New York. Kota metropolitan yang paling terkenal di dunia. Segala macam orang maupun ras di dunia ini nyaris ada semua di kota padat nan maju tersebut. Dari orang yang berkulit putih pucat sampai dengan orang yang berkulit hitam pekat. Dari orang yang berhati baik bagaikan malaikat sampai dengan orang yang memiliki sifat kejam melebihi hewan. Dari orang yang memiliki keburuntungan sampai dengan orang yang tertimpa kemalangan.

Dan malam itu, Kim Junsu menduga kalau dirinya lah yang termasuk orang tertimpa kemalangan karena berada di New York, kota asing yang baru saja ia datangi pagi kemarin. Seharusnya tadi ia mendengarkan kata pamannya untuk tidak berkeliaran terlalu jauh dari hotel yang mereka tempati. Tapi yah mau bagaimana lagi. Kim Junsu adalah remaja laki-laki korea yang masih berusia 14 tahun dengan keingin tahuan besar mengenai tempat baru yang ia datangi. Akibat sikap agak bandelnya yang berkeliaran ke wilayah padat dengan berbagai gedung-gedung tinggi, yang nyaris semuanya terlihat kembar, membuat Junsu tersesat di salah satu gang sempit antar gedung, entah di mana.

Dan sialnya lagi, dia bertemu dengan tiga orang asing yang berpenampilan seperti preman. Bolehkah Junsu berharap bahwa dia berada dalam acara 'kamera-tersembunyi'?

"Look at him!" salah satu di antara mereka menunjuk Junsu dengan seringai nakal. Mereka bertiga lalu berbicara bahasa inggris dengan sangat cepat yang sama sekali tidak dimengerti Junsu. Kini dia menyesal telah mengabaikan percakapan guru bahasa inggrisnya di sekolah. Pulang dari New York nanti, Junsu akan mengikuti kursus bahasa inggris di Korea. Yah, itu pun kalau dia bisa lolos dengan selamat dari tiga preman yang berjalan mendekatinya.

Dalam hati Junsu memperingati dirinya sendiri. Lain kali jangan berani-berani melewati gang sempit saat malam tiba. Apalagi di kota besar yang penuh dengan suara kendaraan bising sehingga tak ada satu pun orang yang bisa mendengar teriakanmu. Ah, selain indah, New York juga kota yang menyeramkan.

Junsu melangkah mundur ketika mereka mulai mendekatinya. Mereka membentak dengan kata kasar sambil mengulurkan tangannya. Meminta Junsu untuk memberikan barang apa saja yang ia bawa di ransel kecilnya. Baru saja Junsu memikirkan cara untuk segera berbalik dan menggunakan jurus lari secepat angin, tiba-tiba terdengar suara sirinai aneh dan juga teriakan "Policie! Policie! Ni na ni nu!"

Junsu sweatdrop. Itu tipuan anak kecil. Memang siapa yang mau percaya? Tapi anehnya tiga preman bodoh itu buru-buru kabur sambil mengumpat kesal. Mengira bahwa ada mobil polisi yang patroli di dalam gang sempit? Junsu tak habis pikir orang macam apa yang tinggal di kota ini.

Setelah mereka menghilang dari belokan gang di ujung sana. Suara tawa pun terdengar dari belakang Junsu.

"Hahaha... They are so stupid..."

Junsu berbalik, menemukan remaja laki-laki yang terpingkal dari balik sisi tempat sampah besar berwarna hijau.

Menyadari tatapan bingung dari Junsu, dia menghentikan tawanya. "Oh, hai!" dia tersenyum lebar, menunjukkan sederet gigi putih besar yang ia miliki. Dari suaranya yang terdengar mengalami puberitas, perubahan dari suara anak kecil ke yang lebih berat dan dewasa, Junsu bisa menebak anak laki-laki di hadapannya ini seumuran dengannya, sekitar 14 atau 15 tahun. Meski tampangnya terlihat seperti berumur 18-19 tahun. Belum lagi tubuhnya yang lebih tinggi dari Junsu.

