Satu

A Saint Seiya – Lost Canvas Fanfiction

Written by Gokudera J. Vie

Saint Seiya Lost Canvas © Masami Kurumada & Teshirogi Shiori

Alternate Reality. Out of Character. (Possibility of) typo(s). Edited from One Step.

# # #

Siang hari itu begitu panas dan matahari bersinar terik. Sepanjang mata memandang bisa dilihat banyak para calon saint yangsedang mengistirahatkan diri di pinggir arena, berlindung dari sengatan sinar matahari dan meneguk sedikit air untuk memuaskan dahaga. Demikian hal-nya dengan Aspros, pemuda berambut pendek tersebut sedang duduk di bawah naungan pohon yang berada agak jauh dari arena, sebuah handuk basah menutupi wajah.

"Aspros," sebuah panggilan, membuat Aspros menyingkirkan handuknya dan menatap ke asal suara, kepada sosok berkulit gelap yang memiliki wajah yang sama dengannya itu, adiknya. "Kau baik-baik saja?" tanya adiknya dengan cemas.

"Hm," jawab Aspros lemah sambil mengangguk. "Aku baik-baik saja, Defteros. Hanya kepanasan."

Sebuah tangan menyentuh kening Aspros. Sejuk, batin Aspros, menikmati sentuhan tangan adiknya tersebut. "Tanganmu sejuk sekali," gumam Aspros.

"Kau demam," kali ini suara Defteros benar-benar menunjukkan kekhawatiran. "Bagaimana kalau pulang dan istirahat saja? Kau tidak bisa melanjutkan latihan dengan kondisi begini. Ya, Aspros?" bujuk sang adik.

Aspros menggeleng. "Tenang, aku akan baik-baik saja," ujarnya, mendorong tangan Defteros, sedikit kecewa karena harus kehilangan kesejukan dari tangan tersebut. "Nah, aku berlatih dulu." Dia berdiri dan berjalan ke arena colosseum untuk kembali berlatih, sedikit berat hati meninggalkan Defteros di belakang.

Entah kapan dimulainya dan apa sebabnya, sudah ditetapkan dalam peraturan para saint bahwa takdir sebagai anak kedua dari kembar yang terlahir di bawah rasi bintang gemini adalah diasingkan. Jangankan berlatih bersama-sama, bahkan memperlihatkan diri di hadapan orang pun tidak diperbolehkan. Meski pada seharusnya terlahir bukanlah salah apalagi suatu dosa, tapi kelahiran adiknya menjadikan anak itu harus menerima penghakiman yang absurd. Jujur, Aspros bukan lagi sekedar tidak senang dengan pengaturan tersebut, kalau bisa dia ingin sekali menentangnya.

Ah, kepalanya berdentam menyakitkan. Kesal!

Bruak! Aspros melampiaskan kesalnya dengan menghancurkan sebuah batu, menggunakan latihan sebagai kedok. Aspros sendiri sadar bahwa dia tidak cukup kuat untuk melakukan niatannya. Karena itulah dia harus menjadi lebih kuat hingga mencapai kedudukan tertinggi, pikirnya sambil kembali melakukan latihan setengah melampiaskan kekesalan. Demi memberikan tempat bagi adiknya.

Duk!

Tidak sengaja pundaknya bertabrakan dengan pundak seorang calon saint yang lain, tubuhnya terhuyung sedikit tapi dia masih bisa berusaha mempertahankan keseimbangan. Namun yang terburuk adalah ketika tubuhnya terdorong ke samping, siku seorang calon saint yang lain yang tengah melakukan sparring bergerak ke arahnya.

Gawat! Batin Aspros, sadar bahwa kepalanya terlalu pusing dan tidak cukup waktu untuk menghindarinya.

Duak!

Siku itu pun telak menghantam wajahnya dengan kuat. Tubuh Aspros terlempar, dia bisa merasakan darah kental mengalir dari hidungnya, dan kepalanya serasa makin sakit saja, seolah mau pecah. Sebelum tubuh Aspros sempat menghantam tanah, kesadarannya hilang menyisakan hitam.

