Harry Potter © J. K. Rowling


Reaindrops and Starlight

Chapter 5


Keesokan harinya Hermione dibangunkan oleh suara ketukan kaca jendela kamarnya. Pagi itu masih pukul empat dan mata Hermione jelas sekali terlihat bengkak. Ia membuka mata cepat-cepat, lalu turun dari tempat tidurnya. Tongkatnya tergenggam erat, pendengarannya waspada.

Setelah ia sampai di dekat jendela dan berusaha tidak membuat suara sama sekali, ketukan itu terdengar lagi. Hermione mengerutkan kening—orang gila mana yang mengetuk-ngetuk jendela orang pada pukul empat pagi? Ia membuka gorden dengan hati-hati, lalu perlahan sosok itu mulai terlihat—

Hermione menghela napas. Ia melempar tongkatnya ke atas tempat tidur lalu cepat-cepat membuka jendela. "Hedwig, kau menakutiku." Kebiasaan kecilnya menggenggam tongkat ketika terdengar atau terlihat sesuatu yang mencurigakan itu masih berlanjut bahkan setelah perang usai. Kadang hal ini membuat lelah Hermione, sungguh.

Burung hantu putih salju itu mencicit kecil lalu melompat ke atas meja kerja Hermione. Di kakinya terikat segulung perkamen kecil dengan pita merah. Hermione duduk di kursi kerjanya sambil membuka ikatan surat tersebut. "Apa kabar Harry, Hedwig?"

Hedwig mencicit lagi. "Baik? Bagus. Karena aku mulai mempertanyakan kewarasannya untuk mengirim surat pada pukul empat pagi." Suara cicitan Hedwig selanjutnya yang agaknya terdengar marah itu kini tidak dihiraukan Hermione. Ia mulai membaca isi surat yang tulisannya tidak rapi dan banyak sekali coretannya.

Kau belum memberitahu

Ron akhir-akhir ini

Aku membaca Daily Prophet dan menunggu kau berbicara langsung pad

Oh demi Merlin, Hermione. Kita perlu bertemu dan bicara. Sudah, itu saja.

Dibalik keheranannya, bibir Hermione melengkung sedikit ke atas. Ia bisa membayangkan Harry dengan susah payah menyusun kalimat yang tepat untuk dituliskan. Kasihan Harry. Hermione sadar ia belum memberitahu Harry soal Draco, dan ia merasa sangat bersalah. Dan apa tadi? Pastilah terjadi sesuatu dengan Ron. Hermione belum berkomunikasi dengannya lagi semenjak Ron meneleponnya tepat ketika Daily Prophet dan tabloid serta koran lainnya mulai beredar.

Dan Hermione baru ingat? Bisa-bisanya!

Hedwig mengetuk-ngetuk toples plastik berisi biskuit, yang kemudian menyadarkan Hermione dari pikirannya. Ia membuka toples itu dan mengeluarkan tiga biskuit dari sana, lalu menulis balasan surat untuk Harry.

Hedwig tidak langsung pergi ketika gulungan surat tersebut sudah terikat di kakinya, ia menghabiskan biskuitya terlebih dahulu. Setelah bulu putihnya terlihat seperti bintang dari kejauhan di langit yang mulai terbias cahaya matahari, Hermione sudah sibuk lagi dengan pikirannya.

Namun ia memutuskan untuk langsung turun ke bawah untuk menyiapkan makan pagi.

Dear Harry,

Tentu. Malam ini pukul delapan di kafe dekat flat-mu? Kukira kau sudah pulang di jam itu. Kabari aku segera kalau kau keberatan, oke?

Maafkan aku.

Love,

Hermione


Bel berdenting ketika pintu kafe dibuka. Beberapa pelayan yang sedang tidak sibuk kemudian memberi salam selamat pagi secara otomatis. Hermione membalas salamnya seraya mencari-cari seorang gadis dengan surai pirang di antara beberapa pengunjung kafe pagi itu.

Tilly duduk di ujung ruangan, di tempat duduk yang ada sofanya. Ia sedang disibukkan oleh beberapa berkas dan map warna-warni, di sampingnya terdapat secangkir kopi yang agaknya belum tersentuh sama sekali.

"Selamat pagi, Tills." Hermione melepas syalnya lalu duduk di hadapan Tilly, "Kau sibuk sekali tampaknya."

