Senyum manis terlukis di wajah seorang gadis yang membuka jendela. Menghirup udara segar di pagi hari, menikmati kedamaian dan ketenangan. Perlahan mengikat rambutnya ke belakang, mengucirnya menjadi ekor kuda. Memulai kegiatan rutin di pagi hari yang sudah menjadi tugasnya belakangan ini. Suasana pagi yang seperti ini, memang membuatnya jauh lebih bersemangat mengerjakan tugas – tugasnya.

Tenang dan damai, rasanya itu juga merupakan impian bagi sebagian orang untuk melewatkan waktunya. Merasakan hangatnya mentari yang perlahan menyapa, merasakan udara pagi yang menyegarkan tanpa polusi udara. Dan melewatkan waktu sarapan tanpa suara berisik sedikitpun, pasti menyenangkan. Yah menyenangkan, jika saja suara teriakan yang sudah hampir dihapalnya tidak terdengar. Menghancurkan ketenangan dan ketentraman yang dirasakannya.

"Bloody Hell! Berapa kali harus kubilang. Aku tidak setuju dengan rencana itu!" terdengar suara teriakan dalam ruang makan.

Tidak mempedulikan pemilik sepasang iris hitam menghentikan kegiatannya barusan. Menghela nafas mendengar suara berisik dari pemuda beralis tebal di dekatnya. Walau ini bukan yang pertama kali, tapi jika sering, tetap saja bisa merusak gendang telinganya yang suci. Setelah ini dia mesti mendengar ceramah agama untuk kembali mensucikan telinganya.

Kriet‼

Terdengar suara pintu yang terbuka, tidak jauh dari dirinya.

Kembali matanya memperhatikan arah kamar tidur, di mana tepatnya dua orang pemuda keluar dari dalamnya. Rentetan makian tampak keluar dari mulut seorang pemuda asia, menatap kesal pemuda bepelester yang berjalan di depannya, entah masalah apa lagi yang sedang melanda keduanya.

"Berhentilah mengeluh, Fidz!" ucap pemuda berplester, terlihat lelah mendengar keluhan pemuda di sampingnya. "Sudah berapa kali kubilang aku tidak sengaja, mencelakai bokongmu itu!" gerutunya, mungkin sedikit kesal mendengar keluhan pemuda itu.

"Yah, untuk kesekian kalinya kau katakan itu dan untuk kesekian kalinya kau tetap juga melukainya bukan." gerutunya membuang muka.

Pembicaraan yang absurd di antara keduanya, membuat ia berjengit mendengarnya. Walau ia tahu, keduanya sering keluar dari kamar yang sama. Tetap saja, bukankah itu seharusnya hal yang pribadi bagi keduanya. Kenapa harus digembar – gemborkan seperti ini. Benar – benar.

"..Nes..Nesia!"

Suara pemuda terdengar dari sampingnya, membuatnya menoleh. Mendapati sepasang manik saphire memperhatikan dirinya.

"Apa kau ingin ku bantu bawakan itu, Nesia?" tanyanya mendekati mangkuk berisi sayuran di dekatnya. "Apa?" heran pemuda itu, mendapati gadis beriris hitam di depannya malah memperhatikan dirinya.

"..Tidak ada," gelengnya, mematikan kompor di hadapannya. "Kau hanya membuatku kaget saja, Al." Perlahan memberikan nampan pada pemuda itu, untuk membantunya mempermudah membawa mangkuk berisi sayuran panas di dalamnya. "Sekarang kau bisa membawanya."

Satu anggukan kecil dilakukan oleh Alfred yang kini membawakan sarapan ke atas meja, dan menatanya dengan rapi. Membiarkan manik coklat di dekatnya memperhatikan apa yang dibawanya.

"Ve~, tidak ada pasta?" Tanya seorang pemuda ber-ahoge keriwil memperhatikan hidangan yang di bawa oleh pemuda bermata saphire. "Aku ingin pasta, vee.." pintanya memelas. Melirik Nesia yang mengikuti Alfred dari belakang, membawa beberapa hidangan yang belum di bawa Alfred.

"..Berhentilah mengeluh, Feli! Banyak makan pasta tidak baik buat kesehatanmu." Ucap Nesia, melihat tingkah pemuda itu. "Dan lagi, apa kau tidak bosan makan pasta terus?" Tanyanya heran.

"Tentu saja tidak, Ve.." gelengnya cepat. "Pasta itu.."

