Professor Granger

Harry Potter J. K. Rowling

Warning OC, OOC dan perubahan Epilog yang luar biasa (hahaha)

Fic ini lebih menceritakan kehidupan Hermione sebagai seorang profesor dari sudut pandang Scorpius.

Selamat membaca!

.

.

.

.

.

.

.

Chapter One : New Student and New Teacher

1 September 2017

Pagi itu stasiun King's Cross terlihat lebih ramai dari hari-hari biasanya. Meskipun matahari baru saja menampakan diri satu setengah jam yang lalu, para orang dewasa beserta anak-anak kecil yang kebanyakan terlihat mendorong troli mereka tengah memenuhi stasiun kota London yang bersejarah itu.

Kebanyakan dari mereka terlihat berjalan melewati platform sembilan dan berhenti sebelum mereka mencapai platform sepuluh. Mereka menoleh ke kiri dan ke kanan sebelum berbisik kepada anak-anak mereka mengenai sesuatu. Tak lama, anak-anak itu akan menghadap sebuah dinding dan berjalan tanpa ragu untuk menabraknya. Ah tidak, lebih tepatnya berjalan untuk melewatinya menuju platform sembilan tiga perempat.

Tentu saja, bagi manusia itu hal yang sangat mustahil dan tidak normal. Namun bagi mereka, berjalan melewati dinding untuk menuju tempat lain adalah hal kecil dalam dunia sihir. Ya, mereka adalah penyihir.

Hari ini adalah hari penyihir-penyihir kecil akan berangkat menuju sekolah sihir paling terkenal atau sebut saja Hogwarts. Raut wajah kebahagiaan dan gugup menghiasi wajah anak-anak itu saat mereka melihat senior-senior mereka berlalu-lalang memasuki sebuah kereta bernama Hogwarts Express tepat di depan mereka.

Tidak ada yang spesial dari kereta itu. Bila kau tinggal di dunia Munggle dan terbiasa dengan segala benda-benda ciptaan mereka, tentu kau merasa bahwa Hogwarts Express bukanlah sesuatu yang luar biasa. Bahkan kereta itu terkesan sedikit kuno mengingat jaman semakin moderen.

Tapi lain halnya dengan seorang anak lelaki berumur sebelas tahun yang baru saja melewati pintu masuk menuju platform sembilan tiga perempat. Meski keluarganya menggunakan sebuah Limosin untuk mencapai stasiun ini, dia belum pernah melihat sebuah benda bernama kereta. Ya ya ya, dia tahu bahwa dia terkesan sangat – bagaimana menyebutnya? Ketinggalan jaman?

Blah! Tidak tidak, dia bukanlah seseorang yang ketinggalan jaman. Lihat, bukankah dia menaiki Limosin? Dan baju yang dia pakai adalah baju kualitas tinggi keluaran terbaru dari toko langganan keluarganya yang notabene adalah toko kalangan atas.

Dia berbeda dan dia sangat bangga akan hal itu.

Rambut pirangnya yang tersisir ke belakang dengan sangat rapi. Mata abu-abunya yang cemerlang dan kulit pucat tanpa noda miliknya. Semua orang mengakui kalau dia sangat mirip dengan ayahnya waktu kecil.

Tentu dia sangat menyukai hal itu. Kalau boleh dia jujur, dia lebih menyayangi ayahnya ketimbang ibunya. Tapi itu bukan berarti bahwa ibunya kejam atau semacamnya. Ibunya yang bernama Astoria Malfoy itu tergolong ibu yang sangat baik dan perhatian akan anaknya. Meski kelihatannya dia adalah wanita berhati dingin dengan wajah yang keras, wanita itu selalu peduli akan kasih sayang terhadap anaknya.

Lihat saja, saat ini wanita itu tengah memeluk anaknya dengan sangat erat seakan anaknya akan pergi sangat jauh dari muka bumi ini. Memberikan sebuah ciuman di pipinya yang pucat dan mengelus rambut pirangnya dengan lembut.

Sedangkan ayahnya, entah apa yang dilihat Draco Malfoy itu hingga dia menampilkan wajah sombongnya dan menarik sebelah ujung bibirnya.

"Kau harus bisa mengalahkan anak dari Weasel dan Potty itu, Scor."

Perkataan ayahnya membuat kedua matanya bergerak untuk melihat ke arah kerumunan yang didominasi oleh rambut-rambut merah. Tentu saja dia tahu kalau itu adalah kerumunan keluarga Weasley dan tentunya keluarga Potter.

Tapi apa pedulinya?

Meski nama mereka sangat terkenal di dalam sejarah dunia sihir karena berhasil mengalahkan musuh yang disebut ayahnya 'botak tak berhidung' , dia tidak pernah berniat untuk mengenal keluarga itu lebih jauh. Selama keturunan mereka tak berbuat macam-macam dengannya, dia tidak akan mengganggu mereka. Dia tidak mewarisi sifat ayahnya yang tukang bikin ulah dan suka menjahili orang— mungkin sedikit. Tapi meski penampilannya mirip ayahnya, tujuh puluh lima persen sifatnya mewarisi ibunya.

"Oh? Weasel menikah dengan Brown?"

Ayahnya mengeluarkan suara lagi hingga mau tak mau dia menoleh ke arah kerumunan itu untuk kedua kalinya. Ada dua wanita dewasa di sana, satunya berambut merah sebahu dan satunya berambut soft brown bergelombang hingga menyentuh dadanya. Bisa dipastikan bahwa yang bernama Brown adalah wanita yang memilik rambut gelombang dengan baju yang mencolok.

Dia mengalihkan pandangannya menuju anak perempuan yang berada di sebelah wanita itu. Rambut merah bergelombang dengan pita besar yang ada di rambutnya. Astaga, apa dia tidak merasa bahwa kepalanya menjadi berat karena itu? Keluarga Weasley memang payah.

"Sudahlah Draco, jangan mengomentari mereka." Astoria mendesah pelan dan menepuk pundak anaknya. "Scorpius, jangan lupa untuk mengirimkan surat setiap bulan dan pastikan kau masuk Slytherin."

"Semua anggota keluarga kita selalu masuk Slytherin. Dad tidak mau kau masuk ke asrama lain, mengerti?"

"Mengerti Dad, Mom."

"Bagus. Sekarang masuk ke dalam kereta, Son." Draco meraih tubuh mungil anaknya dan memberikannya sebuah pelukan terakhir. "Michelle dan Allard pasti sudah menunggumu di dalam."

Malfoy kecil itu merentangkan tangannya dan melingkarkannya di tubuh ayahnya sesaat. Dia pasti akan merindukan kedua orang tuanya dan Malfoy Manor nanti.