Gadis pirang itu kemudian mendongak dan tersenyum, "Laporan bulanan keadaan Deborah, Hermione. Keadaannya sudah stabil sekarang. Agaknya ini laporan terakhir. Kemudian aku akan berkutat dengan laporan Malfoy," ia mengedikkan bahu, lalu melanjutkan salinan catatannya.

"Well, memang seharusnya bulan ini bulan terakhir Deborah menerima laporan perkembangannya, 'kan? Omong-omong kau pesan apa?"

"Kopi hitam," ujarnya sambil mendongak dan menunjuk kantung matanya yang menghitam, "Ini alasannya."

Hermione berjengit. Ia rasa pekerjaan Tilly sebagai asistennya tidak memakan begitu banyak waktu. Atau selama ini Hermione terdistraksi oleh perkembangan keadaan Draco sampai-sampai asistennya sendiri ia tak perhatikan?

"Merlin, Tilly! Apakah laporan perkembangan Deborah menyita banyak waktu? Kau bisa berbagi pekerjaan denganku, kau tahu."

Tilly tertawa pelan, "Ini karena… Well, ini karena—"

"Permisi," seorang pemuda seumurnya dengan seragam kafe berwarna merah menghampiri, "Ada yang Anda ingin pesan?"

Hermione tidak suka kopi, dan teh bunga rosella sudah jelas-jelas tak ada di sini. Pada akhirnya ia memesan teh hijau.

"Ia tampan, 'kan?"

"Tilly!" Hermione menahan tawanya, sementara Tilly senyum-senyum sendiri, "Ia belum jauh dan agaknya mendengar perkataanmu tadi."

"Bagus, kalau begitu. Aku butuh pendamping hidup secepatnya."

Keduanya tertawa. Tilly memang banyak bergurau kalau sedang mengerjakan pekerjaan. Ia kemudian berbisik bahwa sudah tiga hari ia duduk di tempat yang sama, dan yang melayani adalah pria yang sama. Dan Hermione seketika tahu bahwa Tilly tidak hanya bergurau.

"Kau tidak akan percaya kalau ia sempat bengong ketika aku menyebutkan pesanan!" ujarnya lagi sambil menahan tawa, "Omong-omong pendamping hidup, apa kabar Ron?"

Hermione menghela napas, "Aku tidak tahu. Semoga baik-baik saja."

"Kalian belum baikan?"

"Kami bahkan belum berkomunikasi lagi." Hermione mengedikkan bahu, "Aku sedang tidak mau membicarakannya, Tills. Tak apa-apa, 'kan?"

"Tentu. Maafkan aku, ya," ujarnya sambil mengusap pundak Hermione.

"Tak ada yang perlu dimintai maaf." Hermione tersenyum, "Oh ya, Tills, errr… apakah kau membawa berkas-berkas surat?"

"Ya, hanya separuhnya. Kenapa?" Tilly mulai membuka resleting tasnya dan mengeluarkan map lainnya yang lebih tebal. Hermione bisa melihat surat-surat didalamnya yang tak tersusun dan sangat padat.

Hermione ingin sekali bercerita tentang apa yang tak sengaja didengarnya kemarin malam, percakapan antara Narcissa dan Lucius Malfoy. Ia ingin tahu seberapa besar permohonan Narcissa yang tercantum di suratnya sehingga Tilly memilih keluarga Malfoy. Karena jika dibandingkan dengan reaksi Lucius kemarin malam, permohonan Narcissa sepertinya hanya basa-basi.

"Tak apa-apa. Aku hanya ingin tahu siapa saja yang mengirimi surat." Beberapa detik kemudian ia sudah asyik membenamkan hidungnya ke tumpukan surat yang beragam isinya, hingga tak menyadari kalau sedari tadi minumannya sudah datang dan Tilly tengah mengobrol dengan pelayan yang katanya tampan.

Kebanyakan surat datang dari orang-orang yang tak dikenal. Bahkan jika dibandingkan, surat terbanyak datang dari luar Inggris. Sungguh, membaca surat-surat itu seolah seperti terapi hati baginya. Di satu sisi ia tak kuat membaca kalimat tiap kalimat yang menyayat hati, tetapi di satu sisi ia tak bisa berhenti membaca. Jika ia bisa membelah diri, Hermione sudah melakukannya jauh-jauh hari.