"Are you oke?" aksennya begitu fasih seperti orang barat lainnya, tapi matanya tampak kecil dan tajam seperti orang cina. Kulitnya kecoklatan seperti orang asia tenggara, pupil matanya hitam dan rambut hitamnya tampak berdiri dan agak berantakan. "Hey. Are you oke?" ia kembali mengulang karena Junsu tampak bengong menatapnya.

"Ah, Sorry." Junsu bersuara pelan. Menggaruk tengkuknya gelisah. "Ottoke," gumamnya sendiri, bingung dengan kata inggris apa yang harus ia katakan.

"Ottoke?" ulang remaja laki-laki di hadapannya. Ia kembali tersenyum lebar. "Ah, jadi kau orang korea?" kali ini ia berbicara bahasa korea dengan begitu fasih.

Junsu tersentak. "Kau-"

"Ndeh. Aku juga orang korea kok."

Tiga detik kemudian, kedua remaja laki-laki yang baru bertemu itu, tertawa bersama.

...


.

.

.

Author

Sayaka Dini

.

.

.

Present

.

.

.

"Our Story, Our Secret"

2PM

Friendship / Romance

Boy x boy

.

.

.

Disclamer: Semua anggota 2pm milik Tuhan dan dirinya sendiri.

Cerita ini asli milik Sayaka Dini!

.

.

.

^^Hope you enjoy my fanfic^^


...

"JYP? Kau mengikuti audisi di JYP?" Kwon Jiyoung menatap sahabatnya dengan pandangan tak percaya. "Lalu bagaimana dengan audisi di YG entertaiment? Bukannya kita sudah sepakat akan mengikuti audisinya besok bersama-sama? Aku sudah mendaftarkan namamu juga Junsu."

"Lalu kenapa? Tak apa kan kalau aku mengikuti audisi di dua tempat? Toh, jadwal audisinya tidak bertepatan," jawab Junsu santai, sambil berjalan beriringan bersama Jiyoung.

"Cih. Dasar serakah," ledek Jiyoung sambil melempar sisa snack di tangannya ke wajah Junsu.

"Yach! Kau!" Junsu mengusap wajahnya dan juga seragam sekolah yang ia kenakan dari serpihan snack Jiyoung. Dengan senang hati ia pun membalas Jiyoung dengan jitakan kepala yang begitu indah.

"Auw!" tapi menyakitkan. Jiyoung cemberut sambil meringis mengusap kepalanya. "Tapi Junsu. Kalau kau diterima di keduanya, kau akan memilih masuk ke mana?"

"JYP!" jawab Junsu semangat tanpa berpikir panjang.

"Tapi kalau aku diterima di YG, kau juga pasti akan memilih YG kan?"

"Tidak. Aku tetap memilih JYP."

"Apa! Kenapa bisa begitu?" protes Jiyoung tak terima.

Junsu tersenyum lebar. "Maaf yah Jiyoung-ah~ Aku bosan kalau terus melihat wajah sok polosmu itu di setiap tempat," ledeknya. Tertawa senang melihat wajah mengerut Jiyoung yang lucu. "Lagipula aku sudah punya janji dengan seseorang."

"Janji?"

"Hem." Junsu mengangguk. Menghentikan langkahnya hanya untuk melihat awan putih sore itu di atas langit. "Janji bertemu di agensi JYP."

Jiyoung turut menghetikan langkahnya. Memandang heran pada Junsu yang tampak tersenyum sumringah melihat langit, seolah ia sedang memandang wajah seseorang yang tergambar dalam awan putih. "Janji bertemu dengan siapa?"

Junsu tersenyum misterius. "Itu rahasia."


.

.

.

~*~Our Story~*~

~*~Our Secret~*~

.

.

.


