Suara jangkrik yang bernyanyi di bawah langit malam itu beriringan dengan suara langkah yang menapak di atas sebuah tatami. Langkah tersebut pelan tapi pasti mendekati ambang pintu yang terbuka lebar, indera pengelihatannya langsung menangkap sosok seorang pemuda bertubuh tegap berdiri di luar. Kain kimono biru tua yang pemuda itu kenakan sedikit bergerak seirama dengan angin yang meniupnya. Kepalanya menengadah, mengamati setiap inci hamparan angkasa luas tanpa bintang di atas.

Tsunade sangat paham gesture tubuh seperti itu. Ia sangat yakin bahwa pemuda yang punggungnya ia tatap saat ini sedang melamun.

"Naruto," panggilnya dengan suara nyaris berbisik. Hanya saja suara jangkrik yang saling bersautan masih kurang keras untuk menyaingi suara wanita tersebut.

Naruto, si pemuda, menoleh. "Baa-chan?" Ia membalikkan badannya ketika mendapati sang nenek sedang memandanginya dengan tatapan sedikit aneh. "Ada apa?"

"Kau baik saja?"

"Kurasa begitu. Memangnya kenapa?"

Tsunade berjalan ke sebelah Naruto kemudian memandang langit. "Kulihat kau akhir-akhir ini sering melamun. Aku hanya sedikit cemas."

"Mencemaskan aku? Sepertinya kata itu sangat jarang ya di kamus baa-chan?"

"Jika orang tua bertanya, dijawab."

"Ah, maaf. Tidak kok, aku baik-baik saja." Naruto tersenyum manis kepada wanita yang kini berdiri di sebelahnya itu. "Aku sedikit terkejut, selama ini baa-chan kan belum pernah mencemaskan aku."

"Ini pasti tentang lanjutan sekolahmu di London, benar?"

Naruto terdiam.

"Kau masih ingat beberapa bulan lalu kaulah yang merengek kepada ayahmu minta kembali ke London?"

Naruto tertawa hambar. "Ayah cerita?"

Tsunade mengangguk singkat. Seulas senyum tipis mewarnai wajahnya. "Semua hal yang membuatmu ingin kembali ke London saat itu berubah seketika sekarang. Iya kan?"

"Sepertinya…"

"Salah satu alasannya karena aku tak pernah mengerti perasaanmu, Naruto."

"Sudahlah, baa-chan. Aku-"

"Gomennasai."

Naruto menoleh kea arah neneknya. Tidak pernah sebelumnya sang nenek berbicara dengan nada yang lembut seperti itu, apa lagi meminta maaf kepada dirinya.

"Untuk apa, baa-chan."

"Semuanya yang telah kuperbuat."

Naruto sedikit kaget meskipun setelahnya seulas senyum tersungging. Mungkin beberapa saat yang lalu ia ingin sekali meluapkan rasa kesal dan marahnya pada sang nenek karena memberinya banyak batasan. Tapi entah angin apa yang membuatnya kini malah tersenyum. Hanya tersenyum. Rasanya semakin salah saja jika ia harus meluapkan kekesalannya pada sang nenek bila sikap wanita berambut pirang itu berubah drastis seperti ini.

Naruto menyandarkan sebelah lengannya pada pilar kayu. "Aku… Tidak keberatan."

Tsunade kini menoleh, memandang wajah cucunya yang diterpa cahaya lampu temaram teras rumah. Bola mata Naruto yang beriris biru sekali lagi menyapu pandangan ke dirgantara kelabu di atasnya.

Naruto menghembuskan nafas pelan yang panjang. 'Ini dia…' batinnya. Sepertinya saat itu juga ia harus membulatkan suatu keputusan dari pertimbangan-pertimbangan yang selama ini sudah merajai benaknya.

