar hingga menemukan kapal yang menjadi incaran mereka. Samudera telah mengajarkan mereka banyak hal, termasuk bertahan hidup dalam kondisi apa pun, seperti Sasuke Uchiha.

**Port Royal**

Petang datang lebih cepat dari perkiraan kelompok bajak laut lain, mereka sedang melaksanakan apa yang menjadi tujuan mereka sekarang. Langit tetap terlihat cerah, belum terlihat tanda-tanda datangnya badai, memudahkan mereka untuk melancarkan aksinya. Bulan mulai sedikit terlihat bersamaan dengan titik-titik bersinar yang senantiasa menemaninya. Malam ini sepertinya akan menjadi sejarah tersendiri untuk satu kota yang menjadi tujuan kelompok bajak laut tersebut.

Seorang pria berambut kuning panjang membetulkan letak topi bajak lautnya, yah pakaiannya benar benar-benar khas bajak laut dengan rompi dan celana panjang kulit. "Sepertinya kita akan sampai di Port Royal saat tengah malam," ujarnya lantang pada rekan-rekannya. Kota yang dimaksud sudah jelas terlihat.

"Tak masalah, aku hanya ingin melihat putri-putri bangsawan yang terkenal sangat cantik di sana. Kita bisa sedikit bermain-main dengan mereka," ujar kawannya yang lain di depan kemudi kapal.

"Benar Hidan, kita sudah lama tidak bersenang-senang seperti ini," imbuh rekannya yang lain. Jumlah inti dari perompak ini memang hanya tujuh orang, namun mereka juga memiliki banyak anak buah untuk menghadapi pertempuran. Alasannya mereka lebih senang menjarah pemukiman di pesisir pulau yang mereka singgahi daripada harus merampok kapal-kapal mewah di samudera. Benar, sedikit lagi, tepatnya saat tengah malam, saat kota itu mulai mengganti aktivitasnya.

Dermaga Port Royal semakin dekat, tinggal menjatuhkan jangkar mereka sudah merapat pada dermaga tersebut, Kapten mereka telah memerintahkan untuk segera melabuhkan kapal di bibir dermaga. "Kita habisi semua yang menghalangi keinginan kita, bawa sebanyak apa pun yang kaubisa," ujarnya tanpa intonasi yang berarti. Kapten perompak tersebut memiliki banyak piercing di wajahnya, namun itu sama sekali tak mengurangi karismanya sebagai pemimpin bajak laut. Rambut oranyenya sedikit bergerak tertiup angin laut malam. Tak dipungkiri ia dapat dikatakan—tampan.

"Ai!" seru semua anak buahnya, mereka mengangkat senjata, memperlihatkan semangat mereka yang berkobar. Mata-mata mereka berkilat tajam, bak elang yang mencari mangsa. Kawanan perompak ini memang tak begitu terkenal di daratan Eropa, namun apa yang menjadi gambaran mereka saat ini, meruntuhkan pendapat jika mereka mudah ditakhlukkan.

Mereka semua turun dari kapal dengan brutal, menghambur keluar dari kapal menjarah daerah-daerah bibir pantai. Mengerang seperti singa yang kelaparan, menjarah barang-barang berharga, ditambah satu hal menculik gadis-gadis cantik kota tersebut untuk diajak bersenang-senang. Tentu tak menjadi semakin seru jika tanpa membunuh.

Keadaan pesisir pantai Port Royal tiba-tiba menjadi ricuh, teriakan terdengar dari jauh bersahut-sahut, bunyi tembakan, suara sebetan pedang, suara tawa nista juga tangisan pilu. Api juga menari di sebagian rumah, membuat kemeriahan tersendiri malam ini. Kawanan bajak laut tertawa puas, senang melihat rumah yang mereka jarah termakan jago merah. Tentu pihak angkatan laut tak tinggal diam, mereka mengerahkan pasukannya—sedikit, terlampau sedikit untuk mengimbangi pasukan perompak mengingat malapetaka ini terjadi tengah malam.

Pasukan bajak laut berpencar mencari incaran masing-masing, diantara mereka telah kembali ke kapal membawa peti-peti berisi perhiasan atau mengendong gadis-gadis yang meronta-ronta minta dilepaskan.

Tetapi tak secepat itu bagi ketujuh anggota inti perompak tersebut, mereka masih asyik berkeliling menyusuri tiap segmen kota ini. Mereka lebih sering menggunakan senjata api yang mereka bawa daripada mengayunkan pedang atau menusukkan tombak, amat lihai dan menakutkan.

Pria tegap berambut kuning salah satu anggota inti perompak tersebut menghentikan langkahnya di depan satu rumah mewah; lebih tepatnya terlihat mencolok dari bangunan di sekitarnya. "Bukankah kita diberikan ekstra waktu oleh Kapten?" tanyanya.

"Entahlah. Tanya saja sendiri, Deidara!" imbal teman yang berdiri di dekatnya, wajahnya pria itu seperti bukan manusia meski secara fisik iya—lebih mirip ikan hiu.

Merasa dibicarakan sang Kapten yang berada jauh diantara gerombolannya membuka mulut. "Bawa yang berharga atau kalian hanya membuang waktu untuk datang ke mari," ujarnya tegas, atau datar.

