Aku tak tahu apakah ini yang biasa dikatakan orang bahwa cinta itu buta. Buta dalam memahami siapa dirimu, sifatmu, sikapmu, dan perasanmu terhadapku. Mengenalmu dan menjadi bagian dalam hidupmu adalah salah satu hal yang terindah dalam hidupku. Dan berpisah denganmu pun... adalah sejarah terindah yang pernah terjadi di hidupku.
.
.
UNATTAINABLE
Sasuke-Sakura's fic by Mrs. Bastian
Naruto © Kishimoto Mashashi
.
.
.
Sasuke mengumpat, benar-benar mengumpat. Pusing di kepalanya benar-benar mengganggu aktifitasnya malam ini. Ia harus segera menyelesaikan dokumen yang ia kerjakan untuk ia presentasikan besok siang, namun sakit kepala yang menusuk ini rasanya membuatnya ingin membanting semua barang yang ada di dekatnya saja.
Ia emosi, dengan rasa sakit yang menyiksa kepalanya sendiri.
Menutup kasar laptopnya, Sasuke memilih untuk keluar dari ruang kerjanya dan berjalan menuju dapur. Semoga ia menemukan beberapa obat di kotak obat nanti.
"Toko kue?"
Saat hampir memasuki area dapur, telinga dan mata Sasuke menangkap samar suara serta siluet seorang wanita yang berdiri tepat di depan kompor. Tanpa menyalakan lampu, Sasuke tahu siapa wanita itu.
"... kau tidak harus melakukannya, Sai. Sudahlah."
Kening Sasuke berkerut mendengar ucapan wanita itu. Dengan jarak sedekat ini, Sasuke tahu wanita itu sedang menelepon.
"Hm, aku tahu. Terimakasih sudah menghkawatirkanku. Beristirahatlah kembali."
Dan saat wanita itu membalikkan tubuhnya, ponsel yang ada di tangannya hampir terjatuh begitu saja.
"Sasuke! Kau mengagetkanku."
"Maaf."
"Seharusnya kau menyalakan lampu."
"Kau pun juga tidak menyalakan lampu."
Sakura mendengus. Sebelah tangannya masih mengusap dadanya yang sedikit nyeri.
"Kau tak tidur?" tanya Sasuke seraya berjalan menuju kotak obat.
"Aku terbangun." Mata Sakura mengawasi Sasuke yang terlihat memilah-milah obat. "Kau sendiri? Apa yang kau lakukan?"
"Mencari sesuatu yang kubutuhkan."
Dahi Sakura mengernyit. Ia pun berjalan dan mendorong Sasuke menjauhi kotak obat. "Kau butuh apa?"
"Kepalaku sakit."
Tak lama, Sakura berbalik menghadap Sasuke sembari menyerahkan sebungkus obat.
"Terimakasih."
"Kau butuh yang lainnya?"
"Kau."
Sakura tercengang di tempatnya.
"Mau menemaniku di ruang kerja?"
"Kalau sakit beristirahatlah."
Sasuke tersenyum tipis. Perlahan ia berjalan mendekati Sakura, meraih tengkuk wanita itu untuk ia kecup keningnya. Sedangkan Sakura, tak ada hal lain yang bisa ia lakukan selain diam di tempat karena keterkejutannya. Ia bahkan masih tak bergerak saat Sasuke berjalan melewatinya dan menjauhi area dapur.
.
.
.
Sasuke pulang terlambat. Yah, sebelumnya pria itu memang sering pulang terlambat. Hanya saja sejak Sakura kembali pulang, jika tidak sedang berdinas keluar kota ataupun keluar negeri, pria itu selalu berusaha pulang di bawah pukul 8 malam untuk bisa mengikuti makan malam yang hening bersama istrinya.
Atau paling tidak, jika ia terlambat mengikuti makan malam, ia akan berusaha berada di rumah saat Sakura belum tidur untuk bercengkrama dengan wanita itu.
.
Kamar itu berubah terang saat seseorang masuk dan menyalakan saklar lampu yang berada di samping pintu. Tanpa pria itu perkirakan sebelumnya, apa yang ia lakukan telah membuat seorang wanita yang bergelung di bawah selimut mengerjap bangun.
"Ah, maaf."
Lampu kamar itu kembali padam. Sebagai gantinya, Sasuke menyalakan lampu tidur di samping ranjang.
"Tidurlah lagi."
