Separated Away

I own nothing but this fic

.

.

Summary: Kuroko's POV. Akhir-akhir ini, aku bermimpi hal yang aneh. Aku tak mau membebani Kise-kun dengan memberitahukan hal ini, jadi aku diam saja.

.

.

Kise dan Kuroko menarik kursi di meja makan. Mereka duduk berhadapan. Hari ini Kuroko memasak tempura udang, salad, tofu soup dan karage. Untuk ukuran mereka, sebenarnya ini agak banyak mengingat mereka hanya tinggal berdua dan mereka bukan tipe yang suka makan.

"Itadakimasu." Ucap mereka berdua bersamaan sambil menangkupkan dua tangan mereka. Kemudian mulai mengambil sumpit serta makanan mereka.

Sesekali, Kuroko menatap Kise yang sepertinya sedang memikirkan sesuatu di hadapannya. Kedua orbs biru langitnya berganti kearah tangan kanan Kise yang baru saja ia perban.

Ruang makan itu diliputi keheningan. Hanya terdengar suara sumpit yang bersentuhan dengan mangkuk.

.

"Gomen..." Kise berdiri dari kursinya, "...aku sudah kenyang."

"Kise-kun." Kuroko menghentikan Kise yang baru saja akan meninggalkan ruang makan itu, "Daijobu desu ka? Akhir-akhir ini, kau makan hanya sedikit. Jangan-jangan, masakanku tidak enak ya?" Tanya Kuroko khawatir.

"Daijobu-ssu yo, Kurokocchi. Masakanmu selalu enak kok, sangat enak sampai-sampai rasanya sayang kalau dihabiskan." Jawab Kise dengan senyum khasnya, "Aku masih ingin istirahat sebentar. Kau tau, mimpi buruk itu terkadang membuatku tidak bisa tidur. Hahaha~ silahkan makan tanpaku, Kurokocchi. Aku ingin kembali ke kamarku."—setelah mengucapkan hal itu, Kise pergi dari ruang makan. Meninggalkan Kuroko yang masih menatapnya khawatir.

.

.

Kuroko menyelesaikan makannya tak lama setelah Kise. Setelah menaruh sisa makanan di kulkas dan mencuci piring mereka, Kuroko masuk ke sebuah ruangan, dan menemukan altar Akashi disana. Duduk bersimpuh, menangkupkan kedua tangan dan berdoa sambil memejamkan kedua matanya.

Setelah selesai, ia membuka kedua matanya, dan menatap foto Akashi. Kemudian tersenyum tipis kearah foto tersebut.

"Akashi-kun..."—Kuroko memanggil nama pemuda di foto dengan nada yang halus, "...hari ini aku masak lumayan banyak. Tapi nafsu makan Kise-kun sepertinya menurun akhir-akhir ini, jadi sisa makanannya masih banyak. Aku bisa membayangkan apa yang terjadi jika kau ada disini sekarang."—Kuroko tertawa kecil sambil membayangkan Akashi yang menambahkan menu latihan Kise, "Oh, iya, aku juga memasak tofu soup kesukaanmu, Akashi-kun. Kau selalu mengatakan bahwa tofu soup buatanku adalah makanan terenak yang pernah kau makan. Aku ingin mendengarmu mengatakan hal itu lagi, Akashi-kun."—Kuroko mengepalkan tangan kirinya yang ia pangku di paha kirinya, "Ano, nee, Akashi-kun. Akhir-akhir ini, aku bermimpi hal yang aneh. Aku tak mau membebani Kise-kun dengan memberitahukan hal ini, jadi aku diam saja. Aku rindu pelukan yang selalu kau berikan saat aku bermimpi buruk…"—jeda, "Sumimasen, hari ini aku banyak bicara. Istirahatlah dengan tenang, Akashi-kun." Setelah mengucapkan hal itu, Kuroko berdiri dari tempatnya dan keluar dari ruangan tersebut.

.

Kuroko berjalan menuju ke pintu depan dan memeriksa kotak surat. Benar saja, ada surat dari Aomine.

.

Untuk Akashi Seijuro

Maaf lama tidak memberi kabar. Kudengar kau dan Tetsu menikah? Omedettou!

Maaf juga, karena waktu itu aku tidak bisa mendatangi undangan pernikahan kalian, Satsuki tiba-tiba menderita penyakit aneh. Banyak luka sayatan di hampir seluruh tubuhnya. Dan...kabar buruk, gara-garanya, ia koma. Jadi untuk sementara, aku akan berhenti dari kepolisian dan menyelidiki penyebab dari penyakit Satsuki. Kalau bisa, aku ingin minta bantuanmu dan Midorima mengingat kalian sangat ahli dalam menyelidiki maupun bidang kedokteran.