"Baiklah, aku paham. Untuk makan malam, kau boleh membantuku membuatnya." Potongnya cepat, tidak ingin mendengar kelanjutan yang sudah dapat ia tahu akhirnya. Membicarakan tentang pasta dengan pemuda itu tidak akan berakhir sebentar, malah mungkin berjam – jam.

"Nesia, baik, Ve.." riang pemuda itu memeluk Nesia yang kini mesti berusaha melepaskan pelukan itu.

"Iya – iya, sekarang duduklah Feli," ujarnya melirik Alfred yang tersenyum melihat tingkah mereka. Dan memberikan isyarat untuk melihat rekannya yang lain.

Perlahan iris hitamnya beralih pada pemuda beralis tebal yang masih sibuk berbicara dengan seseorang di sebrang sana. Menghela nafas, melihat tingkah pemuda itu, "Kau juga Arthur. Matikan telponmu! Sekarang waktunya kita sarapan." ucapnya dengan suara yang dirasa mampu terdengar oleh pemuda itu. "Dan kalian berdua, berhentilah berkelahi dengan pembicaraan aneh itu." Membuat kedua orang yang di suruh, bersamaan memandangnya.

"Tidak ada yang aneh dengan—."

"Yah, teruslah berbicara, Fidz! Dan kau akan semakin telat pergi ke kampus." Delikan maut yang di perlihatkan oleh gadis itu, membuat bantahan yang ingin di keluarkan pemuda itu batal keluar.

Hal yang sama berlaku dengan Arthur, sedikit terpaksa memutus pembicaraannya dengan rekannya. Perlahan pemuda itu berjalan menuju meja makan, memilih duduk disalah satu kursi. Memperhatikan Alfred dan Feli, keduanya kini sudah duduk dengan rapi di meja makan. Sepertinya mereka lebih tahu, membantah Nesia pada pagi hari bukanlah hal yang bagus. Menatap beberapa pasang mata yang kini memperhatikannya sebentar. Melirik ke arah dirinya, menyuruhnya untuk memimpin doa, sebelum akhirnya menghabiskan sarapan yang sudah tersedia di meja bersama – sama.


~o~


Helaan nafas dilakukan Hafidz yang kini bersandar pada kusen pintu dapur.

"Nes, hari ini aku tidak pulang. Ada yang harus ku kerjakan di rumah temanku." Ucap Hafidz, melihat Nesia membereskan peralatan makan. "Baiklah kalau begitu aku pergi dulu." Lanjutnya begitu mendapati respon dari Nesia berupa anggukan.

Langkah kaki Hafidz yang terdengar mulai menjauh, membuatnya kembali melanjutkan acara mencuci piring sendirian. Butuh beberapa detik baginya, untuk menyadari bahwa ia sedang di perhatikan dari ruang makan. Menoleh dan mendapati, masih ada seorang pemuda yang duduk di ruangan itu sendiri, diam memperhatikan gelas tehnya. Seperti ada hal menarik terdapat di dalamnya.

Menaruh piring bersih terakhir ke rak piring sebelum mendekati pemuda itu.

"…Kau tidak berangkat, Arth?" sedikit heran mendapati pemuda beralis tebal itu masih duduk santai menikmati tehnya.

Emerald bertemu iris hitam, menghela napas sebelum akhirnya menjawab. "Sebaiknya kau cepat bersiap, jika tidak ku tinggal." Jawabnya, berdiri dari kursinya dan meninggalkan ruang makan.

Sedangkan Nesia yang mendengarnya, hanya bisa menatap heran pada teman serumahnya itu. Walau sudah tinggal bersama selama ini, tetap saja dia tidak bisa menerka dengan cukup baik, seperti apa teman – temannya ini.

Menggaruk kepalanya yang tidak gatal, terlihat sedikit berpikir. Seulas senyum terlukis di wajahnya kini, menyadari alasan konyol pemuda itu yang sudah berjalan menjauh. Segera dirinya belari ke kamar, bersiap – siap untuk berangkat. Terlambat sedikit saja, omelan gratis dari pemuda itu pasti menghampirinya nanti.

Gratak!