"Aku ini satu-satunya harapan untuk masa depan Namikaze Corporation. Bagaimana pun juga perusahaan ayah sekarang adalah milik Uzumaki, milik nenek dan kakek. Aku tahu sekeras apa perjuangan kakek mendirikannya dan aku tahu persis setiap tetes keringat hasil kerja keras nenek, ibu dan ayah untuk membuatnya tetap berdiri, dan malah berkembang." Naruto mengambil jeda sesaat. "Kalau aku terus berada di Jepang selamanya aku tidak akan membuat perusahaan ini berkembang kan, baa-chan?"

Tsunade terbelalak mendengar pernyataan cucunya yang bertentangan dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya.

"Aku tidak keberatan jika harus meninggalkan Jepang demi perusahaan keluarga kita, baa-chan.Aku rasa sekolah di London juga tidak ada salahnya. Lagi pula, nantinya juga aku bisa sekalian melanjutkan kuliah di sana."

"Naruto…"

"Kurasa baa-chan tidak perlu minta maaf. Ini sudah seharusnya jadi tanggung jawabku."

Tsunade yang tersenyum kemudian meraih wajah Naruto dan keduanya bertatapan. "Naruto…"

"I've never asked to be an Uzumaki. To be born with a great responsibility. But here I am now, standing, breathing and living my life as an Uzumaki. It's hard but I guess… No one is to blame."

Naruto meraih punggung tangan neneknya yang masih membelai wajahnya. Melihat pandangan sang nenek yang mulai teduh, senyumannya kian melebar. Tidak pernah sebelumnya Tsunade mencemaskan dirinya, apa lagi membelai wajahnya dengan penuh kasih saying seperti ini.

"Lalu bagaiamana dengan Haruno-san?" tanya Tsunade. "Bukankah dia yang membuatmu mengubah keputusan untuk tidak segera kembali ke London?"

Naruto tertunduk dan diam tanpa kata ketika nama gadis itu keluar dari mulut neneknya.

"Aku tahu kau tidak akan keberatan dengan keputusanku untuk mengirimmu kembali ke London dan mengemban tugas berat sebagai pewaris Namikaze Corporation. Tapi bukan itu kan yang membuatmu melamun?"

Tsunade menelusuri safir Naruto lebih dalam. "Kau memikirkan Sakura, benar?"

Naruto menarik tangan sang nenek lembut untuk menjauhi wajahnya. "Entahlah, baa-chan. Aku sendiri bahkan tidak tahu aku ini siapa baginya."

"Baa-chan kira kalian pacaran. Makanya kau menolak Shion."

Naruto tertawa singkat. "Aku sih mau saja berpacaran dengannya asal baa-chan batalkan pertunanganku dengan Shion. Itu kalau baa-chan setuju, kalau tidak," Naruto mengendikan bahu.

"Setuju saja. Kue jahe buatannya lebih enak dari buatan Shion."

Naruto tertawa sekali lagi. "Aku hanya bercanda. Yah meskipun aku dan Sakura bukan seperti yang baa-chan kira tapi dia itu spesial. Kurasa secepatnya akan kuberitahu kabar ini."

"Lalu?"

"Lalu… Kurasa dia akan mengerti."

Kalimat Naruto barusan meninggalkan ruang senyap di antara percakapan nenek dan cucu tersebut. Tsunade dihujani rasa bersalah ketika mengetahui cucunya bukanlah lagi bocah kecil yang susah diatur. Rasa bersalah karena mempersempit ruang gerak cucunya agar menjaga Naruto tetap di dalam lingkaran demi nama besar keluarganya yang ia junjung tinggi. Dibalik semua kekonyolan, kenakalan dan fisiknya sebagai seorang remaja, Naruto sudah dewasa. Dan yang dapat nyonya besar Uzumaki itu lakukan saat ini adalah diam, menahan pilu setelah mendengar cucunya itu mengorbankan perasaannya demi seulas senyum tersungging di bibir sang nenek.


RED

Flo Deveraux's NaruSaku Fanfiction


Pemuda rambut hitam dikuncir nanas itu bersungut-sungut setelah berhasil keluar dari kerumunan manusia yang berjubel di depan papan pengumuman sekolah. Sudah ketiga kalinya poster pengunduran jadwal pesta dansa untuk pendonatur sekolah dipajang di papan tersebut.