Si muka hiu itu berdehem. "Baiklah bagi jadi dua bagian, tiga di rumah ini, sisanya di tempat lain. Bagaimana?" tanyanya pada semua anggota yang ada di situ.

"Setuju, Kisame," jawab sang Kapten, pria muka hiu itu tersenyum bangga.

Sesuai keputusan terakhir tiga anggota inti mulai berjalan memasuki rumah yang berada di hadapan mereka, sisanya melangkah menjauhi kawan-kawannya. Tiga anggota tersebut, pria berambut kuning panjang; dipanggil Deidara, si muka hiu; Kisame serta sang Kapten; Pein.

Braakkk! Terdengar suara pintu besar yang menjadi akses ke dalam rumah tersebut dibuka paksa; ditendang keras. Mereka bertiga semakin percaya diri menyadari keadaan rumah begitu sepi. Sebagian penghuni rumah tersebut memang sedang beristirahat di lantai dua, sedangkan beberapa pelayan sudah pulang di rumah masing-masing.

Deidara tampak mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. "Sepertinya rumah ini milik seorang lord, atau paling tidak seorang pejabat kota." Dari tatapannya ia tampak mengagumi seperti baru melihat rumah semewah ini.

"Gubernur!" teriak beberapa orang menampakkan eksistensi tiba-tiba masuk ke rumah mewah tersebut, mengalihkan atensi anggota perompak.

Kisame mengarahkan tatapan tajamnya pada beberapa orang yang terlihat menggunakan pakaian angkatan laut. "Angkatan laut? Rumah ini milik gebernur? Menarik," ujarnya diikuti seringai.

Suara letusan senjata api terdengar menggema; menciutkan nyali siapa saja yang mendengarnya. Masih terperanjat dengan apa yang ada di hadapan mereka, beberapa pasukan angkatan laut tersebut roboh dengan luka tembak. Kisame meniup ujung senjata apinya memamerkan keahliannya menembak cepat. Permadani yang berada di ruang tamu rumah yang ternyata milik gubernur tampak basah karena darah angkatan laut yang baru saja tumpah, meninggalkan bekas dan tentu saja bau anyir.

Mendengar bunyi tembakan, pelayan-pelayan yang masih berada di rumah itu menyembunyikan diri, nyawa mereka masih terlalu berharga untuk dipertaruhkan. Tak begitu dengan pemilik rumah ini yang semula masih mendengkur di kamar lantai dua, matanya yang terpejam terbuka dengan tiba-tiba, lantas bangkit membawa senjata api yang ia punya. Tak salah lagi ini bunyi letusan pistol, pikirnya. Gubernur Port Royal itu mulai membuka pintu kamarnya hati-hati, tak lagi terdengar suara gaduh di kediamannya.

Brukk! Dia terjatuh tengkurap menubruk lantai akibat dorongan seseorang, senjata api yang ia bawa terlempar menjauh. Lalu menyadari tubuhnya ditindih orang lain yang ia kira pelaku kericuhan ini.

Kisame yang berada di atas tubuh Guberbur menyeringai lebar, mengunci gerakan sang Gubernur lalu melilitkan tali untuk menahan gerakannya dalam jangka waktu lama. "Jangan bergerak jika tak ingin ada saluran lain di kepala anda, Gubernur," ucapnya menghentikan gerakan sang Gubernur untuk melepaskan diri. "Cukup, izinkan kami untuk meringankan beban anda akan harta-harta itu," pintanya mengejek sambil berdiri menuju kawan-kawannya yang telah meraup sejumlah koin emas dari kamar Gubernur. Sedangkan Obito Haruno hanya mampu memandangi tiga orang bajak laut itu penuh kebencian, mulutnya tak henti-hentinya mengeluarkan umpatan dan sumpah serapah.

"Ayah, ada apa ini?" suara seorang gadis setelah pintu salah satu kamar terbuka, membuat tiga pria bajak laut itu menghentikan langkahnya menuruni lantai dua. Pasang mata ketiganya beralih pada gadis tersebut. Dua di antara mereka tersenyum senang, sedang satu lagi hanya memandang tajam.

Blam! Gadis itu menutup pintu kamarnya kembali setelah mendapat jawaban dari pertanyaannya. Ia segera mengunci pintu kamarnya lalu mendorong meja untuk menahannya lagi. Napasnya menjadi lebih cepat seirama dengan degup jantungnya. Tenaganya yang belum pulih ditambah lagi harus mendorong meja membuat kekuatannya cukup terkuras. Gadis itu merangkak menjauh dari pintu, menstabilkan deru napasnya.

Brak! Brak! Terdengar suara dobrakan pintu, membuat gadis itu semakin takut, ia meraih tongkat besi yang biasanya digunakan untuk merapikan perapian. Tenaganya yang belum sepenuhnya kembali membuatnya bersimpuh di karpet kamarnya, tubuhnya sedari tadi telah dibanjiri peluh.

Braakk! Bunyi tergulingnya meja atau patahan kayu membuat gadis itu semakin membelalakkan mata, pintu kamarnya telah terbuka dengan kekerasan tentunya. Ia melihat tiga pria berdiri tegak di ambang pintu, wajah mereka tampak sangat menyeramkan. Ia tak tinggal diam, kaki dan tangannya mulai bergerak menuju balkon kamar menjauhi pria-pria tersebut yang ia duga kawanan perompak. Gadis itu mulai berlari tertatih tanpa menoleh ke belakang, ia tak mau berakhir menjadi hiburan para bajak laut, lebih baik berakhir di tanah dari balkon kamarnya.