Setelah dia merasa puas untuk melihat kedua orang tuanya, Scorpius melangkahkan kakinya memasuki salah satu gerbong khusus untuk murid tahun pertama. Berjalan di sepanjang koridor yang penuh dengan anak-anak seusianya dan sesekali melirik ke dalam ruangan-ruangan kecil yang ada untuk menemukan kedua temannya, Michelle Parkinson dan Allard Zabini.

Kira-kira setelah melewati satu gerbong lainnya, dia menemukan sebuah ruangan yang hanya diisi oleh kedua orang yang dia cari. Tanpa menunggu apapun, dia membuka pintu ruangan itu dan mengambil duduk yang nyaman di samping Allard.

"Hei 'mate!"

Scropius memberikan sebuah cengiran kecil untuk membalas sapaan anak lelaki berkulit gelap itu. Dia melirik anak perempuan di depannya yang tengah membaca sebuah buku yang dikenal sebagai novel percintaan. Kedua mata perempuan itu terlihat serius menerjang permukaan buku dan rambut cokelat tua lurusnya menutupi kedua sisi wajahnya dengan sempurna.

"Novel menjijikan itu lagi, Elle?"

Gadis itu mendongak dan memandang Scorpius dengan wajah kesal. "Please Scorpy, ini bukan novel menjijikan."

"Kata Dad kau harus mencobanya sendiri dan mengabaikan apapun yang dikatakan dalam buku itu."

"Oh ya, aku lupa kalau ayahmu seorang petualang cinta," sindir Michelle dengan suara nyaringnya. Sedetik kemudian dia kembali membenamkan kepalanya ke dalam novel itu dan mengabaikan Scorpius dan Allard yang tengah membicarakan sesuatu yang dia yakin tidak dapat dimengerti oleh perempuan manapun.

(===)

Draco Malfoy masih berdiri di tempat yang sama meskipun anaknya telah masuk ke dalam kereta lima belas menit yang lalu. Sebuah senyuman kecil menghiasi wajahnya mengingat bahwa anak satu-satunya itu akan bersekolah di tempat yang sama dengannya.

Sudah tak terasa hampir dua puluh tahun berlalu sejak berakhirnya peperangan besar itu dan kini dia hidup bahagia dengan keluarga kecilnya. Dulu, dia bahkan tak berani berpikir bahwa dia akan mempunyai keluarga mengingat setiap hari dia mempunyai kemungkinan untuk mati.

Mungkin seharusnya dia berterima kasih kepada Potter dan kedua temannya itu.

Mata abu-abu Draco kembali melirik kerumunan keluarga Weasley dan Potter yang agak jauh darinya, sepertinya anak-anak mereka juga sudah masuk ke dalam kereta beberapa menit yang lalu.

Draco bisa melihat bahwa Harry Potter kini melirik ke arahnya dan memberikan sebuah senyuman tipis meski Ronald Weasley masih memandanginya seperti masa-masa mereka di Hogwarts.

Ya, terkadang ada yang berubah dan terkadang ada yang tidak berubah.

Wajar kalau Harry kini mulai bersikap ramah padanya. Mereka sering bertemu di kantor kementerian sihir dan terlibat suatu pekerjaan bersama meski mereka berbeda divisi. Lagipula, semuanya telah berakhir bukan? Draco sudah tidak mempunyai alasan untuk membenci mereka lagi.

"Terjebak di masa lalu?" Suara Astoria menyadarkannya dari pikirannya. Dia menoleh dan mendapati istrinya juga melakukan hal yang sama dengannya, memperhatikan kedua keluarga itu. "Meski aku tidak pernah memperhatikan mereka sejak dulu, nama mereka selalu terdengar di mana-mana."

"Pahlawan akan selalu dikenal." Draco hanya menaikkan kedua bahunya dan mulai berjalan meninggalkan tempat itu disusul Astoria yang mengikuti langkahnya tepat di sampingnya. Beberapa orang sesekali melihat mereka dan terkadang ada yang memilih untuk menjaga jarak dengan pasangan suami istri Malfoy itu.

"Mungkin kita bisa mengundang mereka untuk makan malam bersama kapan-kapan." Astoria mengutarakan pendapatnya dengan wajah datarnya.

"Oh, kau mulai terdengar seperti Mom."

"Kukira pahlawan dunia sihir itu ada tiga orang." Astoria mengabaikan sindirian Draco dan mengutarakan pendapatnya yang lain. Dia menyadari bahwa suaminya tengah mengerutkan dahinya karena perkataannya itu. "Seingatku ada seorang wanita di antara trio Gryffindor terkenal itu."

Benar, memang ada seorang wanita yang selalu bersama Potter dan Weasley. Bahkan Draco sempat terkejut dengan kenyataan bahwa Weasley menikah dengan Brown dan tak menemukan sosok wanita itu di sekitar mereka. Padahal, Draco yakin bahwa wanita pintar itu akan menjadi pendamping hidup untuk Weasley yang bodoh.

Sejak lulus dari Hogwarts dan menjalani pelatihan khusus untuk kementerian sihir, Draco tak pernah mendengar kabar atau berita apapun mengenai wanita itu lagi hingga saat ini. Anehnya, tak ada satupun penyihir di dunia ini bertanya mengenai sosok fenomenal itu. Bahkan Potter tak pernah menyinggung nama wanita itu selama belasan tahun bekerja dengannya.

"Aku tak pernah mendengar apapun mengenai wanita itu. Dia seperti menghilang ditelan bumi."

Draco menyetujui perkataan istrinya. Semua ini terasa seperti wanita itu menghapus jejaknya di muka bumi dan memberikan sugesti kepada seluruh mahkluk hidup untuk tidak mencarinya. Bayangkan, bagaimana bisa penyihir paling pintar di abad itu menghilang begitu saja tanpa kehebohan di mana-mana?

Ini aneh.

"Sial, harusnya aku datang lebih awal."

Draco mengerutkan dahinya saat dia mendengar sebuah suara yang terdengar familiar untuknya. Meski saat itu sekelilingnya sangat bising dan dipenuhi oleh suara-suara lainnya, dia bisa mengenali intonasi khas dari suara itu.

"Merlin! Kenapa stasiun ini selalu ramai? Tak bisakah mereka langsung pulang setelah mengantarkan anak-anak mereka?"

Ya, dia hapal suara ini. Meski sudah lama tak mendengarnya, suara ini dulu sering membentaknya dan memanggilnya dengan nama hewan menjijikan.

"Harusnya aku menolak tawaran ini, apa kau setuju denganku Crookshanks?"