"Ke Korea selatan?" Wanita paruh baya berambut pirang yang menjabat sebagai kepala sekolah junior di salah satu yayasan sekolah di Boston, ibukota negara bagian Amerika serikat, kini menatap heran pada siswa di hadapannya. Alis pirangnya berkerut, mata birunya memandang siswa itu dengan isarat meminta penjelasan yang masuk akal. "Mengapa harus pindah sekolah ke... Korea?" nada suaranya terdengar agak mengejek. "Kenapa bukan ke Newyourk saja? Bukannya kau juga memiliki keluarga di sana, Taecyeon?"

Taecyeon memaksakan senyuman sopan, meski dalam hati ia cukup tersinggung dengan cara bicara wanita tersebut. "I'm so sorry madam. Tapi Korea selatan adalah negara kelahiranku. Aku sudah tinggal di sana selama enam tahun."

"Tapi orang tuamu sudah menetap di sini kan?"

"Aku masih memiliki nenek di Korea."

"Tapi, tapi," Wanita itu kehabisan kata. Bingung, dengan cara apa agar bisa membujuk siswa yang merupakan pelajar terbaik di sekolahnya. "Kau memiliki nilai yang sangat bagus. Salah satu siswa terbaik kami. Ini... sangat disayangkan jika kau tidak meneruskan sekolahmu di sini, son."

Pendidikan di korea selatan juga sudah mulai berkembang. Tidak kalah bagus dengan sekolah di sini. Ingin rasanya Taecyeon membalas begitu, tapi dia lebih memilih untuk menahan lidah. Tak ingin membuat mood kepala sekolah itu makin buruk.

"Bisa berikan aku alasan yang kuat, mengapa aku harus memberikanmu surat kepindahan sekolah?" tuntut wanita itu, masih belum merasa puas.

Taecyeon menghela nafas pelan. "Aku ingin mencoba dunia entertaiment. Aku ingin fokus untuk mengikuti audisi pencari bakat yang diadakan JYP di Korea selatan."

"JYP?" Wanita itu tampak berpikir sejenak. "Bukankah tahun lalu kau sudah pernah mengikuti audisi JYP di Newyork? Dan kau sudah ditolak, kalau aku tidak salah dengar, iya kan?"

Taecyeon tersenyum kecut sambil mengangguk. "Tapi mereka akan mengadakan audisi lagi. Kali ini aku ingin lulus." ada tekad dalam sinar matanya.

"Oh Taecyeon. Mengapa kau tampak begitu gigih untuk mengikuti audisi?"

"Karena itu impianku, dan juga..." Taecyeon melirik ke luar jendela kantor kepala sekolah, memandang awan putih di luar sana."... Karena ada sebuah janji, untuk bertemu dengan seseorang..."

Wanita pirang itu ikut melihat ke luar jendela, mencoba mencari tahu siapa yang dipandang Taecyeon sampai raut wajah pemuda itu tampak bersinar. Namun Wanita itu tak menemukan apapun. "Bertemu dengan siapa?"

Taecyeon tersenyum tipis, penuh makna. "Itu rahasia, madam."


.

.

.

~*~Our Story~*~

~*~Our Secret~*~

.

.

.


Untuk kesekian kalinya, Lee Junho kembali melirik alamat yang tertera dalam kertas brosur di tangannya. Lalu melirik jalanan yang ia lewati melalui jendela bus. Bingung, di halte mana sebaiknya ia harus turun dari bus? Hanya bermodalkan sebuah brosur audisi 'SuperStar Survival', tas ransel kecil dan beberapa uang saku. Remaja laki-laki berusia 14 tahun itu nekat berangkat dari Ilsan menuju Seoul seorang diri. Demi meraih impiannya. Tetapi masalahnya saat ini adalah, ini pertama kalinya Junho pergi ke Seoul.

Junho melirik tiga penumpang selain dirinya yang berada di atas bus. Satu seorang pria dewasa berkumis yang duduk di bangku paling belakang, kedua seorang ahjuma berusia sekitar lima puluhan duduk di seberang kursi di samping Junho, dan yang terakhir, namja muda yang baru saja naik dari halte sebelumnya, duduk di bangku di depan Junho. Memberanikan untuk bertanya, Junho mencolek lengan namja di hadapannya.

