The Last Chapter of Monochrome by Path of Heaven
T rated (please be at least 16, ok?)
ChangKyu
Mystery, Adventure, Romance, Action
Warning: Inappropriate Language, Mentioned Sexual Activity, Gruesome Crime, Mentioned Murder, etc
.
.
There is a saying:
Yesterday is history
Tomorrow is a mystery
But today…
Oh, today is a gift my dear
That's why it's called present
.
.
Pan-seared filet mignon dengan saus jamur, puree parsnip lembut, dan wine merah tua dengan aroma yang manis.
Bunyi pisau dan garpu yang membentur piring porselen sesekali terdengar.
Ruang makan yang diterangi cahaya lilin yang lembut.
Api membakar kayu di perapian menghangatkan seluruh ruangan.
Musik klasik yang melantun mengisi kesunyian.
Dua laki-laki itu makan dengan sunyi. Mata mereka fokus pada hidangan di hadapan mereka. Pelayan segera masuk dengan langkah cepat namun tidak terburu-buru begitu mereka selesai. Makanan penutup yang manis kemudian dihidangkan. Ruang makan itu masih sunyi bila tidak diiringi dengan musik yang mengalun lembut.
"Apa sebenarnya rencanamu?" tanya pria yang lebih tua. Ia telah menyelesaikan makanan penutupnya.
Pemuda di hadapannya mengangkat tangan, menghentikan ucapan pria itu.
"Biarkan aku menghabiskan hidangan penutupku," ujarnya.
Pria itu diam. Membiarkan pemuda itu menghabiskan hidangan penutupnya. Ia kembali membuka mulutnya segera setelah pemuda itu selesai.
"Jawab pertanyaanku," ujarnya.
Pemuda itu mengangkat wajahnya. Memandang lurus ke mata pria dihadapannya.
"Aku menginginkan sesuatu," sahut pemuda itu.
Pria itu tersenyum, "Ah, akhirnya kau kembali untuk memohon padaku. Begitukah, putraku Changmin?"
Pemuda itu mendengus, "Aku tidak mengemis. Aku menawarkan bisnis seperti yang kau suka, pak tua."
Pria itu berdiri, "Kalau begitu, mari ke ruanganku."
.
.
Ruangan itu tidak berubah. Penerangan samar dari lampu Kristal yang menggatung di tengah ruangan menunjukkan menambah kesan misterius dan berkelas dari ruangan itu. Meja dengan kursi kulit berwarna merah wine. Kepala-kepala binatang yang diawetkan digantung di belakang kursi. Menekankan kesadisan pria yang menduduki kursi itu.
Changmin mendudukkan diri di hadapan ayahnya. Pria di hadapannya menopang dagunya di telapak tangannya. Senyumannya sadis, pandangan matanya tajam.
"Jadi?"
"Aku menginginkan kebebasan Minho," sahut Changmin tegas.
Pria itu mengangkat alisnya tinggi kemudian tertawa membahana.
"Untuk apa aku melakukannya? Ia bekerja dengan sukarela untukku. Ia adalah penerusku," ujar pria itu.
Changmin mengerutkan dahinya, "Kau berencana menghabisinya."
Wajah pria tua itu menjadi serius kembali, "Sudah kuduga semua itu ternyata gerakan bidakmu."
Changmin mengangkat dagunya, menunjukkan harga diri dan kesombongannya.
"Ah, tapi sudahlah," ujar pria itu tiba-tiba.
"Aku bisa menghentikanmu, di sini, sekarang juga," lanjut pria itu dan menarik sebuah revolver dari bawah mejanya.
Changmin tidak berkedip, tidak menunjukkan reaksi takut ataupun kaget.
"Kau tahu bahwa dengan membunuhku pun penyelidikan ini tidak akan dihentikan," tantang Changmin.
Pria itu hanya diam. Revolver di tangannya masih mengarah pada darah dagingnya sendiri.
"Lagipula, harga dirimu tidak akan memaafkan dirimu sendiri bila membunuhku dengan cara cepat tanpa siksaan begitu," lanjut Changmin mengangkat bahunya tidak perduli.
Pria itu menyeringai, "Kau benar," ucapnya.
Pria itu mengeluarkan peluru dari selongsong revolver, menyisakan satu peluru di dalamnya. Memutar cepat selongsong revolver dan mengarahkannya pada Changmin.
"Tapi kau tidak lupa bahwa aku suka judi, 'kan?" ujar pria itu tersenyum memperlihatkan seluruh giginya seperti seekor pemangsa yang sudah siap menerkam mangsanya.
Changmin menegang di kursinya. Pria ini makin gila rupanya!