Seekor kucing berwarna ginger— tunggu dulu, hewan ini teralu besar untuk ukuran kucing. Merlin! Lupakan. Hewan itu berada di depannya dan melewatinya dengan santai tanpa perlindungan apapun, seakan pemiliknya tidak perlu takut bahwa kucing itu akan lari dan memangsa seseorang dengan tubuh besarnya itu.

Hei, Draco mengenali kucing ini!

Di tahun ketiga, kucing yang persis dengan kucing ini berkeliaran di koridor sekolah dan membuat keributan sebelum profesor yang bertugas menghentikannya dan memberikan detensi kepada pemiliknya. Selain itu, selama tinggal di asrama ketua murid dia harus tinggal bersama kucing yang sama karena pemiliknya akan melemparkan kutukan kalau dia berani membuang hewan itu jauh-jauh.

Dan tentu saja Draco mengenali pemilik kucing itu.

Kedua matanya kini bergerak perlahan untuk mengamati sosok yang berjalan di samping kucing itu. Sepatu wanita abu-abu, tas kotak berwarna cokelat tua, mantel berwarna krem dan mata cokelat madu adalah hal yang bisa dia tangkap untuk pertama kali.

Draco menghentikan langkahnya ketika dia melihat dengan jelas sosok yang ternyata adalah seorang gadis itu. Tentu saja bukan gadis biasa karena seorang Draco Malfoy tak pernah menghentikan langkahnya hanya untuk melihat seorang gadis bahkan bila itu adalah gadis paling cantik di dunia. Tidak, bukan itu.

Astoria bahkan ikut menghentikan langkahnya dan memandangi suaminya dengan bingung. Draco tengah memandang lurus ke depan dengan wajah pucat dan kedua bola matanya melebar seperti tengah melihat hantu. Lelaki berumur tiga puluhan itu seakan tak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini.

Seorang gadis yang sangat dikenalinya tengah berjalan melewatinya. Bahkan gadis itu meliriknya hanya sepersekian detik dan tetap berjalan seakan-akan dia tidak mengenali Draco.

Meski rambut gadis itu berubah dan penampilannya juga berbeda dari dua puluh tahun yang lalu, Draco sangat yakin bahwa gadis itu adalah 'dia'.

"Kau tidak apa-apa, Draco?"

Astoria menepuk pundak Draco dan memandanginya sedikit kuatir, tidak biasanya suaminya tercinta memasang ekspresi seperti saat ini.

"Kurasa aku tidak akan masuk kerja hari ini." Astoria semakin tidak mengerti, "Lebih baik aku berisitirahat di rumah."

"Apa kau sakit?"

Draco menatap istrinya yang tak mengerti apapun itu.

"Baru saja aku berdelusi melihat seseorang dari masa laluku." Sebelah alis Astoria terangkat saat mendengar jawaban Draco. "Aku melihat wanita itu dan— Bloody hell.. mana mungkin dia masih terlihat sama setelah dua puluh tahun berlalu?"

"Draco, aku tidak mengerti dengan apa yang kau katakan. Wanita siapa yang kau maksud?"

Draco terdiam sejenak. Dia berusaha menelan ludahnya yang tertahan di batang tenggorokkannya dan menenangkan debaran jantungnya yang tidak beraturan.

"Hermione Granger."

(===)

Scorpius Malfoy membuka kedua matanya perlahan dan menguap kecil. Sial, dia ketiduran karena merasa bosan dengan pemandangan di luar jendela. Dia merenggangkan kedua tangannya dan menggerakan kepalanya yang terasa sedikit kaku karena tidur di sofa kereta yang bahkan tidak seempuk roti untuk peri rumahnya.

Setelah merasa badannya tak teralu kaku, dia mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan kecil itu dan dia hampir berdiri dari tempat duduknya karena merasa terkejut. Michelle dan Allard menghilang dari ruangan itu dan seorang gadis remaja telah duduk di depannya dengan seekor kucing raksasa di sampingnya.

Menurut pengamatan Scorpius, gadis di depannya ini pasti murid tahun ke-enam atau ke-tujuh dan bagaimana bisa seorang murid angkatan tua berada di dalam gerbong untuk murid tahun pertama?

"Selamat siang." Gadis itu menutup buku yang ada di pangkuannya dan tersenyum tipis ke arah Scorpius. "Maaf membuatmu kaget, aku tidak menemukan ruangan kosong lainnya dan kedua temanmu berbaik hati menerimaku di ruangan ini," lanjutnya lagi menjelaskan kehadirannya di ruangan itu.

Scorpius hanya mengangguk mengerti. Dia merasa canggung dan tak tahu harus berkata apa saat ini. Merlin! Dia baru saja menaiki kereta ini dan belum mencapai Hogwarts, lalu sekarang dia sudah harus berhadapan dengan seniornya?

Gadis itu memandanginya beberapa saat dan tiba-tiba dia mengeluarkan sebuah tawa yang tidak teralu keras.

"A-ada apa?"

"Tidak.. tidak apa-apa," Scorpius mendapatkan sebuah gelengan singkat dari gadis itu. "Kau mengingatkanku pada musuh bebuyutanku. Kau terlihat sangat persis dengannya."

Scorpius mengangkat satu alisnya tinggi-tinggi dan memandangi gadis itu dengan bingung. Kalau boleh jujur, gadis di depannya ini terlihat sangat cantik dan berwibawa. Dia memakai kemeja putih dengan motif garis biru, sebuah vest hitam yang tidak terkancing dan celana putih membalut kaki panjangnya dengan baik. Rambut cokelat berombaknya tertata begitu alami dan menyatu dengan alis cokelat tua yang menikung menuju satu titik di atas hidungnya. Lalu bibirnya yang berwarna seperti buah delima melengkung indah saat ini.

Benar-benar awal yang baik untuk mengenal kakak kelasnya di Hogwarts.

"Siapa namamu?"

"Scorpius Hyperion Malfoy."

Sial! Kenapa dia sampai menyebutkan nama tengahnya? Astaga, mungkin gadis itu menganggapnya aneh atau sebagainya hingga senyuman di wajahnya menghilang saat mengetahui nama itu.

Scorpius ingin membuka mulutnya lagi untuk menjelaskan bahwa gadis itu bisa memanggilnya dengan Malfoy atau Scorpius, namun tiba-tiba gadis itu menepuk jidatnya sendiri.

"Astaga Merlin! Kenapa aku tidak menyadari bahwa kau seorang Malfoy? Pantas saja kau mirip dengannya."

Ragu-ragu Scorpius menutup mulutnya kembali. Selama ini dia sering dikatakan sangat mirip dengan ayahnya. Dia tidak pernah menyangka bahwa wajahnya begitu pasaran dan ada orang lain yang mirip dengannya selain ayahnya.