# # #

Aspros menatap tangan berbalut Gold Cloth yang tengah mencekik seseorang. Aspros juga mengenali jubah yang dikenakan oleh seseorang yang sedang tercekik itu sebagai jubah yang dikenakan oleh Pope. Barulah Aspros menyadari setelahnya bahwa tangan yang tengah mencekik sang Pope itu adalah tangan miliknya. Apa yang terjadi?

Dia merasakan dirinya menoleh. Merasakan, karena yang dapat dia fungsikan hanyalah penglihatannya sementara indera yang lain seolah dikendalikan oleh orang lain. Tatapan jatuh pada sosok dewasa dari wajah yang telah dikenalnya, wajah yang mirip dengannya, terutama ketika sedang tidak mengenakan topeng seperti yang berada di hadapannya ini. Sesungguhnya, ingin dia membelalak menatap eskpresi adiknya yang kelihatan begitu menderita dan penuh luka, ingin dia berlari dan tanyakan pada adiknya itu siapa yang telah melukainya. Tapi sepertinya siapa pun yang sedang menggerakkan tubuhnya berpikiran lain karena mulutnya mengatakan hal-hal yang tidak pernah dia pikir bisa dia katakan, kata-kata yang jahat dan beracun.

"... pros," Aspros mendengar bisikan samar.

Matanya masih menatap sosok sang adik.

"Aspros," masih samar meski sudah terdengar tiap silabel yang membentuk namanya.

Dan barulah keinginannya dan gerak tubuhnya selaras, membelalak kaget ketika sosok adiknya yang telah dewasa itu melancarkan sebuah serangan ke arahnya. Sakit!

"ASPROS!"

Aspros tersentak. Matanya terbuka, terbangun dari tidurnya, menatap langit-langit kamarnya. Peluhnya mengucur dan membasahi kaus-nya. Nafasnya memburu dalam ketidak aturan.

"Mimpi," bisiknya. "Ternyata mimpi," lanjutnya penuh kelegaan.

Sedikit mengarahkan pandangan ke samping, dilihatnya wajah adiknya yang menatapnya penuh khawatir. Aspros tersenyum dan meraih tangan adiknya yang diletakkan di keningnya, seolah menyampaikan bahwa dia baik-baik saja.

"Kau pingsan," adiknya berkata. "Sudah kubilang kau demam, harus istirahat!" sangat jelas dari alis adiknya yang bertaut dan nada suaranya bahwa tadi dia sangat lega bahwa Aspros sudah sadar, hal itu justru membuat senyum Aspros semakin lebar.

Mimpinya kembali berkelebat. Aspros menggenggam tangan adiknya, seolah memastikan bahwa yang ini adalah nyata, dan yang mimpi hanyalah sekedar mimpi.

"Aspros?" panggil Defteros, heran karena Aspros tiba-tiba diam, khawatir kalau-kalau kakaknya kenapa-napa.

"Defteros, kau..." Aspros menggigit bibirnya, bingung apakah harus dia katakan atau tidak. "Kau tidak akan mengkhianatiku, kan?" tanyanya, memutuskan untuk mengatakannya.

Adiknya diam, tampak tidak mengerti pertanyaan Aspros. Aspros sendiri tanpa sadar memberikan tatapan penuh harap. Selang beberapa saat adiknya itu menarik tangannya yang sedari tadi menyentuh kening Aspros, membuat Aspros langsung memasang wajah kecewa dan mengalihkan tatapannya ke langit-langit.

"Sebaiknya aku buatkan bubur untukmu," ujar adiknya, beranjak dari kursi dan berjalan keluar ruangan. "Ah," tiba-tiba berhenti di tengah, menarik perhatian Aspros untuk kembali menatapnya, "Aku tidak bisa menjanjikan apa pun padamu, kak. Tapi aku tahu aku selalu mengharapkan yang terbaik untukmu." Dan segera berlari keluar sebelum Aspros sempat mengatakan apa pun.

Senyum Aspros langsung melebar mendengarnya. Rasa percaya dirinya kembali. Ditatapnya kepalan tangannya untuk membulatkan tekad, tidak akan dia biarkan mimpinya menjadi kenyataan, tidak ingin bahwa dirinya lah yang akan membuat adiknya paling terluka.

