Our Love Like Drugs, Right?

Disclaimer:

Masashi Kishimoto

Pair:

NaruGaa

Genre:

Romance

Warning:

Sho-ai, MxM, AU, Rush,

Summary:

Ada berbagai jenis obat di dunia ini, berbagai fungsi dan efek seperti semua rasa yang tercipta. Benarkah?

0o0

Captropil

Duagh …

"Katakan sekali lagi brengsek!"

Kepalan tangan remaja berkulit putih itu mengcengkeram erat kerah baju pemuda pirang. Walau tubuhnya terbilang lebih kecil dari orang yang dilawannya namun tak sedikit pun rasa takut tampak dimatanya. Bahkan manik jade itu tampak menyalang marah dan melempar pemuda yang mungkin lebih tua darinya itu menabrak pagar pembatas atap.

Tak memperdulikan kalau pemuda rambut pirang itu mulai kehilangan kesadaran dengan darah yang mengalir dari luka-luka yang disebabkannya kepalan tangan dan kakinya masih terus saja melayangkan pukulan. Pikirannya benar-benar sudah terkendali oleh amarah.

"Gaara!"

Pemuda berambut merah itu menghentikan kepalan tangannya yang sudah hampir saja menghajar wajah sang pemuda cantik berambut pirang itu untuk kesekian kali saat panggilan yang sangat dikenalnya itu mendekat.

Sosok pemuda yang memiliki penampilan fisik yang sama dengan seseorang yang babak belur ditangannya.

Grep …

Tanpa mengatakan apa-apa pemuda berambut pirang beriris safire itu menarik Gaara kedalam pelukannya. Menenangkan sirambut merah yang tengah naik darah.

"Sudah … semua akan baik-baik saja," ujar pemuda berambut pirang itu mengelus lembut surai merah milik kekasihnya.

"Naru?" tanya Gaara pelan, amarahnya sedikit turun saat kehangatan milik sang Uzumaki Naruto memberikannya apa lagi saat pemuda itu memberikan senyumannya.

"Ayo pulang, jangan lagi terpancing kata-kata mereka. Kita akan baik-baik saja selama bersama, ne."

Gaara mengangguk dan membiarkan Naruto menggandengnya keluar dari atap sekolah meninggalkan korbannya yang tak lain adalah kakak sepupu Naruto terkapar dan mungkin mulai kehilangan kesadarannya.

Chloropheniramine Maleat

"Seharusnya kau membiarkanku menghajarnya sampai mati."

"Dan membuatmu masuk penjara? Tidak, terima kasih aku tak mau hidup sendiri."

Gaara mendelikkan matanya pada mendengar perkataan yang sedikit bercanda dari kekasihnya itu. Padahal ia serius.

"Baik … baik, aku mengerti, Gaara. Aku tahu kau memegang sabuk hitam tapi bukan berarti kau akan selalu menang melawan mereka dan asal kau tahu keluargaku tak akan pernah berhenti mengganggu kita. Dan aku tak mau kau terluka seperti ini," ujar Naruto mengelus pelan wajah Gaara yang baru saja diobatinya.

Menang dalam perkelahian bukan berarti pemuda itu tak pernah terluka. Beruntung hari ini Gaara hanya melawan satu orang bagaimana kalau nanti mereka datang kembali dengan jumlah yang tak sebanding dengan kekasihnya. Sedikit rasa bersalah dihatinya bila mengingat mengapa Gaara bisa terlibat.

"Baka. Aku tak apa. Mereka mungkin bisa menyakitiku, tapi aku tak pernah membiarkan kau terluka."

"Terima kasih, maaf aku selalu menyusahkanmu … Gaara." Naruto menyandarkan kepalanya pada bahu Gaara. Seandainya saja ia tak selemah ini, seandainya saja bisa mempertahankan dirinya sendiri mungkin ia bisa sedikit mempertahankan harga dirinya sendiri. Tak malukah ia selalu dilindungi oleh Gaara setiap waktu. Salahkan penyakit sialan ini yang tak bisa membuatnya berkelahi bahkan hanya untuk membela diri.