Bahkan pesta yang tadinya bertajuk After Summer kini sudah berganti tema menjadi musim gugur. Bukan tipikal seorang Shikamaru sebenarnya, peduli dengan hal seperti pesta dansa yang selalu ia anggap sok manis dan konyol. Hanya saja tuan-serba-suruh Uzumaki yang membuatnya mau tidak mau terhenti sejenak di depan papan pengumuman sebelum sekelompok manusia yang disebut perempuan datang sambil mengeluhkan pengunduran jadwal pesta.

"Diundur lagi?" Naruto menahan tawa ketika melihat bibir Shikamaru yang mengkerucut karena sebal. "Kupikir itu gerombolan fansmu, Shika."

"Diam kau!" Shikamaru menarik sepasang earphone yang masih terpasang di telinga Naruto. "Kau mau bicara apa?"

Dengan mengulas sedikit senyum, Naruto mengajak Shikamaru beranjak ke lorong yang lebih sepi. "Sepertinya aku akan kembali ke London."

"Apa? London? Why?"

"Aku hanya tidak ingin lari dari tanggung jawabku. Perusahaan ayahku punya peluang di sana, jadi semua menganggap lebih baik sekalian saja aku menyelesaikan studi di sana."

Shikamaru memasukkan tangannya ke dalam kantong. Ia mengendikkan bahu.

"Bagaimana menurutmu, Shika?" tanya Naruto.

"Pendidikan di Jepang juga sudah banyak yang lebih dari kata bagus. Kenapa tidak kau lanjutkan saja studimu di sini?"

"Ayah sudah punya banyak jaringan di Jepang. Mimpinya hanya membuat Namikaze corp berkembang ke luar negeri."

"Ah, manusia tak pernah puas."

"Bukan seperti itu. Hanya saja perusahaan itu dulunya memang milik Uzumaki. Karena kakek dan nenek hanya memiliki anak tunggal dan kebetulan perempuan, jadi semuanya diserahkan ke ayah ketika ayah dan ibuku menikah."

"Paman Minato berhutang budi, iya kan?"

"Yah," Naruto mencopot earphone dari ponselnya kemudian memasukkannya ke dalam kantong. "Bisa dibilang seperti itulah. Anggap saja dia diberi talenta dan hanya ingin mengembangkannya."

"Lalu?"

"Lalu bagaimana menurutmu?"

Shikamaru berhenti tepat di depan sebuah loker. Ia menyenderkan punggunya ke arah loker itu. Matanya bertemu dengan bola safir Naruto.

Suara pemandu sorak yang sedang berlatih hari itu menggema ke seluruh ruangan stadion. Sekelompok remaja yang didomiasi kaum remaja putri dengan gesitnya melakukan gerakan ala cheerleaders.

Hari itu stadion sepenuhnya terisi oleh anggota tim pemandu sorak. Bahkan demi persiapan lomba, ada larangan bagi tim basket Konoha High untuk menggunakan lapangan. Meskipun begitu, beberapa tribun penonton terisi banyak siswa dan siswi yang melakukan aktivitas mereka sambil melihat sesi latihan tim pemandu sorak. Matras besar juga terlihat menjuntang di arena lapangan, sementara beberapa pasang anak anggota tim terlihat melatih kekompakan mereka.

Ino Yamanaka terlihat sedikit tidak fokus ketika sedang berlatih bersama beberapa temannya, celingukan mencari sosok gadis dengan rambut berwarna pink. Tapi dia belum menemukannya. Beberapa teman yang ia tanyai tentang keberadaan Sakura semuanya menjawab mereka melihat Sakura jogging di luar stadion, tepatnya mengitari arena sekolah. Tidak biasanya seorang Haruno Sakura mau melakukan pemanasan di arena sekolah karena akan dilihat oleh banyak orang dengan seragam pemandu soraknya yang sedikit seksi itu. Sakura paling risih jika dilirik orang banyak seperti itu, ia pasti akan mengomel-ngomel.