Tiba-tiba tubuhnya direngkuh paksa, diangkat, lalu dibawa berjalan, otomatis ia tak tinggal diam, berusaha menjatuhkan diri, berontak dan menendang-nendang udara. Hanya itu yang dapat ia lakukan mengetahui kondisi tubuhnya sendiri. Ia tak sanggup berkata apa pun, tak ada yang dapat ia lakukan dalam kekangan pria berambut kuning panjang yang membawanya keluar kamar.

"Ayah, tolong ...," pekiknya saat tubuh pria yang membawanya melintasi tubuh ayahnya yang tengkurap terikat tali. Sungguh ia sangat takut menghadapi apa yang terjadi selanjutnya, ia benci mengakui hal itu, bukan takut pada kematian namun takut jika tak dapat berbuat apa-apa seperti ini.

Obito meronta kencang, menggertakkan tubuhnya sendiri berkali-kali, merayap menyusul putri kesangannya yang dibawa menuruni tangga. "Bajak laut keparat! Jangan bawa putriku, apa pun yang kau mau ... apa pun! Kumohon lepaskan Sakura!" teriaknya lantang, hanya itu yang terdengar, selebihnya lebih pas dibilang erangan atau umpatan tajam.

Deidara bersama dua rekannya di belakang sama sekali tak menghiraukan keributan yang keluar dari mulut sang Gubernur, barang berharga seperti rencana kawanannya telah mereka dapatkan, apa lagi yang harus dicari dari kota ini. Mereka bertiga terus berjalan keluar rumah mewah Gubernur Port Royal. "Jadi namamu Sakura ya? Nama yang indah," rayunya pada gadis yang sejak tadi hanya terdiam menatapnya penuh dendam dengan tenggorokan yang tercekat.

Tak salah lagi inilah yang mereka cari, putri bangsawan cantik. Ditambah ia harus menggendongnya dengan sensual, merapatkan tubuhnya, membuat sensasi tersendiri bagi Deidara. Harus diakui tubuh gadis yang dibawa lebih dari cantik, menawan atau memesona dengan gaun tidur tipis yang dikenakannya. Bahkan tanpa sadar pria itu memusatkan padangannya pada putri gubernur tersebut sejak ia menggendongnya.

Deidara hanya perlu membawa tubuh gadis ini di kapal kawanannya, selebihnya masalah penghalang sudah ada dua temannya yang siap penarik pelatuk kapan aja.

Sakura semakin merasa nyeri ketika para angkatan laut yang mendekat menolongnya tumbang satu per satu, suara tembakan memekakkan telinganya berkali-kali, ia belum terbiasa dengan hal ini. "Lepaskan saya ... saya mohon," tukasnya lirih, suaranya mulai terdengar parau tak sanggup melihat berapa nyawa lagi melayang sebab ingin menyelamatkannya.

"Bahkan suaramu terdengar sangat merdu, ayolah jangan menangis kita hanya bersenang-senang," jawab Deidara menenangkan; menakuti Sakura, malah gadis itu menjatuhkan buliran bening tak peduli ucapan pria yang mengangkatnya.

Sakura dipaksa melihat adegan pembantaian sadis oleh kawanan bajak laut yang membawanya menuju dermaga. Lolongan setelah suara tembakan menjadi musik pengiring adegan yang ia saksikan. Ia yakin tak sendiri, banyak gadis-gadis bangsawan lain yang terlihat direngkuh pria berpakaian khas bajak laut, mata indah mereka terlihat meleleh memohon belas kasihan untuk dilepaskan. Namun sepertinya belas kasihan tak ada di kosakata para bajak laut. Sakura menggeliat tak nyaman, posisinya di atas bahu keras salah satu bajak laut yang menggendongnya membuat tubuhnya pegal meski belum lama.

"Gerakanmu membuatku semakin tak sabar untuk bermain bersama," ujar Deidara menggoda, Sakura lantas diam tak bergerak, hingga menahan napasnya agar tak menimbulkan gerakan berarti.

Suara tumbukkan sepatu dengan lantai kayu kapal menyadarkan Sakura dari lamunannya, ia mengerjab, terasa sulit sekedar menelan ludah. Helai merah muda panjangnya menjuntai jatuh mengikuti gravitasi, menghalangi jarak pandangnya. Namun, ia tahu banyak tatapan lapar yang mengiringinya memasuki area kapal, membuatnya bergidik. Pria yang membawanya mungkin adalah anggota terakhir yang datang karena setelahnya diikuti perintah untuk menarik jangkar. Kemudian ia merasakan kapal yang ditumpanginya begerak perlahan, memutar menjauhi dermaga kota kelahirannya.

Pandangan Sakura menyapu sekitarnya, kapal yang membawanya didominasi warna hitam mungkin karena kayu ebonit yang digunakan dengan lima tiang layar, membuat terlihat semakin megah dan menyeramkan. Sakura tak dapat melihat dengan jelas lambang bajak laut yang biasanya berada pada layar utama, keadaan yang sebelumnya merapat membuat layar itu digulung. Ia hanya dapat mengingat corak merah yang menghiasi hitamnya layar, entah apa bentuknya. Sakura tak pernah melihat warna merah—warna yang jarang untuk menggambarkan lambang kawanan bajak laut.