"Mau bertaruh denganku?" tanya pria itu.
Changmin menelan ludahnya gugup.
"Bila kau tidak mati dalam tiga tembakan, aku akan mengabulkan tiga permintaanmu. Pikirkan permintaanmu baik-baik, Changmin-ah. Kau punya empat nyawa untuk diselamatkan," pria itu tersenyum sadis. Lidahnya menjulur menjilat giginya.
Changmin bangkit dari kursinya, membanting tangannya ke atas meja ayahnya.
"Kau!" geram Changmin siap memaki ayahnya sendiri.
"Permainanmu kotor!" seru Changmin tidak menerima penawaran ayahnya.
Pria di hadapan Changmin itu hanya tersenyum, mengangkat bahunya tidak perduli.
"Ini cara mainku, kau tahu itu. Aku selalu menang, Changmin," ujar pria itu. Tawa sadis mengalir dari kedua bibir pria itu.
Pria itu mengangkat revolvernya dan-
Bam!
Peluru kosong.
"Nah, siapa yang akan kau selamatkan?" tanya pria itu.
Changmin menampar lengan pria itu. Revolver dalam genggaman pria itu melayang ke sisi ruangan.
"Aku belum menyetujui aturan bermainmu!" seru Changmin.
"Kau tidak perlu setuju. Kau hanya perlu menuruti peraturan yang sudah kubuat, Changmin," ujar pria itu menepuk-nepuk pipi Changmin. Pria itu bangkit dan mengambil revolver miliknya.
"Nah, nyawa pertama yang kau selamatkan?" tanya pria itu.
Changmin kembali ke tempatnya duduk. Kepalanya berpikir dengan keras. Ia berusaha memperhitungkan langkah. Meski ia memaksa kepalanya untuk berpikir, hatinya selalu mengganggu. Ia menginginkan kebahagiaan untuk dirinya dan Kyuhyun. Akan tetapi, ia juga ingin Minho merasakan kehangatan dan kebahagiaan di bawah sinar mentari. Yang mana yang harus ia pilih?
"Aku tidak punya banyak waktu. Jika kau tidak bisa memilih maka-"
"Cho Kyuhyun!" seru Changmin memotong.
Pria itu tersenyum, "Ah… pelacur yang menggodamu itu."
Changmin menatap ayahnya geram, "Jangan berani menyebut Kyuhyun sebagai pelacur dengan mulut kotormu itu!"
Pria itu hanya tertawa dan kembali menembakkan revolver ke arah Changmin.
Bam!
Peluru kosong.
"Nah, selanjutnya siapa yang akan kau selamatkan?" pria itu memandang Changmin dengan tatapan yang intens.
"Lee Taemin," jawab Changmin tegas.
Ia sudah membebaskan jiwa Kyuhyun dan Lee Taemin. Dua nyawa yang bersih dan tidak pernah mengotori kedua tangan mereka dengan darah orang tidak bersalah. Sekarang... Untuk yang terakhir…
Bam!
"AGH!" sebuah peluru menembus bahu Changmin.
"Ah… sayang sekali. Kau hanya punya dua nyawa untuk diselamatkan. Mulai saat ini –kau dan Minho akan kembali menjadi mili-"
Pintu yang dibuka tiba-tiba menghentikan ucapan pria itu. Seorang pelayan dengan napas terengah menghadap pria itu, menunduk, berusaha mengatur napasnya.
"Tuan! Ga-gawat!" ujar pemuda itu terbata.
Mata pria itu membulat, ia melirik Changmin penuh amarah. Ia menghampiri Changmin dan menjambak rambut anak itu.
"Apa yang sudah kau lakukan?" desis pria itu.
Changmin tersenyum sinis, "Tanya saja pada pelayanmu," ujarnya terengah.
Pria itu kembali pada pelayannya yang dengan patuh segera bicara, "Ka-kau baru saja mendapatkan kabar bahwa Letnan Park dan Menteri Han ditangkap pihak kepolisian."
Wajah pria itu memerah hebat. Amarahnya memuncak.
"KAU!" pria itu menghampiri Changmin lagi.
Changmin lagi-lagi hanya tersenyum sinis, "Kau pikir aku hanya menangkap ikan-ikan terimu itu, huh?"
Changmin memegangi bahunya dan berusaha mengatur napasnya meski tubuhnya menggigil menahan rasa sakit. Ia kembali duduk dengan tegak. Changmin melempar senyuman profesional pada ayahnya.
"Nah, bagaimana kalau kita mulai lagi negosiasi bisnis kita?"
.
.