Sakura tak menurut dan melebarkan matanya. "Jam berapa ini?" tanyanya.
"Setengah satu." Sasuke melempar jasnya ke atas sofa. "Tidurlah lagi."
Dalam keremangan cahaya, dapat Sakura lihat Sasuke sedang menatapnya. Tak lama, pria itu berjalan mendekatinya dan membaringkan tubuh di sebelahnya.
"Kau belum melepas sepatumu." Sakura melirik kemeja pria itu yang nampak kusut.
"Tak apa, nanti saja." Sasuke meletakkan salah satu lengan di atas matanya. "Aku cuma ingin berbaring."
"Kau kembali pulang telat. Kau keluar kota?"
Bibir Sasuke terangkat tipis. "Kau menungguku?"
Sakura membuang muka. Wanita itu kemudian memilih untuk menyibakkan selimut dan berjalan menuju kamar mandi.
Saat Sakura keluar, Sasuke masih berbaring dengan pakaian kerjanya. Hanya sepatu pria itu yang tanggal dari tubuhnya. Bahu lebar pria itu nampak naik turun dengan pelan. Sakura mengira-ngira betapa mengantuknya suaminya itu karena sudah tertidur saat Sakura baru meninggalkannya tak kurang dari tiga menit. Karena Sakura pun juga masih mengantuk, wanita itu kembali naik ke atas ranjang dan menarik selimut untuk dirinya dan suaminya.
Saat tubuhnya berbaring, Sakura memperhatikan wajah Sasuke yang menghadap tepat ke arahnya. Mata kelam yang tajam itu kini tertutup dengan tenang, rahang tegasnya masih nampak jelas dengan jarak pandang dan cahaya remang seperti ini, dan bibir pria itu...
Sakura membuang muka dan menghela nafas keras. Memandangi bibir Sasuke membuatnya teringat kecupan panjang pria itu beberapa hari yang lalu. Bukan apa-apa sebenarnya, hanya saja Sakura merasa bodoh karena tak tahu harus merespon perlakuan Sasuke seperti apa. Seharusnya ia bahagia, namun ada hal lain yang membatasi perasaannya. Ada yang tidak benar, dan Sakura tak suka.
Wanita itu... tiba-tiba Sakura teringat apa yang dikatakan Sai lewat telepon malam itu.
Ah sial!
Ia harus segera memperjelas semuanya. Harus.
.
.
"Malam nanti kau ada waktu?"
Sasuke yang memakan sarapan, mengangkat kepalanya dan menatap Sakura.
"Mungkin kau bisa menemaniku ke supermarket?"
"Untuk apa malam-malam ke supermarket?'
"Berbelanja." Sakura menyiapkan kalimat selanjutnya dengan menunduk sejenak. "Dan... makan malam di luar mungkin?"
Sasuke tersenyum. Benar-benar tersenyum pagi ini. "Kukirim alamat restorannya nanti siang. Kita bertemu jam tujuh."
Sakura sedikit tercengang. Namun Sasuke semakin melebarkan senyumnya dan beranjak meninggalkan meja makan.
"Aku berangkat."
.
.
Sakura sampai di restoran pilihan Sasuke lima belas menit sebelum perjanjian. Sebenarnya ia sedikit resah. Ia bingung harus memulai seperti apa. Berbelit-belit sama sekali tak akan membantu, namun mencari kejelasannya secara langsung jelas akan menyakiti hatinya secara langsung pula.
Kami-sama… mengapa wanita diciptakan memiliki hati yang mendominasi logikanya?
Memanfaatkan waktu, ia memilih untuk membaca resep kue di dalam aplikasi resep makanan di ponselnya sambil sesekali mengingat nama bahan yang harus ia beli nanti. Ia ingin merilekskan sejenak segala pertanyaan yang menggempur otak serta hatinya. Asyik membaca, ponsel Sakura berdering dan menampilkan nama suaminya di sana.
"Ya?"
"Aku di bandara. Maaf tak bisa datang."
Bibir Sakura sontak terbuka. Ia ingin bertanya, namun Sasuke menyelanya.
"Ada kecelakaan kerja yang cukup besar di proyek, aku harus ke sana sekarang."
"Berarti kau harus keluar pulau."
"Hanya sebentar. Besok malam aku pulang."
Sakura menutup mata dan menghela nafasnya. Ia merasa cubitan yang cukup menyakitkan di dadanya mengetahui apa yang segera ingin ia luruskan harus gagal malam ini. "Hati-hati kalau begitu."