Beberapa saat kemudian yang dicari pun muncul juga.

Ino yang baru saja melakukan Cupie kemudian melompat, melakukan salto dan mendarat dengan baik di atas matras, melenggang menuju arah Sakura yang baru saja menjatuhkan pantatnya di atas lantai.

"Sudah berapa lama kau latihan, forehead? Aku mencarimu kemana-mana tahu!" tanya Ino ketika melihat teman berambut pink nya duduk di salah sudut lapangan bola basket dengan peluh yang tanpa henti bercucuran, membasahi seragam pemandu sorak Sakura. Sedari tadi latihan Ino memang tidak menyadari keberadaan Sakura karena hari itu tim mereka tidak latihan formasi. Namun melihat keringat yang keluar dari pori-pori Sakura, gadis itu pasti sudah berlatih lebih lama dari dirinya.

"Entahlah. Tiga jam mungkin?"

"Ah! Latihan keras ya?" tanya Ino bersemangat. "Ini pasti gara-gara kapten tim itu ya? Jangan memaksakan diri, Sakura!"

Sakura meluruskan kedua kakinya selagi duduk. "Aku tidak memaksakan diri, kok."

"Tapi dari semenjak Tayuya-sensei menilai kemampuan kita, kau tampak semakin serius saja saat berlatih?"

"Kau tahu kan ini impianku selama ini? Masa ya tidak boleh aku berlatih sedikit lebih keras dari biasanya?"

"Semua berkumpul!" pelatih tim pemandu sorak memanggil seluruh anggota tim untuk berkumpul.

Seketika semua aktivitas yang sedang dilakukan kelompok pemandu sorak itu terhenti ketika seorang wanita yang merupakan pelatih tim mereka memberi komando untuk berkumpul.

"Baiklah. Seperti yang sudah kuinformasikan sebelumnya, aku akan memilih delapan orang untuk bertanding di kompetisi nasional nanti. Sementara tiga dari kalian akan kuikutsertakan sebagai cadangan, tapi kesebalas orang ini adalah yang terbaik di antara kalian." Sang pelatih tampak membolak-balikan kertas pada papannya. Satu-persatu nama mulai ia sebutkan. "…Shion, Yamanaka dan yang terakhir Haruno sebagai kapten tim. Sisanya yang tidak terpilih akan mengikuti sesi latihan untuk kompetisi berikutnya. Bubar!"

"Whoa! Sakura-chan!"

"Kau keren sekali!"

"Selamat ya Haruno!"

"Kau ini memang keren sekali, Haruno!"

Semua teman-teman Sakura memberi selamat kepadanya seusai sang pelatih meninggalkan mereka. Bahkan dua orang yang sering bersama Shion mengucapkan selamat meskipun terlihat terpaksa. Kecuali seseorang.

"Jadi bagaimana, Shion? Sakura memang lebih keren darimu!" teriak Ino sambil menjulurkan lidahnya pada Shion, membuat gadis berambut pirang pucat itu berdecak sebal.

"Sudahlah, pig," sanggah Sakura.

Shion yang tak terima melangkah maju ke hadapan Ino. "Dengar ya, Barbie," gadis itu mencondongkan badannya ketika jarak antaranya dengan Ino menyempit. "Permainan belum selesai. Kau dan temanmu baru menang satu babak, jadi bukan berarti kalian sudah mengalahkan aku."

"Haha," tawa Ino datar dan dipaksakan. "Dengar ya, Princess. Aku dan temanku tidak peduli harus berapa kali kami menang darimu, yang jelas setahuku Sakura sudah menang dua, kapten tim ini dan Prince Naruto kesayanganmu."

Shion mendengus. Sial! Gadis di hadapannya ini memang pandai berbicara. Tapi bukan Shion namanya kalau dia tidak bisa membalas kata-kata Ino.

"Oh, begitu? Kapan-kapan kau boleh tunjukkan bahwa kau memenangkan Naruto."

"Kalau begitu, kapan-kapan kau juga boleh tunjukkan bahwa kau memenangkan Naruto."

