Tuk! Tuk! Tuk!

Bunyi meja yang diketuk beberapa kali. Terlihat manik coklat itu lebih fokus memandang ke arah luar. Duduk di pojok belakang dekat jendela, membuat ia terlindungi dari tatapan pengajar yang sedang menerangkan di depan.

Dilihat dari sikapnya, sepertinya ia kurang tertarik dengan pelajaran hari ini. Lebih memilih untuk memikirkan yang entah apa. Buku yang seharusnya berisi catatan, malah berganti alih menjadi coretan tidak jelas.

Tuk! Tuk! Tuk!

Kembali mengetuk meja. Menerawang jauh memikirkan seseorang yang entah sedang apa di sana. Suara bangku yang diseret serta suara ribut di sekelilingnya juga tidak di hiraukannya. Pikirannya masih sibuk, untuk menjelajahi

Tuk! Tuk! Tuk!

Kembali dirinya menghela nafas entah yang sudah keberapa kalinya hari ini. Berusaha untuk fokus pada pelajaran. Mengalihkan matanya dari pemandangan di luar jendela, ke dalam kelas.

Tertegun sesaat.

Kedip

Kedip

Kedip

Mata itu berkedip beberapa kali. Memastikan penglihatannya tidak salah.

Kelas yang tadinya ramai kini kosong, tidak ada satu orangpun. Bahkan teman baiknya pun turut menghilang. Meninggalkan sebuah catatan yang tidak sengaja dilihatnya tergeletak di bangku temannya.

Sebuah rangkaian huruf yang digabung menjadi sebuah kalimat.

Membacanya. Sebelum akhirnya menggerutu kesal begitu tahu isi di dalamnya.

Fidz, aku ke perpus duluan. Nanti kalau udah selesai mikirin Danielnya. :P Nyusul yah

Sohibmu Yong

"Yong!" Desisnya kesal.

Meremas kertas tidak berdosa ditangan dan membuangnya sembarangan. Memasukan buku-bukunya ke dalam tas dan beranjak dari tempat duduknya. Tujuannya kini hanya satu, mencari sohibnya yang dengan seenaknya pergi begitu saja dan meninggalkan catatan yang kini sudah tidak jelas rupanya.


~00~


"Kau istirahat saja!" perkataan itu mutlak perintah.

"Aku janji, aku akan pulang awal!" tersenyum manis seperti biasa.

"Kau tidak usah mengkhawatirkan kerjaanmu."

"Ck, aku kan sudah bilang kau harus istirahat!" memasang wajah cemberut ketika tidak mematuhi perintahnya

"Ingat! Jangan nakal! Jadilah anak baik." Menyelimuti tubuh di hadapannya.

"Aku pergi dulu." Perlahan menutup pintu

.

.

Mata itu perlahan terbuka dari tidur lelapnya, menatap sekelilingnya yang sunyi. Hal yang tidak biasa mengingat seperti apa penghuni rumahnya. Perlahan melirik jam di sampingnya.

"Damn it! Berapa lama aku tidur!" menatap tidak percaya pada jam yang sudah menunjukan tepat tengah hari.

Perlahan bangkit dari tidurnya, menyandar sesaat pada sandaran tempat tidur. Memijat keningnya, teringat kejadian tadi pagi yang sempat masuk ke mimpinya.

"Bahkan di dalam mimpi si cerewet itu mengangguku." Terdengar sedikit mengeluh walau, seulas senyum terbentuk di wajahnya. "Dasar nenek satu itu!" kekehan kecil keluar dari bibirnya mengingat ulah Nesia.

Melirik sekilas pada bupet di sampingnya. Teko yang ada di atasnya kini kosong sudah. Sepertinya terpaksa ia harus turun ke bawah untuk mengisinya kembali, apalagi rasa dahaga kini terasa di tenggorokan. Satu persatu kakinya menginjak lantai dan berdiri. Walau masih sedikit pusing, tapi sepertinya bukan masalah besar baginya untuk turun mengambil minum. Perlahan ia pun berjalan keluar kamar.

"Ingat kau harus banyak istirahat! Kau harus tidur!"

Terhenti di depan pintu, memegang kepalanya perlahan.