Suara benda pelan yang tersentuh, dengan cepat di tangkapnya. Sedikit bersyukur bingkai foto yang disenggolnya tidak terjatuh. Tersenyum melihat gambar di dalamnya, ia dan kelima rekannya. Seulas senyum kembali tercipta di wajahnya, tidak di sangkanya ia bisa tinggal bersama dengan mereka selama ini. Mengingat foto itu diambil hampir dua tahun yang lalu. Benar – benar waktu yang lama. Masih ada dalam ingatannya penyebab kepindahannya saat itu.

.

.

Disclaimer- HETALIA © Hidekazu Himaruya

Genre- Romance

Rating- T

Warning- OOC, Typo(s), gaje,

.

LIES

.

.

Flashback

Tik… tak… tik… tak… terdengar suara pelan dari jam yang terus bergerak setiap detiknya di dalam ruangan. Memperlihatkan dua sosok anak manusia saling berhadap – hadapan. Perlahan menyeruput teh yang terhidang dilakukan oleh salah satunya. Membiarkan lawan bicaranya diam, menunggu keputusan darinya yang kini terlihat berat mengambil keputusan.

"…Kau yakin tidak akan ada masalah, Fidz?" tanyanya, memandang pemuda di hadapannya yang kini terlihat tenang duduk di bangkunya.

Menghela nafas, memperhatikan gadis di hadapannya yang kini terlihat ragu. "Ck, kau ini Ndon, tidak percaya sekali denganku. Kau tenang saja, mana mungkin teman – temanku bakal tertarik dengan gadis lusuh seperti kau." Memicingkan mata, melihat gadis di hadapannya bersiap menyiram dengan gelas berisi teh di tangannya. "…Aku hanya bercanda." Ucapnya mengangkat kedua tangannya, tidak tertarik untuk membuat keributan di tempat umum.

"Sepertinya kau lebih berniat mengajakku berkelahi, Fidz," gerutu gadis itu kesal.

"Kau ini cepat sekali marah, bukankah sudah kubilang, aku hanya bercanda tadi." Gelengnya pelan, menatap ke arah gadis itu yang kini membuang muka. "Ayolah, Nes. Kau seperti tidak tahu aku saja."

"Justru karena sudah tahu, makanya aku malas." Bersuara sepelan mungkin, memperhatikan mobil – mobil yang berlalu lalang di jalanan.

"Kau bicara apa Ndo- ah, Nes." Dengan cepat merubah panggilan kesayangannya yang biasa ditunjukan untuk gadis ini. Menyadari lirikan maut sudah diperlihatkannya. "Jadi, bagaimana kau setujukan?" berusaha kembali membujuk gadis itu, sekaligus melupakan panggilan barusan. "Ayolah, hitung – hitung berhemat." bujuknya lagi.

Melirik kembali pemuda di hadapannya yang kini gantian menyeruput minumannya. Hemat? Ah, benar juga, dia mesti menghemat pengeluarannya untuk beberapa bulan ini. Apalagi mengingat uang kostnya kini dinaikan. Membuatnya pusing setengah hidup memikirkannya. Sepertinya memang tidak ada salahnya dia menerima ajakan pemuda di hadapannya ini. Lagian saran saudara satu eyangnya ini ada benarnya juga.

"..Entahlah Fidz, aku masih tidak yakin." Ragunya memandang Hafidz yang menghela nafas.

"Hah kau ini. Begini saja kau tinggal sampai kami mendapatkan pengurus baru." Pintanya menatap Nesia yang terlihat berpikir. "Kau tidak mungkin tega dengan sepupumu ini kan. Yah, Please!" bujuknya memandang Nesia yang sedikit banyak terpaksa mengangguk.

Walau bagaimanapun tetap saja dia tidak rela, tinggal terlalu lama dengan orang yang baru akan dia temui. Apalagi mengingat semuanya adalah pria. Memikirkannya saja sudah membuatnya tidak senang. Jika bukan karena keuangannya saat ini sedang menipis, tentu sudah ditolaknya permintaan pemuda di hadapannya ini. Walau seperti apa pun dia memohon, dan memasang wajah anak kecil minta dibelikan balon sekali pun. Tetap saja, dia tidak mau melakukannya.

~IGC~

Sungguh dirinya benar – benar tidak menyangka bahwa sepupunya akan membawanya ke sebuah rumah yang jauh dari jangkauan penduduk. Oke, ia akui rumah itu besar. Tapi dia punya alamat, ini rumah apa rumah. Serius deh, jika bukan karena sepupunya ini membawa mobil. Dapat dipastikan kakinya akan lecet, mana saat ini dia pakai high heels. Benar – benar beruntung.

