Wolf Moon

Genre: Fantasy, Romance

Pair: Kurosaki Ichigo and Kuchiki Rukia

Disclaimer: Tite Kubo


"Maaf, kami hanya bisa mengantar sampai di sini."

Anggukkan dari kepala Rukia sudah meluruskan semuanya. Ketiga werewolf itu memang tidak perlu masuk ke desa; mereka tidak punya urusan apa-apa di sini. Rukia memapah Grimmjow di sampingnya. Tubuhnya yang berat dan jangkung itu membuat Rukia harus memakan langkah sedikit demi sedikit. Apalagi bau amis mulai menyengat sampai ke matanya.

"Niatnya ingin menolong tapi malah sebaliknya," kata Grimmjow membuka percakapan. Dalam keadaan seperti itu dia masih bisa menyeringai. Ah, benar, dia kan shapeshifter. Bagi Grimmjow luka ini mungkin bagaikan lecet di lutut. Rukia memutar bola mata; bukan putaran yang bagus.

"Kau bodoh. Aku bisa melakukannya sendiri. Melihatmu menantang kepala desa seperti itu membuatku kena serangan jantung."

"Sekarang kita sama, kan? Setidaknya aku punya luka keren yang bisa kutunjukkan pada Aizen."

"Ya, lalu aku akan menyuruhnya untuk mengusirmu." Rukia nyengir.

Melihat dua orang itu dalam keadaan yang tidak bisa dibilang normal—apalagi berkat rambut langit milik Grimmjow—sempat menarik perhatian warga sekitar. Mereka tidak langsung mengacungkan jari dan berseru-seru, tidak. Hanya bisikan prihatin yang bisa ditangkap oleh mata Rukia. Setelah ini pasti akan menjadi gempar kembali seolah-olah mereka adalah orang penting.

"Aku harus membawamu ke bangsal kesehatan sekarang juga."

Grimmjow mencoba menarik lengannya yang disampirkan di sekeliling bahu Rukia. Sedikit meringis. "Antarkan saja aku ke rumah. Aku akan membalut beberapa luka ini dengan perban, lalu, tolong katakan padaku jika mereka sudah tiba." Mata birunya melirik ke wajah porselen milik Rukia. Gadis itu mengangguk mengerti. "Lagi pula, ada orang yang lebih membutuhkan perhatianmu."

Benar juga. Akibat kekhawatiran yang memenuhi kepala Rukia seperti kabut, dia nyaris melupakan Ichigo yang ditinggalkannya begitu saja di rumah. Dia cemas kalau-kalau pemuda itu tidak betah lagi dan lebih memilih untuk tinggal di penjara saja sampai kepala desa mengeluarkan perintahnya. Rukia menggeleng keras-keras. Ichigo tidak mungkin seperti itu. Demi sejuta bintang di langit, dia tidak akan mau diikat seperti kambing yang akan diseret ke tempat pejagalan.

Rukia cepat-cepat berlari ke rumahnya sendiri, lalu menemukan rumah itu kosong melompong. Sinyal-sinyal tidak nyaman bergetar di bawah kulit gadis itu. Bukannya dia mau berpikiran negatif.

"Ichigo?" adalah nama pertama yang dipanggilnya ketika menginjak rumah. Kemudian, suara pintu yang terbuka dengan lembut keluar dari arah kamar kedua orangtuanya. Byakuya muncul di ambang pintu dengan raut wajah kebingungan. Saat itu juga dia langsung menghampiri putrinya. Lengannya langsung membawa Rukia ke rengkuhan yang hangat.

"Astaga, Rukia. Aku sudah menunggu begitu lama sampai-sampai aku berencana untuk menyusulmu."

"Ayah, aku... Di mana Ichigo?"

Byakuya mengernyitkan wajahnya yang panjang itu. "Melihat orangtuamu yang begitu khawatir akan putri semata wayangnya, tapi yang kau tanyakan adalah pemuda Kurosaki itu?"

"Maaf, maksudku, kau tidak benar-benar mengusirnya, kan?"

Kini kerutan di wajah sang ayah berganti menjadi senyum ringan. "Tidak. Asalkan mengetahui kau baik-baik saja. Omong-omong, aku sudah mendengar semua cerita darinya."

"Jadi?"

"Dia ada di kamarmu sekarang."