.

PS: Kuharap kau cepat-cepat buat anak dengan Tetsu. Tolong direkam dan dibuat video ya! Setelah itu berikan padaku. Hahaha~

.

Blush

Wajah Kuroko memanas saat membaca kalimat terakhir dari surat Aomine itu.

"Aomine-kun…" gumam Kuroko sambil menggenggam surat tersebut dengan tangan yang gemetar.

Namun tanpa Kuroko sadari, sebuah senyum tipis terukir di bibir pucatnya. Ah, betapa ia sangat merindukan pemuda berambut merah itu.

.

Kise tidak langsung masuk ke kamarnya. Ia mengunjungi kamar Akashi yang terletak di ujung.

Suara decitan pintu kamar yang terbuat dari kayu terdengar. Kamar dengan cat baby blue menyapanya. Sebuah King size bed dengan seprai dan selimut berwarna baby blue, serta 2 buah bantal berwarna senada dengan seprainya tertata rapi. Dia ingat, Kuroko pernah bercerita padanya bahwa Akashi mengganti cat tembok, seprai, selimut dan bantalnya yang semula merah menjadi baby blue, supaya ia selalu ingat kepada Kuroko begitu pula Kuroko yang mengganti semuanya dengan warna merah.

Kise tersenyum memaksa.

Mereka berdua memang ditakdirkan untuk saling memiliki. Dan Kise, dengan kejamnya malah memisahkan mereka berdua.

.

Kise memasuki ruangan yang tidak terlalu lebar itu. Semuanya masih sama. Sebuah rak besar dengan berbagai buku-buku sulit dan tebal berjajar disana. Sebuah personal computer yang layarnya mulai sedikit berdebu. Masih sama—tidak ada satupun yang bergeser dari tempatnya.

Kise menatap sebuah jaket yang bergantung di dinding tak jauh dari kasur Akashi.

.

'Teiko Basketball'

Itulah yang tertulis di punggung jaket tersebut.

.

Kise tersenyum tipis, salah satu tangannya menyentuh jaket tersebut. Tekstur kain dan kulit bersentuhan.

.

'Hari-hari itu…tak akan pernah kembali.'

.

"Ada yang bisa kubantu, Ryota?"

"Ah, t-tidak. Aku hanya-"

Eh?

Kise menoleh ke samping; tepatnya kearah kasur milik Akashi.

Kise yakin Akashi ada disana tadi.

Sebegitu inginnya-kah dia untuk bertemu dengan Akashi?

.

.

Separated Away

.

.

Kuroko menarik napas, bersamaan dengan ia membuka kedua matanya. Kedua orbs berwarna senada dengan rambutnya mengerjap beberapa kali sampai akhirnya ia menyadari, bahwa ia bukan di kamarnya.

Kuroko bangun, berjalan dengan pelan dan penuh kewaspadaan. Ruangan ini tidak terlalu terang; malah nyaris gelap. Kalau saja tidak ada beberapa lilin yang mulai mencair, pasti sudah sangat gelap.

.

'Mimpi ini lagi...'

.

"Ah."

Sebuah siluet melintas perlahan jauh disana.

Rambut merah itu…

"Akashi-kun?"

Kuroko berlari kecil, menuju kearah siluet melintas tadi.

"Akashi-kun!"

Semakin Kuroko berlari, ntah mengapa semakin pula siluet itu menjauh—bahkan menghilang.

Siluet itu membawa Kuroko ke sebuah pintu, dengan 4 lukisan di dinding bagian kiri pintu dan 3 lukisan di dinding kanan pintu. Itu adalah lukisan orang-orang yang sangat ia kenal. Dari kiri, ia melihat lukisan Momoi, Midorima, Aomine, dan Murasakibara. Sedangkan di kanan, ia melihat lukisan Akashi, dirinya, dan Kise. Masing-masing memiliki warna baju yang berbeda sesuai dengan 'warna' mereka.

Satu yang membuat Kuroko tak nyaman, semua lukisan itu terkesan menyeramkan; seakan hidup.

.

"Nee, Tetsu-kun!"

Kuroko tersentak kaget saat lukisan Momoi memanggil namanya, menatap kearahnya dengan senyum yang menyeramkan.