"Chogiyo?" (permisi)

Namja di hadapannya melepaskan handset dari telinganya sambil menoleh ke belakang. Mata coklatnya mengerjap heran menatap remaja laki-laki yang baru saja ia lihat.

"Maaf, tapi bisakah kau tolong aku?" Junho memasang wajah memelas. Membuat namja muda itu tak tega untuk menolak.

"Ah ya. Apa itu?"

"Ini." Junho menunjukkan broser audisi di tangannya. "Aku harus turun di halte mana kalau mau ke alamat ini?"

Namja berhidung mancung itu membaca alamat tersebut. "Ah, kalau ini turun di halte berikutnya saja. Aku juga mau mau turun di sana kok."

"Kau juga ingin mengikuti audisi?" tebak Junho, melihat namja di hadapannya ini tampak seumuran dengannya.

Dia tersenyum malu. "Tidak. Aku mau pergi ke counter game favoritku di dekat sana."

"Ooh..."

"Tapi aku bisa mengantarmu ke gedung pendaftarannya."

"Apa?" Junho tersentak. "Tapi-"

"Tak apa, tempat counter game ku melewati tempat itu, kok." Melihat raut kebingungan di wajah Junho, namja itu kembali menjelaskan alasannya. "Aku hanya ingin membantu karena kau terlihat pendatang di kota ini. Tenang saja, aku tak bermaksud menculikmu," ia bernada serius dengan menampilkan raut wajah serius pula.

Junho mengerjap, sebelum akhirnya tertawa kecil. "Aku tak mencurigaimu. Hanya saja agak sulit percaya menerima bantuan dari orang yang baru saja ditemui. Tapi yah, Khamsahamida, sudah mau membantu." Junho merunduk, lalu tersenyum cute dengan mata sipit melengkung membentuk bulan sabit.

Dalam diam, namja muda di hadapannya itu sempat terpesona. Tanpa sadar, ia juga ikut tersenyun lebar. "Cheonmanayo." (terima kasih kembali)

.

.

.

.

.

Mereka berdua berdiri di depan pintu gedung stasion tv. Di sisi pintu ada spanduk sedang berdiri, bertuliskan tentang pendaftaran audisi untuk SuperStar Survival.

"Jadi," namja muda yang lebih tinggi itu menepuk pundak Junho. "Semoga berhasil."

"Ah ya." Junho mengangguk dengan gerakan ragu. "Terima kasih." tanpa sadar ia menelan ludah gugup.

Namja tinggi itu memperhatikan gelagat Junho. Penasaran, ia langsung meraih telapak tangan Junho tanpa izin.

Junho tersentak. "Apa yang-"

"Tanganmu dingin." Namja itu mengenggam tangan Junho penuh minat. "Kau gugup?"

Junho mendesah pelan. "Eumm... ya." ia melirik sepatunya, malu dengan dirinya sendiri.

Namja tinggi itu memandang Junho sambil berpikir. "Ayo." Tiba-tiba langsung menarik tangan Junho, menyeretnya masuk ke dalam gedung.

"T-tunggu dulu, apa yang kau lakukan?"

"Menemanimu ikut audisi."

"Apa?" Junho terkejut tak habis pikir. Bagaimana bisa namja yang baru ia temui ini, bersikap seolah sangat peduli padanya? Dalam hati Junho pun menyimpulkan, namja ini sangat baik.

Nuuna yang duduk di balik meja resepsionis itu, memberikan dua lembar fomulir pada mereka. Namja tinggi yang menemani Junho, hendak mengembalikan satu fomulir ketika tiba-tiba Junho menyikut lengannya.

"Kenapa tidak sekalian saja kau ikut audisinya?" saran Junho. "Sudah sejauh ini kau mengantarku, apa salahnya kalau kau juga ikutan? Siapa tahu kau beruntung."

.

.

.

.

Hwang Chansung.