Dengan cepat Rukia setengah berlari menuju kamarnya. Dia bahkan tidak menanyakan keadaan ibunya, tapi gadis itu sudah yakin apa yang bisa dilakukan ayahnya. Pintu kamar terbuka dengan keras—dan lagi-lagi—Rukia harus menemukan Ichigo meringkuk di sudut kamarnya. Tetapi tidak tampak tersiksa atau murung. Cermin cokelat yang dirindukannya membeliak ketika berserobok dengan sosok mungil itu.

"Rukia..." Ichigo segera berdiri dan memaku pandangannya hanya kepada Rukia Kuchiki seorang. Tangannya terjulur untuk mendapatkan gadis itu dalam pelukannya. Ichigo langsung mendesah lega di balik punggung mungil itu. Rukia memejamkan matanya erat-erat, seakan tidak mau tubuh yang berada di hadapannya ini hilang seperti angin. Gejolak rindu yang dideranya seperti kanker pulih saat itu juga. Ketika Ichigo menghirup aroma tubuh Rukia, hidungnya agak geli.

"Kau sudah bertemu keluargaku?" tembaknya langsung. Dia bisa tahu dari aroma bulu-bulu serigala yang sudah tidak asing lagi di cuping hidungnya, menempel di tubuh Rukia. Gadis itu mengangguk.

"Aku rasa sebentar lagi mereka akan ke sini." Rukia memberikan senyumnya yang paling menenangkan. "Dengan Senna," tambahnya tanpa ragu-ragu.

"Kenapa mereka? Jangan bilang..."

"Grimmjow baik-baik saja," sergah Rukia, jelas-jelas bisa membaca pertanyaan yang akan keluar dari mulut pemuda itu. "Tapi tidak luput dari beberapa, eh, goresan."

Ichigo diam, berusaha mencerna semua perkataan itu. Jika keluarganya sudah turun tangan, bisa dipastikan Senna hanya akan mencicit. Dan sebentar lagi mereka akan ke sini. Menyudahi semua perjanjian dan menyumpal mulut kepala desa itu sampai dia puas.

"Alismu berkerut. Sama seperti yang ayahku lakukan jika dia sedang berpikir dengan urusan pekerjaannya. Ada apa?"

Ichigo mengedikkan bahu. "Apakah ini bisa berjalan dengan baik?"

"Tentu saja. Ketika aku menemukan sarangmu, aku nyaris diserang mentah-mentah oleh satu ekor serigala. Tapi, serangan itu berhenti begitu saja, aku tidak terkejut. Ayahmu muncul, dan aku langsung menceritakan apa yang perlu kuceritakan dalam waktu sesingkat mungkin. Untungnya masih sempat tiba di tempat Grimmjow."

Pemuda berambut oranye cerah itu menganggukkan kepalanya kecil. Dia melihat tepat ke jenjang leher Rukia yang putih, dilingkari oleh garis emas, tapi rubi itu tersembunyi di balik bajunya. "Aku lega kau baik-baik saja. Pastilah ayahmu sama khawatirnya denganku."

"Yah, dia sempat mencengkeram lenganku tadi, tapi sejauh ini dia tidak tampak jengkel."

"Ayahmu keren."

Rukia mengerjapkan matanya. Dia orang pertama yang bisa berkata 'keren' tentang ayahnya. "Padahal dia orang yang begitu dingin. Sebelum mengenalmu, dia hampir melemparkan raut wajah tidak suka. Seperti ibuku, dia harus melihat bagaimana rupa laki-laki yang dekat denganku dan bisa menilainya luar dalam. Grimmjow salah satu korbannya, tapi mereka akur-akur saja."

Perasaan senang mulai menggelitik tubuh Ichigo. Walaupun bukan seorang penguntit, Ichigo tahu betapa dekat Rukia dengan Grimmjow. Apakah ini artinya Byakuya sudah—dalam tanda kutip—merestui hubungannya dengan Rukia? Ichigo hampir memukul kepalanya sendiri jika dia sedang sendirian sekarang. Belum waktunya memikirkan itu, dasar bodoh. Ada masalah lebih penting daripada kisah cintanya sendiri yang berujung tak jelas.

Mendadak Ichigo merasakan getaran yang aneh di seluruh anggota tubuhnya. Langkah-langkah kaki terdengar berkecipak di benaknya, tidak lupa dengan napas memburu, hawa panas, dan bau darah. Mereka hampir tiba, sedikit lagi hingga sampai perbatasan. "Rukia, apakah aku boleh keluar?"