"Akan kutemani kau setelah pul-"
"Tidak usah," potong Sakura cepat. "Selesaikan dulu pekerjaanmu."
Tak terdengar sahutan langsung dari Sasuke selama beberapa saat. Hanya helaan nafas pria itu sebelum suaranya kembali mengalun. "Maaf."
Sakura mematikan ponselnya. Gagal sudah kesempatannya untuk mencari tahu sosok yang mengusiknya.
.
.
.
Di depan pintu bercat putih itu, Sakura menunggu sambil menimang sesuatu. Konan adalah jalan pintas yang ia temuka tadi pagi, bisakah wanita itu membantunya keluar dari kerumitan hatinya ini?
"Ah, Sakura." Konan memeluk ringan Sakura yang berdiri di depan pintu rumahnya. "Bawaanmu cukup banyak. Kue apa yang ingin kau buat?"
Sakura tersenyum. "Aku bingung, Nee-san. Maka dari itu aku membawa ini semua."
"Hm... kau ini. Ayo masuk."
Kedua wanita itu berjalan beriringan menuju dapur. Terlihat di meja makan, Riyuki tengah memakan sereal dengan lahapnya.
"Kudengar ada kecelakaan besar pada proyek Sasuke."
Sakura yang sebelumnya mencium Riyuki menoleh dan mendekati Konan yang sudah berdiri di dapur. "Ya, katanya begitu."
"Katanya? Memang Sasuke tak langsung menghubungimu?"
"Maksudku... kata Sasuke sendiri padaku." Sakura mulai mengeluarkan bahan-bahan yang ia bawa. "Apa dulu yang harus kulakukan, Nee-san?"
Konan memperhatikan Sakura sesaat. Terlihat sekali ia ingin berkata sesuatu, namun terlihat pula seberapa sulit ia ingin mengungkapkannya.
"Nee-san? Kenapa menatapku seperti itu?"
"Ah, tidak." Konan mengusap wajahnya. "Hanya... rasanya sedikit asing saat saat membuat kue denganmu. Apalagi saat kau mengabariku mendadak pagi tadi, hahahaha."
Sakura turut tertawa. "Selama aku mengenal Nee-san, ini pertama kalinya kita membuat kue bersama, ya?"
Konan mengangguk.
"Apa Itachi Nii-san menyukai kue?"
Wajah Konan kembali rileks, bahkan bersemangat. "Itachi suka sekali kue basah, beda dengan Sasuke."
"Ah iya, Sasuke lebih suka cookies." Sakura mendekat untuk membantu Konan mengeluarkan peralatan memasak dari lemari penyimpanan. "Apa kau sering membuat kue, Nee-san?"
"Sering sekali, bahkan dari dulu. Kau bisa melihatnya dari peralatan memasak kueku yang lengkap karena aku sudah mengumpulkannya dari masih gadis. Hahahaha."
Sakura tertawa kecil. "Pasti sangat banyak."
"Ahahaha, tapi tidak semua alat ini milikku. Aku patungan dengan Karin."
Ini dia!
"Jadi... Karin yang sebelumnya sering membuat kue denganmu?"
Konan menghentikan tangannya yang baru akan mengeluarkan mixer. Kepalanya menoleh cepat ke arah Sakura yang tersenyum janggal menatapnya.
"Um... di-dia..."
Sakura diam menunggu kakak iparnya melanjutkan pembicaraan.
"Sakura, maaf- Mulutku... i-itu-"
"Tak apa, salah satu tujuanku memang itu. Bisa kau ceritakan padaku siapa Karin itu, Nee-san?" potong Sakura halus. "Aku membutuhkannya untuk menentukan langkahku ke depan."
Konan menatap Sakura penuh perasaan bersalah. Bahkan kedua matanya kini mulai tergenangi air mata. "Aku tidak... maksudku..."
"Nee-san." Sakura menyentuh lengan Konan lembut. "Hanya kau yang dapat membantuku. Kumohon."
Mata keunguan Konan bergerak gelisah. "Harus sekarang?"
"Lebih cepat lebih baik."
"Aku janji akan menceritakannya setelah kue yang kita buat jadi."
Sakura tersenyum. "Baiklah. Terimakasih, Nee-san."
.
.