Tilly memberinya beberapa lembar tisu. Hermione sudah menyelesaikan hampir semua suratnya dan tanpa sadar mengeluarkan air mata. Tetapi apa yang ia cari belum ditemukan. Surat dari keluarga Malfoy tentunya akan menggunakan amplop dengan kertas terhalus dan kemungkinan besar berwarna hijau, lengkap dengan lambang huruf M di tengahnya.

Tetapi ia tidak melihat ada amplop berwarna hijau, atau amplop dengan kertas termahal sedari tadi. Belum ada yang terlihat sangat Malfoy. Tepat ketika ia memutuskan untuk memasukan seluruh surat ke dalam map, Hermione menemukan sebuah amplop putih sederhana, dengan cap lambang huruf M.

Ia hampir menyenggol cangkirnya ketika buru-buru menarik amplop tersebut.

Narcissa Malfoy

Malfoy Manor

Whiltshire

Miss Granger yang terhormat,

Aku tidak tahu harus memulai dari mana. Ini adalah surat seorang ibu yang mengkhawatirkan anak semata wayangnya.

Draco—kami—sudah melakukan banyak kesalahan padamu, Miss Granger. Dan dengan itu aku, Narcissa Malfoy, merasa menyesal dan sungguh meminta maaf. Jika ada sesuatu yang lebih dari meminta maaf, maka akan kulakukan.

Aku sangat mengharapkan kedatanganmu di Malfoy Manor, untuk melihat keadaan anakku yang tak sanggup kutuliskan di sini. Setiap kali aku melihat matanya yang kosong, aku merasa seluruh duniaku hancur seketika. Ini bukan tentang kebanggaanku yang hilang akan seorang Draco sebagai kapten Quidditch dan penerus pimpinan perusahaan. Ini bukan tentang rasa maluku akan seorang Draco yang tak bisa menggerakkan tangannya sendiri. Ini bukan tentang kehormatan keluarga yang menuntutnya untuk kembali normal.

Tidak, Miss Granger. Ini semua tentang perasaan seorang ibu yang tak sanggup melihat anaknya kehilangan dirinya sendiri. Ini tentang perasaan seorang ibu yang rela mati hanya untuk melihat Draco-ku tersenyum lagi. Aku sudah tidak lagi peduli akan pandangan orang lain terhadap keluarga kami.

Surat ini mungkin terdengar sangat egois dan tidak tahu malu, tapi aku hanyalah seorang ibu yang ingin sekali anaknya mempunyai harapan untuk melanjutkan hidup.

Hanya harapan, Miss Granger.

Aku sangat membutuhkan bantuanmu.

Yours truly,

Narcissa Malfoy


"Hermione! Terima kasih Merlin, kau datang."

Hermione belum sempat mengganti sepatunya dengan sandal rumah ketika ia disambut dengan pelukan Alan. Ia memintanya untuk menggantikan Alan sampai sore di hari liburnya. Ia bilang ada beberapa berkas yang harus diurus untuk mempersiapkan keberangkatannya ke Selandia Baru. Hermione tidak keberatan, sih. Hanya saja sepertinya ia harus menghindari Lucius hari ini.

"Kau tidak sedang sibuk, 'kan?"

"Sebenarnya kau menyelamatkan Tilly dariku untuk berbincang lebih lama dengan pria idamannya tanpa takut terganggu," Hermione tersenyum sambil memasang sandal rumah di kakinya.

Alan tertawa sambil memakai mantel, "Setidaknya ada seseorang yang berterima kasih. Baiklah, aku pergi sekarang, ya."

"Semoga beruntung! Kementrian agak tidak ramah di jam-jam hampir makan siang seperti ini."

Tawa alan terdengar lagi dari ujung lorong, "Aku akan kembali lagi sore nanti!"

Setelah Alan menghilang di balik lorong, Hermione membuka kenop pintu kamar Draco dan mendapati pemuda itu sedang bersusah payah menyortir foto yang tersusun rapi di atas bupetnya.

"Kalian berisik sekali," adalah kalimat pertama yang Draco lontarkan ketika Hermione menutup pintu.

Hermione hanya mendelik sebal sambil menaruh tasnya di sofa favoritnya. Ia lalu duduk di tepian tempat tidur Draco, memandanginya menyusun figura dengan tangan kanannya yang hanya bisa bergerak dari ujung jari hingga siku. Alan pasti membantu menaruh lengan Draco di atas bupet sebelumnya.