Darah Shion mendidih dan rasanya sudah naik ke ubun-ubun."Kau!"

"Aku apa?"

"Nenek sihir!"

"Lho bukannya itu kau, Shion? Kau kan-"

"Stop, Ino!" Sakura kemudian menyeret sahabatnya itu keluar lapangan dan menuju ruang ganti.

"Hei! Pelan-pelan bisa kan?"

"…"

"Forehead, kau ini kenapa sih?"

BLAM!

Baru saja keduanya memasuki ruang ganti tim pemandu sorak putri. Sakura langsung duduk di salah satu sudut bangku panjang yang ada di antara deretan loker. Ia memandang sahabatnya dengan tatapan yang tajam.

"Aku… Sebaiknya memang Shion yang jadi kapten tim."

"APA?!"

"Bisa kalau tidak teriak, pig?"

Ino melangkah ke hadapan Sakura dan menaruh punggung tangannya di dahi lebar si pinky. "Kau tidak panas. Atau memang kau sudah gila ya?"

"Aku serius!"

"Ah, kau benar-benar sudah kehilangan akal sehat. Dari awal aku sudah yakin kau ini gila, Sakura."

Sakura mendengus. Ini dia, sesi ocehan Nona Yamanaka. 'Selamat menikmati!' kata batin Sakura sakarstik.

"Pertama kau yang bilang Naruto bukan tipemu sekarang kau malah menyukainya, kedua kau yang hanya berjanji menolongnya dari Shion malah bahkan berciuman dengannya. Dua kali! Ketiga kau jogging di luar stadion dengan seragam itu?" Ino menunjuk seragam yang dikenakan Sakura.

"Lalu kau biasanya senang sekali beradu mulut dengan nenek sihir malah menghentikanku tadi, dan sekarang kau malah berharap Shion mendapatkan posisi yang selama ini kau idam-idamkan?" Ino menepuk jidatnya berkali-kali. Mencubit lengannya, memastikan bahwa dia sedang tidak bermimpi. "Are you losing your mind, Ms. Haruno?"

Sakura menarik Ino untuk duduk di sebelahnya. Mereka kini bertatapan. "Ino! Aku tahu kau kesal tapi bukan begini caranya. I'm tired ya know."

Ino mendengus. "Solusi?"

"Well, solusinya kau diam saja. Biarkan Shion mengoceh selama mungkin."

"Kau ini bukan seperti Sakura yang kukenal kemarin. Ada apa Sakura?"

"Aku tak kenapa-kenapa."

"Kau pikir aku tidak tahu sikapmu hari ini berubah?"

Sakura mengusap wajah ayunya dengan tempo cepat dan kasar. "Aku tak tahu. Ada perasaan aneh yang muncul di sini," katanya sambil menunjuk perutnya.

"Kau sedang tidak mood ya?"

"Sepertinya begitu."

Sakura beranjak dari tempat duduknya dan menuju loker. Ia kemudian memungut selembar kaos berwarna kuning dari dalam tasnya yang ada di dalam loker. "Aku hanya tidak bersemangat meladeni Shion. Aku benci punya musuh seganas dia. Bikin repot saja."

Sejenak tertegun, Sakura memutar tubuh bagian atasnya dan melihat Ino. "Tapi tidak deh, bagaimana pun juga aku sudah sampai titik ini, mati-matian untuk jadi kapten tim."

"Terserah kau sajalah."

Ino mendengus. Ia hanya memandang Sakura yang memegang kaos berwarna kuning, padahal ia tahu bahwa sahabatnya itu tidak menyukai warna kuning.

Sakura baru saja melepas bajunya ketika seorang laki-laki tiba-tiba masuk ke dalam ruang ganti itu tanpa ijin.

"KYAAAA!" teriaknya sambil spontan menutupi tubuh sebelah atasnya yang tereskpos. "Shikamaru! Kau ini apa-apaan sih? Ini kan ruang ganti perempuan!"

"Ya maaf," sahut Shikamaru santai.

"Keluar aku sedang ganti baju."