Bruk! Sakura merintih merasakan tubuhnya mendarat di lantai kapal, ia melihat keadaan sekeliling, banyak gadis-gadis yang senasib dengannya. Sekitar lima belas gadis keturunan bangsawan terisak atau bergetar ketakutan di sekitarnya. Dikelilingi dan dijadikan hiburan oleh para bajak laut yang telah menculik mereka. Ia mengenal sebagian dari gadis-gadis bangsawan tersebut, seperti Hinata Hyuuga anak petinggi kota, dengan perangai lembut khas priyayi. Keadaan gadis itu lebih memprihatinkan, dengan mata sembab dan pipi merah bekas tamparan. Bahkan betis putih gadis tersebut terdapat luka cambukan yang masih mengeluarkan darah segar.

Sakura mundur menjauhi pria yang berambut kuning panjang yang mendekatinya. Sayang tiang utama layar kapal menghalangi mobilitasnya, tak lama terdengar suara berdebum di sampingnya. Gadis berambut pirang tergeletak tak sadarkan diri, tak salah lagi gadis itu pasti Ino Yamanaka, batin Sakura. Sakura cukup mengenal Ino dengan baik, putri tuan tanah terkenal, darah kanselir mengalir di pembuluh darah gadis cantik tersebut.

"Akh!" Sakura berteriak, rambut merah mudanya ditarik kasar oleh pria yang tadi menculiknya. Sakura sudah kehabisan tenaga sekedar menampik lengan yang menganiayanya, ditambah tiang utama kapal menahannya. Pria itu—Deidara mendekatkan wajahnya, poni kuning panjangnya mengenai wajah Sakura, membelai hidung mancung gadis tersebut. Sakura menatap lekat pria yang kini menciumi rambut langkanya, mungkin ingin menyesap aroma wewangian khusus yang hanya dapat digunakan oleh para keturunan bangsawan. Pria ini cukup menarik bagi Sakura, terutama dalam skala tampang bajak laut yang ia pikir sangat menyeramkan, mungkin lebih tepat disebut cantik—secara maskulin tentu saja.

"Aku menginginkan yang ini!" teriak Deidara menunjuk Sakura pada anggota lain yang juga berada di sekelilingnya.

Kisame mendengus tak terima. "Aku juga berhak mendapatkannya," seru manusia hiu itu maju beberapa langkah mendekati Deidara yang mulai merangkul Sakura.

Sakura merasa jantungnya berdegup kencang dari sebelumnya. Walaupun sebelum ini ia juga merasakan hal yang sama, namun kali ini benda berdetak tersebut seakan ingin melepaskan diri dari berbagai pembuluh yang masih menahan organ itu. Ia mengedarkan pandangan sekali lagi, tak terasa dermaga Port Royal hanya seperti titik yang menyala. Ia seperti tak dapat mengharapkan apa pun atau siapa pun yang dapat mengulurkan bantuan sekedar menghilangkan rasa takutnya. Sakura terus memandang ke arah pelabuhan kota kelahirannya, seolah berteriak memohon bantuan tanpa suara, hanya sinar matanya yang melemah—melukiskan itu semua. Dimana semua orang yang menyayanginya? Apa mereka sekarang sedang berusaha menyelamatkannya? Atau mereka hanya mengganggap masa bodoh? Sakura semakin kalut, bagaimana ia akan menghabiskan malam ini, membuat premis dan prediksi tersendiri untuknya.

"Dia milikku." Benda berdetak itu; jantung Sakura seakan berhenti bekerja, ia yakin pemilik suara ini adalah orang yang disegani oleh kawanannya. Kalau tidak bagaimana dengan senyap yang tercipta setelah titah yang terlontar; terbilang datar.

Sakura mengalihkan pandangannya, mengarahkan pada pria yang bersuara menentukan nasibnya. Keduanya bersitatap, siapa lagi kalau bukan lelaki dengan banyak piercing di wajahnya, rambutnya yang keorenan bergerak tertiup angin yang membawa kapal terus menjauh.

"Baiklah, kalau begitu yang berambut pirang adalah milikku," ucap pria Deidara mencoba memilih lagi.

"Jangan seenakknya, dia adalah tangkapanku. Kuyakin dewa Jashin yang memilihkannya untukku." Sakura sekali lagi bergidik mendengar pernyataan itu. Apa yang pria itu bilang? Tangkapan? Apa mereka menganggap semua gadis di sini adalah ikan yang siap dieksekusi dengan cara apa saja?

Deidara lagi-lagi harus menelan kekecewaan, raut cantik maskulinnya tampak sedikit tertekuk. "Terserah kalian saja aku akan memilih sekali lagi, atau menunggu kalian hingga tiba giliranku. Oh baiklah! Aku benci mendapat sisa!" dilanjutkan dengan umpatan, pria itu kini meninggalkan Sakura yang telah sah menjadi milik lelaki yang paling berkuasa.

Sakura mulai bangkit dari posisinya semula yang duduk tak berdaya di lantai kapal, kini ia merasakan tenaganya telah terisi. Ia merangkak menuju belakang, menghindari tiang utama yang tadi menghalanginya. Ia kini berdiri, berjalan cepat; berlari menjauhi gerombolan perompak yang terdengar menyusulnya. Waktu seakan melambat menurutnya, saat ia hampir meraih penghalang di buritan kapal, sedikit lagi ia pasti sudah melompat menghadapi ombak. Sedikit lagi ia pasti sudah merasakan dinginnya air laut tengah malam, seandainya tak ada tangan yang menariknya dari belakang, membopongnya menjauhi harapannya.

