Disclaimer Gundam Seed Destiny by Sunrise
Original Fiction Panda Nai
Warning: Typoo, OOC, dan problemo lainnya. Akan ada kumpulan flashback singkat dengan alur yang cepat di sini (panda rasa), ditandai dengn paragraf yang di-italic. Kira POV di bagian akhir.
"Aku harus pulang. Cagalli pingsan." Dengan perasaan yang bergemuruh bagai badai dahsyat, Kira berdiri dan mengambil ranselnya. Segera ia memasukkan ponselnya dalam saku celana, dan mulai berjalan mengitari isi kamar.
Athrun masih tak bersuara ketika memperhatikan gerak-gerik Kira. "Kira, aku tau kau sedang panik."
Mata Kira melirik sejenak ke arah Athrun. "Aku harus pulang, Athrun."
Kening Athrun perlahan mengerut. Mulutnya terbuka untuk mengambil napas. Nampaknya sahabat terbaiknya yang mengaku ingin pulang itu bertingkah bodoh. "Lalu, kenapa kau masih mondar-mandir di kamarku?!"
"Aku lupa di mana menaruh kunci mobilku."
"Kau tak membawa mobilmu, kau meninggalkannya di kampus."
"Benarkah?"
"Yap."
Satu tangan terulur ke hadapan Athrun. "Kalau begitu, berikan aku kunci mobilmu."
Alis Athrun pun terangkat karena bingung. "Untuk?"
"Mengambil mobilku yang kutinggalkan di kampus."
Lelaki tampan bermata hijau itu berdecak kesal. "Oh, shit. Hentikan kebodohanmu, Kira!"
MY SISTER IS (NOT) MY WIFE
CHAPTER 13
HUSBAND-WIFE
Enjoy it!
23 juli 2010
"Kira, Cagalli."
Kedua remaja yang dipanggil tersebut berlarian dari arah dapur menuju pintu rumah. Keduanya spontan memeluk tubuh seorang wanita cantik yang berdiri di ambang pintu.
"Ibu tidak akan pergi terlalu lama."
"Ya, Ibu dan Ayah tidak boleh pergi terlalu lama."
Via terkekeh pelan mendengar ucapan kedua anaknya. Ia lalu melepaskan pelukan maut dari keduanya, dan mengusap-usap kepala Kira dan Cagalli secara bersamaan. "Kalian bertingkah seperti anak usia 7 tahun saja. Ibu dan Ayah hanya pergi selama seminggu untuk dinas di laboratorium pusat."
Cagalli bersedekap tangan dan menggembungkan pipinya. "Itu lama."
Via langsung mencubit kedua pipi Cagalli dengan gemas. "Kau jangan nakal." Perhatiannya lalu teralih pada Kira yang berdiri di samping Cagalli. "Jaga adikmu dengan baik selama Ibu dan Ayah pergi."
Kira mengangguk pelan. "Kami akan baik-baik saja, bu."
Via mengusap rambut coklat milik Kira, kemudian memeluk remaja tampan itu. "Tentu saja. Kalian berdua harus baik-baik saja meski kami tak ada."
...
Miriallia masih setia berada di samping Cagalli yang terbaring tak sadarkan diri. Beberapa menit yang lalu, gadis pirang ini masih berbicara padanya. Masih mencurahkan isi hatinya. Gadis yang diyakini sedang hilang ingatan itu mendadak pingsan akibat kalimat terakhir dari Miriallia. Sebenarnya apa yang salah? Entahlah, memikirkannya saja membuat kepala Miriallia ikut pusing tujuh putaran.
Gadis itu sedikit terperanjat saat menyadari bibir Cagalli terbuka menggumamkan sebuah nama dalam tidurnya. Di ujung kelopak mata yang tertutup itu muncul sebutir air mata. Apa yang telah ia mimpikan? Apakah sangat sedih? Tangan hangat Miriallia bergerak untuk menyeka air mata yang menggenang itu sebelum jatuh di kedua sisi pelipisnya.
"Sadarlah, Cagalli. Kak Kira sedang menuju kemari."
26 juli 2010
Kira mengetuk pintu kamar Cagalli dengan perlahan. Tangannya bergetar hebat. "Cagalli." panggilnya setengah bergumam.