Bahkan ia tahu pasti mengapa Gaara menghajar Deidara—sepupu dari pihak ayahnya. Apa lagi kalau tidak karena pemuda itu selalu mengganggunya dan mengatakan tentang hubungan mereka yang terlarang. Apa lagi kalau pemuda pirang yang tak pernah mengatur lidahnya itu menyinggung statusnya di dalam keluarga yang hanya anak haram dari sang ayah.

"Seharusnya kau mengatakan pada mereka yang sebenarnya, Naru. Kau bukan anak haram. Kau putra sah Namikaze—Uzumaki Naruto."

Naruto hanya menggeleng pelan, ia menarik pelan tubuh Gaara ke dalam pelukannya, membiarkan sang pemuda itu beristirahat di dalam tubuhnya, "aku tak butuh semua itu, Gaara kalau harus membuat kita berpisah. Aku tak butuh status, kekayaan, dan semua kemewahan itu kalau mereka tak bisa menerima kita di sana. Cukup ada Naruto tanpa Uzumaki atau pun Namikaze. Cukup Naruto yang selalu mencintai seorang Gaara."

Gaara tersenyum tipis mendengarnya, membuatnya jantungnya berdetak kencang. Ah, betapa ia mencintai pemuda pirang ini, pemuda yang berhasil menjerat hatinya setahun yang lalu.

"Ah, jantungmu berdetak kencang, Naru." Gaara mendekatkan telinganya mendengar detakan jantung Naruto yang berdetak sama dengannya. Kencang dan teratur bagai melodi yang begitu indah ditelinganya.

"Ne, dia sedang senang karena berada dekat dengan cintanya."

"Terima kasih sudah mencintaiku, Naruto."

"Aku jauh berterima kasih karenanya, Gaara. Terima kasih sudah hadir di dalam hidupku."

Gaara semakin menenggelamkan wajahnya di dalam pelukan Naruto, menyembunyikan rona merah yang mungkin bakal muncul tanpa dimintanya. menutup pelan matanya yang sudah terasa lelah ditemani alunan lullaby yang selalu bisa membuatnya terpejam. Detak jantung Naruto.

'Oyasuminasai, Naruto.'

Amoxilin

Gaara berdiri di balik sebuah pohon tak jauh dari sebuah kantor besar milik keluarga Naruto. pagi tadi tiba-tiba saja sebuah panggilan datang ke rumah mereka. Otousan dari Naruto meminta pemuda pirang itu untuk datang ke kantornya dan tentu saja ditolak keras oleh Naruto. Mana mungkin pemuda pirang itu mau menemui seseorang yang sudah membuangnya bahkan menolaknya dengan keras.

Akan tetapi Naruto terpaksa tetap datang dengan catatan Gaara juga ikut saat anak buah sang ayah mengatakan kalau semua ini ada hubungan dengan kaasan Naruto.

Dan disinilah Gaara menunggu Naruto karena ia bersikeras tak mau ikut masuk bersama Naruto. Gaara cukup paham dimana posisinya saat ini dan ia tak mau memperkeruh suasana yang ada. Siapa tahu ini bisa menjadi moment hubungan baik ayah dan anak itu.

Gaara menghampiri Naruto saat pemuda pirang itu tampak mendekati pintu masuk, namun langkah Gaara terhenti saat melihat wajah Naruto yang begitu murung. Bahkan pendar manik safirenya terlihat sangat menyedihkan. Apa yang sudah terjadi di dalam sana? Perasaan Gaara buruk soal ini.

"Naru, kau baik-baik saja?" tanya Gaara pelan.

Naruto melirik sedikit pada Gaara, wajahnya terlihat kacau bahkan ia hanya berada setengah jam di dalam sana namun cukup untuk menghancurkan moodnya hari ini.