Shikamaru kemudian membalikkan badan menatap permukaan pintu ruangan tersebut yang sudah kembali tertutup. "Cepat ganti, aku tidak melihatmu. Lagian ada hal penting yang ingin kubicarakan padamu."

"Tentang apa?" tanya Sakura sambil mengenakan kaosnya.

"Naruto."

Sakura terdiam. Ia kemudian memberikan kode Shikamaru ketika dirinya sudah selesai berganti pakaian.

Shikamaru kemudian mengambil posisi duduk di sebelah Ino. "Dan London."

Sakura memandang Shikamaru tidak mengerti. "Maksudmu?"

"Sakura, kurasa kau tidak bisa berharap lebih kepada Naruto."

"Hei, Shika, kau ini bicara apa sih?" sambung Ino ketika Sakura menjatuhkan diri di bangku panjang di depan Shikamaru.

"Sudahlah Ino, toh aku memang tidak berharap juga."

"Tanpa kau berkata jujur pun aku tahu seberapa besar porsimu mengaharap Naruto menjadi milikmu, Ra."

"Bukan, kau tidak mengerti."

"Tidak perlu ada yang kau tutupi, forehead. Dengar! Bagaimana jika Naruto akan pindah ke London dalam waktu dekat."

"Maksudmu?" tanya Sakura. "Dia baru saja kembali dari London dan di sini bahkan belum ada satu semester."

"Entahlah, Naruto yang cerita."

"Dan kenapa dia tidak terus terang saja padaku?"

"Sebenarnya dia tidak ingin kau tahu, tapi kurasa itu bukan keputusan yang tepat."

Sakura mengubah posisi duduknya berkali-kali. Jemarinya sudah sangat sibuk meremas rok seragam pemandu soraknya berkali-kali. Resah. Tapi mengapa perasaan itu yang muncul? Bukankah Sakura bukan siapa-siapa Naruto? Apakah firasat yang membuatnya moody hari ini adalah karena Shikamaru ternyata ingin memberitahukan kepada Sakura bahwa cepat atau lambat Naruto tidak akan bersamanya?

Sakura bahkan tidak begitu mengerti apa yang dia rasakan setiap kali Naruto berhasil membuatnya nyaman. Sakura juga tidak begitu yakin bahwa yang ia rasakan adalah perasaan cinta. Hanya saja satu yang akan membuat Sakura mengangguk pasti, ia tidak ingin Naruto berlalu. Ia ingin bersama Naruto.

"Aku lebih tahu perasaanmu, pink. Aku hanya ingin kau tahu sekarang daripada kau sakit nantinya."

"Shika, aku… Kenapa dia melakukan ini?"

"Mungkin itu karena dia–"

Shikamaru belum sempat menyelesaikan kalimatnya namun si gadis rambut pink sudah beranjak dari tempatnya duduk, memutar kenop ruang ganti kemudian melenggang keluar ruangan tersebut. Dua pasang mata hanya memandangi sosok bertubuh ramping itu menjauh.


You have 1 message!

Forehead:

Pig, maaf aku tadi langsung pergi. Aku hanya butuh waktu. Tak apa kan?


Pig:

Aku tahu kok. Sebaiknya kau renungkan saja, maaf kalau sikap Shikamaru yang berterus terang justru membuatmu seperti ini. Hubungi aku jika butuh.

I love you.


"Sakura?"

Sebuah tangan mendarat lembut di kepala Sakura, membuyarkan seluruh lamunannya. Senja kala itu sudah akan kembali ke peraduannya. Beberapa orang yang tadinya tampak bersliweran di trotoar tersebut semakin berkurang ketika hari semakin gelap. Hanya Sakura dan iPodnya yang bersandar pada batang besi pembatas trotoar dan sungai Sumida.

"Nar?" ungkap Sakura heran sambil melepas earphonenya ketika melihat Naruto ternyata juga di situ. "Sedang apa kau di sini?"

"Ini tempat favoritku kok, aku baru saja mengantar baa-chan bertemu dengan rekan kerja ayah. Kupikir aku lebih baik ke sini daripada di sana mati kutu."