Changmin berjalan sambil memegangi bahunya yang masih mengeluarkan darah. Ya, tentu saja ayahnya tidak sudi memberikan pertolongan pada Changmin. Tapi, setidaknya pria itu menyetujui persyaratan darinya untuk membebaskan Minho seperti pria itu membebaskannya dahulu sekali. Strateginya berhasil. Changmin memang menghabisi koneksi-koneksi kecil milik pria itu, membuat perhatian pria itu teralih sementara ia dan Kyuhyun juga menangkap ikan-ikan yang lebih besar seperti Letnan Park dan Menteri Han. Changmin menahan agar berita itu tidak tersebar. Hanya beberapa orang yang mengetahui mengenai penangkapan itu. Ia memperkirakan berita akan tersebar begitu ia bertemu dengan ayahnya dan benar begitu.
Kini, Minho dan dirinya bebas. Benar-benar bebas, meski harus menutup mata pada kegelapan yang selalu mengejar mereka. Menutup mata atas darah yang bersimbah akibat diri mereka.
"Kyuhyun… ternyata mewujudkan dunia monochrome seperti yang kau inginkan memang mustahil."
.
.
Kyuhyun menyambutnya dengan senyuman lembut, bukan dengan wajah cemberut. Dengan hati-hati Kyuhyun juga membalut lukanya. Keduanya terdiam. Hanya mensyukuri kepulangan Changmin dalam keadaan masih bernyawa.
Kyuhyun selesai membalut luka Changmin. Keduanya kini bertatapan. Mata mereka dilapisi air mata. Mata Kyuhyun terpejam, membuat aliran air mata di pipinya. Bibir Changmin mendekat dan memagut bibir Kyuhyun perlahan. Berusaha mengalirkan semua emosi yang ia rasakan pada kekasihnya itu. Kedua tangan Kyuhyun memeluk leher Changmin, menarik pria itu mendekat –lebih dekat lagi.
"Maafkan aku, Kyuhyun-ah," ujar Changmin berbisik di depan bibir Kyuhyun
Kyuhyun memagut bibir Changmin, menolak permintaan maaf Changmin.
"Peluk aku malam ini," ujar Kyuhyun.
Tidak ada foreplay. Hati mereka terlalu rindu, terlalu gundah untuk menunda. Kyuhyun memposisikan dirinya di atas Changmin. Ia tidak ingin luka Changmin kembali mengeluarkan darah. Kedua tubuh itu bergerak seirama. Kyuhyun melantunkan melodi yang paling Changmin sukai. Ia tidak bisa menahan suaranya ketika Changmin berhasil menyentuh titik terdalamnya, mengirimkan sengatan kenikmatan ke seluruh tubuhnya.
Puncak segera mereka raih namun Kyuhyun tidak melepaskan Changmin. Ia meraih wajah pemuda dibawahnya, memagut bibir tebal itu kasar.
"Lagi, peluk aku," pinta Kyuhyun.
Dan mereka kembali bercinta hingga hati mereka kembali dipenuhi oleh perasaan lembut yang membahagiakan.
.
.
Taemin berjalan perlahan di belakang Changmin. Sedari tadi matanya memandang curiga pada punggung pria jangkung itu. Ia ingin bertanya, namun ia urungkan. Selama ia bisa bertemu lagi dengan Minho, apapun akan ia lakukan.
Matanya kembali terasa panas, ia hendak menangis. Seolah bisa mendengar pikiran Taemin, Changmin tiba-tiba berbalik.
"Simpan air matamu ketika bertemu Minho nanti," ujar Changmin.
Taemin buru-buru mengedip-ngedipkan matanya, berusaha mengusir air matanya.
"Kita akan ke mana?" tanya Taemin.
"Pengadilan Minho."
Taemin tidak lagi bertanya. Mereka memasuki ruang penyidangan atas tindakan kriminal yang dilakukan oleh Minho. Sepertinya sudah hamper selesai. Hakim hanya perlu membacakan hasil keputusan mengenai tindakan kriminal yang Minho lakukan.
Punggung itu. Taemin hafal punggung itu. Taemin sering memperhatikan ketika punggung itu bekerja. Punggung yang selalu diam-diam diliriknya di jam kerja.
Emosi memenuhi dada Taemin, tanpa sadar ia berteriak, memanggil kekasihnya.
"MINHO!"
Semua orang menoleh, termasuk Minho sendiri.
Wajah Minho terlihat terkejut, sangat terkejut.