Draco sedang menyingkirkan foto-foto Astoria. Kalau Hermione boleh jujur, Astoria dan Draco terlihat cocok satu sama lain. Ia pernah bertemu keduanya di peringatan tiga tahun kepergian Profesor Snape, mereka tak pernah lepas dari awal acara hingga akhir. Juga di berbagai media massa akan kemesraan mereka. Dan yang paling jelas, beberapa foto pribadi yang Draco taruh di atas bupet.

Ia tak menyangka kalau keduanya sering berpergian ke tempat-tempat yang tidak seharusnya seorang Malfoy datangi. Mereka pergi naik gunung, ke pasar tradisional, memancing, ke pabrik tanah liat, dan semuanya mereka lakukan hanya berdua.

"Tidakkah kau punya kerjaan lain selain memandangiku menyortir sampah?"

Hermione tersadar, lalu memandangnya sebal. "Aku bisa membantumu. Tapi aku tahu kau pasti tidak mau."

Draco mendengus, "Oke, sekarang aku mau."

"Right." Hermione bangkit dari duduknya lalu menghampiri Draco, "Apa yang harus kulakukan?"

"Kau bisa membuang itu," Draco mengedikkan kepalanya ke arah beberapa figura foto yang tersusun rapi ke atas.

"Kau suka bertamasya ternyata," ujar Hermione sambil merapikan susunan figuranya.

Draco mengangguk singkat, "Seperti yang kau lihat di foto-foto itu."

"Terlihat mengasyikkan." Hermione memindahkan lengan Draco ke sandaran tangan kursi roda, lalu menyandarkan pinggulnya ke tepian bupet.

"Memang mengasyikkan."

"Aku jarang melakukan hal-hal seperti itu," Hermione tertawa singkat, "Aku harap aku bisa melakukannya lebih sering, sih."

"Well, bisa saja kalau kau tak terus-terusan membenamkan wajahmu di tumpukan buku."

Hermione memicingkan matanya, lalu beranjak ke sofa. Ia hendak memasukkan figura itu ke dalam tasnya dan membuangnya di perjalanan pulangnya nanti. Ia tahu Draco hanya bergurau dan tidak bermaksud untuk memulai pertengkaran.

"Kau tahu, Granger, kau benar-benar harus bertamasya sesekali dan menghilangkan kerutan itu di wajahmu."

Jika bertualang dari gunung ke gunung dan sungai ke sungai bersama Harry dan Ron sewaktu mencari Horcrux disebut tamasya, maka itu hanya akan membuat kerutan di wajahnya semakin jelas. Ya, faktanya Hermione memang membutuhkan penyegaran. Tapi—

"Aku tidak suka perasaan jauh dari rumah."

Draco menyunggingkan senyum—yang membuat Hermione hampir membelalakkan mata tak percaya—lalu menjalankan kursi rodanya ke dekat jendela, "Dengar, Granger, rumah adalah hal yang abstrak."

Hermione mengangkat kedua alisnya.

"Rumah bukanlah hal konkrit. Jika kau mengatakan bahwa bangunan yang kau tinggali selama belasan tahun bersama orang tuamu adalah rumah, kau salah."

Hermione mulai menangkap perkataan Draco. Walaupun begitu, ia tak angkat bicara. Ia ingin terus mendengarkan apa yang akan keluar dari mulut Draco selanjutnya.

"Rumah bukan sekedar tempat dimana kau berlindung dari hujan dan tidur di dalamnya, bukan sekedar tempat dimana kau meletakkan barang-barang berhargamu. Rumah mempunyai arti lebih dari itu."

"Rumah adalah," Draco terdiam sebentar seraya mengalihkan pandangannya ke pekarangan belakang, "Kepada siapa kau kembali. Rumah adalah tempat yang membuatmu merasa nyaman dan aman, dan itu tidak terbatas oleh dinding dan atap. Rumah adalah mereka yang mencintaimu dan yang kaucintai—"

"—yang selama kau bersama mereka, maka kemanapun arahnya bukanlah hal yang penting," sambung Hermione.

Draco menoleh padanya, "Kau benar. Tetapi ketika rumahmu hilang, kau akan buta arah."