Pintu kamar yang tak tertutup secara sempurna itu terbuka karena ketukan Kira. Di sana, Cagalli duduk sambil mengerjakan pekerjaan rumah yang ia dapat dari sekolah. Mata coklatnya menatap Kira yang berdiri tegang di dekat pintu.
"Ayah dan Ibu. Mereka mengalami kecelakaan."
"Bisakah kau mengendarainya lebih cepat lagi?"
Athrun mendecak kesal ketika Kira memintanya untuk memacu laju mobilnya semakin cepat. "Di jalan macet seperti ini?" tanyanya.
Kira mengangguk antusias. "Kau bisa?"
Dengan susah payah Athrun memijit dahinya yang lagi-lagi mengerut karena sahabatnya yang paling cerdas ini. Senyum manis tercetak sempurna di wajahnya. "Tentu saja tidak, bodoh!"
10 agustus 2010
Cagalli menangis histeris meratapi foto kedua orang tuanya yang terbingkai di atas meja belajarnya. Gadis itu menenggelamkan kepalanya di antara kedua tangannya.
Kira yang melihat kejadian itu mencoba untuk terlihat kuat. Sambil membawa nampan makanan ke dalam kamar dan meletakkannya di samping Cagalli. Lelaki itu kemudian terlihat berlutut dan menyentuh pundak Cagalli. Membuat gadis itu sekejap memeluknya dan menumpahkan segala kesedihannya.
Mata seindah musim gugur itu akhirnya terbuka perlahan. Tubuhnya yang terbaring di atas sofa ruang tamu pun bangkit. Kepalanya terasa pening. Dengan teliti matanya menyusuri ruang apartemen. Aneh...
Sebelumnya ia bersama Miriallia di sini. Lalu ke mana perginya gadis tomboy itu? Dengan perasaan lelah, Cagalli mencoba berdiri dan beranjak menuju sebuah ruangan yang berada tepat di samping kanan kamar. Ada sesuatu dalam benaknya yang menyuruh untuk masuk ke dalam ruang itu.
Cagalli sempat terbatuk saat membuka ruang yang ia yakini sebagai gudang itu. Sebenarnya ia cukup heran, mengapa Kira tak pernah mengizinkannya untuk masuk ke dalam ruang ini, walaupun pagi tadi Cagalli sempat membantunya memindahkan beberapa kotak kardus ke gudang, akan tetapi Kira memintanya membantu hanya sampai pintu gudang saja.
Matanya membulat mendapati isi gudang yang menyerupai kamar anak perempuan. Langkah kakinya menuju sebuah meja belajar yang dipenuhi beberapa buku-buku pelajaran yang ditumpuki oleh debu. Sudah berapa lama kamar ini tidak digunakan? Tangannya menggeser perlahan buku-buku yang ada di atas meja, menyisakan satu pigura foto kecil yang tergeletak dengan posisi terbalik.
Senyum kecut terlihat ketika tangannya mengangkat pigura itu.
"Ah, bodohnya aku selama ini." Air matanya menetes menatap sebuah foto sepasang suami-istri dengan dua orang anak yang berbagi rangkulan dengan penuh kasih sayang.
Ternyata ini yang telah terjadi sebelum ia mengalami sebuah kecelakaan. Puas dengan foto itu, pandangannya teralihkan pada satu buku mata pelajaran yang ada di dalam rak, berjejer dengan buku-buku mata pelajarannya lainnya. Melihat itu membuat matanya kontan menyipit.
26 juli 2013
"Aku rasa kau butuh guru les privat, Cagalli."
Cagalli menautkan kedua alisnya usai mendengar ucapan Kira. Duo Hibiki muda ini sedang menghabiskan sarapan pagi mereka. "Kau anggap aku bodoh?"
Kira meminum teh hangatnya dan menatap Cagalli yang sudah berwajah horor padanya. "Tidak. Tapi aku ingin agar nilai fisikamu sempurna seperti nilai matematikamu saat ujian nasional nanti."
"Aku tidak butuh guru les."
"Oh ayolah, kau tak perlu takut. Ini tidak seperti Unato. Dia sahabatku. Kau akan merasa nyaman belajar dengannya."
Cagalli mengulum bibir dan berpikir sejenak. Sebenarnya ia anti dengan pelajaran tambahan di luar jam sekolah. Tapi, karena Kira berkata sahabatnya yang akan mengajarinya, ia tak perlu khawatir merasa bosan selama pelajaran berlangsung.