"Dia itu hantu atau apa, bahkan ucapannya masih saja terdengar." Menggelengkan kepala yang kembali terasa pusing dan nyut – nyutan, walau tidak sehebat tadi pagi. Merutuk kesal akan kondisinya yang tidak fit hari ini.

Perlahan dirinya menuruni tangga, berusaha agar tidak jatuh terjerembab ke bawah. Tidak lucukan, membayangkan ia ditemukan terjatuh dari tangga dalam keadaan yang tidak elit. Apa yang akan dikatakan gadis itu nanti? Dan yang lebih parah lagi, bagaimana reaksi ketiga temannya yang lain? Bisa – bisa itu akan menjadi lelucon garing selama setahun penuh. Atau mungkin bisa jadi alat pembalasan dendam Alfred karena sudah mengerjainya saat itu.

Pikiran negatif akan tingkah penghuni rumahnya merasuk ke dalam otaknya, membuat ia menggelengkan kepala perlahan.

Sigh!

"Sepertinya aku harus menyegarkan pikiranku." Batinnya miris, tidak percaya akan pikiran nista akan sahabatnya itu. Walau tidak ia pungkiri itu bisa saja terjadi mengingat bagaimana mereka semua sebenarnya.

Tertatih – tatih menuruni anak tangga, hingga akhirnya ia pun sampai ke bawah dan berjalan menuju dapur. Perlahan di ambilnya salah satu teko yang tersusun rapi di tempatnya. Menuangkannya pada gelas yang terletak tidak jauh dari situ.

Nyit!

Rasa sakit itu kembali muncul, membuat ia memegang kepalanya kembali.

Damn!

Melupakan obat yang berada di lantai atas, untuk apa ia turun kalau seperti ini. Diam, merasakan rasa sakit yang kembali menusuk kepalanya, membuat ia mesti ekstra menahan diri untuk tidak jatuh terjerembab.

"Arthur?!" Suara yang cukup familiar itu terdengar dari arah belakangnya. Terdapat nada terkejut di dalamnya.

Perlahan Arthur pun menolehkan kepalanya, melihat pemilik suara itu berasal. Sepertinya ia cukup beruntung bahwa yang pulang duluan adalah orang paling baik di rumah ini.

Mata itu membelak tidak percaya, pada penglihatannya. Sama seperti suara yang tadi menyapanya, kini ia pun ikut terkejut. Bukan, bukan karena kehadirannya yang tiba – tiba muncul di belakangnya. Tapi lebih ke arah pada apa yang kini di kenakan pemilik suara itu.

Kemeja biru yang tadi pagi di kenakannya kini terlihat basah, membuat kain itu mengikuti lekuk tubuhnya. Walaupun samar dapat ia lihat bayang di balik pakaian yang kini ia kenakan.

"A-Arthur?" Nada bingung terlihat jelas di wajah pemilik suara, mendapati Arthur yang memandang ke arahnya. Diam tanpa suara. Hanya memperhatikannya tanpa berkedip. Membuat perasaan aneh seketika merasukinya.


Disclaimer- HETALIA © Hidekazu Himaruya

Genre- Friendship, Romance,

Rating- M

Warning- OOC, Typo(s), gaje,

.

LIES

.

Chapter 5.


Flashback.

"Ma-mau apa kalian?" pertanyaan itu keluar dari mulut seorang gadis yang kini terpojok di dinding gang.

"Mau kami?" ulang lawan bicaranya memandang rekan di sampingnya. "Tentu saja kami ingin mengajakmu bersenang – senang." Seringainya kembali memandang gadis itu.

Langkah kakinya semakin mendekati gadis di hadapannya yang semakin ketakutan dibuatnya. Tidak menyangka niatnya ingin menyusul sahabatnya tadi bakal bernasib seperti ini. Di cegat di tengah jalan dan ditarik paksa menuju sebuah gang temaram. Membuatnya kini terpojok karena sempat melawan atas aksi orang tidak dikenal.

"Tidak, aku tidak mau!" ucapnya menggeleng mendengar penuturan itu. "PERGI! MENJAUH DARIKU!" teriaknya mengibaskan tas selempangnya kesembarang arah, berharap itu bisa menjadi senjatanya.