"Semua orang berkata bahwa aku mirip Dad."

Gadis itu mengangguk, "Ya, kau memang sangat mirip dengan ayahmu."

"Kau mengenal Dad?"

"Tentu saja— Maksudku, siapa yang tidak mengenal Draco Malfoy?"

Scorpius terdiam dan menyetujui perkataan gadis itu. Hampir seluruh penyihir mengenal ayahnya dan keluarganya secara mereka adalah keluarga paling terkaya dan berpengaruh di dunia sihir.

Entah sudah berapa menit dia habiskan dalam diam dengan melihat pemandangan alam dari balik jendelanya. Gadis itu juga melanjutkan membaca sebuah buku tebal yang diyakini Scorpius bukanlah novel percintaan seperti yang dibaca Michelle. Dia bisa menebak bahwa itu adalah sebuah buku dengan isi yang sangat rumit dan murid tahun pertama sepertinya tidak akan mengerti mengenai hal itu.

Scorpius bukan penyihir yang bodoh. Dengan perpustakaan yang sangat besar dan koleksi buku-buku yang menyaingi perpustakaan Hogwarts, tentu membuatnya mengetahui banyak hal dengan sangat mudah. Hanya saja, rasanya level kepintaran gadis di depannya ini sangat melampaui batasnya. Entah mengapa perasaannya mengatakan hal seperti itu.

"Maaf miss, aku belum tahu namamu."

Gadis itu mengalihkan pandangannya dari buku yang tengah dia baca untuk menatap anak laki-laki yang tengah memandanginya dengan rasa penasaran di kedua bola mata abu-abunya.

"Kau bisa memanggilku Granger."

"Miss Granger?" Scorpius merasa terkejut untuk kedua kalinya. Dia tahu nama itu dan pernah membacanya dalam buku mengenai sejarah dunia sihir milik ayahnya. Salah satu dari trio Gryffindor memiliki nama keluarga yang sama dengan gadis di depannya. Penyihir wanita paling pintar pada abad itu, Hermione Granger.

Apa mungkin gadis di depannya ini adalah anak dari Hermione Granger?

Scorpius yakin bahwa gadis di depannya ini pasti berumur sembilan belas tahun atau mungkin delapan belas tahun. Itu berarti Hermione Granger mempunyai anak saat berumur dua puluh tahun? Rasanya tidak masuk akal. Apa mungkin wanita itu hamil di luar nikah?

Tidak tidak. Dia masih ingat cerita ayahnya mengenai Hermione Granger. Wanita itu sangat galak, keras kepala dan selalu berjalan dengan membawa tumpukan buku menjulang seperti menara Quidditch. Bahkan wanita itu pernah memukul ayahnya tepat di hidungnya.

Kalian bisa bayangkan seperti apa proyeksi Hermione Granger bagi Scorpius? Yeah, mungkin seperti nenek sihir jahat yang bisa mengamuk setiap saat. Dan bagaimana bisa seorang wanita mengerikan seperti itu menikah muda dan mempunyai anak begitu cantik seperti di depannya ini?

Dunia begitu tidak adil.

"Aku tidak tahu kalau Hermione Granger mempunyai seorang anak."

Gadis yang mengaku bernama Granger itu hanya bisa mengulum senyumnya penuh arti dan melanjutkan membaca bukunya.

"Apa kau berada di asrama Gryffindor?"

Scorpius bertanya lagi, entah mengapa dia merasa sangat penasaran dengan gadis ini. "Ya. Biar kutebak, kau pasti akan masuk asrama Slytherin." Jari-jari lentik gadis itu bergerak dan membalik halaman baru. "Kurasa Ayahmu pasti akan memarahimu kalau kau masuk asrama lain."

"Dad berkata bahwa asrama Slytherin adalah asrama yang paling bagus." Scorpius bisa mendengar bahwa gadis itu mendengus dan memutar kedua bola matanya. "Asrama itu membuktikan bahwa kau memiliki kekuatan yang besar, kepemimpinan dan martabat yang tinggi."

"Kenapa Malfoy tidak pernah berubah?" Gadis itu mengeluh dan menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. "Sudah dua puluh tahun berlalu dan dia tetap saja berpikiran dangkal seperti itu."

Sebuah kerutan tercipta di dahi Scorpius. "Maaf Miss, tapi kurasa itu sangat tidak sopan untuk mengejek orang yang lebih tua tepat di depan anaknya." Dia menarik nafas sejenak dan melipat kedua tangannya di depan dadanya. "Dan Dad bukanlah orang yang berpikiran dangkal. Kementerian sihir tidak akan menerima orang yang berpikiran dangkal. Ingat itu."

Gadis itu meliriknya tanpa mendongak dari bukunya. "Sepertinya kau tidak mewarisi sifat ayahmu. Kau tahu? Ayahmu akan menghinaku balik ketika aku mengejeknya, bahkan dia rela untuk melemparkan beberapa kutukan kepadaku kalau dia mulai tidak tahan denganku."

"Secara fisik aku mirip Dad tapi psikologisku mengarah ke Mom— tunggu! Kau pernah mengejek Dad dan dia melemparkan beberapa kutukan kepadamu?"

"Ya, bahkan kami pernah terkena detensi karena saling melempar kutukan dan berteriak di koridor sekolah di tengah malam buta."

Scorpius semakin tidak bisa mengerti dengan jawaban gadis ini. Ayahnya tak pernah bercerita bahwa dia penah saling melempar kutukan dan berteriak di koridor sekolah bersama gadis berumur sembilan belas tahun, lalu terkena detensi? Apa gadis ini tidak salah mengenali orang?

Mana mungkin ayahnya yang berjarak dua puluh tahun dengan gadis ini terkena detensi dari sekolah karena melanggar aturan?

"Aku tak mengerti—"

"Permisi?"

Perkataan Scorpius terhenti ketika seseorang membuka pintu ruangannya. Seorang pria seumuran ayahnya dengan wajah yang lebih ramah terlihat berdiri di sana dan bernafas lega ketika kedua matanya menangkap sosok gadis yang tengah duduk bersama kucing raksasanya.

"Astaga! Aku mencari-carimu dari tadi dan ternyata kau berada di gerbong murid tahun pertama."

Gadis itu segera menutup bukunya dan memasukan buku itu ke dalam saku mantelnya yang sangat kecil. Dia menepuk punggung kucingnya dan berdiri dari duduknya ketika kucing itu membuka kedua matanya yang berwarna oranye menyala.

"Jangan salahkan aku. Kereta ini begitu ramai dan ini hari pertamaku."

Lelaki tua yang diduga Scorpius sebagai salah satu profesor pengajarnya kelak hanya bisa mendesah pelan dan menerima tas kotak gadis itu tanpa protes sedikitpun.

