Satu

A Saint Seiya – Lost Canvas Fanfiction

Written by Gokudera J. Vie

Saint Seiya Lost Canvas © Masami Kurumada & Teshirogi Shiroi

Alternate Reality. Out of Character. (Possibility of) typo(s). Edited from One Step.

# # #

The distance between us just a one step

# # #

Kincir angin mainan itu terus berputar bagaikan siklus yang tiada akhir. Warna merah jambu dan putih mengabur menjadi satu dalam tiap rotasi, tak terusik oleh hal-hal lain kecuali poros dan angin, tak juga peduli pada sesosok yang berjalan di balik dinding-dinding batu seolah melebur bersama pekat bayangan.

Suara langkah tap-tap-tap Defteros bagaikan gaung di lorong luas yang sepi itu, berjalan di sisi yang gelap dan terlindung dari sinar. Wajah yang mengenakan topeng itu tertunduk memperhatikan ujung sepatunya tiap kali melangkah. Entah apa yang sedang dipikirkannya, tak mengena sama sekali dalam padangan matanya.

Melintasi sebuah jendela, Defteros berhenti sejenak, menatap para calon saint yang tengah berlatih dibimbing oleh beberapa saint dan terkadang jika beruntung... beberapa Gold Saint. Kebetulan hari ini adalah hari beruntung itu, dimana Gemini dan Sagitarius meluangkan waktu mereka.

Mata Defteros menyipit seiring emosi yang menyeruak keluar ketika menatap sang Gold Saint Gemini. Sang objek berdiri di tengah, mengobrol dengan rekannya dan terkadang memberi saran kepada para calon saint, bagaikan seorang tokoh utama di atas panggung dengan semua lampu sorot mengarah padanya.

Saudaranya...

Sungguh berbeda seratus delapan puluh derajat dengan Defteros, bagaikan hitam dan putih, seperti kekontrasan dengan bayangan dalam cermin. Padahal mereka lahir dari rahim yang sama, dari benih yang sama, pada hari dan tanggal yang sama, hanya beda selang beberapa menit yang membedakan mereka menjadi pertama dan kedua. Bahkan dalan konstelasi bintang yang sama pun mereka masih dibedakan menjadi cahaya dan kegelapan.

Defteros mengalihkan tatapan matanya dan kembali berjalan. Dia bukan menyimpan pedih atau apa pun terhadap kakaknya, tidak juga benci dan iri, kalau pun perasaannya harus dijabarkan ke dalam kata-kata maka itu adalah kagum dan sayang. Di dunia Defteros tidak ada yang lain selain kakaknya, tidak dibutuhkan oleh yang lain juga tidak membutuhkan orang lain.

Masih teringat dalam kenangan Defteros ketika mereka hanyalah bocah-bocah ingusan yang datang ke Sanctuary untuk mengadu nasib. Mereka lemah sehingga ingin menjadi kuat, mereka teraniaya maka mereka tidak ingin melihat orang lain merasakan derita yang sama. Siang hari menjadi milik kakaknya dan malam menjadi kuasanya. Ketika siang kakaknya akan berlatih dan dia mencuri lihat, menyamarkan diri di balik bayangan rerimbunan pepohonan. Ketika malam Defteros diam-diam berlatih menirukan apa yang dia lihat.

Terkadang Defteros tidak berhasil dalam pengintaiannya. Beberapa teman berlatih kakaknya akan menemukannya dan memukulinya, mengatainya sebagai anak sial dan menghakimi keberadaannya. Memang sebagai anak kedua dan pembawa bintang kesialan, Defteros sebenarnya tidak diperkenankan untuk melihat latihan kakaknya, apalagi berlatih bersama-sama. Hidupnya dikucilkan dan disembunyikan keberadaannya. Topeng yang dia kenakan adalah simbol dari penghakiman tersebut.