"Ya, tentu saja selama kau tidak keluar lewat perbatasan... Ada apa?" Rukia menaikkan satu alisnya dengan tegang.

Tanpa membuang waktu lagi dia menarik lengan kecil Rukia. "Keluargaku sudah tiba—aku bisa merasakannya."

"Cepat sekali," gumam Rukia pada dirinya sendiri. Grimmjow pasti bersemangat membanggakan dirinya karena sudah melakukan tugasnya dengan baik, walaupun sebagian besar bukan dirinya yang menyelesaikan. Setidaknya dia harus membiarkan Ichigo bersanding di sampingnya. Grimmjow hanya mencampurkan diri seenaknya.

Sebelum ke sana, Rukia pergi ke rumah Grimmjow—tidak melupakan janji yang sudah dibuat kurang dari satu jam. Jika dipikir baik-baik, Grimmjow sebenarnya bisa haus darah terhadap orang yang meninggalkan bekas-bekas tidak nyaman di matanya, sekalipun itu perempuan. Diam-diam pemuda itu pasti menuntut balas dendam.

"Grimmjow?" Rukia mengetuk pintu rumah sahabatnya. "Paman, apa kalian ada di rumah?"

Ketika Rukia hampir mengetuk untuk yang kedua kalinya, pintu merebak terbuka dan menampakkan sosok sahabatnya. Tangan yang terjulur memegang kenop pintu itu segera ditarik kembali untuk memakai kaus polos berwarna putih dan menutupi dada telanjangnya. Tampaknya dia baru saja membalut luka-luka itu. Grimmjow agak kikuk. "Eh, kalau kau datang ke sini berarti..."

"Ya, Ichigo bilang mereka hampir tiba."

Grimmjow menyeringai. Dia sudah tidak sabar ingin menyudutkan kepala desa yang besar kepala itu. "Terima kasih. Tunggu aku sebentar lagi."

Pintu tertutup di hadapan Rukia dengan pelan. Dia kemudian mengalihkan pandangannya kepada Ichigo yang berdiri jauh darinya. Kedikan bahu darinya menyatakan bahwa ini sudah berjalan sesuai rencana. Grimmjow muncul tak lama kemudian sambil tersandung-sandung memakai sepatunya. Di detik sebelumnya dia tampak seperti orang mati, tapi di detik ini, sinar matahari seolah-olah hanya menyorot padanya. Seperti yang bisa Rukia lihat, kotak-kotak obat dan gulungan perban yang panjang memenuhi meja ruang tamu. Aizen tidak kelihatan di mana pun.

"Kau yakin bisa berjalan?" tanya Rukia ragu sambil meneliti tubuh maskulin itu.

"Jauh lebih baik." Grimmjow memutar bola matanya. "Syukurlah tidak ada apa pun yang patah, tenaga betina itu memang di luar perkiraanku. Setidaknya aku masih bisa menghirup udara segar."

Jika sudah berbicara sinis seperti itu, pertanda bahwa Grimmjow memang sudah sembuh. Rukia tidak pernah tahu kalau pemuda ini mempunyai tenaga gila-gilaan. Ichigo sudah menunggu dengan gelisah, dan pandangan matanya terus berubah-ubah dari para penjaga perbatasan, menuju Rukia dan Grimmjow, lalu kembali lagi pada mereka.

Tetapi Ichigo bisa menendang jauh-jauh rasa gelisah itu ketika melihat sosok besar di belakang pohon. Mata mereka menyala-nyala, dan sebagai hadiahnya, seonggok tubuh manusia tidak berdaya diletakkan begitu saja di atas punggung Renji seperti karung. Mata Ichigo membelalak terkejut.

Para penjaga perbatasan pun tampaknya sadar dengan sosok besar di belakang mereka. Ketika memutar tubuhnya, kaki mereka langsung gemetar bukan main. Ichigo berlari diikuti kedua orang di belakangnya, untuk mencegah mereka melukai keluarganya.

"Kau meminta bantuan pada mereka?" tuduh seorang penjaga bertubuh besar. Matanya mengiris tajam kepada Ichigo.

"Tidak. Kau lihat, mereka membawa Senna si sumber penyakit itu," balas Grimmjow sengit. Dilihat dari tampangnya, mereka tidak benar-benar membunuh gadis itu. Mungkin membiarkannya pingsan untuk diinterogasi sesuka hati ketika dia siuman. Penjaga kedua mengenal wajah Grimmjow. Dia anak muda yang sok menantang kepala desa itu.