"Baiklah. Aku harap sahabatmu bisa menjadikanku lulusan terbaik di SMP ku."
Kira tersenyum senang mendengarnya. "Oh ya, sepulang sekolah nanti aku ingin kita pergi ke makam. Untuk peringtan 3 tahun kepergian Ayah dan Ibu."
...
1 Agustus 2013
"Namaku Athrun Zala. Hari ini aku yang akan mengajarimu."
Mata gadis pirang berusia 15 tahun itu nampak fokus pada sosok di hadapannya. Sosok lelaki usia 18 tahun itu begitu menawan. Dengan rambut sebiru langit malam, dan mata sehijau zamrud. Siapa sangka, gadis remaja ini menemukan cinta pertama pada pandangan pertamanya.
...
Cagalli sekejap menuju salah satu kotak kardus yang berada di samping pintu kamar. Tangannya dengan gesit membuka dan mencari-cari satu benda di dalamnya. Napasnya memburu saat ia sadari bahwa yang ada dalam kotak kardus ini adalah benda-benda miliknya sewaktu SMP dan benda-benda yang berkaitan dengan kedua orang tuanya yang tersebar di dalam apartemen. Jika ia berpikir, kapan Kira menyimpan semua benda, dimulai dari foto, buku, dan lainnya yang menyangkut kenangan dengan orang tuanya ke dalam kardus?
Matanya membulat saat menemukan selipan foto seorang lelaki tampan di dalam buku pelajarannya. Tawa bernada kesal itu terdengar dari bibirnya. Serpihan memori yang coba ia kumpulkan sewaktu bermimpi tadi mulai terangkai jelas.
4 Agustus 2014
"Aku baru tahu kalau di ORB ada tempat seindah ini." Mata Cagalli berbinar melihat pemandangan sunset dari bukit tinggi yang lokasinya tak jauh dari pantai.
Di sampingnya ada Athrun yang siap mengabadikan moment itu dengan kamera yang ia bawa. Memotret beberapa view menarik, setelah itu ia membalikkan tubuhnya bersandarkan pagar besi setinggi satu meter itu. "Ada satu hal yang lebih indah dari pemandangan di sini."
Cagalli mengalihkan pandangannya pada Athrun yang tersenyum menatapnya. "Benarkah, sensei. Apa itu?"
"Kau."
Seketika gadis itu membuang wajah untuk menyembunyikan rona merah yang menjalari kedua pipi tembemnya.
...
"Terima kasih, Athrun." ucap Kira saat ia telah sampai pada parkiran kampus. Lelaki itu sekejap berlari menuju mobilnya yang terparkir indah di ujung.
Athrun menatap Kira yang masuk ke dalam mobilnya dengan terburu-buru. Hh, lelaki itu benar-benar dilanda kepanikan. Bagaimana tidak? Setengah jam terjebak dalam kemacetan menuju kampus. Bersyukur mereka bisa tiba dengan selamat sentosa.
Tiiiit...tiiiit...
Athrun terkejut saat Kira meng-klakson mobilnya yang sudah berada di dekat mobil Athrun.
"Aku akan melihat keadaan Cagalli. Terima kasih sudah mengantarkanku."
Athrun mengangguk pelan. "Kira, aku ikut denganmu."
Kening Kira berkerut mendengar permintaan Athrun. Ia lalu menggelengkan kepalanya. "Tidak! Kau tetap di sini, Athrun."
"Tapi, Kira."
"Bukankah Cagalli sudah merencanakan sesuatu denganmu? Hh, sekarang dia pingsan, dan aku rasa kau tidak boleh menampakkan wajah di hadapannya."
"Kau kejam."
"Maafkan aku, Athrun. Untuk kali ini saja. Ok, terima kasih sekali lagi dan sampai ketemu."
Athrun hanya bisa menghela napas panjang menyaksikan mobil Kira yang melaju menuju aprtemennya. Dan Ketika ia berniat ingin pulang ke rumah, ponselnya bergetar.
"Cagalli?"
10 Oktober 2014
"Sudah berapa lama?"
"Apa?"
"Sudah berapa lama kau menjadi kekasih Athrun?"