"Aaaaaa ..." Sakura berteriak seakan memanggil malaikat penolong, ia tak tahu lagi harus berbuat apa selain menendang-nendang angin, memukul-mukul punggung laki-laki yang membawanya, bahkan gadis itu juga menggigit lengan pria itu. Lagi-lagi ia ingin mengetahui keadaan sekitarnya, terihat beberapa anggota bajak laut mengerumuni satu gadis yang merangkak menghindar saja kesulitan. Gadis itu—ia yakin Hinata, yang juga menatapnya meminta bantuan. Sakura hanya bisa membalas tatapannya, mengatakan jika ia pun tak dapat melakukan apa-apa. Selanjutnya gaun yang dikenakan Hinata dirobek paksa; ditarik kencang untuk melihat apa yang ditutupi kain sutra itu.

Bagaimana dengan Ino? Pikir Sakura, belum sempat ia mencari keberadaan gadis itu, laki-laki yang membawanya telah menutup pintu, mengurung Sakura dengan pria berambut oranye di suatu ruangan; kamar tidur.

Sakura dijatuhkan di ranjang kamar tersebut, meski tak senyaman tempat tidurnya, ranjang; kamar ini cukup rapi untuk kamar seorang bajak laut.

Pria itu menatap tajam Sakura, membuat gadis itu bergetar ketakutan. "Jangan pernah mencoba lari dariku, lagi."

Sakura hanya diam tak menyahut, pandangannya lurus ke depan ke arah pria yang mulai melepas pakaiannya hingga bertelanjang dada. Pria itu melangkah mendekati Sakura di atas ranjang, membuat gadis itu kesulitan sekedar meneguk ludah sendiri. Entah apa yang membuat memorinya berputar ke belakang, lagi-lagi ia merasakan seperti sebuah pengulangan. Ia merasa pernah mengalami hal ini sebelumnya saat seorang pria mendekatinya di atas ranjang. Tentu bukan pria yang ini, pria yang jauh dengannya. Gadis itu kini sedikit mengerang, memijit jidatnya sendiri karena rasa pening yang kembali mendera.

Tanpa sadar, Sakura ambruk di atas tempat tidur, di samping pria yang juga kini memejamkan mata. Pein—pemimpin Perompak itu justru telah tertidur sebelum Sakura tak sadarkan diri, sepertinya pria itu tak berniat melakukan hal lain kecuali tidur di ranjang miliknya yang juga ditumpangi Sakura.

**Port Royal**

Sasuke berada di anjungan kapal, menengadah ke atas, melihat langit terbelah oleh kilatan-kilatan cahaya. Yah benar, batinnya, sebentar lagi laut akan berontak, angin terasa semakin kencang berhembus, suara guntur terdengar menggema di ruang kosong samudera.

Pria itu beralih menuruni anjungan, jika berada di sini lebih lama jangan harap ia esok akan baik-baik saja. Sasuke melihat rekan-rekannya yang mengembangkan dan mengeratkan layar kapal. Tak salah lagi, malam ini akan terjadi badai dasyat. Namun bukan itu yang membuatnya resah, ia sudah lebih dari terbiasa menghadapi cuaca seperti ini, seperti jika ia memiliki barang yang amat berharga. Seakan ia akan kehilangan barang berharga itu, mustahil perompak memiliki barang berharga, pikirnya.

Sejak dua jam yang lalu ia hanya mengelilingi kapal tanpa tujuan, melihat rasi bintang berbentuk biduk yang memberi corak kelip hitamnya malam. Ia khawatir, sebenarnya apa yang akan terjadi malam ini, tanyanya pada benaknya sendiri. Sasuke tahu ia tak memiliki barang berharga selain kelompoknya terutama Itachi, tapi bukan itu, bukan mereka. Hanya satu hal, dan Sasuke tak yakin apa itu.

Sasuke kini menghampiri rekannya yang menarik tali, mengencangkan penahan layar. Angin bertiup semakin kencang membuat pria itu sedikit kesulitan. Ia meraih tali tersebut, ikut menariknya, membantu kawannya yang sudah tampak kelelahan.

"Apa kau sudah merasa lebih baik?" tanya rekan di depan Sasuke yang masih berusaha mengencangkan tali—Shikamaru.

Sasuke mengangkat sebelah alisnya."Apa maksudmu?"

"Sikapmu, ah sudahlah kau semakin aneh saja malam ini," jawabnya menyelesaikan tugas yang ia anggap merepotkan itu.

Dan seketika itu juga titik-titik air datang menyerbu lautan, angin berhembus kencang, membangunkan gejolak air laut untuk semakin meninggi. Ini baru permulaan pikir Sasuke, tapi bukanlah masalah besar, langit akan tersenyum esok hari setelah menangis saat ini.

"Hei, apa kaumengenali lambang itu?" tanya Shikamaru pada Sasuke yang berada di sebelahnya, ia menunjuk satu lambang besar di layar utama kapal yang berada tak jauh dari mereka.