"Akan kuberitau sebuah rahasia, untuk melewati rintangan yang ada di balik pintu ini."—nadanya ceria; seperti Momoi yang biasanya, namun hal itu malah membuat Kuroko semakin takut.

.

"Berdiri didepan patung, lalu berjalan empat langkah ke kanan dan dua langkah ke depan. Disitulah jawabannya!"

.

Kuroko mengernyit, tidak mengerti apa yang terjadi.

Namun saat ia mulai menggeser kakinya—

.

"Mattaku…kau benar-benar ceroboh jika mempercayai Momoi. Dari belakang patung, dua langkah ke kiri dan satu langkah ke belakang. Kau akan menemukan jawabannya disana."

.

Kuroko tersentak. Kali ini lukisan Midorima yang berbicara. Lukisan itu menaikkan kacamatanya, sambil menatap tajam kearah Kuroko; tatapan yang biasa ia berikan kepada Kuroko. Tapi ntah kenapa aura-nya aneh; aura pembunuh.

.

"Oi, Tetsu, aku cahaya-mu kan? Percayalah padaku, ikuti kata-kata Kise."

.

Nafas Kuroko memburu. Ketakutan mulai meliputi wajahnya; meski ia tidak terlalu mengubah ekspresi wajahnya.

.

"Aku setuju dengan kata-kata Kuro-chin..."

.

Kuroko berlari kecil ke dinding yang berada di kanan pintu; tepatnya kearah lukisan dirinya.

Namun saat ia melewati lukisan Akashi—

.

"Tetsuya, berdiri di kanan patung, maju tiga langkah dan ke kiri lima langkah. Aku selalu benar, jadi percayalah padaku."

.

"Akashi-kun...aku..."

.

'Siapa yang harus kupercayai...?'

.

Ia pun berdiri di hadapan lukisan dirinya.

.

"Aku setuju dengan Midorima-kun."

.

Kali ini lukisannya yang berbicara, tapi, haruskah ia mempercayai lukisannya sendiri?

.

"Kurokocchi~ Murasakicchi benar loh~ aku sudah membuktikannya-ssu!"

.

"Kise-kun..."

Kuroko terdiam sesaat. Dengan langkah penuh keraguan, ia masuk ke pintu yang terletak diantar lukisan-lukisan tersebut.

Didalam sana, Kuroko tidak melihat hal-hal yang mencolok. Hanya sebuah ruangan remang dengan warna merah yang tidak terlalu lebar.

Dan sebuah patung yang berdiri di tengah-tengah ruangan.

.

Pertama-tama, ia mengikuti instruksi yang diberikan oleh lukisannya sendiri.

Kuroko melangkah kearah belakang patung, dua langkah ke kiri lalu satu langkah ke belakang.

Kuroko membuka ubin lantai yang ia pijaki.

.

SYUUT!

.

Jarum-jarum tebal tak terhitung mulai menyerang Kuroko. Namun Kuroko segera menghindar; meski beberapa bagian tubuhnya terkena jarum-jarum tersebut.

Kuroko mengerang kesakitan saat darah merah segar mulai berjatuhan dari pipi, tangan, kaki, serta pinggangnya.

'Bukan. Bukan ini.' Batin Kuroko.

.

Ia pun mengingat apa yang dikatakan lukisan-lukisan tadi. Kali ini, ia mencoba untuk mengikuti instruksi Momoi.

Berdiri didepan patung, berjalan empat langkah ke kanan dan dua langkah ke depan. Kuroko membuka ubin lantai yang ia pijaki. Saat itu juga, gas berwarna kelabu tebal bertiup dari sana. Mengakibatkan seisi ruangan diselimuti dengan asap tersebut.

Kuroko agak terbatuk, sebelum akhirnya ia terjatuh dengan lutut menyentuh tanah terlebih dahulu.

'Ini buruk…gas beracun.'

Kuroko tidak punya banyak waktu. Otaknya ia paksa untuk berpikir lebih cepat. Pasti ada satu celah; satu petunjuk.

Ia mengingat kata-kata lukisan-lukisan tersebut.

.

"Mattaku…kau benar-benar ceroboh jika mempercayai Momoi"

'Momoi-san...'

.

"...percayalah padaku, ikuti kata-kata Kise..."

'Kise-kun...'

.

"...Murasakicchi benar loh~..."

'Murasakibara-kun...'

.

"Aku setuju dengan kata-kata Kuro-chin..."

'Aku.'

"Uhuk!" Kuroko terbatuk karena efek gas yang mengganggu pernafasannya.

.

"Aku setuju dengan Midorima-kun."

'Midorima-kun...'