Namun, kakaknya selalu ada dan tanpa ragu menolongnya, menerima luka yang harusnya diterima oleh Defteros. Membelanya seolah dunia salah dan keberadaan Defteros benar. Hal tersebut tak pernah gagal membuat matanya pedih oleh haru.

Mengintip ingatan yang lebih jauh, ketika mereka masih berbagi selimut dalam sebuah kasur sempit, dahi mereka saling menempel dan nafas mereka menjadi semacam harmoni yang selaras, kakaknya selalu membisikkan kata-kata dengan suaranya yang pelan dan mengalun, kata-kata yang bagaikan pengantar tidur dan pembawa damai dalam tiap mimpinya.

"Defteros, Defteros, jangan pernah pedulikan kata orang lain. Cukup ingat dan ukir dalam hatimu bahwa kita ini satu, kau milikku dan aku milikmu. Kita ada karena yang lain ada, saling melengkapi satu sama lain. Karenanya, angkat dagumu dengan percaya diri dan akan kusediakan panggung dimana kita bisa berdiri bersama sebagai pemeran utama."

Yang kalau dipikir lagi sekarang hanyalah sebuah impian muluk. Defteros telah pasrah menerima takdirnya sebagai orang di belakang panggung dan biarlah sang kakak menguasai panggung. Defteros sudah cukup puas dengan perannnya, kakaknya di depannya dan tidak pernah gagal menyadari keberadaannya, berbalik dan tersenyum kepadanya.

# # #

I always believed that all I needed in this world was you

# # #

Helaian warna merah menari di udara, jatuh menutupi tanah bagaikan hamparan karpet merah. Kanon sebagai wilayah gunung berapi memiliki kesuburan tanah yang tinggi, di beberapa titik bahkan terdapat semacam ladang bunga. Musim semi kali ini banyak bunga berwarna merah bermekaran, mereka dihempas angin dan kelopaknya di terbangkan ke wilayah lain, bahkan sampai kedalaman hutan tempat Defteros sedang berada.

Topeng Defteros sudah lepas, lepas bersama keberadaan yang mengikatnya di Sanctuary. Tubuhnya berbaring menghadap langit, rautnya datar tanpa ekspresi dan matanya memandang dalam pada helaian-helaian yang jatuh, perlahan tapi pasti menguburnya dalam merah. Begitu tenang dan damai, hening dan sunyi, juga sepi dan sendiri. Pedih.

Dahi Defteros sedikit berkerut. Kelopak merah di bawah tangannya rusak oleh genggaman tangannya yang tiba-tiba mengepal erat. Ingatan paling menyedihkan sepanjang umurnya berkelebat, mengalir seiring warna merah yang menumpuk.

Sosok berwajah sama dengannya yang sedang tersenyum itu hilang, digantikan oleh sebuah pemandangan tentang Dia yang bersandar pada tembok berselimutkan merah, senyum pedih terukir di wajah yang pandangan matanya kosong tak berjiwa. Dan untuk pertama kalinya Defteros berpikir bahwa dunia itu kejam, mengambil satu-satunya kebahagiaan yang diberikan kepadanya.

Terjadinya tidak kurang dari beberapa bulan yang lalu. Manusia berubah seiring waktu, tak terkecuali untuk kakaknya. Entah sejak kapan kakaknya yang mengincar kedudukan tertinggi demi "memberikan tempat untukmu" itu berubah menjadi "agar seluruh dunia mengakui keberadaanku". Bahkan rela mengorbankan adiknya sendiri untuk mencapai tujuan itu.

Defteros bertarung dengan Asmita sementara kakaknya mencoba mengambil nyawa sang Pope. Kesadarannya terjerat duri, hatinya dipenuhi kebingungan oleh pengkhianatan sang kakak dan kemudian kenyataan paling pedih dilemparkan mentah-mentah ke wajahnya.