Mencoba menarik garis dibibirnya Naruto tersenyum tipis, ia tak ingin membuat Gaara khawatir dan bisa dipastikan pemuda berambut merah itu akan mengomelinya habis-habisan.

"Aku baik-baik saja, Gaara. Ayo pulang."

Tak ada sedikit pun pembicaraan diantara mereka berdua hanya sebuah sebuah kesunyian kosong diantara derap langkah mereka sepanjang trotoar, membuat Gaara yang tak terbiasa tanpa kata-kata cerewet milik Naruto yang selalu dianggapnya mengganggu. Bahkan keduanya tak berjalan berdampingan, hanya Gaara yang mengikuti kemana langkah Naruto berjalan.

"Naru—"

Duk …

Naruto yang tiba-tiba berhenti mendadak membuat Gaara menabrak punggung besar milik Naruto. Tak bisa menanyakan apa yang dilakukan pemuda pirang itu.

"Gaara … apa yang akan kau lakukan kalau aku pergi?"

Naruto membalikkan tubuhnya berhadapan langsung dengan pemuda berambut merah yang telah menempati hatinya sejak lama. Pemuda satu-satunya yang diinginkannya untuk menjadi pendamping hidupnya.

"Apa maksudmu Naruto? apa kau akan meninggalkanku sendiri?" Gaara mengepalkan tangannya menahan ntuk tidak melayangkannya pada Naruto. Tak habis pikir dengan otak Naruto yang kadang memang dibawah rata-rata tersebut.

"Okaasanku masih hidup Gaara."

Hati Gaara berlonjak senang saat mendengarnya walau tak terlihat dari wajahnya yang masih terlihat datar. Bukankah itu hal yang bagus namun mengapa wajah Naruto terlihat sedih. Seharusnya Naruto bahagia bisa bertemu ibu kandung yang tak pernah dilihatnya sejak kecil bukan, sosok ibu yang selalu dikatakannya ingin bertemu. Bahkan diam-diam ia tahu kalau Naruto masih terus melakukan pencarian terhadap wanita tersebut karena Naruto yakin kalau ibunya masih hidup.

Gaara merasakan sesuatu yang aneh saat safire milik Naruto bertemu dengan jade miliknya. Safire itu terluka dan ia tak tahu apa penyebabnya.

"Mereka tak mengizinkanku bertemu kalau aku tak mau kembali ke kediaman Namikaze."

Sakit, hati Gaara terasa sakit saat ini. Kembali ke kediaman Namikaze sama artinya kalau hubungan mereka berakhir karena sejak awal keduanya bahkan tak direstui masing-masing orang tua dari pihak keduanya. Bersikeras mempertahankan cinta yang mereka yakini membuat Gaara dan Naruto meninggalkan nama Sabaku dan Namikaze mencari sebuah nama baru untuk keduanya.

Naruto tahu ini semua terasa sulit saat ini. Ia sangat ingin bertemu sang ibu dan membawanya bersamanya karena ia tahu kalau ayahnya tak pernah mencintai ibunya. Kehadirannya sendiri hanyalah sebuah kecelakaan. Dan ia tak yakin kondisi ibunya baik-baik saja.

Namun haruskah ia menukar kebahagiaannya dengan semua ini. Menukar cintanya dengan seseorang yang sudah melahirkannya ke dunia ini. Menukar Gaara dengan ibunya.

Tes … tes …

Hujan dilangit pun turun dengan derasnya memberikan sebuah rasa lain yang membuat keduanya semakin menundukkan kepala. Tak berniat pergi untuk berteduh. Berharap hujan ini bisa membawa luka di dalam hati.

"Aku mengerti. Kembalilah Naruto."

Hati Naruto sakit saat melihat senyum terpaksa Gaara. Ia tahu ini semua hanya akan membuat mereka berdua terluka. Namun apa yang harus dilakukannya saat ini, ia tak mau kehilangan Gaara. Pemuda yang menjadi alasan hidupnya.

