DISCLAIMER: I do not own Detective Conan. All characters mentioned in this fiction belong to Gosho Aoyama.
.
.
Title : In Your Life
Chapter 1 : Proposal
Words : 2246
Summary :
"Kau tidak salah dengar," ucap Shinichi kali ini dengan suara yang terdengar jauh lebih serius. "... itu juga bukan godaan atau pun candaan. Itulah mengapa aku mengatakan bahwa kau tidak memenuhi ekspektasiku—"
.
.
.
In Your Life
.
Chapter 1. Proposal
by
.
.
"Pagi," sapa sang calon inspektur dengan intonasi yang sama setiap harinya.
Wanita yang disapa itu mengalihkan perhatian dari PC kantornya, melirik pria yang baru saja memasuki ruangannya.
"Pagi," jawabnya acuh. Ia mengambil cangkir yang tidak berada jauh darinya dan mulai meminum kopi moka favoritnya.
"Pagi yang tenang, bukan?" pria itu melemparkan pertanyaan basa-basi seperti biasa. Ia meraih koran hari itu dari sofa yang didudukinya.
"Terlalu tenang untuk seorang Kudo Shinichi mendatangi ruangan seorang dokter forensik seolah tidak ada pekerjaan yang menantinya," Shiho melirik Shinichi yang mulai membuka-buka lembaran koran miliknya. "Letakkan koran itu di tempatnya semula. Aku yakin semua pejabat kepolisian mendapat koran yang sama setiap hari."
"Ouch," Shinichi melepaskan lembaran-lembaran kertas itu dengan sengaja hingga terjatuh di atas pangkuannya.
Shiho memandang pria itu bosan. Sang calon inspektur pun tertawa kecil.
"Oh, baiklah. Aku tidak akan merusak kedamaian pagimu atau pun membaca koran milikmu. Aku akan dengan senang hati kembali ke ruanganku dan meninggalkanmu sendirian seperti biasa," ucapnya sambil melipat koran itu dan meletakkannya di tempat semula. Ia lalu berdiri menghampiri wanita berkacamata yang masih sibuk menekan-nekan tuts keyboard dengan sangat lincah. Ia mengintip sedikit layar PC tersebut dan menemukan bahwa dia sedang menyusun laporan hasil bedah forensik dari korban kasus pembunuhan berantai yang terjadi satu bulan terakhir. Ia lalu berganti menatap mata wanita yang terlihat sangat serius itu. Tanpa sadar, Kudo Shinichi menghela napasnya seolah merasa kecewa akan sesuatu.
"Apa ada sesuatu dariku yang melebihi ekspektasimu?" tanya wanita itu tanpa mengalihkan pandangannya dari layar komputer. Shinichi sedikit menyenderkan tubuhnya pada rak buku besar yang ada di belakangnya.
"Tidak. Lebih tepatnya kau tidak mampu memenuhi ekspektasiku," suara pria yang hampir berumur duapuluh tujuh tahun itu terdengar sangat kecewa. Bingung, Shiho menghentikan kegiatannya dan beralih menatap Shinichi yang tengah menengadahkan kepalanya. Ia mengerenyitkan dahinya dan sama sekali tidak memahami perkataan Shinichi barusan. Tidak memenuhi ekspektasi? Jika yang dia maksud adalah laporan yang tengah dia susun, kenapa Shinichi harus repot-repot berekspektasi saat bahkan laporan itu tidak disusun untuknya?
Shiho memijit pelipis pelannya. Ia harus segera menyelesaikan laporan ini sebelum datang mayat-mayat lain yang harus ia bedah dan periksa. Ia bahkan mengurangi waktu tidurnya satu minggu terakhir demi pekerjaan yang membuatnya berbau alkohol dan obat-obatan setiap kali dia pulang ke rumah itu. Dan di sini seorang calon inspektur muda tengah mengomentarinya bahwa ia tidak mampu memenuhi ekspektasi sang Sherlock zaman Heisei? Pria ini perlu diajari tata krama.
Shiho melepaskan kacamata berframe hitamnya. Nada suaranya terdengar sedikit tinggi.
"Apa maksudmu mengatakan hal seperti itu? Ekspektasi? Ekspektasi apa? Aku bahkan tidak membutuhkan ekspektasimu dalam pekerjaanku."