Astoria. Draco sedang berbicara soal Astoria, pikir Hermione.

"Kau salah, Malfoy."

"Benarkah? Jelaskan padaku."

"Sebelumnya kau bilang bahwa rumah tidak hanya mereka yang kau cintai, tapi juga mereka yang mencintaimu."

Hermione menunggu reaksi Draco, tetapi pemuda itu terdiam memandangnya.

"Itu berarti," Hermione melanjutkan, "Kau adalah rumah bagi orang lain yang mencintaimu. Dan jika kau bisa membuka hati, maka kau akan menemukan rumah baru."


Draco terdiam di depan meja kerjanya sedari tadi. Meja itu berantakan. Botol-botol kosong tergeletak tanpa tutup, berkas-berkas surat berserakan memenuhi meja, dan Draco sendiri tidak pernah memanggil Prilly untuk membersihkannya.

Hermione baru sadar, ada sesuatu yang salah di sana. Ia tahu Prilly selalu membersihkan seluruh sudut di kamarnya dengan rutin setiap Draco tidur. Tapi, benar, Hermione baru ingat, meja itu tidak pernah tersentuh sejak ia datang kemari.

Kecurigaan itu mulai bertambah ketika Hermione baru saja menyeduh teh dari pantri, dan ketika masuk ia sempat melihat Draco cepat-cepat memasukkan sesuatu ke dalam laci meja paling atas.

"Apa yang kau sembunyikan?" Hermione masih berdiri di ambang pintu dengan secangkir teh rosella di tangannya.

Draco menatapnya lama, "Tidak ada."

"Kau tidak bisa berbohong padaku. Aku melihatnya." Gadis itu melangkah masuk dan menutup pintu. Ia menaruh cangkir tehnya di atas bupet.

Draco menatapnya lebih intens, "Kau melihat apa?"

Oh, Draco Malfoy, jika kau ingin membuatku terintimidasi dengan tatapan itu, kau perlu belajar lebih keras lagi. "Sesuatu berwarna putih?"

"Hanya sepucuk surat."

Dan kau memasukkannya dengan tergesa-gesa. "Oh. Kau mau aku membereskan mejamu?"

"Prilly akan melakukannya."

Hermione terdiam sebentar, lalu mengangguk. Ini bukan saatnya membombardir Draco dengan pertanyaan. Ia tahu itu bukan hanya sepucuk surat seperti yang baru saja dikatakan Draco. Tapi untuk kali ini ia harus pura-pura tidak peduli. Ia akan melihatnya nanti.

"Kau mau duduk di tempat tidur, Malfoy?" ujar Hermione sambil mengambil cangkirnya dan menyeruput isinya sedikit.

Ia tidak menjawab. Hermione mengerutkan kening, lalu menoleh ke arah Draco yang kini sedang mencengkram pegangan kursi roda tanpa suara. "Malfoy?"

"Malfoy," Hermione bergegas mendekati Draco. Ia menutup mata menahan sakit. Tapi tidak seperti biasanya, ia tak bersuara. Hermione memeriksa suhu tubuhnya dengan punggung tangan. Ia hampir berjengit ketika merasakan kulit Draco yang dingin seperti marmer. "Malfoy, kau bisa dengar aku?"

Napas Draco terdengar cepat sekali, seperti kehabisan udara. Hermione yang tidak pernah melihat kejadian ini terjadi sebelumnya terlihat panik. Ia membuka laci bupet paling bawah, lalu mengambil satu dari banyak botol berisi cairan merah dari sana.

Botol kecil itu ia buka tutupnya, dan memaksanya masuk ke dalam mulut Draco. Rahang Draco sulit sekali dibuka, dan Hermione bersumpah gigi Draco bisa saja rontok semua karena ia mengatupkan rahangnya begitu keras.

Ramuan itu tak bisa masuk. Hal terakhir yang muncul di kepala Hermione adalah memeluknya. Ia berharap panas dari tubuhnya bisa ditransfer dan membuat Draco tidak sedingin marmer lagi.

Beberapa menit setelah Hermione merasakan tubuh Draco menggigil, perlahan ia mulai tenang. Tubuhnya tidak lagi bergetar, otot-ototnya kembali rileks, lalu Hermione melepaskan pelukannya. Ia melihat Draco menghela napas panjang dan mulai membuka matanya.