Grep …

Naruto memeluk erat tubuh Gaara. Menenggelamkan wajahnya pada helai merah milik Gaara. Merasakan wangi tubuh Gaara yang mungkin tak akan dirasakannya lagi.

"Ja—jangan lupakan, a—aku Naruto."

Sakit, hati Naruto sakit bagai teriris pisau dan tersiram asam. Bagaimana bisa ia mendengar kalimat penuh rasa sakit dengan bibir yang gemetaran di dalam pelukannya. Betapa ia sangat mencintai pemuda ini. Sangat dan tak akan pernah bisa ia lupakan.

Gaara melepaskan pelukannya dari Naruto membiarkan pemuda pirang itu menatapnya heran. Gaara menyentuhkan tangannya pada dada Naruto, tepat dimana jantung sang pemuda pirang berdetak.

"Aku tahu kalau kita sekarang terluka dan memendam sakit teramat dalam, namun percayalah Naru semua akan baik-baik saja. Aku akan selalu ada di sini mengobati setiap lukamu, menghapus air matamu."

"Gaa—ra"

Gaara menggelengkan kepalanya pelan, ia harus kuat. Selama ini ia selalu mendapatkan semangat dari Naruto. Bertahan menghadapi kerasnya sang kepala keluarga Sabaku serta peraturannya. Kali ini ia yang harus membagi semua itu untuk Naruto, tak akan dibiarkannya mereka terluka dengan sia-sia. Mundur bukan berarti mereka kalah. Ini semua hanya kemenangan yang tertunda.

"Selesaikanlah semua ini dengan cepat. Aku akan menunggumu kembali."

Walaupun luka ini tak akan pernah sembuh namun ia yakin perasaan mereka berdua bisa menutupnya dengan perlahan.

Dexamethason

Sudah sebulan lamanya semua itu terjadi, Naruto kembali ke kediaman Namikaze disambut bahagia oleh sang kepala keluarga Minato Namikaze begitu pun dengan Gaara yang ternyata dijemput kembali ke kediaman Sabaku.

Cerita keduanya dianggap sudah berakhir oleh masing-masing pihak. Menyisakan senyuman pada kedua orang tua Gaara dan Naruto namun mereka tak tahu kalau benang merah yang menyatukan keduanya tak akan pernah bisa lepas. Takdir yang menentukan segalanya.

Sebuah pesta yang dilakukan di kediaman Sabaku terlihat cukup meriah bahkan beberapa kolega atas tampak datang dan memberikan ucapan selamat pada sang tuan rumah atas acara pertunangan sang putra bungsu, Sabaku Gaara.

Diantara tamu yang hadir manik jade Gaara selalu mencari dan melihat diantara ratusan orang yang hadir. Mencari pemuda berambut pirang bermanik safire miliknya.

Akhirnya ia berhasil menemukan sang pemuda yang dicintainya. Sosok yang terlihat tampan didalam balutan jas mahal berwarna hitam dengan dalaman biru. Rambut Naruto terlihat sedikit panjang hampir menyentuh bahunya memberikan kesan dewasa padanya.

Namun senyum Gaara memudar saat melihat adanya tangah yang melingkar di lengan Naruto. Sosok seorang gadis yang tak dikenalnya.

Tentu saja keadaan mereka sudah berbeda saat ini. Walau ia berjanji akan menunggu Naruto namun Gaara sudah diseret paksa kembali ke sarang ini. Bila dulu ia bisa menyuarakan lantang keinginanya namun sejak Naruto pergi berbisik saja ia tak mampu.

"Gaara-kun kau sakit?" Sosok gadis yang berada di samping Gaara itu terlihat cemas saat melihat tunangannya tiba-tiba saja memucat, menghapus pelan setiap tetes keringat Gaara, gadis itu tersenyum manis.

"Aku tak apa, aku keluar sebentar mencari angin."