"Hei, hei, tenanglah. Aku tidak bermaksud menyinggungmu atau apa pun." Shinichi tidak menyangka akan disambut dengan seruan bernada tidak suka dari wanita mantan anggota organisasi hitam tersebut. Namun, rasanya ia bisa menebak kenapa Shiho mengeluarkan nada seperti itu. Ia melirik kalender yang ada di meja kerja Shiho dan tersenyum.
"Kau tidak sedang datang bulan, kan?" tanya Shinichi santai.
Mendengar itu, wajah Shiho kontan memerah. Suaranya semakin meninggi. "Ap—apa maksudmu?"
"Ternyata di sini ada seorang dokter forensik wanita yang moodnya tengah buruk karena sedang datang bulan ... dan polisi baik hati yang berniat menyapanya di pagi hari pun menjadi korban. Sunggu malang nasibku," lanjutnya diakhiri dengan kekehan geli.
Kini Shiho hanya mampu menyandarkan dahinya pada sebelah punggung tangannya. Ia menghela napas berat. Melihat itu, sedikit lebih Shinichi merasa bersalah karena membuat mood wanita di depannya semakin buruk. Tapi, ia tidak sanggup menahan dirinya untuk menggoda wanita yang sudah dianggapnya partner tersebut.
"Apa kau sebegitu senangnya menggodaku? Kau bahkan tidak menjawab pertanyaanku tentang ekspektasi yang kau maksudkan," ucap Shiho dengan sedikit nada pasrah dan kesal. Dia tidak menyangkal bahwa permainan hormon di periode bulanannya ini membuatnya tidak bisa menjaga dirinya agar tetap tenang. Tetapi, ia benar-benar butuh detektif bodoh itu untuk segera keluar dari ruangannya dan membiarkannya menyelesaikan pekerjaannya.
Melihat itu, Shinichi tersenyum penuh arti. Ia mendekati Shiho, memutar kursi putarnya dan berlutut di hadapan wanita itu. Shiho hanya bisa mengangkat sebelah alisnya, merasa aneh dengan gestur mantan detektif SMA itu.
"Aku hanya ingin membuatmu sedikit rileks. Kurang tidur selama seminggu bisa membuatmu sakit. Kau tahu itu lebih baik dariku," ucap Shinichi lembut. Kali ini Shiho benar-benar tidak mengerti maksud kedatangan Shinichi ke ruangannya. Ia masuk ke ruangan seenaknya, mengacak-acak korannya, mengatakan bahwa dirinya tidak memenuhi ekspektasi, menggodanya, dan sekarang membicarakan pola istirahatnya.
"... dan kau memintaku rileks setelah beberapa menit yang lalu kau membahas periode bulananku. Lagipula, dari mana kau tahu aku kurang tidur selama satu minggu ini?"
"Menurutmu, untuk apa aku punya tetangga seperti Profesor Agasa?" tanya Shinichi dengan nada yang berbeda dari biasanya.
"Keep your eyes on me?"
"Exactly."
Shiho tertawa kecil. Mood swing wanita yang tengah datang bulan benar-benar kelewatan, pikirnya.
"Aku bukan lagi gadis berumur delapanbelas tahun yang tubuhnya mengecil dan tengah dikejar oleh organisasi yang ingin membunuhnya. Kau tahu itu?"
Shinichi meraih kedua tangan Shiho dan mengenggamnya dengan kedua tangannya yang lebih besar. Kedua tangan itu terasa kecil di dalam tangannya.
Ia menggenggamnya. Perlahan. Erat.
"Tentu saja aku tahu. Kau adalah wanita duapuluh tujuh tahun yang serius, workaholic, sedikit kaku, yang tengah menikmati hidupnya yang damai dan indah walau waktu tidurnya jauh berkurang."
Shiho membuka kedua matanya lebar. Bingung dengan apa yang baru saja dilakukan oleh Shinichi. Selama ini, Shinichi tidak pernah benar-benar meraih dan menggenggam tangannya. Lebih dari itu, ia tidak pernah memandangnya dengan pandangan seperti yang ia miliki sekarang. Ia berharap Shinichi tidak sedang demam tinggi.
"Hei, kau tidak sedang sakit 'kan?" Shiho menarik sebelah tangannya dan menggunakannya untuk mengukur suhu dahi Shinichi. Tidak panas. Suhunya normal. Mungkin dia makan sesuatu yang aneh untuk sarapannya pagi ini?