Cagalli tersedak keras begitu Kira menanyainya. Ya, harus ia akui. Kira adalah stalker yang hebat kaena telah mengetahui hal yang sudah ia dan Athrun sembunyikan rapat-rapat. Entah Kira punya intuisi yang kuat atau sekumpulan anggota untuk memata-matai adiknya sendiri.
"Dua bulan."
Kira berdecak kagum mendengarnya. Kepalanya mengangguk perlahan. "Wow, tak kusangka kalian sukses backstreet dariku selama dua bulan."
Cagalli memutar bola matanya. Merasa bosan dengan respon Kira. "Dari mana kau mengetahuinya, wahai kakakku yang tampan?"
Kira tertawa terbahak-bahak. "Saat aku meminjam ponsel Athrun untuk menghubungi Shiho."
"Kepo."
...
Kira yang baru saja sampai langsung menghambur ke dalam apartemen. Peluh membanjiri tubuhnya akibat rasa gugup yang menjalarinya. Matanya membulat saat mendapati Miriallia yang duduk termenung seorang diri dalam apartemen.
"Miriallia?"
Miriallia spontan berlari ke arah Kira. Raut wajah gadis itu agak menegang.
"Ada apa?" tanya Kira pada Miriallia.
Gadis itu nampak menggigit bibir bawah. Demi apapun yang ada di luar sana, ia terlalu gugup untuk menceritakannya apa yang baru saja terjadi. "Cagalli pingsan. Dan...dan aku meninggalkannya sebentar untuk mencari kompres instan ka-karena aku takut kepalanya bengkak akibat terhempas keras di lantai."
"Lalu?"
Miriallia mengepal tangannya erat. "Saat aku tiba, Cagalli sudah tidak ada. Aku mencarinya ke seluruh ruang dan menemukannya menangis di dalam kamarnya. Setelah itu ia pergi ke luar meninggalkanku sendirian di sini."
"Hah?! Cagalli pergi? Ke mana?" Urat-urat kegelisahan mulai bermunculan. Kira tak habis pikir, apa yang lagi-lagi merasuki adiknya. Tunggu dulu! Menangis di dalam kamar! Secepat kilat lelaki itu berlari menuju kamar tak terpakai Cagalli.
"Oh tidak." Dadanya berdetak keras melihat seisi ruangan yang berantakan seperti habis kemalingan. Pandangannya terfokus pada dua buah foto yang berada di atas sebuah buku pelajaran, tepatnya di tengah ruangan. Apa Cagalli menangis setelah melihat ini? Kalau begitu, apakah Cagalli sudah kembali mengingat hal yang telah ia lupakan?"
Ingin ia bergegas keluar mencari Cagalli, namun dering ponsel menghentikan gerakannya.
"Ada apa, Athrun?"
"Kira, maafkan aku. Ini salahku." Suara Athrun terdengar bergetar.
"Oh ya ampun. Ada apa lagi, Athrun?"
"Sepertinya aku telah berbuat kesalahan. Harus berakhir."
"Athrun, aku tak mengerti. Cagalli pergi, dan aku harus mencarinya."
"Kau tak perlu mencarinya, Kira. Cagalli menghubungiku, ia ingin menemuiku. Sepertinya ingatannya pulih, dan ia sangat kebingungan. Aku akan menjelaskan semuanya padanya."
"Hei-hei, tunggu sebentar. Di mana kalian akan bertemu?"
"ORB House Coffe."
"Bagus, aku akan ke sana sekarang juga."
"Tapi, Kira."
Tak peduli dengan apa yang akan diucapkan oleh Athrun, Kira dengan cepat memutus sambungan telepon di antara keduanya. Perasaannya terasa gusar, mengenai kesalahan apa yang telah Athrun perbuat, dan mengapa Cagalli ingin menemui Athrun sekarang setelah mengetahui kenyataan? Jika Cagalli ingin klarifikasi, ia hanya perlu menunggu Kira di sini untuk menjelaskannya. Bukannya pergi seperti seorang gadis yang sudah tak tahan dengan kehidupannya. Terdengar sungguh mengenaskan.
"Miriallia, aku akan pergi mencari Cagalli."
"Sudah kakak temukan di mana Cagalli saat ini?"
"Tidak, tapi aku tahu ke mana ia akan pergi."
"Cagalli pergi... untuk menemui kak Athrun." gumam Miriallia dengan perasaan yang tak kalah gusarnya.