Junho mengeja nama namja tinggi itu yang ia tulis di kertas fomulir pendaftaran audisi. Sedikit terkejut ketika ia melihat tahun kelahiran Chansung yang ditulis di baris berikutnya. Ternyata mereka seumuran, bahkan Chansung lebih muda sebelas hari dari tanggal lahir Junho. Dalam hati Junho merasa dibodohi karena tadi ia berbicara dengan Chansung begitu formal, seolah namja tinggi itu lebih tua tiga tahun darinya.

"Apa yang harus ku tulis di sini?" Chansung tampak bingung sambil menunjuk gambar tabel kotak dengan tulisan Skill di kirinya.

Junho yang duduk di sampingnya, kembali melirik kertas fomulir di atas meja di depan Chansung. "Tulis saja bakat apa yang ingin kau tunjukkan di audisi nanti."

"Bakat yah?" Chansung menggaruk kepalanya dengan ujung pulpen, masih tampak bingung. "Kalau kau apa yang kau tulis?"

"Menyanyi dan menari."

"Wow. Kau bisa keduanya?" Chansung menatap kagum pada Junho.

Junho tersenyum malu. "Ya, begitulah."

"Itu keren."

"Terimakasih. Jadi apa yang akan kau tulis?"

Chansung tampak berpikir. Ia lalu tersenyum sendiri sambil menulis formulirnya.

"Taekwondo?" giliran Junho yang menatap kagum pada Chansung. "Kau bisa ilmu bela diri itu? Daebak."

Chansung tersenyum lebar.

"Permisi," seseorang menyahut. Membuat kedua kepala itu mendongak, melihat namja tinggi yang berdiri di hadapan mereka. "Boleh kupinjam pulpenmu? Punyaku terjatuh, entah di mana tadi."

Tanpa curiga, Chansung langsung memberikan pulpen Junho padanya. "Ini."

"Terima kasih," dia tersenyum lebar menunjukkan sederet gigi putih yang agak besar. Ia lalu mengambil tempat duduk di sebrang meja mereka. Meletakkan sebuah fomulir pendaftaran di atas meja dan mulai menulis namanya di baris pertama.

Ok Taecyeon.


.

.

.

~*~Our Story~*~

~*~Our Secret~*~

.

.

.


Mendung di sore hari itu, seolah bisa menggambarkan bagaimana perasaan namja berusia 15 tahun itu, yang bernama Jang Wooyoung. Berjalan lesu sambil menatap trotoar jalanan yang ia lewati. Ini sudah kelima kalinya ia gagal dalam sebuah audisi pencarian bakat. Sebenarnya ia sangat mampu, tapi setiap kali disuruh menunjukkan bakatnya, dibawah tatapan-tatapan tajam para juri yang bertampang serius, membuat Wooyoung gugup luar biasa. Ia tak pernah bisa berhasil mengatasi kegugupannya dibawah tekanan-tekanan tersebut. Yang terjadi malah Wooyoung mempermalukan dirinya sendiri dengan menari begitu kaku, maupun menyanyi dengan suara yang agak bergetar. Dan hasilnya, lagi-lagi gagal.

Ia menghentikan langkahnya di depan sebuah supermarket mini. Matanya melirik kulkas es krim di dekat pintu masuk tersebut, dalam diam. Merenung di tempat.

Apa yang harus ia lakukan sekarang? Kembali pulang ke Busan? Bertemu dengan Ayahnya yang akan kembali memarahinya karena sudah mengikuti audisi, yang menurut ayahnya itu adalah audisi bodoh dan tak ada gunanya. Lalu ia akan mendapatkan pelukan ibunya, mencoba menghibur Wooyoung, meski Wooyoung tahu ada sedikit sinar kecewa dari mata Ibunya. Wooyoung mulai bosan mendapatkan tanggapan seperti itu lagi. Kapan Ayahnya bisa mengerti tentang impian Wooyoung menjadi seorang artis? Kapan ibunya bisa tersenyum bangga menatap anak bungsunya ini? Dan kapan Wooyoung bisa mencapai kebahagiaannya setelah menjadi artis terkenal seperti impiannya sejak kecil?