Tapi, tidak sampai di situ. Seorang wanita dengan tidak bermartabatnya mengeluarkan jeritan ketakutan melihat monster-monster itu berdiri di depan mata. Kemudian, suasana yang tenang itu kembali ricuh. Renji yang melihatnya sempat mendengus sebal.

"Mereka berlarian seperti semut. Kurasa kami hanya menakut-nakutinya saja."

Dalam sekejap, sosok serigala besar itu menyulih wujudnya menjadi manusia. Pria yang sama jangkungnya dengan Ichigo, rambut merah dikuncirnya menyala terang. Senna sudah berada dalam gendongannya. Pipinya pucat dan bibirnya berwarna biru beku. Luka-luka cakar telah merusak tubuhnya yang indah. Ichigo agak miris melihat temannya. Tapi, setelah mengetahui apa yang dia lakukan, gadis itu pantas menerimanya mentah-mentah. Rukia melihat para penjaga itu dengan alis menekuk.

"Biarkan mereka lewat. Dan beritahu kepala desa kalau kami harus berbicara dengannya."

Entah bagaimana, perintah Rukia langsung dituruti saat itu juga. Mungkin kalau menolak, mereka akan menjadi daging asap oleh monster-monster buas ini. Senna tampak seperti mayat hidup yang membuat Grimmjow melempar raut wajah jijik padanya.

Ichigo dan Rukia segera berjalan menuju alun-alun desa. Penduduk sedikit menyingkir dari tempat mereka berdiri, memberi jalan bagi orang-orang yang bersangkutan. Tatapan mereka bercampur geli dan takut melihat dua orang yang lebih asing; Renji dan Isshin. Tinggi mereka jelas-jelas lebih dari normal, tidak berbeda jauh dengan Ichigo, membuat penduduk harus sedikit mendongak untuk melihat penuh wajahnya. Kepala desa tua itu, bersama dua anak buahnya di sisi kiri-kanan, berdiri di atas panggung yang belum mereka pindahkan. Grimmjow, selaku pemuda yang bertanggungjawab, mengambil satu langkah di depan Ichigo.

"Lihat? Kami sudah membawa Senna, seperti yang sudah kujanjikan," katanya spontan, tidak melihat kalau yang sedang berbicara dengannya ini adalah pemimpin desa. Pandangan Grimmjow mencambuk ke belakangnya. "Juga dua werewolf sebagai pencuci matamu."

Kepala desa mengernyit kejam. "Lalu? Bagaimana kau mau mengeluarkan kenyataan dari mulutnya jika dia bahkan tidak sadarkan diri?"

"Izinkan saya," Isshin mengeluarkan suara resminya. Sebagai manusia setengah serigala yang sudah merasakan pahit-manisnya dunia, dia masih tahu cara bersopan santun di hadapan orang yang lebih tua. Semua orang di sana, termasuk keluarga Rukia, secara diam-diam mendengarkan informasi yang dilontarkan Isshin. Kepala desa tidak buta, dia bisa melihat kalau werewolf ini sudah berkepala empat, dia jelas-jelas mempunyai pengalaman lebih banyak dibandingkan bocah-bocah remaja ini. Grimmjow sudah gerah ingin mendapatkan gilirannya membuka mulut, tapi dia mengurungkannya agar argumentasi ini berjalan lancar.

"Kami tidak benar-benar tahu kalau Senna bisa bersikap sampai seperti itu, Kepala Desa. Hanya anakku, Rukia, dan gadis ini yang mengetahuinya." Pria berjanggut itu melayangkan lengannya ke sekeliling. "Sisanya, kuserahkan sampai dia siuman."

"Aku mendengar percakapannya dengan satu orang di sini saat hari Ichigo ditahan," pada akhirnya Grimmjow bisa menyuarakan suaranya, "Senna semacam memberitahu lokasi di mana Ichigo berada, sampai keenam orang pemburu itu segera mencari dan berakhir seperti ini. Aku tidak bisa menunjuk siapa tersangkanya, tapi percayalah kalau yang kukatakan ini benar. Menolong orang yang hampir terbunuh itu wajar, mengingat desa ini berada di tengah hutan belantara. Tapi, kalau dia benar-benar sekarat, kenapa selalu menolak penawaran gratis yang diberikan untuknya?"