Cangkir berisi teh yang masih mengepul itu Sakura letakkan di meja saat melihat Konan datang dan duduk di kursi di depannya. Saat ini, kedua wanita itu sedang duduk di halaman depan rumah Itachi yang dipenuhi beragam bunga dan tanaman hias lainnya. Sinar keemasan matahari sore semakin menambah cantik halaman itu.
"Apa sebelumnya Sasuke tak menceritakannya padamu? Setelah semua yang terjadi mungkin?" tanya Konan. Ia nampak lebih santai saat turut menyandarkan punggungnya di sandaran kursi.
Sakura menggeleng.
"Kau tak bertanya padanya?"
"Tentu aku ingin bertanya. Banyak malah. Hanya saja waktu dan kondisinya belum tepat."
"Dan apa kau tak ingin mendengar penjelasan hanya dari dirinya?"
"Aku butuh pandangan lain tentang wanita itu agar lebih objektif, bukan hanya dari suamiku."
Konan mengangguk-angguk kecil. "Lalu apa yang ingin kau ketahui sekarang?"
Sakura memandang Konan dalam diam selama beberapa saat. "Sebelum menikah denganku, siapa Karin di dalam kehidupan Sasuke?"
Ada jeda yang tak lama ketika Konan menarik nafas dalam-dalam. "Karin adalah kekasih Sasuke sejak mereka di bangku kuliah."
"Apa mereka berpisah karena perjodohanku dengan Sasuke?"
"Kurasa tidak. Karin lebih dulu meninggalkan Sasuke setahun sebelum kalian menikah."
"Kenapa?"
Konan menggigit bibirnya sebentar. "Karena permintaan Kaa-san."
"Tapi... Karin terlihat begitu akrab dengan kalian saat aku belum ada."
"Yah, memang. Dia bahkan sudah kami anggap keluarga sendiri. Hanya saja... Kaa-san tidak menginginkannya untuk menjadi pendamping Sasuke."
"Apa... dia membuat kesalahan?"
"Tidak. Ini lebih ke permintaan Kaa-san sendiri. Dan aku tak pernah menanyakannya secara lebih."
Sakura termenung. Pikirannya melanglang buana mencari alasan mengapa Mikoto yang lembut itu tak mempersilahkan Karin untuk menjadi pendamping putera bungsunya.
"Maaf, Sakura. Bukan aku terlalu ingin tahu dan ikut campur ke dalam rumah tangga kalian." Konan menjeda kalimatnya sejenak. "Apa kalian, sedang bertengkar lagi?"
"Aku... tidak tahu, Nee-san." Pandangan Sakura menerawang ke depan. "Aku bahkan juga tak tahu apakah hatiku telah memaafkannya atau belum."
"Memang apa yang kau rasakan sekarang?"
"Hambar, tapi tak membuatku cukup kuat untuk meninggalkannya."
"Apa kau berusaha untuk mengingkari perasaanmu?"
Sakura tersenyum getir. "Tidak, aku tahu aku masih mencintainya. Hanya saja... membuka hatiku kembali untuk hatinya yang jelas-jelas-jelas tak mencintaiku itu sungguh menyakitkan."
Jemari Konan terangkat untuk mengusap lembut punggung Sakura, mencoba memberi ketenangan adik iparnya lewat sana. "Semua kini bergantung pada pilihanmu sendiri. Melepas, atau membangun semuanya dari awal."
Senyum getir Sakura terukir. Ia sudah pernah berusaha melepas sebenarnya.
.
.
"Darimana kau?"
Sakura membalikkan badan dari lemari es dan melihat suaminya berjalan mendekatinya.
"Ponselmu tak dapat dihubungi," lanjut Sasuke. Pria itu mengenakan kaos abu-abu berlengan panjang beserta celana rumahan berwarna hitam.
"Sengaja kumatikan agar tak ada yang menghubungi."
Sasuke memperhatikan Sakura yang kini memasukkan beberapa toples kue ke dalam lemari es. Ia tahu ia bersalah kemarin malam karena membatalkan janji, namun entah mengapa muncul keyakinan bahwa bukanlah itu penyebab perubahan mood Sakura saat ini.
"Kau berbelanja kue?" Sasuke berusaha mencairkan suasana.
"Tidak."
"Lalu kau darimana?" ulang Sasuke lagi.
"Hanya berjalan-jalan."
Alis Sasuke menaut samar. Berjalan-jalan? Hingga selarut ini?
"Jam berapa kau pulang?" Sakura membawa setoples kue dan mendekati suaminya.
"Saat makan malam."