Athrun mengetuk jemarinya ke atas meja. Saat ini ia berada dalam sebuah kedai kopi yang berada dekat persimpangan jalan utama kota, menunggu kehadiran Cagalli yang sedari tadi tak kunjung datang. Apakah gadis itu lupa bagimana jalan di kota kelahirannya sendiri? Oh siapapun tak akan mempercayainya. Sesekali lelaki tampan ini melihat ke arah ponselnya. Tak ada panggilan masuk. Tak ada pesan yang masuk.
"Apa yang membuatmu begitu lama, Cagalli?"
Cagalli ingat jika tempat favoritnya untuk bertemu dengan Athrun adalah di kedai kopi yang berada di dekat persimpangan jalan. Namun, gadis itu nampak agak linglung ketika menusuri jalan seorang diri. Entah mengapa setiap melangkah kepala terasa berkedut kencang. Ketika ia lelah, maka ia akan berhenti sejenak. Namun, di sepanjang perjalanannya, ia sadar jika ia sudah benar-benar terlambat untuk bertemu Athrun. Tak tahu sudah berapa lama waktu yang butuhkan untuk menuju ke ORB House Coffe.
"Sebenarnya apa yang aku bingungkan?" tanyanya pada diri sendiri. Sungguh ia tak menyangka bahwa akan terjadi skenario besar yang mengubah hidupnya dan kakak semata wayangnya pasca kecelakaan itu.
Cagalli sebenarnya tahu jika sekelilingnya akan memaklumi tingkahnya, hanya saja ia merasa bertanggung jawab untuk menjelaskannya keadaannya. Dan bahkan ia berniat untuk meminta maaf pada Kira usai menemui Athrun.
Drrrttt...drrrrtttt...
Matanya menyipit saat menatap layar ponselnya.
"Ya, Kakak?"
Untuk pertama kalinya Miriallia harus mengakui jika Kira yang biasanya terlihat bijak dan tenang dalam menangani sebuah masalah, terlihat panik saat ini. Pasalnya, mereka yang berencana untuk segera mengejar Cagalli menjadi sedikit terhambat dikarenakan jalanan mulai macet, menjelang jam pulang kerja di ORB. Salahkan pada Athrun dan Cagalli yang memilih untuk bertemu di kedai kopi nuansa elit yang letaknya juga sangat strategis itu.
"Kalau begini, kita akan terlambat."
Tanpa pikir panjang, di tengah kemacetan yang padat, Kira mencoba menelepon Cagalli.
"Ya, Kakak?"
Hatinya melega mendengar suara Cagalli yang memanggilnya dengan panggilan yang ia rindukan. "Kau berada di mana Cagalli?" Suara Kira terdengar begitu khawatir.
Cagalli sempat terdiam beberapa saat sebelum merespon pertanyaan Kira. "Ngh, aku tak tau berada di mana."
"Cagalli, kau tak apa-apa? Katakan padaku, di mana kau saat ini?"
"Aku berada di dekat perempatan jalan menuju kedai. Tapi aku rasa ini masih cukup jauh dari lokasi kedai."
Kira menautkan kedua alisnya saat mendengar napas Cagalli yang ngos-ngosan. "Kau terdengar lelah, Cagalli."
"Ya, sangat lelah. Karena aku berlari menuju kemari."
"Apa?! Kenapa tak pakai taksi saja?" Demi Haumea, Kira berharap ada tumpukan batu yang menjatuhi kepalanya saat ini juga.
"Aku lupa membawa uang."
Krik...krik...
"Ba-baiklah, kalau begitu kau―" Raut wajah tampan Kira berubah drastis begitu matanya menangkap sesosok gadis pirang yang berdiri di dekat perempatan rambu lalu lintas yang jaraknya 8 meter darinya.
Segera ia melepas safety beltnya dan keluar dari mobil untuk menghampiri Cagalli.
"Aku rasa aku akan meneruskan perjalananku―"
"Tidak! Diam di tempat! Dan jangan pergi ke mana pun!"
"Kakak..."
Kira memacu langkahnya untuk semakin mendekat ke arah Cagalli. Akan tetapi gadis yang ia perintah untuk tak beranjak ke mana pun, malah berlari ke tengah jalan. Di sana ada seorang anak yang terlepas dari pegangan ibunya ketika menyeberang jalan.