"Kau berdosa!" Asmita, sang Gold Saint Virgo, menekankan kata itu dalam-dalam bagai menusukkan pedang. "Tak ubahnya orang-orang di luar sana, kau menghakimi kakakmu, mendorongnya menjadi apa yang bukan dirinya. Lihatlah sekarang, hatinya melemah dan dia kehilangan tujuannya!"

Kata-kata itulah yang menyentak topengnya lepas, simbol eksistensinya sebagai bayangan, melucuti semua kepercayaannya selama ini, hanya menyisakan kebingungan mengenai siapa dirinya. Tanpa kakaknya, Defteros bukanlah siapa-siapa. Rasanya seperti dirimu di belah menjadi dua dan kehilangan separuhnya. Lalu, apa yang harus dia lakukan sekarang?

Meminta petunjuk Asmita juga tidak ada gunanya, dia hanya meninggalkan semuanya di tangan Defteros. Tidak apa, Defteros mengerti, lagi pula dia tidak mau menyesali perbuatan yang bukan dia sendiri yang memutuskan, terutama menyangkut kakaknya. Defteros lebih suka kiasan "diantara kita".

Bagai orang tuli dan buta, Defteros mengabaikan pemadangan kakaknya mencekik sang Pope, menggantinya dengan senyuman lembut kakaknya yang terukir selamanya dalam ingatan, menulikan diri dari kata-kata penuh racun yang dilontarkan kakaknya, mengulang-ulang janji kakaknya yang sudah bagaikan rekaman rusak. Dan dengan keteguhan hati untuk menarik kembali kakaknya dari jurang kegelapan, Defteros melancarkan tinjunya meski itu berarti dia harus menjadi sebuah eksistensi yang berdiri sendiri tanpa kakaknya berada di depan untuk melindunginya.

Darah menodai wajah dan tangan Defteros, yang ada di hadapannya adalah wajah penuh amarah kakaknya. Tubuh berbalut Gold Cloth itu terhuyung ke belakang dan menabrak tembok, tangannya mencengkram tirai di belakangnya untuk mendukung tubuhnya yang nyaris limbung. Tatapan penuh racun terarah pada sang Pope ketika beliau berjalan mendekati sang kakak.

"Kau mengecewakanku," kata sang Pope. "Aku sudah berniat menjadikanmu sebagai penggantiku. Tapi kenapa kau harus gagal menjalani tes terakhir dariku?" teriaknya penuh kecewa.

Defteros merasakan nyeri menatap kenyataan, pada kakaknya yang terpaku kaget mendengar penyataan sang Pope. Berikutnya kakaknya tertawa, mungkin menertawakan kebodohannya sendiri, dan detik berikutnya...

Defteros memejamkan matanya dan alisnya nyaris bertaut mengingatnya.

... kakaknya menggunakan Demon Emperor Fist pada dirinya sendiri, memanipulasi diri sendiri untuk terus membawa dendam, bahkan sampai ke liang lahat. Tubuhnya jatuh, menyentak kain semerah darah yang dicengkramnya, bagaikan sedang duduk di singgasana yang telah runtuh. Meninggalkan dunia ini bagaikan raja lalim yang terus menyimpan keji sampai ke dunia orang mati.

Defteros diam. Tidak ada airmata yang mengalir, tidak ada kata-kata terakhir yang ingin dia ucapkan. Cukup berjalan maju dan memeluk tubuh sang kakak yang semakin dingin, sama dinginnya seperti Gold Cloth yang melekat pada tubuh itu. Dahi mereka menempel satu sama lain, seperti saat mereka kecil dulu, namun sekarang hanya ritme nafas Defteros seorang yang mengalun. Kini dia hanya separuh, tapi dalam hati bersumpah, dia akan menjadi kuat, menjadi eksistensi yang dapat mengambil kembali separuh miliknya.

Defteros membuka matanya, tubuhnya nyaris tenggelam dalam tumpukan merah. Waktu istirahatnya sudah habis, saatnya kembali menempa diri, karena waktu milik Defteros tidak akan berjalan lagi dan terus berhenti pada saat kematian sang kakak sebelum dia bisa menarik kembali sosok yang bagaikan cahaya itu.