Harapan yang sia – sia, melihat bagaimana orang – orang itu dengan lihainya menahan tas itu dan tersenyum menyeringai ke arahnya. Membuat ia mati kutu begitu pemuda itu mendekat, benar – benar memojokannya. Menahan kedua tangannya yang ingin melawan. Tubuh mungilnya tidak sanggup melawan pria yang lebih besar darinya.

Pemberontakan yang ia lakukan berakhir sia – sia, menyadari bagaimana orang dihadapannya dengan tidak sopan mengoyak pakaian yang ia kenakan. Membuat gadis itu makin histeris mendapati perlakuan seperti itu. Ciuman dan belaian kasar yang mulai mendarat di tubuhnya membuat tangis itu makin menjadi. Dan untuk ke sekian kalinya memanggil nama orang yang amat dikenalnya.

"ARTHUR! Alfred!" teriaknya frustasi.

"Hahaha, berteriaklah terus, tidak akan ada yang mendengarmu, manis." Seringainya menjadi.

Kembali ingin memberikan tanda pada gadis itu yang dari tadi menangis. Dengan kasar digigitnya bahu gadis itu hingga berdarah. Membuat gadis itu makin menangis. Mata itu perlahan turun ke bawah manatap gundukan yang kini tertutupi satu – satunya pelindung gadis itu. Seringai lebar terbentuk di wajahnya. Perlahan tangannya bergerak ingin melepasnya. Sebelum niatnya terlaksana dengan baik, teriakan yang ia hapal sebagai suara temannya membuat ia menoleh. Terkejut mendapati temannya kini terlempar ke arah samping..

"Jauhkan tangan kotormu darinya!" Suara itu terdengar berat, penuh amarah dari dalam kegelapan.

"SIAPA KAU?!" geramnya memasang sikap waspada, memperhatikan langkah sepatu yang semakin mendekatinya.

Menggeram kesal, bergerak menyerang sosok yang mengganggu kesenangannya. Tangan yang terkepal erat itu mengarah pada tubuh di hadapannya yang berjalan mendekat. Beberapa inci sebelum tangan itu sampai, dengan cepat sosok itu menangkisnya dan membalasnya dengan tinjuan yang lebih kuat. Melihat bagaimana pemuda itu langsung membelakkan matanya begitu tinju itu mengenai perutnya.

"Ugh!" ucapnya kesakitan.

Pemuda yang tadi terjatuh lebih dahulu melihat temannya ikut terjatuh balas menyerang. Sayangnya musuhnya jauh lebih sigap dengan cepat menendang perutnya. Membuat ia ikut terjatuh tidak jauh dari temannya. Lirikan sekilas sosok itu berikan pada gadis yang masih saja menangis. Melihat bagaimana keadaannya membuat ia makin menjadi berang.

Sebelum lawannya siap kembali untuk menyerang, terlebih dahulu pukulan dan tendangan ia berikan pada kedua mahluk nista itu. Tidak terima melihat apa yang baru saja dilakukan keduanya pada gadis yang selama ini selalu ia jaga.

"BERANI – BERANINYA KALIAN‼" ucapnya berang, sekali lagi menyerang.

BUAGH!

BEGH!

DUAGH!

Bunyi pukulan dan tendangan menjadi irama dalam gelap, diiringi teriakan dua orang penjahat yang bahkan tidak sempat membalas. Bahkan teriakan ampunan yang dilontarkan keduanya tidak ia pedulikan. Kalap, mungkin. Bagaimanapun, jika berada dalam situasi yang sama seperti ini, logika mungkin tidak bisa berjalan dengan baik. Melihat orang yang di sayang dalam keadaan tidak berdaya. Amarah lebih dahulu menguasai.

"Al..hiks..hiks..Al.." suara itu terdengar akhirnya.

Menghentikan gerakannya yang masih ingin menghajar, menoleh pada gadis itu yang masih menangis. Terlihat tubuh itu masih gemetar, membuat ia tersadar.

"Cih!" tendangan terakhir ia berikan pada tubuh pemuda yang tergeletak di lantai sebelum mendekati gadis itu.

"..Hiks…hiks..hiks…" suara itu masih terdengar menyayat hati. Membuat ia makin merasa bersalah karena sempat mengerjainya tadi.

Berpura – pura tidak mendengar panggilan saat gadis itu menyusulnya, malah mempercepat langkahnya. Bersembunyi dibalik dinding jalanan, berniat mengagetkannya. Menunggu untuk beberapa lama, hingga mulai merasa aneh menyadari terlalu lama gadis itu berjalan menuju ke arahnya.