Ini bukan hanya untuk kepala desa tetapi bagi siapa saja yang merasa telah berkontak dengan gadis itu. Grimmjow yakin, orang yang dibicarakannya pasti menegang mendengarnya.

Kepala desa bungkam. Dari raut wajahnya, dia tampak sedang mempertimbangkan semua kejadian ini. Ichigo masih ragu kalau dia tidak lagi mengecap keluarganya sebagai monster hutan dengan tangan terbuka. Kenyataannya, dia memang harus mendengar langsung dari mulut Senna. Pria tua itu mendesah. Semua warga menunggu-nunggu keputusan terakhirnya dengan jantung menari-nari tak karuan.

"Letakkan perempuan itu di sel, setelah dia sadar, segera bawa ke ruang untuk diinterogasi." Lagi-lagi kepala desa mengeluarkan perintahnya dengan suara dingin dan berat. "Apakah dengan ini aku bisa memercayai kalian?" Matanya menyipit ke arah Ichigo, Isshin, dan Renji.

"Anda bisa pegang janji kami."

"Hanya tolong, jangan menilai kami dengan terlalu jahat," Ichigo menambahkan, "jika kalian, para manusia, tidak memulainya duluan, kami juga akan melakukan hal yang sama. Jangankan merusak, menyentuh barang milik kalian saja aku tidak pernah."

Renji menahan senyum geli di wajahnya ketika mendengar Ichigo sedang membela dirinya di depan makhluk-makhluk ini. Tapi, pasti rasanya kesal juga kalau dituduh sembarangan padahal tidak melakukan apa-apa. Renji sendiri mendapati dirinya sedikit murka ketika mengetahui sahabat baiknya ditangkap dan dicemooh di Karakura.

Kemudian, atas perintah kepala desa, Senna segera dipindahkan ke tangan yang lain dan dibawa ke gedung mencekam itu. Rukia tersenyum lega, dan senyumnya itu dia lemparkan kepada Ichigo. Rasanya seakan rantai itu sudah lepas dari hatinya.

"Oh, dan, kalian seharusnya tidak keberatan untuk memberi gadis ini pujian. Dia menolongku dari terjangan serigala betina itu dengan panahnya. Dia pantas diberi penghargaan pemanah yang handal," Grimmjow dengan entengnya menunjuk Rukia dengan ibu jari. Senyumnya menyeringai kepada kepala desa itu, dan dia bisa merasa puas kalau gadis itu dihargai. Karena hanya ini yang bisa dilakukannya untuk membalas budi gadis heroik itu dengan memanfaatkan sifatnya yang blak-blakan. Dukungan yang lain datang dari anggukkan kepala Ichigo. Rukia membeliak mendengarnya.

Dan, selama bertahun-tahun, pada akhirnya semua warga Karakura bisa melihat pemimpin mereka tersenyum. Walaupun ini khas senyum pria tua yang malas, setidaknya itu membuat mereka terkejut bukan main. Ketika seseorang bertepuk tangan, yang lain mengikutinya serempak. Rukia hanya berdiri mematung di situ seperti orang bodoh. Memangnya apa yang dilakukannya sampai menerima penghargaan seperti ini? Hatinya bertanya-tanya. Rukia kan hanya menolong Grimmjow sekali dan penduduk bahkan tidak melihat kejadian itu dengan mata kepala mereka. Bisa-bisa, dia malah dianggap sombong dengan kemampuannya melempar panah itu.

"Jika ada waktu, ajarkan aku," bisik Ichigo sambil mengerling, "kau tahu betapa kerennya bisa mendapat sambutan meriah seperti ini hanya dengan panah dan busurmu itu."

Rukia hampir tidak bisa menahan tawanya. "Whoa, kau seharusnya minta itu kepada ayahku. Tanpanya, panah ini hanya akan menukik ke tanah. Omong-omong, Grimmjow." Gadis berambut hitam itu menoleh pada sahabatnya yang tengah menikmati keramaian ini. "Terima kasih."

"Hanya itu?" Grimmjow menaikkan satu alisnya dengan gaya menantang yang paling disukainya. "Aku telah membuat semua jiwa di sini menyumbangkan tepuk tangan mereka hanya untukmu seorang, Rukia. Dan yang kuterima hanya sekadar "terima kasih", ya."

Rukia mendengus. "Baiklah, siang ini aku traktir, bagaimana? Lalu, sebagai bonusnya, akan kuceritakan kenapa aku bisa akrab dengan werewolf."