"Ah!"

Kuroko menyadari satu hal.

Masing-masing lukisan menyebutkan lukisan lain.

Satu…dua…tiga…empat…lima…

'Lima? Seharusnya tujuh. Siapa yang belum disebutkan namanya?'

Kuroko berpikir agak lama, sampai akhirnya, ia mendapatkan sesuatu.

"Akashi-kun, Aomine-kun…"

'Tapi tunggu, Aomine-kun menyebut Kise-kun. Artinya…'

Kuroko berusaha mengingat instruksi yang diberikan Akashi.

Berdiri di kanan patung, maju tiga langkah dan ke kiri lima langkah. Dengan cepat ia membuka ubin lantai dibawahnya.

Samar; sangat samar, ia menemukan sebuah saklar. Disampingnya, ada senter.

Kuroko menekan saklar tersebut. Perlahan namun pasti, gas beracun mulai hilang. Kini ia bisa melihat dengan jelas.

'Ryokatta-'

.

BRUGH!

.

Racun gas mulai menjalar ke tubuhnya, membuat Kuroko ambruk dengan nafas terengah-engah.

.

'Mereka semua menyebutkan nama. Hanya Akashi-kun yang tidak disebutkan dan tidak menyebutkan nama.'

.

Kuroko tersenyum tipis, 'Arigatou, Akashi-kun.'—lalu bangkit dari tidurnya dengan susah payah; karena ia tak punya banyak waktu—mengambil senter tersebut dan keluar dari ruangan tersebut.

.

Betapa kagetnya ia saat ia melihat lukisan-lukisan tadi. Semuanya tertusuk oleh pisau yang menancap tepat di wajah mereka. Tak hanya itu, raut wajah mereka pun berubah, seperti kesakitan tiada akhir. Ditambah, darah yang terus mengalir dari arah kepala, kemudian turun ke lantai dan nyaris menggenangi lantai yang Kuroko pijak.

.

LIAR

LIAR

LIAR

LIAR

LIAR

LIAR

LIAR

.

Kira-kira itulah yang tertulis di dinding. Kuroko mundur beberapa langkah, sampai akhirnya berlari meninggalkan tempat itu.

.

.

Separated Away

.

.

Suara derap kaki menggema di koridor yang Kuroko lalui. Nafasnya memburu, ia bukanlah orang yang punya stamina tinggi sehingga ia sangat gampang kelelahan. Terlebih, di sepanjang koridor tersebut terpasang berbagai jenis lukisan dengan nuansa yang mengerikan. Serta beberapa cermin yang seolah akan menyedotmu ke dalamnya.

.

"Tuan muda..."

.

Kuroko tersentak saat mendengar suara seorang wanita.

.

PRAAANG!

.

Semua cermin disana pecah bersamaan. Kuroko menaikkan tangannya, untuk menghindari supaya pecahan-pecahan kaca tidak melukai kepalanya.

Kuroko agak terbelalak saat ia melihat banyak wanita yang keluar dari cermin-cermin yang pecah tersebut. Mereka mengenakan pakaian tradisional kimono.

.

"Tuan muda..." salah satu wanita berjalan perlahan menuju Kuroko. Reflek, pemuda itu melangkah mundur.

"...mengapa anda tidak kembali...?"

Kuroko menoleh ke belakangnya. Meski agak jauh, ia juga melihat wanita dengan kimono yang berjalan kearahnya.

Dari perkataan mereka, sepertinya mereka adalah pelayan wanita.

'Tuan muda? Aku?'

Kuroko terjebak di tengah-tengah para pelayan wanita yang semakin mendekatinya tersebut. Ia pun semakin memundurkan langkahnya.

Sampai akhirnya terhenti karena dinding yang menabrak punggungnya.

'Jangan...jangan mendekat...' Kuroko berteriak dalam hati.

.

"Takut ya? Kasihan…"

.

"Jangan khawatir, kami akan melayanimu dengan sepenuh hati, seperti dulu."

.

"…supaya tuan muda dapat tersenyum lagi…"

.

"JANGAN MENDEKAAT!"

.

.

Kise membuka kedua matanya dengan cepat. Pemuda berambut blonde itu mendapati dirinya tertidur di lantai kamar Akashi.

Dia tertidur? Sejak kapan?

Terakhir ia ingat, ia sedang berada di kamar Akashi. Namun ntah mengapa tiba-tiba rasa kantuk menyerangnya.

Kise memposisikan dirinya duduk, lalu mengelus belakang kepalanya.

'Kurokocchi…'