Panik, mengetahui gadis itu tiba – tiba hilang dari jalanan yang seharusnya ia lewati.

Perasaaan cemas melanda. Teringat kejadiaan beberapa bulan sebelumnya, hampir sama dengan sekarang. Jika saat itu ia dan Arthur terlambat beberapa menit saja mungkin hal yang tidak diinginkan akan terjadi.

Padahal Arthur sudah mengingatkannya tadi, bahwa di sini berbeda dengan tempat mereka tinggal. Tapi masih saja ia melakukan kesalahan yang sama.

Menghela napas sesaat, terdiam di depannya.

Terlihat tangan itu sediki ragu, sebelum akhirnya membawa gadis itu dalam pelukan.

"Tidak apa – apa. Kau sudah aman sekarang, Nesia!" peluknya erat berusaha menangkan. "Tenanglah, hero sudah datang." Berusaha menghibur yang malah membuat gadis itu makin sesegukan.

End flash back.


Iris saphire itu terlihat menatap ke arah langit. Untuk kesekian kalinya ia menghela napas terlihat pikirannya tidak ada di tempatnya sekarang. Wajah – wajah penghuni rumahnya satu – persatu muncul dibenaknya. Membuat ia makin malas mengerjakan laporan – laporannya yang menggunung itu. Kilas balik kejadian itu membuat ia makin tertegun. Melihat bagaimana rapuhnya tubuh mungil itu membuat ia mendecak kesal.

Tidak dapat ia bayangkan bagaimana jika ia sampai telat saat itu.

Untuk kesekian kalinya ia menghela napas, benar – benar tidak niat mengerjakan laporannya.

Mengetuk – ngetuk meja kerjanya, perlahan membuka laci di bawahnya. Mengambil figure foto yang memang ia simpan sejak lama.

Memandangnya dengan intens. Seakan – akan yang ia pandang adalah sosok manusia aslinya.

"…Neh, Iggy. Jika kau tidak cepat bertindak, aku yang akan bertindak." Mengetuk kepala salah satu orang yang berpose di dalamnya.

Perlahan iris saphirenya beralih pada sosok lainnya.

"Dan kau, jadi anak jangan lemot. Peka dikit kenapa, susah banget." Mengelus sosok satu – satunya gadis di dalam figure itu.

Kini irisnya berganti pada sosok yang merangkul gadis itu. "Fidz, kau harus tanggung jawab untuk ini semua." Menggerutu memperhatikan pemuda itu yang terlihat bahagia.

Sekali lagi beralih pada dua sosok pemuda yang tersisa di dalamnya. "Satu sudah hilang, tinggal kau saja yang belum. Kau juga sama lemotnya. Jangan suka cari kesempatan dalam kesempitan kenapa." Kembali menggerutu kesal.

"Baiklah, maafkan aku, da."

Membelakan mata mendengar sahutan yang tidak terduga. Dengan cepat iris saphirenya memperhatikan asal suara itu berasal.

Mendapati rekan kerjanya kini tersenyum memandangnya.

"Damn it! Kau mengagetkan ku, Van!" geramnya memandang pemuda berambut platinum di hadapannya. Kembali menaruh bingkai foto di tempatnya semula

Tersenyum senang melihat wajah itu terlihat kesal. "Kau di minta menyerahkan laporanmu sekarang, da." Kembali berjalan dengan senyum masih menghias wajahnya. Terkesan tidak peduli dengan penuturannya barusan.

"Kau benar – benar menyebalkan," sungutnya.

Terhenti, menoleh, menatap iris saphire itu yang cemberut menatapnya.

"Terima kasih, da." Tersenyum ceria.

"Aku tidak memujimu, Bastrad!" amuknya melihat tingkah temannya yang berjalan santai. Menganggap apa yang ia bicarakan sebagai angin lalu.

Senyum masih menghias wajah tersebut yang malah menambah perempatan muncul di kepala Alfred.


~IGC~


" Arthur…" mata itu menatap penuh tanya ke arahnya.