Wooyoung menggigit bibir bawahnya. Bisa ia rasakan matanya mulai memanas sendiri. Ah sial. Mengapa ia masih saja cengeng di usia 15 tahun ini? Buru-buru Wooyoung segera menghapus air matanya sebelum tumpah ke pipi chubby-nya. Begitu ia membuka matanya, ada sebuah es krim yang terulur di hadapannya.

Wooyoung mengerjap bingung.

"Ambillah," sebuah suara menyahut, berbahasa korea namun dengan aksen yang aneh.

Wooyoung melirik pemilik tangan yang mengulurkan es krim itu padanya. Dia remaja laki-laki berdiri di hadapannya, sedikit lebih tinggi darinya. Kulitnya putih kekuningan, dengan struktur wajah seperti orang china, bukan korea. Dia tersenyum ramah pada Wooyoung, membuat wajahnya yang tampan nan imut itu tampak lebih bersinar seperti malaikat.

"Ambillah," ia kembali mengulang dengan aksen aneh. Kini Wooyoung bisa menduga bahwa dia bukan orang korea. "Ini gratis."

Wooyoung kembali mengerjap. "Untukku?" ia menunjuk dirinya sendiri.

Namja di hadapannya itu mengangguk. "Ya. Ambil saja."

Wooyoung pun mengambil stick es krim batang berwarna blueberry itu dengan gerakan ragu. "Khamsahamida," ucapnya pelan, sambil merunduk.

"Lain kali jangan menangis lagi ya, karena tak bisa beli es krim."

Raut wajah Wooyoung berubah kaku. Baru sadar sejak tadi ia berdiri diam di depan kulkas es krim di samping pintu toko supermarket mini, sambil sedikit terisak. Wajar saja kalau ada yang salah paham. Diam-diam Wooyoung tersenyum sambil mengemut es krim, mencoba menahan tawa.

"Hey Nichkhun!" Seseorang remaja laki-laki lain menyahut dari pinggir jalan. "What are you doing? We must be hurry!" ia berseru dengan nada tak sabaran.

"Oh, oke Jay!" balas namja yang berdiri di hadapan Wooyoung, ia melihat ke arah Wooyoung sebentar. Tersenyum lagi sambil mengacak rambut Wooyoung dengan gerakan childish. "See you!" dan berbalik untuk menyusul temannya di pinggir jalan.

Wooyoung terpaku. Lalu cemberut kesal dengan pipi chubby yang agak merona. "Kenapa dia memperlakukanku seperti anak tk?" gerutunya sebal. Namun Wooyoung tak bisa menampik bahwa dia terhibur dengan kelakuan namja tadi. Membuatnya tak bersedih lagi.

Mata Wooyoung lalu beralih ke punggung namja tadi. Melihat dia bersama temannya yang berbahasa inggris tadi, dan lebih pendek darinya itu, menyebrang jalanan. Lalu masuk dan menghilang di balik pintu gedung bertingkat di seberang sana.

Wooyoung menengadah, untuk melihat lebih jelas gedung tersebut. Sebuah papan nama ukuran besar terpampang di atas sana. JYP Emtertaiment.

Jadi dia training di sana?

Sambil menggigit es krimnya, Wooyoung bertekad dalan hati. Kali ia tak boleh gagal lagi dalan audisi selanjutnya. Suatu saat nanti, dia juga harus bisa berada di gedung tersebut.


.

.

.

~*~Our Story~*~

~*~Our Secret~*~

.

.

.

End of Prologue


...

Well, what do you think?

Ini hanya prolog, makanya pendek dan tak begitu jelas. :p

Cerita kali ini mungkin lebih condong ke friendship daripada romansa anak remaja. Sengaja juga gak memberi tahukan main pairingnya, Karena aya sendiri juga masih ragu dengan itu. Halah, palingan nanti seperti ff sebelumnya. Sebisa mungkin pengen ngebagi peran mereka sama rata. Moga aja bisa. Xp

Jadi, apa ada saran lain?

Review?

~AyA~