Sasuke menajamkan indra pengelihatannya, tak salah lagi, pikirnya. "Layar dengan corak awan merah, kawanan perompak akatsuki."

Badai baru saja dimulai, namun gemuruh air laut menghempaskan dua kapal perompak tersebut sangat kencang, membuat siapa pun yang berada di atasnya berpegang erat. Begitu pula dengan Interceptor—kapal angkatan laut yang dijarah kelompok Sasuke, posisinya berayun-ayun tak tentu, mengikuti ombak yang mengarahkannya.

Itachi bertahan di depan kemudi, memastikan agar kapal tak berputar. Sementara yang lain termasuk Sasuke dan Shikamaru mengendalikan kerja layar kapal agar tak robek bahkan roboh tertiup kencangnya pergerakan udara. Dan sisanya menghalau air laut agar tak semakin membanjiri dek bahkan palka yang memuat perhiasan hasil jarahan.

"Sasuke, bagaimana dengan kapal di depan, kita bisa saja bertabrakan dengan kapal itu?!" teriak Naruto berpegangan pada tiang utama kapal, melihat posisi kedua kapal semakin berdekatan. Suara keras pria itu teredam riuhnya hujaman jutaan air langit yang berkumpul di luasnya samudera. Apa pun dapat terjadi di tengah badai dasyat seperti ini, termasuk karamnya dua kapal karena saling bertumbukkan.

"Pertahankan kemudi kapal dan layar ini agar tak berada terlalu dekat dengan kapal itu," balas Sasuke lantang, suaranya memerintahkan siapa saja yang tercantum di dalam titahnya.

**Port Royal**

Sakura menekuk kelopaknya perlahan, membiasakan pupil matanya menerima cahaya. Namun bukan cahaya surya pagi yang ia dapatkan, hanya kilatan-kilatan petir yang membelah kelamnya malam terlihat dari jendela kamar. Sakura mulai bangkit posisinya, menganalisa apa yang terjadi saat ini. Seingatnya ia merasakan sakit kepala hebat, lalu—mungkin tak sadarkan diri.

Sakura merasakan buminya bergoyang; kapal yang ia tumpangi terombang-ambing oleh ombak. Membuatnya merasakan pening kembali, sepertinya sedang terjadi badai dasyat di luar sana, pikirnya. Gadis juga tak menemukan pria yang tadi membawanya di kamar yang kini ia tempati, sunyi. Namun suasana di luar jauh lebih ricuh dengan erangan para bajak laut yang mempertahankan kapal mereka untuk tidak tenggelam diterjang ombak, belum lagi suara guntur dan derasnya hujan mengisi samudera.

Sakura menurunkan kakinya dari ranjang, melangkah keluar ruang tidur yang digunakannya tak sampai dua jam. Meskipun tubuh mungilnya terasa pegal di berbagai segmen, ia memaksakan untuk menggerakkan kumpulan sistem organ itu bertahan di tengah ayunan kapal.

Kriet. Sakura membuka pintu kamar yang digunakannya perlahan, menilik keadaan di luar sebenarnya. Inilah saatnya, meskipun menerjunkan diri di tengah badai bukan pilihan yang bagus namun ia tak ingin berakhir seperti makanan utama di pesta musim panas. Sesekali bertaruh dengan kematian dijadikan pilihan dibandingkan bertahan dengan penderitaan.

Sekarang Sakura mengendap melewati kamar yang baru saja ditidurinya. Ia menuju penghalang kapal, menajamkan indranya untuk mengantisipasi segala bahaya yang mungkin saja mengancamnya. Para anggota bajak laut terlihat terlalu sibuk menggeram, bergotong-royong menarik tali penahan layar atau menahan tumpahan gelombang agar tak mengalir menuju dek kapal.

Sakura terus melangkah dengan hati-hati, merapatkan tubuh di sisi dek utama agar tak terhuyung terbawa ayunan kapal. Meski banyak anggota perompak yang ditemuinya, tak satu pun yang memperhatikan ke mana tujuan putri gubernur yang bergelar lady itu. Mungkin sekarang ia harus berterima kasih pada badai dasyat yang memberinya sedikit kesempatan untuk menentukan pilihannya.

"Astaga Ino!" serunya teredam riuhnya amukan cuaca saat sepasang tangan menahan kakinya, lantas perempuan itu duduk merangkul kawannya yang tergeletak amat menyedihkan.

Ino Yamanaka —perempuan yang baru saja dijadikan santapan para bajak laut menenggelamkan diri di pelukan Sakura. Wanita itu tak lagi menangis, tangisannya tak mampu lagi menggambarkan bagaimana perasaannya menjadi makan malam para perompak. Mungkin tubuh polosnya yang hanya ditutupi kain usang masih bergetar sesak, melukiskan betapa hancurnya dijatuhkan dari seorang lady menjadi hiburan laki-laki keparat yang kelaparan.

Kristal safirmenyapa emerald Sakura, mengatakan perasaan wanita itu saat ini. "Bawa saya bersama anda, Lady Sakura," ujarnya lirih.

"Jangan memanggil saya seperti itu, tapi saya ingin—"

"Apa pun yang ingin anda lakukan, apa pun risikonya, saya mohon ...," sahutnya menyela ucapan Sakura, memelas bahwa ia akan memilih keputusan yang sama dengan putri gubernur itu.