Sakura mengangguk-angguk, tangannya terulur untuk menyerahkan toples kue yang ia bawa. "Makanlah, barangkali rindumu bisa terobati."
Sasuke memandangi toples bening pemberian Sakura. Jantungnya berdetak kencang saat melihat isi dari toples tersebut. Kenangannya dipaksa untuk kembali dilempar ke dalam masa lalunya. "Dimana kau mendapatkan ini?" tanyanya cepat.
Pertanyaan Sasuke suksse membuat langkah Sakura terhenti. Ada cengkeraman kuat terasa di ujung perutnya. "Kau bisa menghabiskan seluruh toples di lemari es kalau masih kurang. Selamat menikmati."
Dan Sasuke pun terdiam di tempat mendengar langkah Sakura menjauh.
.
.
.
Sakura cukup sadar saat seseorang membukan gorden jendela besar kamarnya dan membuat sinar matahari masuk mengusik kedua matanya. Ia berjanji akan membuka matanya semenit lagi saat tiba-tiba ia merasa sebuah tangan menangkup salah satu sisi wajahnya, dan berakhir dengan kecupan ringan di pipinya.
"Pagi."
Kedua mata Sakura terbuka sempurna, menatap tak percaya Sasuke yang berada di atasnya. Pria itu nampak sudah siap berangkat dengan jas dan dasi yang terpasang rapi di tubuhnya.
"Malam nanti kita makan malam bersama, kutunggu kau di restoran yang sama seperti kemarin lusa. Tepat pukul tujuh."
Sakura masih tak dapat memproses semua perkataan Sasuke dengan cepat saat pria itu kembali membuatnya terdistraksi.
"Kau terlihat cantik." Sasuke menutup kalimatnya dengan kecupan lembut di kening istrinya lagi sebelum benar-benar pergi.
.
.
Sasuke hanya menanggalkan jasnya saat ia sudah duduk di sudut meja yang telah ia pesan. Tangannya memeriksa angka yang ditunjukkan jarum pada jam tangannya. Seharusnya, Sakura sudah datang sepuluh menit yang lalu.
Pandangan Sasuke menerawang ke pemandangan kota di depannya yang nampak begitu indah dengan lampu warna-warninya. Ia sengaja memilih tempat ini agar sang istri turut terkesima seperti dirinya. Juga... agar sang istri melupakan segala kesalahannya tak menepati janji makan malam dua hari yang lalu untuk sejenak.
Sasuke paham semuanya tak malah membaik saat ini. Kepulangan Sakura ternyata tak serta merta membuat hati wanita itu dengan cepat luluh dan mengesampingkan dosanya di masa lalu. Perlu ada yang mereka bicarakan, hal itu terlihat dari bagaimana Sakura menjaga jarak dengannya selama ini, serta setoples kue yang diberikan wanita itu malam kemarin.
Memikirkan itu lagi-lagi membuat detak jantung Sasuke meningkat. Sial! Mengapa hatinya berubah pecundang seperti ini? Mengapa... masih tersisa reaksi yang berlebihan tentang pengisi ruang hatinya yang pertama? Sempat Sasuke kira, ia akan melupakan semuanya dengan mudah.
"Maaf terlambat."
Kepala Sasuke mengikuti sumber suara dan menemukan Sakura yang memakai gaun panjang berwarna peach sedang berdiri sampingnya. Segera Sasuke berdiri dan menarikkan satu kursi untuk istrinya. "Gaun yang cantik."
"Ini gaun yang sama dengan dua malam lalu."
Sasuke menipiskan bibirnya dan menunduk sejenak. "Bagaimana harimu?"
Sakura memandang Sasuke penuh tanya. Mengira-ngira apa yang sebenarnya dipikirkan suaminya.
"Ada yang mengganggumu?" tanya Sasuke sekali lagi.
"Tentu saja."
Kepala Sasuke terangguk pelan. "Bisa kita makan malam terlebih dahulu?"
.
Pasangan itu menikmati sweet wine sebagai hidangan penutup. Sakura menenggak minumannya terlebih dahulu, meninggalkan Sasuke yang kini menatapnya dengan berbagai sorot ingin tahu. Bahkan wanita itu telah meminta tambah hingga tiga kali dan meninggalkan Sasuke yang bahkan belum menghabiskan gelas pertama wine-nya.
"Kau tak apa?"