# # #

Tempat itu adalah kegelapan tanpa batas, bagaikan jagad raya tanpa planet dan bintang, hanya ada Aspros dan dirinya yang saling bertatapan. Dirinya adalah sosoknya saat berumur sebelas tahun, sosok yang masih polos dan tidak mengenal ambisi.

Aspros ingat dia baru saja bertarung dengan adiknya, bertarung hingga dia kehilangan sosok yang seharusnya dijaga dan dilindunginya baik-baik itu. Satu-satunya keluarga dan sosok yang pernah menjadi sebuah kesatuan dengannya. Bersama dengan kematian adiknya, Aspros pun lepas dari pengaruh Demon Emperor Fist yang dia gunakan pada dirinya sendiri.

Sekarang dia sedang berhadapan dengan dirinya sendiri di dunia yang sepertinya adalah alam bawah sadarnya, dunia dalam jiwanya yang terdalam. Dirinya tersenyum, berbalik dan berlari menerjang sosok yang mirip dengannya dengan kulit gelap, sosok adiknya saat berumur sebelas tahun. Mereka tersenyum, tertawa, dan bergandengan tangan dengan akrab, kemudian meninggalkan Aspros kembali sendirian.

Aspros berbalik ketika merasakan kehadiran seseorang di belakangnya, membuatnya bertatapan dengan sosok adiknya yang sudah dewasa. Aspros tersenyum dan menggeleng pada adiknya yang mengulurkan tangan. Sosok adiknya itu seolah menjadi buih, hilang dan terbang, melunturkan dunia hitam itu kembali pada kenyataan.

"Sakit sekali rasanya ketika kehilangan separuh dari jiwa ini," ujarnya, memasang jubah Pope tiruan miliknya. "Tapi aku belum bisa pergi bersamamu, Defteros. Masih ada yang harus kita lakukan bukan?" bisiknya. Setidaknya untukmu, tambahnya dalam hati.

Kalau bukan untuk adiknya, atau untuk dirinya sendiri, Aspros pasti akan menerima uluran tangan itu, membiarkan tubuh pinjaman dari Hades membusuk dan jiwanya kembali menjadi sebuah satu. Aspros tersenyum sedih dengan airmata darah mengalir, sadar bahwa dia berada di pihak yang mengingkari janji dan adiknya, meski tak berjanji, tak pernah mengkhianatinya, hanya terus mengharapkannya yang terbaik secara sederhana.

Di tempat Hades itu Aspros dan sang tuan rumah bicara mengenai filosofi. Tidak pernah dia sangka ternyata sang dewa yang ingin menghancurkan dunia bisa bicara mengenai kebajikan. Tapi Aspros memiliki satu kejutan untuk wadah yang pernah menjadi sahabat sang Pegasus itu, bahwa dalam tubuh yang diberikan Hades itu kini juga terdapat jiwa adiknya. Meski dia tidak bisa kembali menjadi seorang kakak bagi sang adik, mereka memiliki separuh dari eksistensi yang sama. Meski tak sepenuhnya menjadi satu, setidaknya itu cukup untuk membuat Aspros seolah merasakan kesejukan dari tangan adiknya.

Ah, betapa dia merindukan masa lalu.

Di tengah pertarungannya dengan Hades, muncul seseorang yang mengaku sebagai ayah dari Pegasus Tenma, Mephistopheles Youma. Berkoar-koar mengenai sebuah pentas dimana Aspros juga adiknya adalah bagian dari skenario buatannya. Tak pelak hal itu menyalakan bara amarah dalam diri Aspros, tidak terima dipermainkan dan sadar bahwa sang Mephistopheles adalah penyebab dia mengingkari janji pada si bungsu. Tidak bisa dimaafkan!

Sedikit butuh waktu lama bagi Aspros untuk berhadapan langsung dengan Mephistopheles, dengan bodoh dia terjebak di sebuah tempat yang menyerupai Another Dimension dan harus menunggu kesempatan yang tepat untuk membuka paksa jalan keluarnya. Kali ini Aspros yang mendapatkan kejutan, bahwa Mephistopheles bukan hanya specter biasa melainkan seorang dewa waktu bernama Kairos, adik dari Chronos, yang dibuang sang kakak ke dunia dan dihapus eksistensinya. Sedikit banyak mengingatkan terhadap sebuah kisah milik Aspros.