Sang gadis mengangguk karena ia tahu Gaara tak akan pernah bisa dikekang bahkan kalau ikatan diantara mereka adalah nyata. Entah mengapa di dalam manik jade itu tak pernah terlihat emosi bahkan ia tak yakin Gaara hidup. Hanya raga yang ada tanpa jiwa.

Gaara berjalan pelan menjauhi kerumunan para tamu yang semakin ramai berdatangan. Walau dulu ia pernah dicerca karena hubungannya dengan Naruto namun sejak sang ayah mendengar kabar kepulangan Naruto ke kediaman Namikaze ia telah diterima dengan baik kembali. Karena bagaimana pun juga Gaara adalah satu-satunya putra sejak kematian sang kakak Kankurou dua tahun yang lalu.

"Kau di sini juga, Gaara?"

Waktu seakan berhenti saat Gaara kembali bertemu Naruto langsung. Gaara tak menyangka kalau Naruto sudah lebih dulu berada diberanda kediamannya. Namun kali ini tanpa siapa pun. Hanya mereka berdua yang berada di sini saat ini.

Wajah itu terlihat pucat, Gaara yakin kalau Naruto sakit. Apa mungkin penyakitnya kambuh.

Tangan putih Gaara terjulur menyentuh dahi Naruto dan tak sedikit pun Naruto menolaknya karena bagaimana pun keduanya sangat merindukan setiap sentuhan yang ada.

"Kau panas Naruto, sudah kubilang jangan pernah memforsir tenagamu sendiri, baka."

Naruto tersenyum senang mendengar omelan yang sudah lama dirindukan telinganya. Memegang tangan Gaara yang berada didahinya dan mengecupnya pelan, "aku baik-baik saja. Terima kasih sudah mengkhawatirkanku."

"Baka. Siapa yang mengkhawatirkanmu." Dengan cepat Gaara menarik tangannya yang berada di genggaman Naruto. Meletakkannya di dada sembari meminta jantungnya berhenti berdetak sejak manik safire itu terus saja melihatnya—menatapnya dalam.

"Kau bilang akan menungguku. Sekarang apa yang terjadi Gaara?" tanya Naruto mendekati Gaara, mengurangi jarak diantara mereka walau Gaara terus saja mundur yang pastinya sia-sia karena beranda itu tak begitu panjang.

"Kau juga sama saja," ujar Gaara dingin membalikkan tubuhnya berpegang pada pagar beranda.

"Tentu saja berbeda," ujar Naruto pelan seakan berbisik di telinga Gaara membuat Gaara bergidik mendengar betapa suara itu membuat tubuhnya memanas.

"Dia sepupuku sedangkan gadis itu tunanganmu. Dimananya yang sama Sabaku Gaara."

Gaara berbalik dan menatap tak percaya pada Naruto, namun segera kembali ditundukkannya kepalanya. Bukan ia yang mau melakukan semua ini namun ia harus kalau tak mau sang ayah menyakiti Naruto dan mencoba menghancurknnya. Tekanan itu memang menyebalkan.

"Aku hanya mencintaimu, Gaara."

Gaara tak bisa menjawabnya saat bibir milik Naruto sudah bertemu dengan bibirnya. Hanya menutup mata yang bisa dilakukannya membiarkan perasaan ini kembali menyatu. Merasakan setiap getar-getar yang tersalurkan melalui sentuhan Naruto, ia terlalu merindukan pemuda pirang ini. Sangat merindukannya.

"Nghhh … cukup Naru, orang—"

Namun Naruto tak memperdulikan permintaan Gaara bahkan ia memasukkan lidahnya saat pemuda berambut merah itu mengerang karena ulahnya. Ia hanya terlalu lama meninggalkan rasa ini rasa yang bagaikan candu untuknya dan ia juga sangat merindukannya.

"Ini semua salahmu, Gaara." Naruto menurunkan ciumannya menelusuri bentuk rahang Gaara membiarkan sejenak pemuda itu untuk bernapas karena ciumannya yang gila.

"Cukup Na—naru, Argghh."