Hei, bagaimana bisa gadis itu bersikap seenaknya kepada guru pengajarnya?

"Kau seperti tidak pernah menaiki kereta ini sebelumnya." Kini lelaki yang dipanggil Neville itu memandangi Scorpius dan sedikit mengernyitkan alisnya. "Anak ini terlihat seperti Malfoy."

"Dia memang anaknya," ucap gadis itu santai dan melirik kucing raksasanya yang telah melompat dari kursi ke lantai.

"Merlin! Waktu memang cepat berlalu, kau tahu? Aku baru saja bertemu dengan Albus dan Emily. Sekarang aku bertemu dengan Malfoy junior. Semoga kelakuanmu tidak seperti ayahmu. Aku sudah kesusahan mengurus James Potter yang super nakal itu."

"Percayalah padaku, dia mengatakan bahwa psikologisnya cenderung ke ibunya."

Neville tersenyum lega dan melihat jam tangannya. "Cepatlah. Dua jam lagi kita akan tiba di Hogwarts."

"Baik, ayo Crookshanks." Kucing raksasa yang ternyata mempunyai nama itu segera berjalan keluar dari ruangan mendahului pemiliknya. "Senang bisa berbincang denganmu."

"Ya.." Scorpius hanya bisa mengangguk canggung dan melihat gadis itu pergi bersama kucingnya ditemani oleh seorang profesor bernama Neville tadi. Pintu ruangannya kembali tertutup dan dia memiringkan kepalanya bingung, memikirkan apa yang barusan terjadi dan mengapa gadis itu terlihat sangat akrab dengan Profesor Neville. Bahkan dia memanggil profesor itu hanya dengan nama depannya.

Untuk kedua kalinya pintu ruangan Scorpius terbuka. Michelle dan Allard muncul dari balik pintu geser itu dengan membawa beberapa kotak coklat dan permen.

"Jangan bilang kalian meninggalkanku hanya demi makanan itu."

Allard hanya bisa memasang cengiran polosnya untuk menanggapi perkataan kesal Scorpius. Dia segera duduk di samping Malfoy junior itu disusul Michelle di depannya.

"Ayolah, aku hanya membeli beberapa untuk di asrama. Kau mau?" Allard memberikan sekotak permen yang terlihat aneh kepada Scorpius. "Rasanya tadi kami meninggalkanmu berdua dengan seorang gadis, dimana dia?"

"Dia sudah pergi, seorang profesor menjemputnya." Scorpius mengamati kotak permen di tangannya. Dia pernah melihat permen ini saat berbelanja di Diagon Alley bersama ibunya beberapa hari yang lalu. "Gadis yang cantik, tapi dia menyebalkan. Dia mengejek Dad."

Allard dan Michelle hanya bisa terdiam dan saling memandangi satu sama lain. Bahkan ketika Scorpius mulai membuka kotak permen itu mereka masih terduduk kaku tanpa berbicara satu katapun.

"Kalian kenapa?"

Scorpius mengambil permen itu sebiji dari dalam kotaknya dan memasukkannya ke dalam mulut.

"Scorpy, apa kau tahu kalau gadis yang kau bilang menyebalkan itu adalah Granger?"

"Tentu saja aku tahu. Meskipun dia seorang Granger, aku tidak bisa menerima seseorang mengejek ayahku. Dia pikir dia siapa?"

Scorpius mengambil permen itu lagi dari dalam kotak dan memasukkannya ke dalam mulutnya yang kini berbau lemon karena permen pertama ternyata berasa lemon.

"Dia Hermione Granger, 'mate."

Kunyahan Scorpius terhenti dan kedua matanya mulai melebar. Wajahnya menjadi pucat dan dia memandangi Allard serta Michelle dengan tatapan 'Kalian bercanda!'

"Demi jubah norak Dumbledore, dia itu Hermione Granger."

"Kau tak apa-apa, 'mate?"

Allard memandangi Scorpius yang tengah menutup mulutnya dengan tangan kanannya. Wajahnya semakin pucat dan tak lama dia mengeluarkan permen yang baru saja dia makan.

"Sial, ini rasa kotoran telinga!"

(===)

"Masuk.."

Pintu ruangan kepala sekolah Hogwarts terbuka perlahan ketika seseorang memutar kenopnya dan mendorongnya ke dalam. Seorang gadis yang terlihat sama seperti ketua murid dua puluh tahun yang lalu di sekolah itu tengah berdiri dan menunggu sang kepala sekolah Hogwarts memandanginya dan memberikan sebuah senyuman hangat.

"Ah, Miss Granger." Kepala sekolah Hogwarts yang merupakan mantan Profesor Transfigurasi itu memandanginya dari balik kacamata bulatnya. Mata hijaunya bergerak mengamatinya dari ujung kaki hingga ujung rambutnya. "Silahkan duduk."

"Terima kasih prof."

"Sudah dua puluh tahun berlalu, apa aku harus memanggilmu dengan sebutan Miss Granger seperti dulu? Melihat kau tidak berubah sedikitpun dan masih terlihat seperti murid kesayanganku di tahun sembilan puluhan."

"Ah- Mungkin Hermione lebih baik."

"Baiklah, Hermione."

Sosok tamu malam yang ternyata adalah Hermione Granger tersenyum kecil dan menaruh kedua tangannya di atas pangkuannya. Dia mengamati kepala sekolah Hogwarts yang dia kenal sebagai Profesor Mcgonagall dengan seksama dan menyadari bahwa wanita itu kini semakin tua dengan banyak kerutan di wajahnya.

"Kau pasti sudah memikirkan baik-baik tawaran ini bukan? Kami mempercayaimu untuk mendapatkan posisi itu di sekolah ini."

Hermione menghirup udara sebanyak mungkin hingga aroma khas kantor kepala sekolah juga ikut tercium oleh hidungnya. Dia mengangguk dengan yakin, "ya prof. Aku yakin dengan keputusan ini. Kurasa aku tidak bisa bersembunyi lebih lama lagi."

"Well, sejujurnya aku sangat kuatir saat kejadian itu menimpamu dan membuatmu menjadi seperti saat ini." Profesor Mcgonagall mendesah pelan dan memijat dahinya. "Apa kau sudah menemukan cara untuk mengembalikan penampilanmu, dear?"

"Belum prof. Aku sudah berusaha selama dua puluh tahun ini untuk menghilangkan efek ramuan itu. Dan sepertinya usahaku sia-sia. Sebenarnya aku bisa saja untuk memakai ramuan penambah umur, tapi itu hanya berpengaruh beberapa jam saja." Hermione menghela nafas panjang dan ikut memijat daerah sekitar dahinya. "Aku juga tidak bisa menggunakan ramuan penua itu teralu banyak karena efeknya sangat berbahaya dan pemakaian berulang-ulang bisa mempengaruhi fisik dan staminaku."