"Yaick, apa – apaan kalian ini ‼" Terdengar suara histeris Hafidz saat mereka baru saja masuk ke dalam rumah.

Kaget adalah reaksi pertama yang dirasakannya saat masuk ke dalam, mengikuti Hafidz yang berdiri di ruang keluarga. Mengintip dari bahu sepupunya yang terlihat shock. Ikut terpaku, mendapati dua orang pria sedang saling bertindihan. Satu hal yang terpenting, salah satu pemuda itu sedang terbaring, hanya dengan memakai celana jeans saja. Entah kemana pakaiannya, hanya kedua orang di dalam ruangan itu saja yang tahu.

Membuatnya berkedip satu kali, sebelum akhirnya membalik tubuhnya dengan cepat. "Fidz, aku tunggu di ruang tamu saja." Bergegas berjalan di koridor. Membiarkan rentetan keluhan dikeluarkan oleh Hafidz yang tersadar dari shocknya.

Menghela nafas lega begitu duduk di salah satu kursi. Memijat keningnya perlahan, berusaha melupakan kejadian yang baru saja dilihatnya, sebelum akhirnya merasakan dirinya diperhatikan. Membuka matanya dan mendapati sosok pemuda bermata coklat yang kini tersenyum menatapnya dari jarak yang cukup dekat.

Dirinya hanya bisa kaget untuk kedua kalinya, dan refleks menjauhkan wajahnya. Detak jantungnya yang tadi normal, kembali berdetak lebih cepat. Perasaan was – was kini melanda dirinya. Apa lagi kali ini? Mungkin itu adalah pemikirannya saat ini.

"Ve~, Kau baik – baik saja?" tanyanya tersenyum, melihat Nesia mengangguk ."Kau siapa?" Aku Feliciano Vargas, kau bisa memanggilku Feli, Vee~."

Senyum yang menurut gadis itu manis, tapi membuat perasaannya tidak enak di sisi lain. "Senang bertemu denganmu, Feli. Aku Nesia, sepupu Hafidz." Senyumnya berusaha menutupi kegugupannya barusan.

"Kau gadis yang dimaksud oleh Hafidz rupanya. Senang berkenalan denganmu, Ve~."

Perkataan yang membuat gadis itu menerka – nerka, apa yang di bicarakan sepupunya itu dengan pemuda di hadapannya sekarang. Melihat bagaimana senyum ramah senantiasa terlukis di wajah pemuda itu. Derap langkah seseorang yang mendekat ke arah mereka, mengurungkan niat gadis itu untuk bertanya lebih lanjut.

"..Feli, kau lihat C…" ucapan itu terhenti sesaat. Terdiam melihat sosok lain yang berada di samping temannya "..NESIA?!" ucapnya, memperhatikan gadis itu dari atas hingga bawah. "Kau Nesia kan?!" tanyanya memastikan.

"..Eh?! Daniel?" Kaget Nesia melihat sosok pemuda di hadapannya. Membuatnya perlahan berdiri. "..Hei, apa kabarmu?"

"Hahaha, baik seperti yang kau lihat." Cengirnya ceria melihat ke arah Nesia yang tersenyum "Sepertinya kau juga begitu." Ucapnya mendekat, memperhatikan gadis itu mengangguk ."Apa yang kau lakukan di sini?"

"Ah aku…"

"Nesia akan tinggal dengan kita." Kali ini terdengar suara lain dari belakang pemuda itu, terlihat Hafidz yang menyandar pada tiang pintu. Sepertinya ia telah menyelesaikan urusannya dengan kedua temannya yang sedikit aneh itu.

Daniel sendiri mendengar penuturan Hafidz, membelakan matanya, menatap gadis itu tidak percaya. Berbeda dengan Feli yang hanya bisa diam menyaksikan ketiganya. Senyum senantiasa terlukis di wajah pemuda itu. Mengamati situasi yang kini terjadi di depannya.

"Ah, masih belum pasti." Tersenyum tidak enak melihat tatapan yang ditujukan pemuda itu pada dirinya.

Melihat keduanya saling memandang, membuat pemuda itu kembali berkata. "Sepertinya kalian sudah mengenal cukup baik." Terdengar ketus saat Hafidz kembali berkata.

"Tentu saja, kami kan pernah bersama hampir sembilan tahun." Cengir pemuda bermata esmerlad itu.