Sakura meletakkan gelas wine ketiganya yang sudah kosong dan menatap suaminya. "Apa aku kelihatan seperti kenapa-kenapa?"
Sasuke kembali menipiskan bibir, lalu menggeret kursinya untuk mendekat. "Kau tahu? Kau... sangat tak tertebak sekarang."
"Jadi dulu aku sangat mudah tertebak olehmu?"
Tak ada jawaban dari Sasuke.
"Kukira pertemuan malam ini punya tujuan tersendiri." Sakura turut menatap ke dalam mata pria di sampingnya. "Bisakah kau memastikan perkiraanku?"
"Kau yang punya tujuan sendiri. Katakanlah, apa yang membuatmu resah?"
Sakura menarik nafas dalam-dalam. Ia ingin bertanya dengan angkuh sebenarnya, namun emosi serta tingkat kesadarannya terlalu menyulitkannya menahan amarah yang tak jelas seperti apa bentuknya. "Aku pernah bilang kan, kalau aku tidak menarik permintaan ceraiku?"
Wajah Sasuke menegang seketika. "Kau ingin pergi lagi?"
"Sudah kubilang, aku bahkan lebih tak tahu harus bagaimana sekarang. Kau membuat semuanya semakin rumit."
"Jangan bertele-tele, Sakura. Apa yang mengganggumu?"
"Perasaanmu kepada Karin." Nada bicara Sakura yang meninggi tertahan di ujung tenggorokkannya. "Dan posisiku yang tak pernah penting untukmu."
"Kau penting untukku."
Sakura mendengus keras.
"Aku tak akan membawamu kembali jika kau tak berarti apa-apa untukku."
"Hentikan formalitasmu yang masih berstatus sebagai suami sah-ku. Bicaralah sebagai dirimu sendiri."
"Kau mau jawaban yang seperti apa lagi?"
"Yang tidak keluar dari mulutmu hanya untuk memberikan harapan semu untukku."
Selama beberapa saat Sasuke memperhatikan gurat merah yang terlihat samar di wajah Sakura. "Jadi kau mengharapkan sesuatu dariku?"
Cukup sudah. Sakura semakin tak dapat mengontrol emosinya. "Sekarang kau yang bertele-tele." Sakura berdiri dengan sedikit semopoyongan. "Kau mempersulit, selamanya akan tetap mempersulit."
"Hei..." Sasuke tak cukup cepat untuk menangkap lengan istrinya yang berjalan dengan sedikit sempoyongan menjauhinya. Alhasil pria itu meraih jasnya dan menyamakan langkah dengan Sakura saat wanita itu baru akan memencet tombol lift.
Sasuke menyampirkan jasnya di atas bahu Sakura. Saat pintu lift terbuka, pasangan itu masuk ke dalam tanpa suara. Sakura baru saja berjalan ke arah lobby sebelum Sasuke lebih dulu menafik lengannya menuju le arah basement.
"Lepaskan!" Sakura menggerakkan lengan semampu yang ia bisa. "Aku tak mau pulang dulu."
"Kuantar kemanapun kau mau."
"Bersama denganmu hanya akan membuatku kesal." Sakura terduduk di kursi mobil karena sedikit dorongan paksa suaminya. "Antarkan aku ke, Sai!"
"Tidak."
"Aku membencimu."
Sakura menyandarkan seluruh punggung dan lehernya. Sepasang mata jamrudnya hanya menoleh ke jalanan samping. Tak berubah meskipun Sasuke sudah menjalankan mobilnya ke luar basement.
Sepanjang perjalanan, Sasuke tak membuka mulut terlebih dahulu. Untuk pertama kalinya mengenal Sakura, saat ini lah Sasuke melihat wanita itu kacau oleh kesadarannya sendiri. Sakura yang ia kenal adalah Sakura yang anggun dan selalu bisa menjaga tingkah. Namun malam ini, kumpulan emosi yang entah seperti apa bentuknya telah membuat wanita itu nampak kusut dan menyedihkan.
"Kukira hanya kau yang bisa melengkapi kesendirianku selama ini. Kukira hanya kau yang bisa kuandalkan untuk melindungiku, lalu membuatku bahagia. Kukiraaa..." Air mata Sakura yang menetes menghentikan perkataan perempuan itu untuk sejenak. "Apa yang kuyakini mengapa dengan mudah kau hancurkan begitu saja?"