"Aku tidak sakit. Kau yang sakit," jawab Shinichi tenang. Ia meraih tangan Shiho di dahinya dan kembali menggenggam tangan itu.
"Dengar, aku tidak berniat meladenimu jika kau ingin menggodaku lebih jauh. Aku punya pekerjaan untuk diselesaikan. Katakan apa yang kau inginkan dan segera pergi karena aku tahu kau juga punya kasus untuk dipecahkan," ucap Shiho sambil memutar kedua bola matanya.
"Jika kukatakan apa yang kuinginkan, apa kau akan memberikannya padaku?"
"Tergantung apa yang kauinginkan."
"Iya atau tidak?" Shinichi menekankan tiga kata yang barusan diucapkannya. Shiho diam sejenak. Walaupun pertanyaannya terdengar bercanda, ia menangkap keseriusan di balik tiga kata itu.
Oh, baiklah! Akan kuladeni dia.
"Jika itu membuatmu keluar lebih cepat dari ruanganku ... Well, okay! Spit it out!"
"Menikahlah denganku."
Diam. Cuma itu yang bisa ia lakukan setelah mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh seorang Kudo Shinichi, calon inspektur muda di divisi satu Tokyo Metropolitan Police, mantan detektif SMA yang tubuhnya pernah mengecil dan menjadi Edogawa Conan, her partner-in-crime, lebih dari itu ... orang yang ia anggap berharga dalam hidupnya. Pria yang selama ini dilihat oleh seorang Miyano Shiho sebagai pendekar berjubah hitam yang menyelamatkan hidupnya dan membuatnya bisa hidup seperti sekarang.
Pria yang tidak pernah ia sangka akan mengatakan hal semacam 'Menikahlah denganku' secara tiba-tiba, di kantornya yang sedikit berbau alkohol bercampur aroma manis pewangi ruangan yang ia gunakan.
This is too much for a joke, pikirnya.
"Aku sudah cukup dengan semua godaan dan candaanmu hari ini. Tapi, tidak dengan kata-kata 'menikahlah denganku' yang barusan kau katakan ... jika aku tidak salah mendengar." Walaupun ia berkata seperti itu, ia membiarkan kedua tangannya digenggam oleh Shinichi. Sekali ini saja ... ya, sekali ini saja ia akan membiarkan Shinichi melakukan apa yang dia mau.
"Kau tidak salah dengar," ucap Shinichi kali ini dengan suara yang terdengar jauh lebih serius. "... itu juga bukan godaan atau pun candaan. Itulah mengapa aku mengatakan bahwa kau tidak memenuhi ekspektasiku—,"
"... dan itulah mengapa aku menanyakan apa yang kau maksudkan dengan ekspektasi. Kau menjawabnya dengan 'menikahlah denganku'. Bagaimana kau pikir aku bisa mengerti?" potong Shiho kembali menanyakan 'ekspetasi' yang sama.
"Kau tidak memenuhi ekspektasiku untuk menyadari bahwa aku mencintaimu."
Shiho terdiam untuk kedua kalinya dan ia merasakan genggaman tangan Shinichi semakin erat. Ia lalu menatap tangan Shinichi yang menggenggam tangannya, tidak mampu memandang wajah Shinichi lebih lama. Ia bisa merasakan wajahnya mulai terasa hangat, dan ia tahu betul bahwa kini wajahnya mulai memerah.
"Shiho ..." panggil Shinichi. Shiho tidak bisa membantu dirinya dan mengangkat kepalanya.
"Kau sudah mendapatkan jawabanmu. Sekarang aku ingin mendapatkan jawabanku agar kau bisa segera melanjutkan pekerjaanmu dan aku bisa segera keluar dari ruanganmu."
"Kau bahkan tidak menanyakan apa pun."
Shiho menyesali ucapannya barusan. Seharusnya ia menanyakan hal lain seperti 'Bagaimana bisa Shinichi mencintainya', 'Sejak kapan ia mencintainya', atau hal membingungkan lain seperti ...
... 'Bagaimana dengan Ran'?
Ia bisa menebak bahwa dengan perkataannya barusan, Shinichi akan menanyakan pertanyaan dengan maksud yang sama. Lalu, ia tak akan bisa menghindar dari menjawab 'iya'atau 'tidak'.