"Aku turut perihatin. Sayang sekali ahli ramuan paling hebat yang kita miliki sudah pergi mendahului kita." Kedua wanita itu kini memandangi lukisan Severus Snape yang terpajang rapi di sebelah lukisan Albus Dumbledore.

"Ya, mungkin kalau Profesor Snape masih hidup.. dia akan membantuku." Hermione terdiam dan beberapa memori mengenai profesor ramuannya yang terkenal galak itu terputar di otaknya. "Mungkin.."

Profesor Mcgonagall kembali tersenyum menyadari keraguan dari gadis di depannya. "Kurasa Severus menyetujui keputusanku untuk merekrutmu sebagai pengajar ramuan yang baru. Dia akan memarahiku kalau aku menaruh seseorang yang menurutnya otak udang tak berilmu dan senang bergosip untuk menduduki posisi itu."

Hermione mengalihkan pandangannya ke arah wanita tua itu dan tersenyum lagi. "Aku akan berusaha semampuku."

"Kau adalah murid kesayanganku dan sampai sekarang aku belum pernah menemukan penyihir sepintar dirimu, aku yakin kau akan menjadi pengajar yang hebat, dear."

"Terima kasih prof."

"Ah, ada satu hal lagi Hermione. Kau pasti tahu bahwa dengan keluarnya Profesor Slughorn dari sekolah ini, itu berarti kita kehilangan pengajar kelas ramuan dan kepala asrama Slytherin."

"Tunggu, maksud profesor adalah.."

"Ya, aku meminta bantuanmu untuk menjadi kepala asrama Slytherin." Dengan raut wajah serius, Profesor Mcgonagall mengutarakan keinginannya dengan tegas sedangkan Hermione kini memandanginya tak percaya.

"Tapi prof, kau tahu kalau aku berasal dari Gryffindor dan aku bukanlah penyihir berdarah murni. Ini.. mustahil."

"Oh Hermione." Profesor Mcgonagall mendesah pelan dan menyandarkan punggungnya di sofa empuknya. "Aku kira kau sangat pintar dan tak memikirkan hal itu setelah semuanya berakhir. Dengar, aku membutuhkan orang yang bisa aku percayai untuk mengawasi asrama itu dan kau adalah orang yang tepat. Apa kau mengelak dan meragukan kepercayaanku?"

"Tidak prof. Hanya saja.." Hermione mengalihkan pandangannya dan menggigit bibir bawahnya. "Dengan penampilan seperti gadis remaja berumur sembilan belas tahun ini, jujur saja aku sudah merasa sangat ragu untuk menjadi pengajar dan aku tidak begitu yakin untuk menerima posisi itu."

"Selama ini aku mengira bahwa kau bukanlah orang yang mementingkan penampilan. Apa ternyata aku salah?"

"Tidak prof. Sama sekali tidak."

"Mungkin aku tidak sebijaksana Albus dan tak seberani Severus, tapi kuharap kau mempercayai keputusanku seperti aku mempercayaimu."

Sebuah anggukan kecil yang diberikan oleh Hermione sebagai jawaban atas permintaan wanita itu membuat Profesor Mcgonagall bernafas lega dan tersenyum kecil.

"Sebentar lagi kita akan menyambut murid-murid tahun pertama dan melakukan penyeleksian. Kau bisa kembali ke kamarmu dan bersiap-siap, Hermione."

Hermione bangkit dari duduknya dan mengucapkan sampai jumpa kepada profesor kesayangannya itu. Dia menutup pintu ruang kepala sekolah sepelan waktu dia membukanya. Kakinya tak langsung melangkah menuju ruangannya, gadis itu hanya bisa berdiri di depan pintu dan menenangkan dirinya.

Demi Dumbledore! Apa yang barusan dia setujui? Menjadi kepala asrama Slytherin?

Ini gila, benar-benar gila!

"Hei 'Mione!" Neville yang entah kapan berada di dekatnya, menyapanya dan tersenyum ke arahnya. "Kau sudah bertemu dengan Profesor Mcgonagall?"

"..."

"Ada apa? Apa terjadi sesuatu?"

"Neville, kuharap kau tidak tertawa mendengar ini."

"Hah?" Kedua alis Neville terangkat saat Hermione memandanginya begitu tajam. "Mendengar apa?"

"Dan kau jangan berteriak saat aku mengatakan ini."

Neville semakin tidak mengerti. Sebenarnya apa yang telah terjadi kepada temannya ini?

"Aku— Oh astaga Merlin! Aku adalah kepala asrama Slytherin! Apa kau dengar itu? Aku kepala asrama Slytherin yang dipenuhi oleh penyihir darah murni kolot! Apa perlu aku mengganti 'Demi Godric' menjadi 'Demi Salazar' ? Ini gila Neville!"

"Er.. 'Mione. Kurasa reaksimu terlihat lebih gila dibandingkan berita itu."

"Tunggu! Kau adalah kepala asrama Gryffindor bukan?" Profesor Herbiologi itu hanya mengangguk pelan. "Bagus! Bagaimana kalau kita bertukar saja? Kurasa mereka akan lebih menerimamu karena kau adalah penyihir darah murni."

Neville terdiam dan mengulurkan kedua tangannya untuk merengkuh pundak Hermione yang sama sekali tidak bertambah tinggi sejak dua puluh tahun lalu.

"Dengar 'Mione.. aku— harus menyampaikan sesuatu kepada Profesor Mcgonagall. Sampai jumpa." Dengan cepat dia melewati Hermione, membuka pintu ruangan kepala sekolah dan kabur begitu saja meninggalkan Hermione yang tengah frustasi.

"Demi Salazar!"

(===)

Scorpius mulai merasa kedua kakinya pegal karena berdiri teralu lama dalam sebuah barisan panjang. Kenapa penyeleksian asrama ini begitu lama? Toh topi tua dan butut itu juga tak akan bertanya macam-macam yang memerlukan waktu lama.

"Albus Potter.." Suara seorang profesor yang sedari tadi menggema di aula besar terdengar lagi dan membuat semua kebisingan hilang seketika. Oh ya, tentu saja karena dia adalah anak dari Harry Potter yang terkenal itu.

Scorpius memutar kedua bola matanya bosan dan melirik meja staf pengajar yang berada di belakang profesor 'pemanggil' itu. Nenek tua yang dikenal sebagai kepala sekolah Hogwarts terlihat sangat menyimak proses penyeleksian Potter junior itu. Di sampingnya duduk Profesor Neville dan gadis yang tadi siang terlibat perbincangan cukup lama di kereta.