"Eh? Kalian pernah pacaran, Ve~?" tanya Feli, terlihat pemuda itu kaget mendengarnya. Reaksi yang sama di perlihatkan Hafidz.

"Tidak, bukan begitu. Kami hanya teman dari elementary school hingga berlanjut ke tahap selanjutnya. Itu saja" Jawab Nesia cepat, melirik ke arah Daniel yang masih tertawa melihat reaksi teman – temannya. "Kau jangan membuat orang salah paham, Daniel." Gelengnya melihat pemuda itu.

Daniel sendiri terlihat tidak ambil pusing dan tersenyum. "Kita lanjutkan nanti lagi, Nes. Ada hal yang harus aku selesaikan dengan Feli." Ucapnya menarik tangan pemuda itu. Tidak mempedulikan ucapan protes dari pemuda yang di tariknya.

Melihat kedekataan keduanya, gambaran tentang dua pemuda yang baru saja terjadi tadi kembali teringat. Hubungan aneh antara keduanya sempat terlintas di otaknya sesaat. Apakah mereka sama dengan kedua pemuda barusan?

Melihat Nesia terlihat berpikir, Hafidz yang merasa di cuekin menjadi kesal sendiri. "Woy, Nes, jangan melamun, kenapa? Kau ingin kesambet?" Gerutu Hafidz mendekati gadis itu.

Menoleh, memperhatikan Hafidz di sampingnya. "Eh, Fidz. Orang – orang di rumahmu ini jangan – jangan pada gay, yah?" Tanyanya memperhatikan Hafidz yang menatapnya seakan – akan dia alien.

"Apa kau bilang, bisa- bisanya—."

"Pantas saja kau bilang mereka tidak akan tertarik denganku. Jika seperti ini, aku mau kok tinggal lebih lama di sini." Senyumnya ceria, sepertinya tidak menyadari baru saja memotong kalimat pemuda itu. "…Eh, Kenapa Fidz? Jangan – jangan aku salah ya?" herannya mendapati Hafidz terdiam, sepertinya ia mencerna setiap perkataan gadis itu.

Tersenyum sebelum akhirnya menjawab. "Walau mereka tidak gay juga, aku yakin tidak ada satu orangpun yang akan tertarik dengan—."

BUK‼

Bantalan sofa pun mendarat sempurna di wajah pemuda melayu itu. Seketika kalimat yang ingin di ucapkannya saat itu terhenti. Mengaduh kesakitan akan perbuatan tidak terpuji Nesia yang kini berkacak pinggang memandangnya dengan sadis.

End flash back


.

"Nes..? Hei NESIA!"

Gadis berambut hitam itu terjaga dari lamunannya dan menoleh ke arah seorang pemuda yang dari tadi memanggilnya.

"Apa yang kau pikirkan? Kita sudah sampai di tempat kerjamu." Gelengnya melihat gadis itu mengerjapkan matanya.

"Eh, haha.. kau benar." Senyum Nesia terlihat salah tingkah. Bersiap turun dari mobil, mata itu seketika melebar melihat pemandangan di hadapannya. 'Ah, alamat susah nih,' batinnya menyadari Arhur memarkir mobilnya tepat di depan gerbang tempat kerjanya.

Bagaimana tidak susah, saat Alfred melakukan hal yang sama. Rekan – rekan wanitanya mulai menanyainya berbagai macam pertanyaan. Dari hal yang biasa hingga ke pertanyaan pribadi. Seperti pakaian dalam yang di kenakannya. Benar – benar deh, dan kali ini Arthur.

Huaaa! Sepertinya ia harus benar – benar tahan banting, melihat beberapa rekannya kini terlihat mulai mengintip dari jendela. Serius, apa mereka tidak punya kerjaan.

"Nes?" heran Arthur melihat gadis itu tidak bergerak. "Hei‼" guncangnya pelan pada tubuh Nesia.

Tersentak dari pemikirannya barusan. "Ah..Ma-maaf."

"Kau baik – baik saja?" terlihat emerald itu menyiratkan rasa khawatir.

"Ah..ya, aku baik – baik saja." Ucapnya cepat.

Emerald itu terlihat memperhatikannya dengan tajam. Seakan mencari kejujuran dari ucapannya.

"Kau yakin?" kedua alis itu terlihat hampir menyatu, memperhatikan Nesia yang mengangguk cepat.