Benar saja. Mendengar ucapan terakhirnya, Shinichi tertawa kecil dan menatap Shiho dengan pandangan yang lurus dan tulus, seolah tidak ada hal lain yang lebih indah yang pernah ditatapnya kecuali seorang Miyano Shiho yang duduk di hadapannya sekarang.
Pertanyaan itu keluar dengan begitu lancar dan terdengar bagai lonceng tahun baru di telinga Shiho.
"Maukah kau menikah denganku, Miyano Shiho?"
"Bagaimana dengan Ran?" akhirnya Shiho menanyakan pertanyaan yang ia anggap paling penting untuk ditanyakan sekarang ini, sebelum ia menjawab 'iya' atau 'tidak' atas pertanyaan—atau lebih tepatnya, lamaran—yang diucapkan Shinichi.
Shinichi mengangkat kedua alisnya. Walaupun ia bisa menebak kurang lebih sebelum memutuskan datang ke ruangan ini bahwa Shiho bisa saja menanyakan pertanyaan itu, namun kini ia tetap saja bingung harus menjawab apa.
"Ran?" Satu nama itu yang terulang dari bibir Shinichi.
"Ya, Mouri Ran," ulang Shiho dengan nama lengkap. "Bukankah dia orang yang kausukai—kaucintai? Bukankah dia orang yang selama ini selalu kau jaga perasaannya? Orang yang selalu kau lindungi? Orang yang tidak ingin kau libatkan dalam bahaya? Bukankah dia orang yang sebenarnya ingin kau nikahi?"
Tanpa sadar, Shiho menanyakan begitu banyak pertanyaan. Ya, dia tidak bisa menahan emosinya setelah Shinichi melamarnya di balik kenyataan yang dia tahu bahwa Ran lah wanita yang ia cintai. Hampir saja ia menangis, namun ia berusaha membendung air mata itu. Tidak, tidak sekarang.
Shinichi menatap mata Shiho yang menuntut jawaban darinya. Ia tahu Shiho ragu, ragu dengan pernyataan yang bahkan baru ia sadari kurang dari setahun terakhir. Tetapi, ia tahu betul apa yang dia rasakan, dan ia tahu ia tidak salah dalam memahami dirinya sendiri. Ia pernah menyukai Mouri Ran. Ia pernah mencintai teman masa kecilnya. Namun, sekarang ... dia sudah cukup dewasa untuk tahu apa yang paling dia inginkan dan dia tidak ingin menyesal. Tidak dengan membiarkan wanita di hadapannya ini menjadi sekadar partner dalam hidupnya.
"Siapa orang yang selalu kuantar dan kujemput setiap harinya ke kantor? Siapa orang yang selalu kuajak makan siang bersama walau dia menolak berkali-kali?" tanya Shinichi tiba-tiba. Shiho tidak ingin memikirkan apa yang akan dimaksudkan Shinichi lebih jauh. Tetapi, dia merasa dia perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.
"I can't help it. Kita bekerja di tempat yang sama," jawab Shiho dengan suara bergetar.
"Lalu siapa orang yang selalu kuajak untuk menemaniku mencari kemeja kerja sebagai ganti kemejaku yang rusak saat memecahkan kasus? Siapa orang yang selalu kubangunkan saat dia kesiangan karena tidur terlalu larut?"
Shiho terdiam. Matanya menatap Shinichi nanar.
"Siapa orang yang selalu kuminta menemaniku minum kopi dan terbangun hingga subuh menyelesaikan laporan kasus? Siapa orang yang kubawa ke bioskop untuk menonton biografi Albert Einstein? Siapa orang yang membuatku menangis saat tergeletak tak berdaya setelah ia tertembak dan terluka parah sepuluh tahun yang lalu?"
Shiho terdiam bukan karena dia tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Ia tahu persis semua jawabannya, namun lidahnya terlalu kelu untuk menjawab karena ia tidak ingin mempercayai bahwa apa yang sedang terjadi adalah benar adanya.
"Kau tahu siapa orang itu, Shiho," kali ini Shinichi tidak melemparkan pertanyaan retoris lainnya. "Sepuluh tahun bukan waktu yang sebentar untuk mengenalmu. Salah jika kau pun berpikir aku tidak pernah menyukai Ran."
Shiho menahan napasnya. Ia selalu siap dengan kemungkinan terburuk. Ya, selama ini ia selalu berhasil menghadapi kemungkinan terburuk dalam hidupnya.