Mata Kira membulat sempurna ketika ia melihat sebuah motor dengan teknik salip-menyalip ajaibnya melaju kencang ke arah Cagalli. Tak butuh waktu lama untuk menggapai Cagalli ketika lelaki itu hanya berjarak dua meter dari Cagalli.
"Cagalli!"
Cagalli yang sudah memeluk anak kecil itu menoleh ke belakang. Matanya membelalak. Seorang lelaki berlari kencang ke arahnya dan menarik lengannya untuk menjauh dari tempat itu.
"Kira!"
Tiiiiiiiitt...
Keduanya terhempas, saling berpegangan tangan.
5 September 2015
"Kau berada di mana saat ini?"
"Di gerbang sekolah. Menunggu jemputan dari Kira."
"Dia belum menjemputmu?"
"Belum."
"Kalau begitu, biar aku yang menjemputmu."
Cagalli memonyongkan bibirnya dan melekatkan headset yang agak melonggar di telinga kirinya. "Tak perlu. Lagipula Kira sudah berjanji."
"Kau yakin?"
Cagalli mendesah mendengar suara khawatir Athrun. "Kau seperti nenek yang mengkhawatirkan cucunya."
Suara tawa pun terdengar. "Aku lebih berharap menjadi suamimu daripada menjadi nenekmu."
Cagalli mendadak memerah. Tangannya menggenggam erat tali tas yang melingkar di bahu kanan. "Kau harus melewati Kira terlebih dahulu."
"Ck, untuk saat ini tentu saja Kira tak akan mengizinkan. Kau masih bocah, Cagalli."
"Dan kau sudah sangat tua, Athrun. Hh, Kira terlalu menyayangiku. Jadi kau harus berusaha."
"Sister-complex."
"Tidakkah kau lihat, Kira adalah sosok suami ideal."
"Ya, dan kau bisa membayangkannya. Menikah dengan Kira cocok untukmu seandainya kalian bukan saudara."
Cagalli terdiam menatapi langit sore sembari membayangkan hidupnya dengan Kira setelah ditinggal orang tua mereka. Ya, kau bisa membayangkannya dari segi apapun. Segi saudara, Kira begitu menjaga Cagalli. Segi sahabat, Kira bersedia mendengarkan keluh kesah Cagalli. Segi romansa? Anggap itu ada jika mereka berdua bukan saudara. Kira tentu akan selalu menyediakan pelukan hangat di saat Cagalli merasa kesepian.
Gadis pirang itu tertawa sejenak, membuat Athrun yang berada di tempat lain menjadi bingung.
"Apa yang lucu?"
Cagalli menggeleng pelan, masih dengan senyum di wajah. "Jika aku bukan adik Kira. Aku dengan sangat yakin memilih untuk menikah dengannya dibanding dengan dirimu."
"Kau benar-benar membayangkannya?!"
"Ya, bahkan aku membayangkan wajah Kira di setiap moment yang pernah kita lewati bersama."
"Kau seakan mengubah ingatanmu."
Cagalli kembali tertawa ketika ia mendengar Athrun menggerutu panjang. Sejenak melirik jam tangannya. Hari semakin sore. Kira sepertinya sedang sibuk. Biarlah ia pulang sendiri. Lagipula Athrun menemaninya dari jarak yang jauh.
"Apa yang akan kau lakukan jika aku benar-benar menikah dengan Kira?"
"Aku akan merebutmu dengan paksa, Cagalli. Sudah, hentikan pembicaraan ini. Semakin konyol, kau tahu."
Cagalli yang berlari-lari kecil terkekeh pelan. Benar-benar bahasan menarik baginya. Sebuah pengandaian mustahil yang tak akan pernah terjadi. Benar-benar tak akan terjadi sampai ia tak menydari ada sebuah mobil yang melaju kencang ke arahnya.
"Cagalli..."
"..."
"Suara apa itu? Kau baik-baik saja? Jawab aku, Cagalli."
"..."
"Ya ampun, Kira!"
Sambungan telepon diantara keduanya pun terputus.
Hai, namaku adalah Kira Hibiki. Aku seorang lelaki berwajah tampan dan usiaku saat ini sudah menginjak 20 tahun. Kuliah di Archangel University, jurusan Teknik Mesin.