Menyadari ia akan lebih menghambat Arthur, Nesia pun tersenyum tidak enak. "..Ba-Baiklah kalau begitu, sampai nanti." Bergegas turun dari porsche milik Arthur.

Tidak di pedulikannya lagi Arthur yang memperhatikan tingkah anehnya barusan. Yang ada di pikirannya sekarang adalah bagaimana cara mengatasi kesulitan yang akan di hadapinya setelah ini. Seharusnya, ia tadi minta diturunkan di depan gang tidak jauh dari sini. Ah! Ini gara – gara ia sibuk dengan lamunannya.

.

Helaan nafas di lakukan Arthur, sebelum senyum tipis tercipta di wajahnya. Menggeleng pelan melihat gadis itu tersandung batu kecil di dekatnya saat berjalan. Entah apa yang ada dipikiran gadis itu, hingga tidak melihat ada batu di depannya. Sifat cerobohnya benar – benar belum hilang.

'Dasar.' Batinnya.

Kembali melanjutkan perjalanan dengan porsche kesayangannya. Setelah puas mendapatkan tontonan menarik dari teman satu rumahnya itu.


~0~


Langkah kaki itu terlihat cepat dan melebar, tersenyum melihat orang yang dicarinya berjalan di depannya. Sepertinya ia begitu semangat mendekatinya. Melihat bagaimana orang itu tidak menyadari kehadirannya, yang semakin mendekat hingga…

PLAK‼

Pukulan yang cukup kuat, mendarat pada pundak seorang pemuda melayu yang kini meringis kesakitan. Mendelik tajam pada pelaku pemukulan yang hanya tertawa santai terlihat tanpa dosa.

"Hei, Fidz." sapa riang pemuda asia, selaku tersangka pemukulan.

"Yong." Desisnya, menatap pemuda itu yang hanya tertawa. "Bisa tidak kau menegurku dengan lebih halus?"

"..Halus, da ze?" ucap pemuda bernama Yong, berpikir dan tiba – tiba menyeringai. Seringai yang membuat Hafidz di hadapannya merasakan firasat buruk "Hai, Fidz!" ulangnya, memegang bahu pemuda itu dan mendekatkan wajahnya.

Bagai kucing yang ketakutan melihat musuh bebuyutannya. Pemuda itu pun melakukan hal yang sama, bergidik ngeri melihat kelakuan teman satu kelompoknya ini.

"Yaick, apa yang kau lakukan! Menjauh dariku brengsek aku masih normal!" teriak Hafidz histeris, berusaha menahan pemuda itu melakukan aksinya. Sepertinya pemuda itu tidak peduli mereka berada di tempat umum sekarang. Dan dipandang dengan berbagai ekspresi oleh orang disekelilingnya.

"Hmm, benarkah. Bukankah kau bilang pada Nesia kalau kau itu gay?" senyumnya iblis. "Jadi tidak apa – apakan aku menyapamu seperti ini."

Menyadari dirinya terpojok seperti ini, membuat Hafidz ngeri sendiri. "..Arghh‼ Baiklah – baiklah, kau boleh menyapaku seperti tadi!" ucapnya terpaksa.

Berbeda dengan si pembuat onar yang hanya tertawa, perlahan menjauhkan tubuh mereka berdua. Wajah Hafidz sendiri kini sudah merah, seperti kepiting rebus.

"Brengsek, bercandamu tidak lucu!" gerutunya kesal, menatap pemuda di depannya yang terlihat tidak merasa bersalah sama sekali.

"..So, kau jadi menginap di rumahku hari ini?" tanyanya merangkul pundak Hafidz, yang dengan cepat melepaskannya. "Hei, kau tidak berpikir aku benar – benar gay kan?" tanyanya melihat rekasi Hafidz kini menjaga jarak. "Apa – apaan tatapanmu itu, gini – gini aku masih normal. Masih suka dengan perempuan," gerutunya, sebal. "Memangnya aku kau, da ze"

"Hei, aku juga sama tahu."

"Heh, benarkah? Bukannya kau sendiri yang bilang kalau kau dan keempat temanmu itu memiliki orientasi seks yang menyimpang." Cengirnya merasa menang.

"Damn it, kau sendiri tahu kan itu hanya alasan yang kami buat." Gerutunya kesal.

"Yah, alasan untuk menipu gadis manis dan polos yang tidak berdosa. Teganya kau lakukan itu padanya, da ze" Gelengnya tidak percaya, menatap Hafidz yang sempat berjengit mendengar kata polos dan tidak berdosa.