"Kuterima." Grimmjow nyengir. Dan tiba-tiba saja, cengiran itu membawa mereka bertiga pada gelak tawa yang bersahabat. Seandainya Renji sudah mengakrabkan diri seperti yang Ichigo lakukan, dia pasti bisa menikmati tawa itu bersama-sama, bukan hanya menontonnya. Awalnya Isshin begitu khawatir karena putranya tidak kunjung pulang saat hari hujan itu. Beruntung Rukia datang sebagai pembawa pesan. Dan, semua itu selesai tanpa perlu melibatkan tumpah-darah.

Sekarang, Ichigo dan keluarganya tidak perlu khawatir jika mereka mau berkunjung ke sini. Karena mereka sudah diterima dengan tangan terbuka dan senyum hangat.

(*)(*)(*)

Satu bulan setelah kejadian itu, ada perubahan besar-besaran di desa kecil ini. Anak-anak sekarang sudah berani menginjakkan kakinya untuk melihat anak-anak werewolf yang lucu seperti beruang. Mereka bermain seolah-olah tiada hari esok. Dunia manusia dengan makhluk itu kini damai tanpa ada rasa saling menaruh curiga. Senna tetap berakhir di penjara, kini gilirannya untuk dikekang seperti kambing malang. Namun terkadang, Ichigo dan Rukia suka datang ke sana untuk menjenguknya sesaat. Tidak ada obrolan berat.

Usaha Byakuya kini semakin meningkat karena para orang-orang dewasa memesan satu set alat memanah untuk anak-anak mereka. Berkat julukan pemanah-handal yang disandang Rukia itu, dia sempat dikenal dan diidolakan anak-anak kecil di bawah usia 12 tahun.

Hari ini pun Rukia pergi keluar untuk kegiatan rutinitasnya, walaupun tujuan utamanya untuk bertemu Ichigo. Dia hampir menghabiskan siang hari di hutan, tetapi tidak menemukan pemuda itu. Tapi, karena matahari terlanjur berada di puncak ubun-ubunnya, Rukia terpaksa pulang dengan tangan kosong.

Gadis itu merenung dengan baik di atas kursi malasnya. Suara-suara transaksi jual beli di kedai nyaris tidak mengganggunya.

"Kenapa kau murung? Karena Ichigo tidak datang?"

Kehadiran kepala Grimmjow di depan jendelanya sontak membuat Rukia hampir terlompat dari kursi malasnya.

"Grimmjow, eh, apa yang kau lakukan di sini?"

"Jangan pura-pura begitu. Aku tahu kau mau hadiah." Pemuda itu tersenyum lebar sambil menarik keluar kandang kecil dari belakang punggungnya. Kandang itu ternyata berisi kelinci berwarna cokelat muda. Grimmjow mengedikkan bahunya ketika melihat Rukia tercengang. "Maaf aku tidak bisa mendapatkan yang warna putih, mereka kehabisan stok."

Rukia masih membeku dalam keterkejutannya. Belakangan ini, saat dia bangun pagi-pagi di atas ranjangnya dan mengingatkan dirinya bahwa ini adalah hari ulang tahunnya, Rukia bahkan tidak berpikir akan ada yang memberikannya kado. Kelereng bulat di wajah kelinci cokelat moka itu menatap Rukia. Walaupun bukan berwarna putih seperti Chappy-nya yang dulu, tidak ada salahnya kan memberi nama yang sama pada kelinci mungil ini. Mata violetnya menatap Grimmjow dengan pandangan apa-kau-serius? "Hei, aku kan sudah delapan belas tahun, tidak perlu hadiah apa pun."

Grimmjow menggelengkan kepala pertanda tidak apa-apa. Lengannya tetap memaksa Rukia untuk mengambil kandang itu. "Selamat ulang tahun dan tetaplah bersinar, Sunshine."

Rukia lalu memeluk sahabatnya. "Aku tidak bisa mengatakan apa-apa selain terima kasih." Grimmjow mengangguk dengan senyum cemerlang mengembang di wajahnya.

"Apa aku perlu mengantarmu untuk bertemu Ichigo? Hari ini aku punya waktu luang, dan aku rasa tidak ada salahnya."

"Ah, tidak. Mungkin dia akan datang sore atau malam ini," sahut Rukia. Dia sendiri tidak yakin dengan ucapannya. Grimmjow mengedikkan bahu santai, tepat setelah itu, Aizen memanggilnya dari jauh.