"Terima kasih."

Hermione melepaskan udara yang tercekat di tenggorokannya, tidak sadar ia menahan napasnya sedari tadi. "Apa itu tadi…"

Draco masih mengatur ulang sirkulasi pernapasannya. Beberapa ototnya terlihat masih tegang, tapi ia sudah mulai bisa mengendalikan diri. "Haus."

Hermione buru-buru mengambil persediaan minum Draco dari atas laci sebelah tempat tidurnya, lalu perlahan-lahan menyuapi Draco.

"Apa itu tadi, Malfoy?" Hermione masih terdengar syok, "Apakah itu sering terjadi? Karena aku tidak pernah melihatmu begini sebelumnya. Kau dingin sekali tadi, demi Merlin! Aku sempat berpikir kau akan mati!"

Draco memejamkan matanya, "Sering terjadi belakangan ini."

"Benarkah? Apakah kau tahu itu berasal dari mana? Demi Merlin, aku harus—"

"Rambutmu wangi stroberi. Aku suka stroberi."


Pemuda itu di sana, persis sama seperti biasa Hermione mengenalnya. Rambut hitam berantakan, duduk tegak dengan tangan di paha, serta cokelat panas yang belum tersentuh padahal sudah hampir dingin. Suara derit pintu yang sudah tua tidak membuat kepalanya menengok pada Hermione yang baru saja datang. Hermione bertaruh bahwa itu bukan karena Harry sedang asyik di pikirannya sendiri, tetapi agaknya menjadi seorang Auror membuat pemuda itu sudah merasakan kehadiran Hermione bahkan sebelum ia memegang kenop pintu Hog's Head.

Bagaimanapun, Harry tersenyum ketika Hermione menggeser kursinya ke belakang untuk duduk. Ia berdiri dan memeluk Hermione singkat sembari berkata bahwa ia sangat merindukannya.

"Hog's Head, eh?"

"Pria tua berambut pirang itu tidak membolehkan anak buahnya menjadi terlalu 'populer',"

"Kau benar," Hermione tertawa sambil melepaskan syal dari lehernya, "Kudengar Madam Rosmerta kewalahan menangani reporter akhir-akhir ini."

"Itu yang akan terjadi jika para pahlawan perang dulunya adalah murid Hogwarts yang suka nongkrong di tempatmu."

Hermione tertawa. Beberapa saat kemudian udara kembali sunyi senyap. Hanya terdengar dentingan sendok mengaduk minuman di cangkir dari seorang pria setengah baya di ujung ruangan.

"Coklat panas?" Harry mengangkat cangkirnya yang masih penuh. Hermione menggeleng.

"Maafkan aku, Harry."

"Kau tak perlu minta maaf, Hermione, ceritakan saja."

"Kau tahu, aku bukannya melupakan kau dan Ron," Hermione memulai. Ia menatap Harry sebentar, lalu melanjutkan, "Aku bahkan tidak tahu siapa klienku selanjutnya sampai aku dibawa ke Malfoy Manor."

"Kau tidak tahu?"

"Asistenku tidak memberitahuku," Hermione mengiyakan.

"Karena kau akan menolak kalau ia memberitahumu."

"Tepat sekali, Harry."

Harry mengerutkan kening, "Itulah yang harus dipertanyakan, Hermione. Kenapa harus Draco Malfoy?"

Hermione terdiam sebentar, "Kurasa aku hanya ingat Tilly berkata bahwa ia kasihan karena Narcissa memohon-mohon," ia mengedikkan bahu, "Bagaimanapun itu tak akan mengubah keadaan, Harry. Hal itu bukan menjadi masalah sekarang."

"Tidak, Hermione, kau tidak akan pernah tahu kapan hal itu akan menjadi masalah."

Hermione menatapnya bingung, "Aku tetap tidak bisa meninggalkannya begitu saja."

"Kau tidak perlu berhenti, Hermione. Aku tidak menyuruhmu untuk berhenti," air muka Harry berubah menjadi lebih serius, "Aku tidak khawatir untuk hal-hal yang tidak penting."

Seraya Hermione mencondongkan badan ke depan, ia berpikir bahwa apa yang baru saja dikatakan Harry ada benarnya. Ia sempat berpikir kalau hal seperti ini hanya efek berlebihan dari profesi Harry sebagai auror, tapi watak Harry memang sudah begitu bahkan sebelum profesi itu disandangnya.