"Huh, kau kira kami pria apaan. Brengsek kau!" ucapnya ketus, menatap Yong yang tertawa.

"Habisnya apa? Kau membohonginya, mengatakan kalian semua gay, hanya demi membuatnya mau tinggal bersama." Tersenyum menantang.

"Bukan salahku, dia saja yang bodoh." Gerutunya memilih kembali berjalan. "Dan lagi aku lakukan ini demi kebaikannya juga. Jika tidak begitu tentu saja dia masih tinggal di tempat kumuh seperti itu. Benar – benar merepotkan."

Menyeringai, melihat wajah kesal Hafidz. "Walau merepotkan, tapi kau sukakan." godanya yang berakhir dengan buku tebal pada wajahnya.

"Suka kepalamu, aku ini adiknya bodoh. Mana mungkin kami bisa bersama, pikir pakai otak! Dasar piktor," ketusnya, tidak mempedulikan Yong kesakitan atas ulahnya.

Bersingut, mengusap wajahnya perlahan. "Kau itu yang piktor, yang kumaksud bukan itu bodoh. Itu aku juga tahu, mana mungkin kalian bisa bersama. Kau saja yang bodoh, da ze! Jangan – jangan kau suka benaran lagi dengan kakakmu itu, walau begitu dia kan bukan kakak kandungmu. Kaliankan hanya saudara sepupu saja. " liriknya curiga pada pemuda itu.

"Enak saja, gini – gini aku tahu diri. Mana mungkin sepupu sendiriku embat." Elaknya cepat, "sudahlah ganti topik. Hari ini kita jadi kerjakan makalah admin itu kan?"

Ditanya seperti itu, Yong yang tadinya masih berdebat ingin membicarakan tentang saudara Hafidz tampak berpikir sebentar. Mengingat – ingat tugas kelompok mereka yang bahan – bahannya masih menumpuk di rumahnya itu.

Mengangguk menyetujui sebelum akhirnya teringat sesuatu. Bukankah pemuda itu berencana menginap di rumahnya. Jika seperti itu, berarti saudaranya akan di tinggal sendiri, dengan empat pemuda yang mengaku gay, tapi nyatanya normal. Apa itu tidak bahaya? Tidak cemaskah dia dengan sepupunya itu.

"..Fidz, kau serius menginap di rumahku hari ini?" tanyanya cemas menatap Hafidz yang mengangguk. "Lalu sepupumu? Kau yakin meninggalkan Nesia dengan mereka?"

Hafidz mendengar pertanyaan Yong hanya bisa menatap heran pada pemuda itu. Sejak kapan temannya ini bisa mencemaskan sepupunya itu. Memang sih sepupunya itu bisa dikategorikan manis. Tapi, yah itu jika di lihat dari lantai 30. Secara mereka kan memiliki hubungan darah, mana mungkinlah dia mengaku Nesia itu manis. Tidak sudi, bisa – bisa narsisnya kumat lagi tuh anak.

Tapi, masak hanya pertemuan yang terjadi tiga kali, bisa membuat Yong sebegitu khawatinya sama Nesia. Jangan – jangan dia.., aish, gak rela jadi saudara sama pemuda ini.

Memperhatikan pemuda itu kembali, dari atas hingga bawah. "Yong, kau tidak naksir Nesia kan?" Tanyanya yang dihadiahi plototan tajam pemuda itu.

Memukul keningnya sendiri, menyadari kebodohan temannya ini. "..Ish, kau ini. Memangnya kau tidak khawatir dengan saudara sendiri, da ze?" Tanyanya balik menatap Hafidz.

Helaan lega pun kini di lakukan oleh Hafidz, menyadari dugaannya salah.

"Khawatir tentu saja ada. Tapi karena tinggal dengan merekalah aku tidak terlalu khawatir sesuatu akan terjadi pada Nesia." Senyumnya melihat ekspresi bingung Yong. "Kau kira, Al yang selalu memegang prinsip heronya, bisa melakukan tindakan asusila yang bertentangan dengan prinsipnya itu? Apalagi Arthur yang selalu bertingkah sok gentel itu?" tanyanya memperhatikan Yong.

Terlihat sedikit berpikir, sebelum akhirnya perlahan kepala pemuda berdarah Korea itupun mengangguk, menyetujui perkataan Hafidz.

"Bagaimana dengan Daniel dan Feli?" Teringat akan dua penghuni rumah lainnya.