Gaara terpekik pelan saat Naruto menggigit pundaknya, membiarkan sebuah tanda kebiruan yang mungkin tak akan hilang untuk beberapa hari.

Naruto menjilat pelan diatas tanda yang baru saja dibuatnya, menatap kagum hasil karyanya diatas bingkai putih tubuh Gaara. Tersenyum senang.

"Sepertinya ini cukup untuk saat ini. Oh ya Gaara jangan pernah biarkan siapa pun menyentuh tubuhmu atau kau akan mendapatkan hukuman dariku," ujar Naruto tersenyum atau mungkin menyeringai yang membuat bulu kuduk Gaara berdiri. Rasanya ia tak mengenal Naruto yang kini berada dihadapannya. Terlalu sangat berbeda dengan Naruto yang dikenalnya.

Pemuda pirang ini terlalu liar bahkan terlalu sehat bukankah kekasihnya memilik penyakit jantung sejak kecil yang membuatnya kerap kali tak bisa melakukan kegiatan berat. Bahkan sekarang ia yakin panas ditubuh Naruto yang dirasakannya saat ini berbeda dengan panas akibat demam yang dikiranya. Siapa pemuda ini sebenarnya.

"Aku kekasihmu Gaara. Sudah sejak lama aku menahan diri untuk tidak menyentuhmu saat kita berpisah hanya bisa melihatmu dari jauh, kau pikir hatiku tak marah melihat gadis itu menyentuhmu?" tanya Naruto mengecup singkat bibir Gaara.

"Aku akan kembali merebut dan menculikmu dari kediaman Sabaku. Tunggulah."

Tubuh Gaara merosot lemas, rasanya otaknya tak mampu mencerna apa yang baru saja terjadi. Bahkan tubuhnya terasa semakin panas, padahal Naruto hanya menyentuhya sedikit namun responnya terlalu berbahaya untuk tubuhnya.

Selama ini keduanya memang tak pernah terlihat hubungan intim terlalu jauh selain pelukan dan ciuman karena Naruto menganut sex after married.

Gaara merasakan ada yang aneh dengan bagian selatan tubuhnya. Ck, bisa langsung bangun hanya karena ini tubuhnya benar-benar sensitif.

"Dasar baka Naru brengsek!" teriak Gaara kesal sekarang apa yang harus dilakukannya untuk menenangkan miliknya, "awas kau nanti."

Naruto yang baru saja diteriakan sang kekasih hanya tertawa pelan. Ia tahu ia keterlaluan menggoda kekasihnya. Namun Naruto harus melakukannya agar Gaara tahu kalau tubuh dan jiwa putra Sabaku itu hanya milik Naruto walau statusnya sudah bertunangan.

"Kau gila Naru?" tanya gadis sepupu Naruto itu heran melihat Naruto yang tertawa seperti orang gila. Walau baru kali in ia melihatnya tertawa.

"Tidak, aku hanya sedang senang. Ayo pulang, pesta ini membosankan."

Gadis itu mengangguk, menggandeng tangan Naruto. Mereka kelihatan seperti kekasih bukan, namun pada kenyataannya Naruto menolak pertunangan mereka saat operasi jantung yang dilakukannya berhasil. Namun gadis itu tetap yakin kalau suatu saat Naruto akan melihatnya.

'Aku tahu kau mencintai orang lain Naruto namun izinkan aku tetap menjaga perasaan ini.'

Aphrodesiac

Gaara mendesah kesal di atas tempat tidurnya sendiri. Malam pertunangannya sendiri berjalan cukup lancar namun bukan itu yang membuat harus merasakan detak jantungnya. Salahkan apa yang dilakukan Naruto semalam padanya membuatnya tak bisa tidur semalaman. Bagaimana bisa, kalau setiap sentuhan yang bahkan masih diingat oleh tubuhnya ini semakin menggila. Ia menginginkan pemuda pirang itu sekarang.

"Dasar brengsek, Naru. Apa yang sebenarnya kau lakukan padaku?"