Sakura tertawa kecil. "Benar juga."

"Kudengar kau jadi kapten tim inti pemandu sorak."

"Yah begitulah."

Naruto mengacak rambut Sakura lembut. "Selamat kalau begitu!"

"Arigatou."

Hening.

"Um, Naruto…"

"Ya?"

Sakura menengadah, mencoba memandang Naruto. "Jika kuminta kau jangan pergi, apakah kau akan melakukannya?"

Naruto tersenyum lembut. Senyum favorit Sakura. "Aku tidak pernah membuat janji yang belum tentu bias kutepati. Tapi aku akan mengusahakannya."

"Souka…" Sakura mengalihkan pandangannya ke direksi lain.

Tangan kiri Naruto meraih wajah Sakura, menghadapkan emerald gadis itu untuk bertemu kembali dengan birulangitnya. "Kenapa bertanya seperti itu? Kau sudah tahu ya?"

Sakura hanya terdiam. Sama sekali tak beranjak ketika Naruto menurunkan tangannya dan justru mempersempit jarak mereka. Retinanya masih menangkap sosok di depannya itu. Hanya saja otaknya seakan berhenti berputar untuk mencari jawaban atas pertanyaan Naruto tadi ketika nafas hangat pemuda itu menerpa wajahnya.

"Ke-kenapa kau tidak me-memberitahuku?" tanyanya balik.

"Aku kira itu bukan keputusan yang tepat. Aku tidak bermaksud meninggalkanmu, Sakura. Keluargaku lebih membutuhkanku sekarang. Life is a choice, it's hard to make but I have to. Maaf."

Tubuh Sakura begetar mendengar pernyataan bahwa tak akan lama lagi, laki-laki yang bukan miliknya itu tidak akan pernah berdiri di hadapannya lagi.

"Naru–"

"Aku suka padamu, Sakura," potong pemuda pirang itu cepat. "Aku hanya ingin kau tahu itu sebelum aku benar-benar pergi. Maaf kalau justru ungkapanku ini membuatmu susah dan sakit."

"Naruto kau…"

"Aku tak pernah sedikitpun bermaksud untuk datang ke dalam hidupmu dan kemudian meninggalkanmu. Aku hanya–"

"Sudahlah Naruto. Cium aku!"

Naruto hanya tersenyum singkat sebelum akhirnya mendaratkan bibirnya di bibir Sakura. Menciumnya dengan penuh kasih dan mendekap gadis itu seolah ia tidak akan pernah bertemu dengannya lagi. Mereka tidak peduli dengan orang-orang yang berlalu-lalang sambil memperhatikan mereka. Mereka tidak peduli berapa kamera yang mengabadikan gambar mereka saat itu. Sakura tidak peduli dengan air mata yang akhirnya jatuh ketika ia sadar ia tidak ingin Naruto pergi dari kehidupannya. Naruto tidak peduli dengan rasa cemasnya ketika ia sadar bahwa Sakura tidak akan pernah beranjak darinya meskipun nanti mereka akan dipisahkan oleh jarak. Karena mereka tahu, rasa yang mereka miliki bukan abu-abu, putih ataupun hitam, karena dalam imajinasi mereka semua perasaan itu ketika menjadi satu. Tidak jelas namun juga tidak buram. Semua rasa frustasi, jatuh dan bangun, cinta yang intens, takut kehilangan tanpa adanya sebuah status yang mengikat adalah merah.


"All those emotions, spanning from intense love, intense frustration, jealousy, confusion, all of that, in my mind, all those emotions are red."

-Taylor Swift, about her album Red


A/N: Aaaa Minna-san! Sudah lama banget nih Flo terpaksa hiatus. Tugas dan ulangan yang se Indonesia raya dan bahkan ada acara sakit bikin Flo belum bisa update fiction ini kilat. Maaf buat semuanya yang setia menunggu. Arigatou gozaimasu sudah mau menunggu.

Sepertinya chapter depan bakalan jadi the final chapter. So? Review?