Wanita yang bertindak menjadi hakim itu berdeham keras, melanjutkan ucapannya mengenai hukuman Minho. Wajah Minho tiba-tiba terlihat bingung. Seolah ia berusaha membuat keputusan berat. Changmin menggelengkan kepalanya keras, berusaha menghentikan adiknya itu. Tapi kemudian Minho tersenyum dan membisikkan kata-kata cinta untuk Taemin pada angin.
"Yang mulia!" seru Minho menahan sang Hakim mengetukkan palu, menutup persidangan.
Minho kembali melirik Taemin. Wajah Taemin kebingungan dan khawatir. Minho kembali menghadap sang Hakim.
"Saya mengaku bersalah atas pembunuhan CEO Eun Tae yang baru-baru ini terjadi," ucap Minho penuh percaya diri.
Seluruh ruangan ribut, teriakan terdengar dari segala arah. Pengacara yang menangani kasus Minho membanting berkasnya, kebingungan untuk mengatasi situasi yang disebabkan oleh kliennya sendiri. Taemin berdiri membeku. Minho tiba-tiba berbalik, berjalan mendekati Taemin. Taemin pun mendekat pada Minho.
Taemin sudah menangis tanpa sadar. Kedua tangan Minho yang diborgol dengan susah payah berusaha mengusap air mata itu. Minho tersenyum lembut.
"Maukah… kau menunggu hingga aku membayar dosa-dosaku?" tanya Minho perlahan.
"Aku keburu tua, tahu!" namun Taemin tersenyum, "Kau harus bertanggung jawab menikahi pria tua itu nanti."
Minho tertawa kecil, "Janji."
Mereka saling mengaitkan jari kelingking mereka. Berjanji dalam hati untuk kembali menunggu satu sama lain. Changmin tersenyum melihat pemandangan itu dan berbalik dalam diam.
"Ada apa ribut di dalam?" tanya sebuah suara mengagetkan Changmin.
"Kau kemari?" tanya Changmin buru-buru mengahampiri Kyuhyun.
"Aku minum obat penahan sakit," ujar Kyuhyun dan mulai berbalik berjalan. Changmin mengikuti di sampingnya dengan patuh.
Changmin memeluk bahu Kyuhyun dan mengecup puncak kepala Kyuhyun sayang.
"Maaf, dunia monochrome yang kau inginkan itu mungkin…"
"Dunia itu tidak ada, Changmin. Percayalah, aku tahu. Aku tahu sejak awal," potong Kyuhyun menatap Changmin pada matanya.
Changmin menatap Kyuhyun khawatir.
"Tidak apa-apa," ujar Kyuhyun tersenyum kecil. Wajahnya mendongak menantang matahari.
"Dibandingkan dunia monochrome itu, aku sadar lebih menginginkan dunia berwarna ini denganmu," Kyuhyun kali ini menatap Changmin, matanya mengekspresikan seluruh cintanya pada pemuda jangkung itu, "Aku tidak akan mengorbankan kebahagiaanku hari ini untuk impian delusional seperti itu. Kau tahu aku lebih pintar dibanding itu."
Changmin tersenyum, mengecup kecil bibir yang menggodanya itu.
"Menikah denganku," bisiknya.
Wajah Kyuhyun memerah, ia memukul dada Changmin.
Changmin tertawa, "Jawabanmu?"
Kyuhyun melipat kedua tangannya, "Tidak, terima kasih. Aku cari suami yang lebih romantis saja."
"Ehhhh? Kok begitu~?" rajuk Changmin.
Kyuhyun berjalan mendahului Changmin, menahan tawanya.
"Ayo menikah~ menikah denganku, ya? Ya?" bujuk Changmin mengejar langkah Kyuhyun.
Kyuhyun tidak bisa lagi menahan tawanya. Tawanya begitu bahagia, begitu lepas.
"Kau bodoh, ya?" ejeknya dan kembali tertawa. Changmin ikut tersenyum. Tangannya merangkul Kyuhyun. Mendekap tubuh itu dan merasakan hangat tubuh Kyuhyun.
Aku tidak membutuhkan apapun di dunia ini kecuali kau, sayang.
Karena, meski dalam dunia yang busuk ini –bila bersamamu aku yakin…
"Kita akan bahagia," bisik Changmin.
Kyuhyun menoleh. Changmin menampilkan senyuman jahil miliknya, "Dengan rumah sederhana, seekor anjing, dua orang anak-"
Bugh! –Kyuhyun kembali menendang selangkangan Changmin.
"Masa depanku!"
"Masih bisa bercanda rupanya."
Keduanya kembali tertawa. Menikmati perasaan lembut bagaikan awan, menari bebas di langit hati mereka.
.
.
Today…
Oh, dear
Today is a present
.
.
END