"Lihat, ternyata gadis itu memang Hermione Granger." Michelle berbisik di telinganya dan melipat kedua tangannya di depan dadanya. "Apa yang terjadi kepadanya? Apa dia overdosis ramuan awet muda?"

"Aku tidak peduli kalau dia overdosis ramuan awet muda, yang jelas dia sangat cantik. Sayang sekali dia seorang muggle-born," sahut Allard yang berada di belakangnya.

"Oh diam kau Allard!" Michelle hanya mendengus kesal dan memilih untuk mengalihkan pandangannya dari sosok Hermione Granger. Sedangkan Scorpius masih memandangi Hermione dengan kedua bola mata abu-abunya. Kenapa Hermione Granger duduk di meja staf pengajar? Apa dia akan mengajar di Hogwarts?

"Gyrffindor!"

Tepuk tangan yang sangat keras kini memenuhi aula besar ketika topi seleksi menentukan pilihannya untuk Potter junior itu. Bahkan Hermione juga ikut menyumbangkan tepuk tangannya untuk anak laki-laki itu.

Apa bagusnya Albus Potter? Kenapa dia begitu dipuja banyak orang? Meski ayahnya adalah seorang pahlawan, bukan berarti bahwa anaknya juga seorang pahlawan kan?

Lihat, beberapa murid Gryffindor bahkan memeluknya erat ketika dia berjalan menuju meja makan asramanya seakan-akan Albus telah memenangkan perlombaan Quidditch untuk asramanya.

Tch, konyol!

Memang baru lima belas menit dia mengamatinya, tapi Scorpius sudah sangat yakin bahwa Albus Potter akan menjadi musuh bebuyutannya sampai beberapa tahun kedepan di sekolah ini.

"Allard Zabini!"

"Oh itu aku!" Dengan semangat dan senyuman khasnya, Allard berjalan santai melewati Scorpius dan duduk di sebuah kursi yang diletakkan tepat di depan aula agar semua orang bisa melihatnya. Anak laki-laki yang sempat dikira berasal dari Afrika itu duduk di atas kursi dan memakai topi seleksi yang sepertinya tak pernah dicuci.

Tak sampai dua menit, topi itu memutuskan bahwa Allard masuk asrama Slytherin. Diiringi tepuk tangan yang didominasi berasal dari meja Slytherin, Allard berjalan menuju meja asramanya dan mengedipkan sebelah matanya ke arah kedua temannya.

"Scorpius Malfoy."

Oh bagus! Akhirnya namanya dipanggil setelah berabad-abad.

Sedikit kesal karena gilirannya yang begitu lama, Scorpius berjalan mendekati profesor 'pemanggil' itu dan duduk di atas kursi yang disediakan. Profesor itu mengambil topi seleksi dan berniat untuk meletakkannya di atas kepala Malfoy junior itu.

Namun baru beberapa detik topi itu berada di atas kepalanya atau mungkin baru menyentuh ujung rambut pirangnya, topi itu sudah meneriakan nama asrama Slytherin dengan kencang. Meja makan asrama Slytherin terlihat bergemuruh seakan asrama mereka telah menerima keajaiban luar biasa.

Oke, siapa yang tidak menerima keluarga Malfoy di asrama Slytherin? Bagi kalangan penyihir darah murni kecuali Weasley dan sahabatnya, Scorpius adalah penyihir yang harus didekati demi masa depan yang cerah. Lihat saja, beberapa gadis tahun pertama mulai meliriknya.

Tanpa banyak bicara dan mengangkat kepalanya dengan angkuh, Scorpius berjalan menuju meja asramanya dan duduk di samping Allard. Setelah melakukan tos persahabatan dengan sahabatnya itu, dia mengalihkan pandangannya menuju meja staf dan mendapati Hermione Granger tengah memandangi Albus.

Gadis itu mengangkat gelasnya dan bersulang jarak jauh untuk anak laki-laki itu. Kedua mata cokelat madunya kini teralih untuk menatap Scorpius. Dia tersenyum penuh arti seakan mengejeknya atas asrama yang dia dapat.

Sekarang dia mengerti kenapa ayahnya merasa sangat jengkel dengan Hermione Granger.

"Wow 'Mate! Hermione Granger bersulang untukmu."

Perkataan Allard semakin membuatnya kesal dan dia hanya melipat kedua tangannya sembari menunggu acara seleksi ini selesai. Tak lama Michelle menyusul mereka dan duduk di samping Allard.

"Akhirnya aku bisa duduk!" Michelle mendengus dan sesekali memijat kakinya. "Kenapa kita harus berdiri selama satu jam hanya untuk diseleksi selama kurang dari lima menit? Ini konyol!"

"Berhentilah menggerutu Elle. Setidaknya kau harus berterima kasih kepada topi itu karena tidak memasukanmu ke dalam asrama Hufflepuff mengingat kebiasaanmu membaca novel percintaan."

"Oh Scorpy, Hufflepuff tidak mempunyai hubungan dengan novel percintaan yang aku baca!"

"Guys, berhentilah bertengkar. Oke?" Allard merentangkan tangannya dan menepuk-nepuk pundak kedua sahabatnya. "Lihat kepala sekolah akan berbicara."

Scorpius melirik kepala sekolah Hogwarts yang telah berdiri dan mengacungkan tongkat sihirnya di dekat lehernya. "Selamat datang aku ucapkan untuk murid-murid tahun pertama. Semoga kalian menyukai sekolah ini dan tentu saja belajar dengan baik. Masa depan dunia sihir bergantung kepada kalian semua. Setelah makan malam ini, para prefek asrama kalian akan mengajak kalian berkeliling dan mengantar kalian ke asrama kalian masing-masing. Semua peraturan akan dijelaskan oleh mereka dan—"

Wanita tua itu terlihat ragu akan tindakannya setelah ini. Dia menepuk tangannya sekali dan aula besar itu semakin terang akibat beberapa lilin yang menyala tengah melayang-layang di atas mereka disertai perubahan langit-langit aula yang berubah menjadi langit malam penuh bintang.

Tak lama, meja asrama mereka dipenuhi oleh berbagai macam hidangan lezat disertai cemilan ringan dan beberapa jenis minuman yang terlihat menggoda.

Well, Hogwarts tidak teralu buruk.

"Selamat menikmati makan malam."

Scorpius mengambil sebuah gelas yang telah terisi jus jeruk segar di depannya. Rasanya dia masih ingin mencuci mulut dan membersihkan lidahnya dari rasa menjijikan permen yang dia makan beberapa jam yang lalu. Bagaimana mungkin dia memakan permen rasa kotoran telinga di saat dia merasa terkejut dengan fakta bahwa gadis yang sempat membuatnya tertarik adalah Hermione Granger?