Tubuhnya kini mengekang tubuh seorang gadis yang sudah di hapalnya cukup lama. Membelai pipi itu perlahan sebelum akhirnya menangkup dagu mungil itu dan mengarahkannya ke atas. Di rendahkan tubuhnya menyatukan bibir keduanya. Perlahan ciuman itu kian menuntut, memaksa masuk lebih dalam. Menggigit bibir bawah sang gadis yang kaget akan ulahnya dan perlahan membuka. Memudahkannya untuk mengeksplorasi apa yang berada di dalamnya. Kedua lidah mereka saling bertemu dan menari dalam mulut entah milik siapa.

Pukulan kecil dirasakannya, kala sang gadis kini butuh oksigen, membuatnya menghentikan ciuman itu memisahkan bibir mereka. Benang – benang saliva tercipta saat keduanyanya saling menjauh. Deru napas yang saling berlomba terlihat di masing – masing pemilik, sebelum akhirnya kembali disatukan. Saling berkait dan membelit bagai sepasang ular yang saling berkelahi.

Cengkraman di bahunya dapat ia rasakan kala ciuman itu kian menuntut, jauh lebih lama. Mengecap segala rasa yang ada pada pemiliknya. Seperti candu yang membuatnya tergila – gila. Dorongan pelan ia rasakan, napas gadis di bawahanya kali ini tidak beraturan. Wajar saja, walau berkali – kali memberi tanda bahwa gadis itu kehabisan napas ia tidak bisa berhenti untuk mengakhiri ciuman mereka.

"Arthur ..?"

Kalimat itu tidak dapat selesai, kala ia mendekat dan membelai leher jenjang itu, membuat sang pemilik melenguh pelan. Seulas senyum kecil tertera di wajahnya mendengar lenguhan itu. Perlahan ia tenggelamkan wajahnya pada leher mungil itu, menghirup aroma yang menguar dari tubuhnya.

"Eng~ah… Arthur." Desahnya

Arthur mulai menjilati permukaan leher gadis itu dan mulai mengecupnya. Meninggalkan ruam – ruam kemerahan di sana. Membiarkan desahan keluar dari bibir mungil itu.

"..Arthur.." tubuhnya perlahan di tahan, onxy bertemu emerald. "Kau tidak boleh melakukan ini padaku, Alfred bisa marah, loh." Sebuah senyum terlukis di bibir gadis menatap iris miliknya.

Arthur hanya bisa merasa kesal dalam hati, bahkan dalam keadaan seperti ini, Nesia masih sempat memikirkan pria berkacamata itu. Masa bodoh dengan itu semua, dari pada menjawab perkataan Nesia, Arthur lebih memilih untuk kembali memulai aksinya. Melumat bibir merah di hadapannya yang terlihat membengkak.

"Engh~Arthur..." Kembali tubuhnya di tahan. "Kau tidak boleh melakukan ini padaku—"

"Jangan katakan, Alfred akan marah padaku." Sungutnya kesal, kembali merasa terganggu. Menatap Nesia yang mengangguk.

"Yah, Alfred akan marah padamu, seperti sekarang." Senyum Nesia manis.

Perkataan yang membuat Arthur bingung kali ini. "Nesia benar, Iggy. Seharusnya kau tidak boleh melakukan itu pada Nesia. Bukankan kau sudah memiliki aku." Sebuah suara yang sudah di hapalnya kini berada di belakangnya membuat ia membelakan mata.

"A-Alfred." Ucap Arthur kaget, tidak menyadari sosok pria itu entah sejak kapan berdiri di belakangnya.

BUGH!

Tubuhnya kini terdorong ke tembok, tempat dimana ia menyudutkan Nesia barusan. Bersamaan dengan itu ciuman kasar kini mendominasi dirinya. Gesekan kuat ia rasakan di sekitar bibirnya. Lidah Alfred memaksa masuk ke dalam rongga pemuda pirang itu. Menyentuh dan mengabsen setiap organ di dalamnya.

Sedikit panik, Arthur mencoba mendorong pemuda itu seraya terbatuk keras. "Ohok – ohok – Ohok – Alfred – apa yang – ohok."

"Kita adalah sepasang kekasih, Arth." Sahut Alfred memutus ucapan Arthur yang membelak tidak percaya. Ditariknya kembali kerah baju Arthur dan memagut bibir itu dengan rasa lapar yang berlebih.