"Tetapi, aku juga menyukaimu, jauh sebelum aku menyadarinya." Shinichi menggerakkan tangannya dan menyentuh pipi Shiho. Ia membelainya perlahan. "Pertanyaan-pertanyaan tadi ... Ran lah yang menanyakannya padaku."
Shiho terbelalak. Ia tidak percaya dengan ucapan Shinichi barusan. Berarti, Ran ...
"Mungkin dia lah orang pertama yang menyadari perasaanku padamu dan dia membantuku untuk mengetahuinya. Seharusnya aku berterima kasih padanya, tetapi aku menyakitinya," lanjut Shinichi sambil menyelipkan beberapa helai rambut Shiho ke belakang telinganya. "Tetapi, Ran tetaplah Ran. Dia memintaku untuk mengatakan yang sebenarnya kepadamu ... dan membuatmu bahagia."
Kali ini Shiho sudah tidak sanggup menahan air matanya lagi. Melihat air mata itu, Shinichi tersenyum lembut. Jari-jarinya menghapus air mata itu perlahan.
"Sepertinya Ran juga membantumu menyadari perasaanmu sendiri. Bukankah begitu?"
"Ya, begitulah," jawab Shiho tersenyum masih dengan air mata yang terus mengalir. Ia tidak bisa menghentikannya dan ia ingin membiarkan Shinichi yang menghentikannya kali ini.
"Dokter cengeng, apakah kau sudah bisa menjawab pertanyaanku sekarang?"
"Apakah kau bersedia mengulang pertanyaanmu sekali lagi? Itu pertanyaan paling indah yang pernah kudengar selama hidupku."
Shinichi menghela napas. Ia menyerah kali ini.
"Baiklah, ini yang terakhir kalinya. Hattori bahkan tidak pernah memberitahuku bahwa melamar wanita akan sesulit ini. Kau butuh mengucap lamarannya sebanyak tiga kali."
Shiho tertawa kecil. "Mungkin itu hanya berlaku untukmu?"
Shinichi kembali tersenyum dan menarik Shiho untuk berdiri dari tempat duduknya. Shinichi pun beranjak dari posisi berlututnya. Dirangkumnya wajah Shiho dengan kedua tangannya dan ia pun menatap mata sembab wanita itu lekat-lekat.
"Miyano Shiho, maukah kau menikah denganku?"
Shiho tersenyum. Senyuman paling tulus yang pernah dia berikan pada seorang Kudo Shinichi.
"Ya, tentu saja, Tuan Detektif."
Pagi itu, Kudo Shinichi tidak langsung kembali ke ruangannya dan Miyano Shiho pun tidak langsung menyelesaikan laporannya. Ciuman kecil menutup 'perdebatan' mereka dan membiarkan kedua manusia itu menyelami perasaan yang telah lama mereka miliki di hati masing-masing.
.
.
To be continued
.
.
Author's Note: Another multichapter fic published di tengah-tengah awal liburan dan dalam kondisi dimana saya bahkan tidak juga menyelesaikan chapter 19 Because You are not Mine. Dan saya pun membuat fic 'gila' ini. Saya sudah lama ingin membuat fic kehidupan rumah tangga Shinichi-Shiho. Fic ini akan saya buat menjadi genre Romance/Family/Humour. Saya terinspirasi oleh karya piggycat350 dengan judul Married Life yang sudah lama saya ikuti di fandom Skip Beat! Fanfic ini akan saya buat menjadi kumpulan oneshot yang pembaca bisa baca secara lepas tanpa alur plot yang terlalu beruntun. Chapter-chapter di dalamnya mungkin tidak akan sepanjang chapter-chapter di Because you are not mine karena saya berniat membuat cerita yang ringan dan menghibur. Walaupun pada akhirnya di chapter kali ini saya tidak tahan untuk membuat perdebatan dua orang intelek yang bahkan membuat hal 'lamaran' menjadi rumit. Hahahaha.
Ah, baiklah, semoga ini menjadi angin segar bagi keinginan saya untuk terus menulis. Jika ada pembaca yang menyumbangkan ide cerita di fic kali ini, akan dengan senang hati saya terima. Sebagai catatan, fic ini akan tetap saya jaga dalam rating T karena bagaimana pun saya tidak berniat menambahkan hal yang terlalu vulgar dalam fic ini, karena set up pertama saya adalah Family dan Humour genre.
Don't forget to review Thanks a bunch