"Ups, lebih baik pergi. Aizen pasti akan menggorok leherku jika meninggalkannya dengan apel-apel itu."

"Oh, aku tidak tahu dia bakal merindukanmu secepat itu."

Rukia nyengir ketika melihat Grimmjow lari tergesa-gesa kepada pria berambut cokelat hangat itu. Dia sempat melempar senyum ke arah Rukia, dan dibalas dengan anggukkan ramah dari gadis itu sendiri. Rukia mengempaskan kembali tubuhnya ke atas kursi sambil mendesah panjang. Matanya secara diam-diam melirik kelinci barunya. Rukia langsung merasa sejuta kali lebih baik ketika kelinci itu balas menatapnya. Hal seburuk apa pun yang dialami gadis ini, dapat sembuh begitu saja hanya dengan hewan berbulu lembut ini.

"Nah, Chappy, selamat datang di keluarga."

(*)(*)(*)

Malam hari, Rukia hanya termenung di atas tempat tidurnya. Menatap satu titik di langit-langit kamar sambil menikmati pikirannya sendiri. Sore ini gadis itu harus dibuat kecewa lagi; Ichigo tidak menampakkan batang hidungnya sedikit pun. Suara lolongan serigala mulai terdengar dari jauh, begitu bermelodi dan meninggalkan gelenyar dingin di punggung Rukia. Gadis itu mendesah. Rindu merana yang dirasakannnya sudah seperti racun.

Tetapi, sebuah bayangan terpantul di dinding di samping tubuh Rukia. Asalnya dari jendela yang tertutup gorden. Sosok itu berjalan mondar-mandir di depannya, sempat menggaruk kepalanya sekali, lalu diam. Rukia menekuk alisnya tajam. Mencurigakan.

"Apa kau sedang menungguku, Rukia?"

Suara itu. Rukia membeliak dan segera melompat dari atas tempat tidurnya. Dia membuka jendela hanya untuk melihat Ichigo memberikan cengiran di depannya. Kelihatan konyol dan lucu melihatnya sempat berjalan mondar-mandir di depan jendela rumah seseorang. Gelak tawa Rukia bercampur dengan tawa Ichigo ketika akhirnya rindu itu terbayar lunas dengan pelukan erat.

"Aku pikir tidak akan bertemu denganmu hari ini."

"Aku sudah berjanji untuk bertemu denganmu setiap hari," sahut Ichigo. "Maaf jika aku membuatmu menunggu begitu lama. Aku ingin memberikan kejutan."

Rukia keluar dari jendelanya karena merasa ada tembok besar yang menghalangi mereka. Lagi-lagi datang hadiah dari orang yang disayanginya. "Baiklah, jadi apa kejutanmu?"

"Ikut saja."

Ichigo lalu menarik Rukia. Setelah cukup jauh untuk dapat dilihat dari Karakura, dengan mudahnya pemuda itu menjadi serigala, dan membiarkan Rukia menungganginya lagi. Udara malam ini begitu dingin, tetapi bulu-bulu lembut itu membuat Rukia bisa menikmati perjalanannya. Sisa-sisa salju masih hinggap di ranting-ranting pohon seperti hiasan Natal, begitu pula di tanahnya.

Ichigo berhenti tepat di sebuah gua yang terdapat untaian-untaian daun seperti tirai menutupinya. Rukia turun dengan perlahan.

"Untuk apa kau membawaku ke sini?" Rukia bertanya kepada Ichigo. Serigala itu menyulih wujudnya kembali dalam waktu singkat, lalu mendekat ke arah gua.

"Masuklah. Ini kejutan yang ingin kuberikan padamu sebagai hadiah ulang tahun." Dalam kegelapan, mata Ichigo tetap terlihat bercahaya. Dia menyibakkan tirai daun-daun itu untuk membiarkan Rukia masuk.

Alangkah terkejutnya dia ketika mendapati dirinya berdiri di sebuah tebing curam. Langit hitam menjadi atap mereka sekarang, ditaburi jutaan bintang. Air terjun besar itu mengeluarkan suara berisik namun menenteramkan hati. Dia pernah ke tempat ini. Tempat di mana Senna menyerangnya membabi buta.

"Kau tidak bermaksud untuk membuatku mengenang kejadian pahit itu, kan?"