Tidak lagi mempedulikan Nesia yang kini tersenyum aneh di belakang Alfred. Terlihat bersorak gembira menyaksikan adegan kemesraan kedua pria yang saling ingin memakan walau sesungguhnya yang lebih banyak berperan adalah Alfred.

Hisapan, lumatan dan decakan telah bercampur menjadi satu dengan saliva. Mengalir melewati dagu dan leher Arthur. Lalu berhenti saat keduanya membutuhkan oksigen untuk paru-paru.

"Al – hhh – Alferd –Ghhhh." Panggilan Arthur berusaha menyadarkannya. Alfred kembali menyentuh bagian vital pemuda di hadapannya. Selanjutnya turun ke lubang anal yang terus berkedut tanpa henti. Alfred menjilat bibirnya penuh nafsu.

"Aku ingin mamasukimu." Bisiknya dengan nada yang agresif ditelinga pemuda itu. Mutlak perintah.

Tidak peduli pemuda itu membelak horor, saat kakinya dibuka lebar.

.

.

.

"HUWAAAAAAAAAA‼ TIDAKKKKKKKK‼"

DUAGh!

"Awww!/ Kyaaa!." secara bersamaan dua kepala yang saling beradu merasakan efek sakit dari perbuataan barusan. Refleks keduanya sama – sama mengelus jidatnya masing – masing.

"..Nesia?" Suara itu terdengar pelan, melirik kaget asal suara selain dirinya.

"Arthur, kau apa – apaan sih?" terdengar mengeluh, setelah mengelus jidatnya yang kini terasa nyut – nyutan.

Mata pemuda itu melihat sekelilingnya. Perasaan takut masih menyelimuti hatinya. Baginya itu adalah mimpi paling menjijikan yang pernah ia dapat. Tubuh itu masih sedikit bergetar saat Nesia mendekatinya.

"Kau baik-baik saja, Arth?" tanyanya khawatir menatap pemuda itu yang kini menangkupkan kedua tangannya pada wajahnya.

Napasnya masih memburu berat. Perlahan menoleh ke arah Nesia yang masih menatapnya cemas.

"..A-apa yang kau lakukan disini?" tanyanya menarik selimut pada tubuhnya. Respon yang menandakan ia takut akan sesuatu.

"Heh? Memeriksa kondisimu, apa lagi memangnya?" nada keheranan terdengar dari suaranya, entah karena pertanyaan pemuda itu atau karena tingkahnya yang terlihat aneh. Memeriksa pakaian yang kini di kenakannya utuh atau tidak. "Kau itu kenapa, sih?

"Eh? A-apanya yang kenapa?"

Memasang wajah cemberut. "Tingkahmu itu seakan – akan aku hantu saja, menyebalkan." Sungutnya tidak terima akan tingkah Arthur yang terpojok pada tepi tempat tidur.

"Pe-perasaanmu saja." Mengalihkan tatapannya dari Nesia yang makin kesal di buatnya. "..A-apa yang kau lakukan?" tanyanya panik, saat Nesia kini menarik selimutnya. Membuatnya teringat kembali akan mimpi anehnya barusan.

"Tentu saja, aku ingin memeriksamu." Sahutnya bersikeras menarik selimut Arthur. "Kalau kau seperti ini, mana bisa aku memeriksamu." Menggeleng heran akan tingkah Arthur, seperti ia akan memperkosanya saja. "Kau itu kenapa? Seperti aku akan melakukan sesuatu padamu saja?"

"..A-apa? Apa maksudmu?" gugupnya mengahlikan iris emeraldnya dari wajah Nesia. "H-hanya perasaanmu saja."

Putaran mata bosan di lakukan Nesia akan jawaban Arthur. "Terserah kau sajalah, yang jelas berhentilah bertingkah bodoh." Sinisnya menatap Arthur.

"A-apa? Bodoh?" perempatan perlahan muncul dikepala Arthur. "Siapa yang kau maksud dengan bodoh, bocah." Kekeh mempertahankan selimut yang melekat pada tubuhnya saat Nesia kembali ingin menariknya.

"Bocah? Beraninya kau memanggilku dengan sebutan itu lagi, dasar alis."kali ini perempatan berpindah tempat pada kening Nesia, menggantikan rasa sakit yang sudah lama hilang.

"Apa maksudmu dengan alis, heh?"