Sakura tak tahu harus mengatakan apa, benaknya berkecamuk seperti samudera saat ini. Di satu sisi ia tak ingin membawa orang lain dalam keputusannya yang tak berujung baik, namun ia masih bernurani untuk meninggalkan putri tuan tanah ini menghadapi esok hari. "—baiklah, tapi saya tak tahu bagaimana keputusan ini berujung."

"Terima kasih Sakura, kita akan menghadapi keputusan ini bersama," ucap Ino dengan binar matanya yang mulai terisi harapan. Ino tahu kematian bukanlah pilihan, siapa pun mesti menghadapi takdir itu. Tapi jika kenyataan yang baru saja ia hadapi membunuh seluruh asanya untuk bahagia, lebih baik menerjang takdir itu lebih cepat. Tak satu pun gadis di dunia yang mau mengalami apa yang baru saja tertoreh di lembar kehidupannya, menjadi makan malam massal perompak tak pernah sekelebat saja terlintas di pikirannya. Tubuh yang menjadi kebanggaannya menjadi mainan bergantian, ia sendiri tak dapat menghitung berapa pria yang mengerang puas karena tubuhnya. Kebanggaannya itu bagaikan aib tersendiri bagi Ino, lebih dari kata kotor.

"Ayo Ino, sebelum mereka menyadari apa yang kita lakukan," ujar Sakura setelah melilitkan kain usang menjadi busana yang menutupi aurat wanita di hadapannya, kata pantas yang biasanya digunakan oleh putri bangsawan seperti mereka mungkin telah dihapuskan. Ino mengerjab, memantapkan hatinya untuk menghadapi segala yang terjadi.

Sakura tetap merangkul Ino, membantunya berdiri, putri gubernur itu tahu betul apa yang telah membuat Ino tak sanggup sekedar berdiri. Dua gadis itu berjalan perlahan mendekati penghalang kapal, di setiap langkah mereka meyakinkan diri jika inilah pilihan yang terbaik, maut bukan akhir bagi keduanya, yakin jika setelah kata ajal ada kehidupan yang lebih membahagiakan.

"Sakura, itu Lady Hinata. Bagaimana jika kita membawanya juga?" tawar Ino pada gadis yang masih merangkulnya berjalan tertatih bersama, menunjuk wanita berambut indigo panjang. Ino melihat keadaan Hinata tak jauh lebih baik darinya, tergeletak tak berdaya di sudut tangga kemudi.

Sakura memicingkan mata, harus berapa nyawa lagi yang harus ia bawa dalam ketidakpastian, namun ia juga tak sanggup untuk meninggalkan putri petinggi kota itu. "Tapi saya tak dapat menjamin apa yang akan terjadi setelah ini, entah itu berujung baik atau semakin buruk aku tak dapat memastikannya," jawabnya teredam kegaduhan malam.

Ino mengarahkan tubuhnya untuk berjalan menghampiri Hinata terlebih dahulu, mau tak mau Sakura mesti mengikutinya. "Lady Hinata pasti lebih memilih bersama kita."

Sakura dan Ino duduk di sebelah tubuh lemah Hinata yang terbaring di lantai kayu kapal, tak satu pun anggota bajak laut memperhatikan mereka. Badai sepertinya bertambah dasyat, membuat Sakura dan Ino harus berpegangan erat di penyangga tangga kemudi.

Ino mengguncangkan tubuh Hinata, mencoba mengembalikan kesadaran wanita itu. "Lady Hinata, bangunlah ... kita akan membawamu pergi dari sini," ujar Ino lantas menepuk-nepuk pipi pucat Hinata.

Tubuh Sakura mulai menggigil kedinginan, gaun tipis yang digunakannya telah melekat sempurna di tubuhnya akibat air hujan yang semakin gencar menyerang. Hujaman air hujan juga membasai mahkota merah mudanya, membuat kepalanya terasa pusing. "Ino, saya sudah tak mampu bertahan lebih lama," ucapnya menyadari keadaan tubuhnya yang mulai kehilangan tenaga.

Hinata membuka kelopaknya perlahan, menampakkan iris keunguannya. Ia dengar suara siapa yang membangunkannya, menangkap sedikit harapan yang diberikan dua perempuan di hadapannya. "Saya ikut dengan kalian," jawabnya pelan, sangat pelan.

"Saya tak bisa memastikan keputusan kita berakhir baik," tukas Sakura memberikan kemungkinan lain, menerjunkan diri ke laut saat badai bukan tanpa risiko. Mereka bisa saja tenggelam, termakan hewan laut, terhantam kapal atau karang dan yang lebih buruk kembali tertangkap anggota bajak laut.

Hinata dan Ino mengangguk, paham benar apa maksud ucapan Sakura, jelas mereka memilih meninggalkan dunia daripada harus mendekam bersama penderitaan. Ino membantu Hinata berdiri, berjalan bersama menuju penghalang kapal. Mereka sama-sama merasakan perih, terutama Hinata dan Ino, kebanggaannya telah direnggut paksa. Mungkin nasib Sakura lebih beruntung dari mereka sebelumnya, namun Sakura juga merasakan keadaan tubuhnya kembali memburuk.

Tiga perempuan itu berjalan mendekati penghalang kapal yang membatasi sapuan gelombang air laut. Di sinilah mereka, di ambang antara penderitaan dan kematian, hempasan gelombang sesekali mengguyur mereka, mengajarkan betapa dinginnya air laut tengah malam.