Masih ingatkah dengan permasalahan yang aku ceritakan di awal kisah? Ya, ini mengenai adik kesayanganku yang mengalami kecelakaan dan kehilangan ingatan. Adikku yang manis, menganggap diriku sebagai seorang suami yang telah lama menikahinya. Sungguh aku tak percaya dengan keadaan yang menimpanya.
Setiap hari dalam seumur hidupku saat menjaganya, baru kali ini ada yang terasa berbeda. Kenapa berbeda? Kami... berbagi kamar. Ups, maaf, maksudku ya. Sudahlah lupakan.
Sebelumnya aku ingat kapan terakhir kali aku memarahinya. Kapan terakhir kali aku memanjakannya. Dan kapan terakhir kali aku memperlakukannya sebagai adikku. Dalam artian, aku sebenarnya selalu memperlakukannya sebagai adikku. Tapi, ingatan bermasalah yang ada di otak Cagalli kerapkali memaksaku untuk seakan-akan mengakui jika aku adalah suaminya.
Aku pernah mengakuinya sekali, itu pun saat kami bertengkar hebat dikarenakan ia yang meminta perceraian dariku. Semuanya akan terasa begitu mudah jika saja Cagalli mau mendengarkanku secara perlahan. Aku tentu saja akan menjelaskannya. Tapi, kondisinya yang bisa dibilang sedikit-sedikit pingsan usai mendengar kenyataan, membuatku berpikir ulang.
Aku bingung... sangat bingung...
Tingkah Cagalli yang menganggapku suaminya tentu saja akan menyakiti pihak lain. Contohnya saja Athrun, sahabat kesayanganku yang sudah aku tipu. Bayangkan saja, aku dengan tega menipunya agar ia tak bertemu dengan Cagalli. Itu wajar... karena sesungguhnya aku masih berat untuk berbagi Cagalli dengannya. Haha...
Dan kalau mengingat tragedi, bagiku, yaitu ketika Cagalli dengan nekat menghubungi Athrun untuk merencanakan sebuah perselingkuhan. Hell no! Aku tak menyetujuinya, terlebih saat Athrun diberi izin untuk menciumnya. Suami mana yang akan rela bila Istrinya dicium oleh lelaki hidung belang macam Athrun?
Ok, kembali ke permasalahan awal. Aku menduga sebenarnya ingatan Cagalli telah pulih saat ia mencoba menemui Athrun di kedai favorit mereka. Itu pun setelah Cagalli menangis meratapi kebodohannya saat menemukan harta berharga miliknya yang aku sembunyikan dalam kotak kardus. Ya, aku sengaja melakukannya di malam ia berada di Rumah Sakit, karena aku takut ia akan semakin merana kebingungan.
Kalian boleh bilang aku licik.
Tapi aku punya penyesalan. Salah satu penyesalanku adalah ketika aku tak mempercayainya. Ya, waktu ia bertengkar hebat dengan teman sekolahnya hingga mendapat skorsing dari gurunya. Aku tahu ia tak bersalah, hanya saja keadaanku yang sudah termakan emosi membuntukan jalan pikirku, hingga aku menyalahkannya dan tak ingin berbicara padanya. Aku kakak dan suami yang kejam.
Ketika aku tahu kejadian yang sebenarnya dari Miriallia di mobil saat kami mencari Cagalli, itu membuatku sangat menyesal. Oh ya, jangan lupakan jika Miriallia juga pernah marah padaku hanya karena mengira aku telah menduakan Lacus. Aku tipe pacar yang setia! Ingat itu.
Hidup bersama Cagalli apapun statusnya, aku akan tetap bahagia. Ya, aku akan bahagia jika aku masih memiliki Cagalli di hidupku. Dia adikku yang paling berharga.
Aku merasa hampa saat melihatnya berlari menyelamatkan seorang anak yang terlepas dai ibunya ketika sedang menyeberang. Dan yang paling tidak ingin kuingat adalah, ketika Cagalli hampir tertabrak sebuah motor canggih bersama dengan anak yang ada dalam pelukannya.
Bagai pahlawan kesorean, aku pun nekat berlari ke arahnya dan menarik lengannya dengan kuat hingga motor itu sedikit menyerempetku, dan membuatku jatuh terhempas. Kepalaku terbentur keras. Aku yakin ada darah yang mengalir, karena selain wajah Cagalli yang panik, ada kegelapan yang menghampiriku. Aku... tak sadarkan diri selama beberapa hari, aku rasa.