"Ich, memang alis kan." Ucapnya pelan.

Dugh!

Sebuah pukulan kecil mendarat manis di kepala Nesia, ulah pemuda beralis tebal yang kini tersenyum puas setelah melakukannya. Membiarkan gadis itu kini meringis dan mendelik ke arahnya dengan kesal.

"Apa?" tanyanya sinis menatap ke arah Nesia.

"Kalau bukan karena kau sakit, sudah kubalas kau." Sungutnya kesal melihat tatapan meremehkan Arthur yang kini terkikik kecil mendengar perkataannya barusan.

"Coba saja!" ucapnya angkuh.

"Kau.."

"Apa kalian tidak bisa tenang barang sejenak?" pertanyaan bernada datar terdengar dari arah pintu memutus percakapan Nesia dan Arthur. Serentak keduanya menoleh bersamaan.

Terlihat Hafidz yang dengan wajah ketus membawa baki berisi bubur.

"Ah, apa sudah masak?" tanya Nesia berdiri, memberi ruang bagi Hafidz untuk menaruh bubur tidak jauh darinya.

"Bagaimana keadaannya?" pertanyaan di balas pertanyaan, menatap sinis Arthur yang berjengit melihat tatapan Hafidz pada dirinya.

"Lihat saja sendiri," iris onxy milik Nesia melirik sekilas pada Arthur yang kini mendumel mendapat perlakuan seperti itu.

Merasa dipandangin dari atas ke bawah, membuat Arthur membalas tatapan itu. Brown bertemu emerald, terlihat sorot aneh di salah satu iris itu saat keduanya bertatapan. Membuat Nesia yang melihatnya bingung akan kedua manusia ini yang saling bertatapan tanpa berkedip.

"Ehmmm, bukannya ingin mengganggu. Tapi kurasa kau butuh istirahat Arthur." Perkataan Nesia membuat kedua iris itu beralih padanya yang kini tersenyum. "Jadi, sebaiknya setelah kau makan buburmu, jangan lupa minum obat dan istirahatlah." Sarannya sebelum beralih pada pemuda di sampingnya. "Nah, Fidz. Mari kita keluar." Suara itu penuh sarat penekanan membuat Hafidz mau tidak mau merinding di buatnya.

Sedangkan Arthur kini helaan napas berat ia berikan tak kala keduanya meninggalkannya. Mengintip tubuh bagian bawahnya dari balik selimut. "Damn it!" makinya.


~IGC~


Wajah itu merenggut masam, terlihat berpikir dengan serius entah kenapa dirinya kini terlihat tidak suka. Paperwork yang berada di depannya pun ia perhatikan dengan datar, terlihat tidak tertarik. Dirinya lebih tertarik melirik teman serumahnya yang kini berada di sebelahnya. Memberikan segelas hot chocolate.

"Jadi, apa kau bisa menjelaskannya padaku?" tanyanya menatap penuh harap pada satu – satunya gadis di rumah ini.

Helaan nafas berat ia berikan sebagai jawaban, sebelum diikuti gelengan.

"Ayolah, Nes. Kau pasti tahu sesuatu kan." Rengeknya melihat Nesia yang sedikit if feel akan tingkahnya.

"Aku benar – benar tidak tahu, Al. Kenapa Arthur bertingkah seperti itu padamu?" akhirnya ia berkata juga setelah dari tadi terus diam. "Apa kau tidak melakukan kesalahan tadi pagi?" tanyanya balik, sekilas iris matanya melirik pada Hafidz yang kebetulan lewat, membuat pemuda itu sedikit merinding karena ulahnya. Teringat akan kejadian beberapa jam yang lalu saat mereka keluar dari kamar Arthur.

Flash back

"..Kau gila, mana mungkin aku melakukan itu."elak Hafidz cepat saat Nesia memojokannya ke dinding.

"Apa kau yakin dengan perkataanmu itu Fidz?" tanya Nesia penuh selidik.

"Gah, kau ini, tidak percaya sekali!" teriaknya frustasi yang langsung dibekap Nesia.

"Bisa tidak teriak gak!" tatapnya galak. "Ini bukan di hutan tahu."