Ini sudah berlalu tiga bulan lamanya sejak mereka memutuskan untuk berpisah. Dan otomatis Gaara tak pernah merasakan setiap gerak tangan tan itu yang selalu menyentuhnya. Semalam adalah pertemuan pertama mereka bahkan sentuhan pertama yang rasanya lebih menarik dari yang dulu. Mungkinkah karena pernah merasakan 'dosis besar' tubuhnya sekarang menuntut lebih?

Tapi mana mungkin Gaara bisa menemui Naruto kalau mereka masih tak diizinkan untuk bertemu satu sama lain. Bukan berpikir kalau keduanya akan kembali hanya saja lebih baik mencegah dari hal yang buruk kembali terulang kembali.

Sebuah senyuman atau mungkin seringaian muncul di bibir Gaara. Hidup bersama Naruto selama bertahun-tahun bukan berarti tak mempengaruhi sifatnya walau hanya sedikit. Bersikap sedikit bandel hari ini bukan masalah besar bukan, dan rasanya susunan pelariannya hari ini untuk menemukan Naruto sudah tercipta dengan rapi dikepalanya.

"See, manusia bisa berubah kapan saja kan, Naruto?" ujar Gaara menjilat bibirnya pelan memainkan sebuah kunci—beserta sebuah alamat— yang kemarin dikirimkan ke alamatnya tanpa pengirim hanya tertuju untuk Gaara dengan dalih hadiah pertunangannya.

Sementara itu Naruto yang baru saja pulang dari kantor milik orang tuanya—yang tak akan pernah mau diakuinya sebagai miliknya— itu berjalan pelan memasuki rumah yang sejak beberapa hari yang lalu berpindah tangan menjadi miliknya.

Ya, sejak seminggu yang lalu Naruto memang memilih menempati sebuah apartemen di salah satu jantung kota Tokyo. Kepalanya penat kalau harus berada di rumah utama yang hanya membuatnya sakit kepala, cukup urusan kantor saja yang harus di handlenya tak perlu. Walau harus beradu dengan ayahnya setidaknya Naruto berhasil mendapat izin untuk tinggal terpisah.

Tangan Naruto baru saja akan bergerak membuka pintu kamarnya saat mendengar suara yang diyakininya adalah suara air yang jatuh di ubin kamar mandinya. Hal ini sedikit aneh mengingat Naruto tinggal sendiri dan tak ada seorang pun yang tahu alamat apartemennya kecuali—

Naruto tersenyum sembari menyeringai karena ia tahu pasti siapa yang sudah seenaknya masuk ke kamarnya dan menggunakan kamar mandinya.

"Lihat apa yang aku dapatkan, penyusup manis berambut merah," ujar Naruto membuka pelan pintu kamar mandi yang ternyata tak terkunci itu yang malah tak disadari oleh sang empunya yang masih terdiam di bawah guyuran air—sembari menutup mata.

Naruto mengendap pelan mendekati sosok yang sedang mandi tersebut dan memeluknya erat. Membiarkan air yang jatuh ikut membasahi tubuhya.

"Ya! Naruto! apa yang kau lakukan, baka!"

Sabaku Gaara pemuda yang terindentifikasi sebagi bungsu Sabaku itu berteriak kencang saat melihat sepasang tangan berwarna tan yang tiba-tiba memeluknya dan mengganggu acara mandinya.

"Hanya memeluk seorang penyusup yang diam-diam memasuki kamarku agar dia tidak melarikan diri."

Gaara memukul pelan kepala pirang yang bersandar di bahunya itu, "siapa yang penyusup? Bukankah kau yang mengirimkan kuncinya untukku?"

Naruto hanya tertawa pelan menanggapinya, "ya, hanya saja aku tak percaya akan secepat ini kau melarikan diri dari istanamu, Hime?"

Plak

Sekali lagi Gaara menganiaya kepala Naruto, "sudah lepaskan pelukanmu, Naru."