Dan yang anehnya adalah, ketika aku bangun dari tidur panjangku. Kulihat beberapa wajah yang kurasa pernah menghiasi hari-hariku. Mereka semua tersenyum menatapku yang baru sadar. Seorang gadis berambut merah muda itu sampai menyeka air matanya.
Aku bingung apa yang harus kukatakan pada mereka semua yang berdiri mengelilingi ranjang perawatanku. Aku hanya bisa berkata.
"Hai, semuanya."
Semua orang yang berada dalam ruangan ini tersenyum dan membalas sapaanku.
Gadis berambut merah muda itu maju dan menyentuh keningku yang tertutupi perban. "Kau baik-baik saja?"
"Ya aku baik-baik saja, terima kasih." ucapku padanya hingga ia kembali tersenyum.
Kuedarkan pandanganku, dan menemukan sosok gadis berambut pirang yang duduk bersebelahan dengan lelaki berambut biru malam. Keduanya juga tersenyum hangat padaku. Hanya saja, mengapa mereka duduk begitu dekat, bahkan rapat seperti perangko? Tak sadar emosiku mencuat ke permukaan.
"Cagalli, aku rasa kau terlalu dekat dengan lelaki lain."
Cagalli terperanjat dan sekilas menoleh pada lelaki di sebelahnya. Sedetik kemudian ia tertawa. "Baiklah, aku akan menjauh."
Namun lelaki itu lantas menarik lengan cagalli untuk kembali duduk di dekatnya. "Hentikan kecemburuanmu, Kira."
"Tidak, lepaskan Cagalli. Kau harus berada di sampingku, Cagalli."
"Sister complex." gumam lelaki biru malam itu sekali lagi.
"Aku serius, aku tak suka." Ketusku padanya.
Cagalli melepas pegangan lelaki itu dan berdiri di dekatku. "Kira, kau tak boleh marah seperti itu. Kau baru saja sadar dari koma."
"Bagaimana aku tak marah jika Istriku didekati oleh lelaki lain!"
Hening...
Kurasakan tatapan mereka padaku... berubah... membingungkan.
"Ma-maksudmu?" tanya Cagalli seakan tak percaya dengan ucapanku. Oh, haruskah aku mengulangnya?
"Aku suamimu, Cagalli. Kenapa kau terkejut seperti itu? Jangan bilang kau sudah melupakannya!"
Coba lihat, siapa yang sekarang bermasalah? Mereka? Atau diriku?
Entahlah... aku juga tak tahu.
The End
Haaaaiiiii... puji syukur karena panda sudah menyelesaikan fic absurd ini dengan selamat sentosa :D
Haha, maaf minna, kalo updetnya terlalu lama, chap terakhir pula!
Sejujurnya, chap ini sudah lama dikerjakan, hanya saja proses editingnya yang belom kelar-kelar sampai panda lupa kalau fic ini udah lewat batas buat di updet *cry*
Tapi, gak ada yang lebih membahagiakan selain fic tamat, meski dengan alur yang belepotan serta ending yang tak jelas :')
Akhir kata terima kasih banget buat yang udah dukung panda selama ini, love you all :')
Silahkan tunggu karya baru(?) atau chapter terbaru dari fic ongoing panda lainnya
Special thanks to:
Erehmi a.k.a Ritsusan, AlyaZala, Lenora Jime, Nemui Neko-cchi a.k.a Nelsan, popcaga, inuyasha112, Aries aprilius, Lennethia, , aikawa, ichirukilover30, nasi kucing nyan, kopi jogja, android jogja, su, miluna rash, JinK 1314, nitameicya, reinaryuzaki, Cyaaz a.k.a puppysan, hikaru nida, lezala, rencaggie, setsuko mizuka, aeni hibiki, arisa narahashi, nom de-pluume, kun, previously-FTS, TheHouseOfAthhaZala, scarlett rosalina zala, nina, kiara yama-chan, dandeliona96, guest, and silent reader.
maaf gak balas reviewnya satu-satu, tapi yang jelas kalian yang terbaik :') love you guys. (maaf kalau ada nama yang lupa tersebut)