"Gah, kau pikir aku monyet, gitu." Sungutnya menyingkirkan tangan Nesia yang kini mengangguk akan ucapan Hafidz barusan. Tidak peduli perempatan perlahan muncul di kepala Hafidz. "Ah, sudahlah! Kutegaskan sekali lagi! Apa pun yang kau pikirkan tentang aku dan Arthur itu tidak benar! Aku tidak memiliki rasa apa pun pada pemuda itu, paham!"

End Flash Back

Walaupun Hafidz sudah bersikukuh kalau mereka tidak ada apa – apa tetap saja. Melihat Alfred yang frustasi seperti ini membuatnya tidak enak juga. Apalagi mengingat bagaimana tadi Hafidz dan Arthur saling berpandangan. Membuatnya yakin pasti ada yang disembunyikan oleh keduanya. Tapi, apa?

Apa ini ada hubungannya dengan Arthur yang mengusir Alfred dari kamarnya dengan cara kasar. Padahal niat Alfred saat itu hanya ingin menjenguk, sekaligus mengecek kondisi kesehatannya.

"Pasti ada hal yang terjadi dan aku tidak mengetahuinya." Oceh Alfred menyadarkan Nesia dari lamunan.

"Atau mungkin karena dia sudah bosan dengan tingkahmu, ve." Sahut Feli yang mengganti chenel televisi.

"Ck, apa maksudmu. Memangnya aku kenapa?" manyunnya memajukan bibir, mendelik pada Feli yang memasang wajah tanpa dosa. Sedangkan Nesia matanya membulat mendengar perkataan Feli barusan. "Apa yang salah dengan tingkahku, yang baik hati, ramah dan tidak sombong ini?" tanyanya narsis membuat yang lain memutar mata akan kenarsisiannya.

".. atau mungkin ada perkataan darimu yang membuatnya kesal semalam?" sambung pemuda berohage itu lagi, tidak dipedulikannya tatapan Alfred berubah tajam ke arahnya. Menggantikan tatapan Nesia yang kaget tadi.

Kedua iris berbeda warna itu saling bertatapan, melupakan Nesia yang kini berada di antara keduanya dan berkedip. Merasa bingung dengan keadaan orang-orang di sekelilingnya yang senang bertatapan. Membuatnya memikirkan hubungan yang tidak-tidak, terjalin di antara kedua pria yang masih saling bertatapan. Sepertinya percintaan yang terjalin di rumah ini semakin membuatnya pusing tujuh keliling.

.

.

.

.

.

TBC


Halo! Gie datang lagi.

Kagak nyangka, fict ini kembali update dalam jangka waktu yang luamaaaa. Padahal ini chapter, aslinya dah selesai dari kemarin. Berhubung sempat terhalang kagak bisa konek, buat Gie hampir ngelupain nih fict. Sejujurnya gie kurang yakin sama chpter kali ini. Maklum, gak sempat diperiksa. Kegiatan juga jadi penghalang. Jadi kalau tar pada bingung dalam beberapa kalimat. Silakan protes saja ama Nesia *dihajar* Nanti gie perbaiki lagi secepatnya. Yah, gak tahu seberapa cepat. *ditendang*. N berhubung besok lebaran Gie ucapin Met lebaran yah reader. Kalau gie banyak salah kata waktu balas review, suka telat update. Dimaafin yah *kedip2* Jangan lupa bagi opornya buat Gie, ditungguin loh *dihajar ramai2*


Balas Rev

Noir-Alvarez, Thanks udh review fict ini lagi :D Iya tar saya perbaiki lagi. di sini saja, saya yakin masih ada kesalahan yang sama T.T

Everly De Mavis, Arthur: Sabar? Sampai kapan saya harus sabar?! *Ngetok kepala Arthur* Maafkan adegan barusan. Makasih buat reviewnya

livylaval, Iya tar saya perbaiki lagi, uknes yah *lirikArthur yang joget2* facelamp* Ini sudah seasap yang Gie bisa. Makasih udah mau review

morathami, Ini udah gie update, maaf yah telat.

Brownchoco, Thanks, oke ini udah Next


Kritik, saran, dan segala hal yang membangun buat kelangsungan fict ini, baik review, Fav dan alert. Gie ucapin Makasih. Suer deh, tar kalau sempat gie perbaiki lagi. soalnya lagi gak sempat, takutnya tar makin telat update. Jadi maafin yah. *kedip ganjen* dihajar*