"Tak mau," ujar Naruto malah menggigir telinga Gaara pelan. Tertawa pelan mendengar desahan tertahan Gaara. Berpisah sementara bukan berarti ia melupakan titik sensitif kekasih abadinya itu, "sayangnya aku malah mulai lapar, Gaara."

Gaara melebarkan matanya tak percaya, bodohnya ia yang baru menyadari situasinya sendiri. Yang seakan memberi makan rubah mesum yang kini menatapnya lapar. Berada di kamar mandi berdua dengan Naruto dengan walau sedari tadi ia masih menggunakan bajunya karena awalanya Gaara hanya berniat mendinginkan kepalanya yang berujung berguyur di bawah shower di kamar mandi Naruto.

Biasanya ia tak pernah khawatir dengan kondisi saat ini bahkan ia pernah half naked di depan Naruto namun pemuda itu tak pernah berniat menyentuhnya jauh—karena prinsip kunonya— namun sepertinya ia tak yakin dengan Naruto yang berada dihadapannya saat ini lebih tepatnya memeluknya. Kesuciannya benar-benar terancam saat ini.

"Jangan coba-coba Naruto."

"Tak ada penolakan Uzumaki Gaara." Panggil Naruto pada Gaara walau nama Namikaze melekat padanya namun ia tak akan pernah membiarkan Gaara menggunakan nama yang dibencinya itu akan dibuatnya pemuda berambut merah itu menggunakan nama yang sama dengan orang yang disayanginya—sang kaasan.

Brak

Naruto membalikkan tubuh Gaara dan mendorongnya ke dinding kamar mandi, menjilat pelan sudut bibir Gaara dan memagut bibir milik Gaara. Menghisap bibir bawah dan atas Gaara kuat dengan tangannya yang mulai melepaskan setiap kancing baju Gaara. Memainkan dua tonjolan yang sudah menegang sejak tadi membuat Gaara berteriak—mendesah. Yang malah menjadi kesempatan Naruto untuk masuk ke dalam mulut Gaara.

Tuan rumah yang tak suka dikunjungi mendorongnya yang malah membuat Naruto leluasa menghisap kuat lidah Gaara. Bermain bersama dengan lidah yang saling membelit dan bertukar saliva yang menetes di sudut bibir Gaara yang mulai membengkak.

Dalam hati Gaara mengutuk dari mana Naruto belajar ciuman, ini berbeda dengan ciuman lembut yang selama ini diterimanya. Naruto yang berada di mulutnya ini liar dan panas membuat darahnya naik ke kepala bahkan ia yakin bagian selatan tubuhnya ikut memanas. Gaara menutup matanya yang mulai pusing hanya dengan ciuman Naruto. Kepalanya juga sudah tak sanggup memikirkan alasan perubahan Naruto.

"Nah, nyonya Uzumaki akan kubuat kau hamil anakku dan membuat orang-orang bodoh itu mengakui kita," seringai sang Namikaze Naruto menatap Gaara yang sudah terduduk lemas hanya karena ciumannya, "ayo kita mulai malam pertama kita, Uzumaki Gaara."

TBC

a/n: hahaha tbc di saat yang tepat ne#dilempar pisau. Karena terlalu panjang Mizu jadikan twoshoot, ok^^

Mizu hanya ingin mencoba main lagi di rated M#kalau gak failed untuk bisa melanjutkan fict 'a confusion' yang terlalu lama terlantar karena Mizu takut buat ngelanjutinnya. Anggap adja pemanasan sebelum main di sana lagi hahaha

Mizu boleh nanya? Apa fict ini tetap di rate T atau pindah ke M dengan tambahan beberapa lime atau mungkin lemon haha Mizu gak tahu. Mizu bisanya baca adja kalau buat rate M lemon itu susah~ jadi kalau gak asem gak apapa yah paling mentok implisit dah xD

Ne, sampai jumpa chapter 2, nanti untuk keterangan obatnya nanti Mizu kasih di chap depan adja

Sign

Mizu