Tangan kanannya yang pucat mengambil sebuah apel merah yang berada tepat di depannya, menggigitnya dengan gigi-gigi kecilnya dan mengunyahnya perlahan. Michelle terlihat membuka novel picisannya kembali dan Allard yang mulai beraksi untuk memikat murid-murid perempuan tahun pertama. Oh God, tak bisakah kedua temannya bersikap selayaknya anak berumur sebelas tahun?

"Perhatian semuanya.." Suara dentingan sendok yang beradu dengan gelas menghentikan keramaian di aula besar. Suara kepala sekolah terdengar lagi dan wanita tua itu kembali berdiri dari balik meja makannya. "Aku ingin memperkenalkan seseorang kepada kalian. Silahkan berdiri Profesor Granger."

Scorpius berhenti mengunyah apelnya ketika kepala sekolah menyebut nama yang daritadi menarik perhatiannya. Gadis itu segera berdiri dan membuat semua orang yang ada di aula berbisik-bisik mengenainya.

"Profesor Granger akan menggantikan Profesor Slughorn mulai besok untuk pelajaran ramuan. Dia juga akan mengajar kelas pertahanan terhadap ilmu hitam untuk murid tahun ke-enam dan tahun ke-tujuh." Bisikan murid-murid semakin terdengar membuat kepala sekolah mengerutkan dahinya. "Aku minta kalian jangan berisik hingga aku selesai berbicara." Suara dentingan itu terdengar lebih keras dan berulang-ulang agar murid-murid berhenti mengeluarkan suara yang mengganggu.

"Sesuatu telah terjadi kepada Profesor Granger hingga dia terkurung dalam wujud ini. Tapi perlu kalian ingat, meski Profesor Granger telihat seperti remaja biasa. Dia adalah penyihir yang hebat dan telah menerima banyak pengalaman yang tidak pernah kalian bayangkan selama berpuluh tahun ini." Wanita tua itu terlihat mengambil nafas sejenak dan memasang senyumannya yang sangat tipis. "Dan tentu saja Profesor Granger akan menggantikan posisi Profesor Slughorn sebagai kepala asrama Slytherin."

Scorpius yakin bahwa semua murid Slytherin merasa terkejut dengan pemberitahuan ini. Lihat, mereka bahkan tak mengeluarkan suara mengganggu seperti beberapa detik yang lalu. Mereka terdiam dan memutuskan untuk mengeluarkan tepuk tangan meriah untuk menyambut berita itu.

Asrama lain juga memberikan sambutan meriah untuk profesor muda itu khususnya asrama Gryffindor yang merasa bangga bahwa salah satu pahlawan dunia sihir yang tentu saja berasal dari asrama mereka mengajar di Hogwarts.

"Demi janggut Dumbledore, dia kepala asrama kita!" Michelle memberikan komentar sarkastiknya di tengah keramaian yang ada.

"Kau tahu, janggut Merlin katanya lebih panjang dari janggut Dumbledore."

"Allard!" Michelle memukul kepala Zabini junior itu dengan novel kesayangannya. Anak laki-laki itu langsung meringis dan menggeser tempat duduknya agar lebih dekat dengan Scorpius.

"Astaga, kenapa dulu kita bisa bersahabat dengannya 'Mate?"

"Karena dulu kau bilang Elle itu cantik dan mempesona?" Scorpius mengangkat kedua alisnya tinggi-tinggi dan meraih gelasnya lagi. Dia melirik Profesor Granger yang telah kembali duduk dengan nyaman dengan wajah yang sedikit kesal akibat bisikan-bisikan mengenai dirinya.

Saat mata cokelat madu Profesor Granger bertemu dengan abu-abu miliknya. Scorpius mengangkat gelasnya dan melakukan hal serupa yang dilakukan oleh gadis itu ketika dia masuk asrama Slytherin.

Tak bisa dipungkiri ada rasa senang dan puas saat dia melihat kepala asrama 'muda'nya itu mengerutkan dahi dan ekspresi kesalnya semakin menjadi-jadi. Sepertinya Scorpius mulai mengerti alasan mengapa ayahnya suka menjahili orang khususnya Hermione Granger.

Rasanya, Scorpius mulai merindukan masa-masa dimana dia bisa bercerita dengan ayahnya sebelum tidur. Mungkin nanti malam dia bisa menuliskan sebuah surat untuk ayahnya mengenai Hermione Granger— ah maksudnya mengenai dia masuk asrama Slytherin seperti yang diharapkan kedua orang tuanya.

"Kau tahu? Aku mulai tak sabar untuk memulai pelajaran ramuan."

Allard hanya bisa terkekeh kecil mendengar pengakuan sahabatnya itu. "Kau jangan macam-macam 'Mate, aku yakin Profesor Granger adalah guru yang galak."

"Mom bilang pelajaran ramuan itu sangat susah," sahut Michelle menambahkan. "Dan pelajaran itu pasti akan bertambah susah dengan Profesor Granger sebagai pengajarnya."

"Ya, lagipula kau mempunyai saingan untuk menjadi murid kesayangan," ucap Allard lagi sambil menunjuk sosok Albus Potter yang tengah tersenyum ke arah teman-teman barunya di meja Gryffindor.

"Seingatku Potter bukanlah orang yang berotak encer, guys."

"Dan seingatku Malfoy juga tidak berotak encer."

"Ya dan setahuku, Parkinson selalu cerewet seperti nenek-nenek tua."

Kedua anak laki-laki itu segera menggeser duduk mereka ketika Michelle mengayunkan bukunya dengan keras kearah mereka.

"Sudah kukatakan berulang kali, novel itu mengerikan."

To be continue

Author's Note : Hahahaha aduh apa yang telah kubuat ini? Bahkan aku membuat Hermione terkena sesuatu hingga dia tetap dalam wujud gadis sembilan belas tahun! Oke oke.. aku masih agak bingung dengan genre fic ini, maksudnya apa perlu aku berikan bumbu-bumbu romance? #eaaaa

Menurut konsep yang telah aku buat, fic ini akan tamat di chapter delapan. Jadi satu chapter mewakili satu tahun. Semoga kalian menyukainya! Dan kenapa Hermione bisa menjadi seperti itu akan dijelaskan di chapter depan!

Oh ya! Cover Fic ini adalah penampilan Hermione yang dilihat oleh Scorpius saat di kereta! Aku berpikir bahwa Hermione pasti mengganti penampilannya setelah dua puluh tahun berlalu.

Salam hangat~!