Sasuke menarik nafas sedalam-dalamnya. Jadi inikah yang selama ini menghantui pikiran Sakura? Membelokkan mobilnya, Sasuke memilih untuk berhenti di pinggir jalan yang cukup sepi untuk mengetahui lebih dalam isi hati wanita di sampingnya ini.
"Seharusnya aku bisa pergi darimu. Membebaskanmu memilih apa yang kau mau," sambung Sakura.
"Aku berharap kau tetap di sampingku."
"Untuk apa?" Sakura menatap Sasuke penuh tanya. "Menjadikanku pajangan saja?"
"Aku memang bersalah." Sebelah tangan Sasuke terangkat untuk menangkup satu sisi wajah istrinya. "Tapi aku sekarang pun sedang berusaha."
Sakura menggerakkan kepalanya menghindar, namun Sasuke menahannya dan memegang kuat tengkuk belakangnya.
"Kau yang ada di hadapanku sekarang. Hanya kau yang kuperjuangkan."
"Omong kos-"
Sasuke memotongnya. Memangkas penyangkalan istrinya dengan pagutan kuat hingga menyesakkan Sakura. Sakura menutup matanya, bibirnya terlalu bodoh untuk memperkirakan apa yang harus ia lakukan. Saat Sasuke menyesap bibir bawahnya, Sakura hanya diam seraya merasakan debaran bodoh jantungnya.
Bibir Sasuke mendesak Sakura untuk memberikannya akses lebih. Tubuh Sakura menegang saat lidah suaminya turut berperan serta. Perlahan, lenguhan kakunya tercipta menjadi suara kedua selain kecupan yang tercipta di sana.
Tidak. Seharusnya tidak seperti ini.
Tangan sakura terangkat mendorong Sasuke menjauh. Nafasnya memburu, namun cukup bisa membuatnya berkata. "Pulang. Aku ingin pulang."
.
.
Sasuke melangkahkan kakinya ke dalam rumah dengan perlahan setelah beberapa lama hanya duduk di belakang roda kemudi. Sakura meninggalkannya terlebih dahulu sejak tadi. Memperklihatkan air matanya yang kembali menetes di depan Sasuke. Sial, padahal ia sudah bertekad untuk tak melihat air mata itu lagi.
Di depan tangga rumah besarnya, langkahnya berhenti seiring semakin berkecamuknya pikirannya saat ini.
Karin. Sakura mulai mempertanyakan Karin.
Ada yang mencengekeram dada kiri Sasuke kuat-kuat hingga sesak terasa begitu nyata di sana. Apa yang harus ia sampaikan saat ini? Siapkah ia dengan segala kemungkinan yang terjadi?
Kembali melangkahkan kakinya, Sasuke berjalan menuju kamar tidurnya. Pintu kamarnya terbuka sedikit, menandakan ada yang telah masuk sebelum dirinya kesini. Sasuke mengedarkan pandangan. Tak ada jejak Sakura yang terlihat. Kakinya pun melangkah ke balkon, namun tetap tak menemukan apa-apa. Pria itu berjalan ke kamar mandi, memutar knop pintu ruangan itu pelan-pelan untuk memastikan sesuatu yang segera ingin ia ketahui.
Sakura ada di sana. Berendam di bath-up dengan sorot mata basah dan kosong memandangi ujung kakinya. Gaun cantik dan pakaian dalam wanita itu teronggok begitu saja di samping bath-up.
Cukup lama Sasuke hanya berdiri mengamati. Ia tahu Sakura menyadari keberadaannya, namun sorot mata wanita itu yang hanya terpusat pada satu titik membuatnya tak ubahnya seperti angin lalu yang tak dianggap siapa saja. Melebarkan pintu, Sasuke berjalan mendekat seraya menggulung lengan kemejanya hingga ke siku.
"Sudah malam. Jangan terlalu lama berendam."
Sasuke mendaratkan kecupan di kening Sakura, dan berniat untuk pergi dari sana sebelum tangan Sakura menahan lengannya.
Entah apa yang dipikirkan Sakura saat ia malah menarik belakang kepala Sasuke untuk memangkas jarak dan membuat kemeja putih suaminya basah karena turut menarik tubuh pria itu untuk mendekat.
.
.
.
BERSAMBUNG
.
.
.
Well… ini apa?
Saya ngga tahu ini apa ya teman-teman. Kalau berkenan membaca, saya ucapkan terimakasih. Say dalam mode seperti Sasuke, 'sedang berusaha'.
So… do'akan saja, hahahaha.
Love u all…