Tapi Aspros tidak peduli. Salah Kairos sendiri jika dia tidak bisa menyaingi kakaknya, lagi pula sang dewa terbuang terlanjur membuatnya kesal dengan menginjak-injak arti dari eksistensi para manusia. Aspros jadi mengerti kenapa Kairos sama sekali tidak pantas sebagai dewa, sama sekali tidak bijak dan tidak menjadikan pengalaman buruknya itu sebagai pelajaran, malah membuat orang lain harus merasakan derita yang sama.

Jujur saja, Aspros cukup kelimpungan ketika berhadapan dengan Kairos. Dewa memang memiliki level yang berbeda ternyata. Kalau bukan berkat jiwa adiknya yang bersemayam pada Gold Cloth Gemini, mungkin Aspros sudah menyambut neraka untuk kedua kalinya. Ingat, dia sudah pernah merasakan mati satu kali! Kematiannya berikutnya dia putuskan harus berarti dan membuat adiknya sedikit bangga, tentu saja. Dan berkat tasbih Asmita yang ditinggalkan oleh adiknya lah Aspros dapat mengubah tubuh immortal dewa kembali ke wadahnya yang mortal.

Akhirnya dewa waktu pun dapar tersegel ke dalam tasbih dari buah mokurenji. Aspros dapat merasakan tubuh dan cosmo-nya melemah, menandakan waktu pinjaman sudah mendekati akhir. Sebenarnya dia masih ingin menantang Hades, namun biarlah sang Pegasus dan Athena yang menyelesaikan semuanya, setidaknya Aspros berhasil membalas dendam.

Deg!

Tiba-tiba Aspros merasakan kehadiran sebuah cosmo yang terasa familiar, cosmo milik seorang dewi yang pernah menjadi junjungannya, Athena. Dan sepertinya sang dewi mengenalinya.

Huh! Dengus Aspros. Dia sudah lelah berurusan dengan dewa, bahkan ketika sekarat begini pun dia harus bertemu dengan salah satu dari mereka. Persetan dengan mereka semua, makhluk yang begitu congkak yang tak mungkin mengerti penderitaan manusia dan perjuangan mereka dalam mengatasi masalah tersebut. Tidak akan pernah mengerti perasaannya dan adiknya yang harus menjalani permainan mereka.

Dan sekali lagi dewa-dewa selalu sanggup mengejutkan Aspros. Di luar dugaan, Athena mengucapkan kata-kata yang manusiawi, tidak menghakimi. Itu membuat Aspros tersenyum, menyadari bahwa sesungguhnya Athena yang ini sebelumnya adalah seorang manusia biasa tanpa menyadari statusnya sebagai seorang dewi. Seorang gadis kumuh yang mendadak menjadi seorang dewi. Ah, dan Aspros berpikir, kalau semua dewa seperti Athena maka...

Aspros menyerahkan tasbih Asmita kepada Athena.

... Aspros bisa memenuhi mimpinya untuk mewujudkan eksistensi bagi adiknya. Dimana di dunia ini tidak ada cahaya dan kegelapan, bahwa kedudukannya dan adiknya adalah sejajar, dan mereka dapar berjalan di bawah sinar mentari atau pun sinar bulan bersisian.

Dan waktu Aspros habis, kembali pada ketiadaan, dipeluk oleh sebuah kesejukan yang familiar.

Satu (Chapter 2) - END

A/N : Dou? Gimana chapter dua ini? Emang ga begitu berhubungan sama Satu sih. Tapi udah kerasa kan brother complex-nya para gemini? XD Pokoknya chapter ini dedicated buat bang Aspros yang kayaknya ga begitu diulas sedalam adheknya itu.

Umm... buat yang sudah membaca, saya ucapkan terima kasih. Semoga pembaca menyukai ceritanya ya. Tolong berikan kritik dan sarannya ya, sekedar fangirling atau ramblingan juga boleh kok XD

06 Januari 2013