Ino menggenggam erat busananya dari kain usang, memantapkan hati mengambil keputusaanya. Tak ada lagi yang dapat ia harapkan jika melalui malam di kapal ini, semuanya—semua miliknya telah diambil paksa. Wanita itu menatap lurus ke depan, meneguk saliva, menyaksikan betapa dasyatnya ombak yang dapat dengan mudah meremukkan tubuhnya. Ino menoleh sebentar ke arah dua rekannya yang lain, satu hembusan napas panjang dan buliran bening yang kembali mengalir. Ia mengucapkan maaf dan selamat tinggal dalam hati, dan ...

Byur! Ino melompat menyambut sapuan air laut, ia tersenyum, menanti dengan sabar cara apa ajal menjemputnya. Ia melayang di tengah dinginnya air laut, menahan sesaknya rongga di dalam tubuhnya, namun satu hal ia merasa lebih bahagia dibandingkan harus melayani keserakahan para bajingan akan tubuhnya.

Hinata bukan tak mendengarnya, wanita di sebelahnya telah membuktikan jalan yang dipilihnya. Ia kembali menangis, selama ini tak pernah sedikit pun ia membayangkan kehidupannya yang penuh kemewahan berakhir diterjang ombak dan kekejaman bajak laut. Bukan lagi sesak atau sakit, rasa kecewa dan marah akan takdir membuatnya tak ingin lagi berada di dunia, yah inilah. Inilah jalan yang harus ia tempuh. Hinata memeluk tubuhnya sendiri, teringat dengan hangatnya keluarga dan dinginnya angin laut. Ia memejamkan mata, dan ...

Byur! Tak lama ia menyusul Ino, sempat melihat ke mana tubuh wanita tersebut terbawa arus likuid yang kini terlihat sangat gelap dan menakutkan.

Sakura menyaksikan jelas bagaimana kedua wanita di sampingnya perlahan tenggelam, semoga ini yang terbaik, semoga ini pilihan yang tepat, batinnya. Semoga Tuhan mengampuni apa yang dilakukannya saat ini, membawa dua wanita menemui maut lebih cepat. Tak perlu menunggu waktu lama, ia segera menjatuhkan diri setelah mendengarkan teriakan seorang pria yang melarangnya untuk melakukan hal ini.

Byur! Ternyata keadaan air laut tak begitu buruk dibandingkan menyaksikan seringai penuh kemenangan kawanan perompak. Benar dugaannya, teriakan pria itu —pria yang membawanya, menyaksikan bagaimana jalur yang ia pilih. Pria itu berdiri di belakang penghalang kapal. Sakura tersenyum menatap wajah pria berambut oranye yang membawanya. Seakan mengucapkan terima kasih ia telah diselamatkan dan tidak diperlakukan seperti kedua temannya.

Sakura merasakan paru-parunya sesak, ia memejamkan binernya, mencoba mengurangi rasa nyeri tertusuk dinginnya air laut. Ia tak lagi memperhatikan kedua temannya; kemana gelombang air laut yang membawanya; bagaimana Tuhan mengambil nyawanya; menutup semua lembaran yang pernah ia toreh bersama orang-orang yang menyayanginya.

Gelap. Dingin. Sakit. Hanya tiga kata yang ia ingat saat ini, tak ada yang lain. Tubuhnya sudah tak tampak di permukaan, tenggelam perlahan. Sakura merentangkan kedua tangannya, warna gelap itu semakin berubah terang —putih. Di sinilah semuanya berakhir, masih di wilayah teritorial Port Royal, ketiga putri bangsawan itu menanti ajal.

To be continued

Terima kasih bagi semua pihak yang telah review, fave atau alert fiksi saya. Semua itu seperti cambuk untuk saya segera melanjutkan cerita ini. Maaf kalau belum ada lemon seperti yang saya katakan, fokus ke alur akan lebih baik.

Special thaks for:

zetta hikaru, , Watermellon Seo, srzkun, Hikari Matsushita, Viechan Blackcherry, Karasu Uchiha, KunoichiSaki Mrs Uchiha Sasuke, Sasusaku 4ever, Lucy Cavendish, me, juniel, sasusaku kira, ongkitang, SweetCherry, Ucucubi, inai chan, ninik alfiyah, sisi no zhukie, Sabar Siegrain Fernandez, zukazuka, Sakakibara mei, adem ayem, zukazuka,uchiharuno phorepeerr, sasusakufans, Guest, Guest, SuntQ, uchiha sakura, gagura, salsa jini, Nana, sasusaku kira, mimia, Aoi Ciel, Anka-chan, hanazono yuri, Kiki RyuEunTeuk, Haruchi Nigiyama, Hana Midori-chan, Risa l0ve VoCaloid, pratiwirahim

Chrysoprase, Doremi saku-chan, Miss Devil A, akasuna no ei-chan, cheriesinclaire, cherrysasusaku

Aika Yuuki Uchiha, hatake No Mirru, Uchiha Vnie-chan

Tanpa kalian semua(ditambah siders) fiksi ini tak akan sampai di sini. Semoga tak mengecewakan bagi kalian yang sudah menunggu —sangat —lama. #siapa?

Boleh minta kritikoreksi(baca: review) —lagi?