"Kau hanya perlu menyelidiki lebih dalam," Harry menambahkan lagi, "Lucius Malfoy, pria itu, kau sudah tahu track record-nya. Masuk ke dalam urusan keluarganya tidak sama seperti masuk ke dalam rumah seorang pasien biasa, Hermione."

"Kau membuatku takut, Harry."

"Aku hanya tidak ingin terjadi apa-apa padamu, Hermione," Harry menaruh tangannya di atas tangan Hermione.

"Aku tahu. Terima kasih," ia tersenyum.

"Berjanjilah padaku kau akan lebih hati-hati."

"Tentu saja," jawab Hermione sambil menahan tawa.

"Kenapa kau tertawa?"

Hermione akhirnya tertawa lebih keras, "Tidak apa-apa. Aku merindukanmu, Harry."

"Well, siapa yang tidak!" Harry terkekeh, "Omong-omong, Hermione, aku serius, kau harus menyelidiki lebih dalam lagi. Kenapa Narcissa memilihmu padahal banyak healer profesional di luar sana? Kenapa ia memohon dengan menyuratimu begitu banyak? Ken—"

"Ia hanya menyuratiku satu kali."

"Nah!" Harry menepuk tangannya, "Tidakkah kau curiga? Itu maksudku. Kau perlu tahu siapa saja yang terlibat di dalamnya, Hermione."

Dan dengan itu Harry berpamitan karena ia harus menghadiri patroli rutin tiap malam, meninggalkan Hermione yang bersikeras tidak mau diantar pulang. Kini kepalanya dipenuhi dengan berbagai macam tanda tanya. Kenapa jadi serumit ini? Ia harus mulai dari mana? Hermione butuh tempat tenang untuk berpikir. Dan walaupun Harry berkata apabila ada hal-hal yang ingin dibicarakan, bicarakanlah dengannya, Hermione tidak bisa menunggu sampai Harry selesai bertugas setiap harinya. Ia butuh seseorang untuk memimpin jalan, membuka pikirannya sedikit demi sedikit.

Tanpa Hermione sadari, pria separuh baya yang sedari awal duduk di ujung ruangan menghampirinya. Ia duduk di atas kursi yang tadi ditempati Harry, lalu berdeham.

"Miss Hermione Granger?"

Hermione mendongak sedikit terkejut, "Ya?"

Pria itu mengenakan jubah kuno, agaknya peninggalan masa kejayaannya semasa dulu karena warnanya sudah pudar sebagian. Kulitnya keriput, dan ia memakai kacamata tebal berbentuk lingkaran. Bagaimanapun, senyum yang sedang ia berikan membuat Hermione sedikit lebih rileks.

"Maaf menginterupsi pikiranmu, tetapi aku perlu memberitahumu sesuatu,"

Hermione mengangkat kedua alisnya. Ada dua kemungkinan mengapa tetiba seorang pria tua yang tak dikenal menghampirinya dan ingin memberitahunya sesuatu; pertama, ia mungkin sudah tidak waras; kedua, ia mempunyai niat jahat. Tetapi bagaimanapun juga, Hermione masih memasang telinganya. Terlebih ketika pria tersebut melanjutkan kalimatnya.

"Tentang Tuan Muda Draco."


Raindrops and Starlight, Chapter 5.


A/N: Hehe I'M SO SORRY! Di pertengahan tahun aku baru masuk kuliah nih, which means susah luangin waktu buat nulis. Dan percaya nggak percaya, fic ini bikin nggak tenang. Raindrops and Starlight ini udah aku bikin outlinenya sampai selesai, jadi kemungkinan untuk discontinued-nya lebih kecil. Tapi emang aku gak mau lagi janji-janji update deh, takut ditagihin karena aku juga gak bisa memastikan waktu luangku sendiri. Di samping itu, aku juga mau makasih banget buat yang masih setia nungguin fic ini dan fic yang satu itu tuh. Haha banyak alert di fic-ku yang satu itu, meanwhile akunya malah lagi bingung ficnya mau dilanjut apa enggak. Tapi thanks berat! Semoga bisa update lagi, update lagi, update terus. Ada yang bisa tebak yang barusan menghampiri Hermione siapa? Let me know your theories by reviewing! Thank you!