"Heh, apa lagi mereka berdua. Berani taruh, keduanya tidak mungkin berani melakukan itu, apalagi memikirkannya." Tersenyum menyeringai. "Nesia itu bukan tipenya Daniel, dan Feli terlalu polos untuk berpikir senista itu."

Mendengar kalimat pasti dari Hafidz, membuatnya berharap, apa yang dipikirkan pemuda itu benar adanya. Nesia sudah seperti saudaranya sendiri, walau mereka tidak ada hubungan darah sekalipun. Tapi ,melihat bagaimana baiknya gadis itu pada dirinya, padahal mereka hanya bertemu tiga kali. Membuatnya sudah terlanjur sayang, gadis itu mengingatkannya akan kakak perempuannya.

Kembali di pandangnya Hafidz yang berjalan di hadapannya. Apa pemuda itu benar – benar tidak melihat tatapan yang di tujukan salah satu penghuni rumahnya pada Nesia. Apalagi mengingat betapa tidak pekanya gadis itu. Apa benar tidak akan terjadi apa – apa? Apa Hafidz benar – benar sebegitu bodohnya.

Hah, sudahlah sebaiknya ia berdoa saja semoga Nesia baik – baik saja di alamnya. Eh salah, baik – baik saja di rumah itu. Lagian Nesia juga sudah dewasa bukan. Apa benar gadis itu sudah dewasa yah, melihat bagaimana gampangnya ia tertipu oleh saudaranya sendiri.


~o~


Lama pemuda itu terdiam memandang kertas yang ada di tangannya. Sekali lagi membaca tulisan yang tertera di dalamnya, tidak berubah sedikit pun. Helaan nafas panjang dilakukannya sekarang.

"Damn it! Apa isi surat ini tidak bisa berubah sedikit pun?" geramnya.

"Surat apa?" sahut seseorang pemuda mengejutkan pemuda itu yang terlonjak karenanya.

Menoleh dengan cepat mendapati pemuda beriris saphirre kini berada di depan pintu. Menatapnya heran akan tingkahnya barusan, "Kau mengagetkan ku, Al." Gerutunya menatap pemuda itu tajam

"Sorry, aku sudah memanggilmu dari tadi. Tapi kau tidak sadar – sadar! Sepertinya kau terlalu asik dengan duniamu, Dan." Cengirnya memperhatikan pemuda itu. "Kenapa? Apa kau merindukan pacarmu itu." Godanya

"Shut up!" gerutunya kesal menaruh surat itu dalam sakunya.

Tertawa senang melihat reaksi yang ditunjukan pemuda itu padanya. "Sebaiknya kau keluar sekarang, makan malam sudah siap." Ujarnya menatap pemuda itu yang kini kembali menghela nafas. "..Tenanglah, Hafidz hanya menginap di rumah temannya sehari, jadi kau tidak usah ce–."

Dengan cepat pemuda itu mengelak dari lemparan bantal yang di lakukannya. Tertawa senang melihat reaksi temannya yang kini terlihat ingin mengamuk karenanya. Bergegas berlari menjauh begitu melihat temannya itu berjalan menuju ke arahnya. Menggoda teman – temaannya sepertinya merupakan hobi aneh pemuda itu.

Membiarkan rentetan kekesalan dan makian terlontar dari Daniel yang kembali memasukan bantalnnya ke kamar. Tidak dihiraukannya tiga penghuni rumahnya yang lain melihat aneh pada keduanya, dan kembali pada aktifitasnya masing – masing. Kecuali Nesia yang saat ini mungkin mempunyai pemikiran aneh akan tingkah temannya itu.

'Sepertinya, Daniel jika tidak ada Hafidz menggalau! Susahnya yang sedang merindu.' Batinnya tersenyum aneh, tidak disadarinya Arthur yang kini melirik ke arahnya. Sepertinya tahu apa yang ada di pikiran gadis itu.

.

.

tbc


A/n : Ide yang muncul tanpa bisa di cegah. Maaf jika ini pendek atau malah kepanjangan. berhubung saya juga bingung batas panjang sama pendek itu seperti apa. -.-'. atau fict ini malah terkesal abal, atau malah kelewat ooc.
silahkan keluarkan uneg - unegnya lewat kotak review. ^^ yang nantinya bisa membuat saya lebih baik lagi dalam membuatnya.

RnR Ptk, 291212