# # #

If one ceases to exist, then the other will disappear as well

# # #

Jubah Defteros berkelepak ketika maju berhadapan dengan sang kakak. Kali ini Defteros-lah yang mengenakan Gold Cloth dan kakaknya mengenakan surplice. Seolah posisi cahaya dan kegelapan ditukar. Defteros dipaksa mengingat kenangan yang memang telah melekat dalam ingatannya, disalahkan dan dikalahkan.

Kakaknya mungkin memang sudah mati, mayat hidup, dan pengikut Hades, namun juga pemilik sesungguhnya Gold Cloth Gemini. Kuat, tangguh, tapi tidak bercahaya. Sekejap saja Defteros sudah terpaku ke tanah dengan kaki kakaknya menginjak kepalanya.

Jika kakaknya berkata bahwa kakak baik hati dalam ingatannya hanyalah sebuah ilusi, khayalan, dan imajinasi, Defteros lebih suka mempercayai bahwa yang berada di hadapannya sekaranglah yang khayalan. Seandainya pun benar kalau kakaknya yang baik hati Cuma sekedar mimpi kekanakannya, maka dia akan melakukan apa pun untuk menjadikannya nyata.

Mereka bertarung, mereka terluka, fisik dan mental. Setiap kali kakaknya berkata, kepedihan dalam matanya yang seolah menyalahkan Defteros itu tak pernah luput dari perhatian Defteros, tatapan mata penuh benci dan kesedihan.

"Kita ada untuk saling membunuh satu sama lain," ucapan kakaknya itu tumpuk dengan ucapan dari masa lalu, "Kita ada karena yang lain ada."

"Pertarungan ini tidak akan berakhir sebelum satu dari kita mati." "Saling melengkapi satu sama lain."

Defteros tersenyum menyeringai. "Aku sangat setuju... kak," ucapnya, entah menyetujui yang mana, kata-kata yang diucapkan kakaknya yang jahat atau perkataan dari masa lalu yang sekarang bagaikan sekedar mimpi.

Jurus andalan mereka bertabrakan, saling menyerang dan meledak. Mereka berdua sama-sama masih berdiri, hanya Defteros sudah mencapai batas terakhirnya. Angin bertiup menerbangkan penyesalan dan kesedihan Defteros, jauh di dalam jiwanya Defteros dapat merasakan waktunya mulai kembali bergerak.

Tik!

"Akhirnya kita bisa bertatap muka empat mata (akhirnya aku bisa membawamu kembali) seperti saat kita masih bocah dulu. Betapa damai (dan betapa aku merindukanmu)," ujar Defteros menyeringai, menyimpan perasaannya yang terdalam untuk dirinya sendiri. "Aku lebih kuat (kau milikku)."

Darah mulai mengalir dari mata sang kakak dan tiba-tiba rambut kakaknya yang menjadi hitam karena tercelup kejahatan itu kembali ke warna aslinya. Tatapan kaget bertemu dengan tatapan penuh kerinduan dan rasa sayang.

Selamat datang kembali, Aspros.

Defteros menyambut kembali separuh dirinya dan dia pun tersenyum puas dalam tidurnya, kali ini dia akan bermimpi indah tentang panggung dimana mereka, dia dan kakaknya, berdiri bersisian sebagai pemeran utama.

Mereka berawal dari satu dan kembali menjadi satu

Satu – END

A/N : Jadi ini itu One Step yang kemaren dan ditulis ulang. Sengaja diselesaikan waktu Defteros gugur. Dan kalau saya berkesempatan, akan dibuat satu chapter lagi mengenai Aspros. Kasian dong Aspros, masa ga kebagian cerita melulu dari kemaren.

Semoga pembaca menyukainya ya. Kalau berkenan tolong tinggalkan kritik dan sarannya.

Gokudera J. Vie

04 Januari 2013