Ichigo memberikan senyum miris. "Maaf kalau kelihatannya seperti itu. Tapi, ini adalah tempat yang paling senang kukunjungi. Surga ini tidak pernah kehilangan keindahannya walaupun sudah bertahun-tahun sejak pertama kali aku datang." Dia berdiri di samping Rukia.

Rukia mengangguk. "Kau benar. Tempat ini memang memesona." Senyum perlahan-lahan mengembang di wajah bundar itu. "Terima kasih. Tapi, jika kau bermaksud untuk mengartikannya dalam bentuk lain, ini bukan kencan."

"Yah, aku memang tidak bermaksud untuk mengencanimu malam-malam begini." Ichigo terkekeh. "Bagaimana, apa kau senang?"

Rukia menarik udara segar di sekitar tubuhnya. "Wow, aku merasa lebih dari senang, Ichigo. Kau ingat, sebelum ini terjadi, hidupku seolah ditekan oleh dua dunia yang berbeda. Rasanya berat, dan jika ingin mengunjungimu, aku harus melewati risiko yang besar. Begitu pula sebaliknya."

Ichigo ingat ketika dia mengendap-endap menuju rumah Rukia di malam hari. Kegugupan itu hampir membunuh dirinya sendiri. "Tapi sekarang tidak lagi."

"Tidak lagi." Rukia setuju, menganggukkan kepalanya beberapa kali. Ichigo melihatnya terang-terangan, wajahnya yang bersinar disiram rembulan benar-benar menyita perhatiannya. Di luar kendali, lengannya tiba-tiba menyusup ke pinggang mungil gadis itu, menariknya begitu dekat. Rukia agak terkejut.

"Hadiah yang sebenarnya ada di sini," Ichigo mendengkur ketika meneduhkan pandangannya ke wajah Rukia. Pipi gadis itu sudah terlanjur merona, tetapi dia berterima kasih kepada suasana gelap yang menyembunyikan sebagian wajahnya.

Ketika mereka sama-sama memejamkan mata, lolongan serigala yang merdu terpaksa menyela. Rukia dan Ichigo bergidik bersamaan di dalam pelukan mereka. Sepasang mata itu saling menatap, kemudian Rukia melepaskan tawanya lebih dulu.

"Siapa yang tahu kalau werewolf bisa jadi jahil?"

"Yah," Ichigo tampak menikmati wajah gadis mungil itu, "hanya kau dan aku yang tahu, Rukia."

Dan ketika bibir mereka saling bertemu, mengunci satu sama lain, sebuah bintang jatuh membuat lengkungan indah di atas langit malam. Tampak seperti pelangi berwarna emas.

End


Reply Review:

uzumaki . kuchiki: Oh, nggak kok, Rukia cuma manusia biasa di sini. Dia termasuk salah satu yang beruntung untuk gak jadi werewolf ketika lahir di malam bulan purnama, hehehe. Oke, ini sudah update. Terima kasih Review-nya! :D

Morning Eagle: Iya, soalnya saya udah tekankan kalo shapeshifter itu lebih lemah daripada werewolf *dicakar* Hohoho, iya, sebenarnya karena terkagum-kagum juga sama film Hunger Games XD. Iya udah tamat, maaf ya kalo chapter terakhir ini malah makin gak jelas. Terima kasih Review-nya! :D

Naruzhea AiChi: Yup, dia berhasil ditangkep kok kayak mancing ikan *dor* Oke, ini sudah di-update. Terima kasih Review-nya! :D

hendrik . widyawati: Oke, terima kasih Review-nya! :D

krabby paty: Wah, kamu aja kangen, gimana yang buatnya, hehehehe. Ini sudah update. Terima kasih banyak! :D

Wah, akhirnya selesai dengan happy end. Maaf ya, setengah ceritanya malah GrimmRuki *dor* semoga porsinya kebagi dengan rata. Masih ngegantung gak, ya? Saya kasihan sama Renji dan Isshin yang munculnya cuma begitu, huehehehe. Dan, rasanya alurnya kecepetan, duh.

Terima kasih buat Readers yang sudah membaca cerita ini dari awal sampai akhir, entah kenapa saya merasa senang sekali membuat fic ini daripada yang sebelum-sebelumnya XD (kayaknya ini bakalan jadi fic favorit saya). Jika ada kekurangan untuk keseluruhan chapter, silakan dituangkan lewat Review. Terima kasih!

Oke, kayaknya cukup. Sampai jumpa and have a nice day~ =)