Manik mata yang didominasi warna putih dengan bulatan hitam di tengahnya itu tidak memiliki fokus yang pasti. Terkadang, keindahan sorot yang membuat kaum Adam jatuh cinta itu malah ditutup dengan ekspresi wajah yang sulit untuk dibaca—oh, bahkan saat matanya terbuka pun, sulit rasanya untuk membaca apa yang dirasakan oleh pemiliknya. Gelombang-gelombang yang dapat ditangkap oleh indra pendengaran di tempat itu memang hanya desahan rumput yang menari bersama semilir angin musim semi.
Musim semi, ya?
Dua kali musim semi datang, awan kelabu selalu menghadang setiap keceriaan yang ingin dipancarkan bunga-bunga yang baru bermekaran setelah bersembunyi dari kejamnya salju. Ia tidak menginginkan semarak kehidupan yang baru, mengingat keping-keping salju sudah cukup untuk menghiburnya dalam beku.
Dirinya masih membeku di sana, posisi duduknya belum berubah selama beberapa saat ia terdiam di tempat itu. Lima menit? Tiga puluh? Atau satu jam? Ia tak peduli. Biarkan saja ruang dan waktu berubah-ubah, toh di matanya semua hal masih sama.
Waktu berubah-ubah. Itu kebohongan belaka. Masa lalu, masa kini, dan masa depan selalu sama di matanya. Memori tentang kejadian-kejadian itu masih menghantuinya, bahkan saat seharusnya orang berpikir ia sudah terbebas dari jeratnya. Tidak, mereka semua masih ada di sana, bermekaran di sepanjang taman tidurnya yang seharusnya menghapus kepenatannya.
Ia akan baik-baik saja jika kilasan peristiwa yang bisa membuatnya tersenyum tidak berkaitan dengan kilasan-kilasan pahit kelabu.
Jika waktu berjalan dan masa berubah, seharusnya apa yang telah terjadi tidak bisa mengusik kehidupannya di masa kini sampai seperti yang dialaminya sekarang. Tidak separah ini, sampai batas antara masa lalu dan masa sekarang nyaris tidak ada bedanya. Yang mampu menyadarkannya hanyalah rasa sakit saat ingat bahwa semua itu hanya sekedar memori yang terlalu kuat pengaruhnya dan terlalu rinci untuk menghadirkan perasaan-perasaan itu kembali.
Setelah dipikir-pikir kembali, rasanya bodoh juga untuk duduk di tempat yang selalu memancing masa lalu kelabunya untuk bermain-main dengan kesadarannya.
Semua pemikirannya terpecah saat sebuah suara keras memanggilnya.
"YUMI! Kau ada di mana?"
SPiCa
Warning and Disclaimer:
Code Lyoko © Moonscoop, France 3, and Canal J
Alice in Wonderland © Lewis Carroll
All the words flow—all my OCs—and nearly the whole idea © Chocochino
The author does not take any material profit from this story
Multi-chapters, OOC, Indonesian, angst failed, Yumi-centric, post-EEMBK, hinted Alice in Wonderland, cyberpunk-medieval AU, rated T for safe, confusing plot, failed visualisation, Adventure/Hurt/Comfort/Romance/Friendship/Family/Fantasy/Sci-fi/Angst RnR, also DON'T LIKE DON'T READ
A fic from Chocochino for Code Lyoko
Chapter 00: The Beginning
.
.
Suara itu terus berulang, memohon kepada gadis itu untuk segera menemui sosoknya. Tetapi yang sumber teriakan itu tidak mengerti adalah kenyataan bahwa sang gadis bahkan tidak berniat untuk beranjak dari tempat itu, apalagi untuk bertatap muka dengannya.
"Yumi! Tolong, jangan kabur di saat seperti ini!"
Yumi Ishiyama melirik ke sekitarnya. Suara itu semakin mendekat, itu berarti dia akan datang tak lama lagi. Ia menghela napas panjang dan bangkit berdiri, membersihkan baju dan celananya yang didominasi warna hitam dari rumput-rumput yang melekat, bersiap untuk menghadapi semua ocehan tidak berguna dan memasang senyum terbaiknya agar dapat meminta maaf.
Atau dengan tempat seperti ini, bisakah ia berbicara jujur mengenai hal-hal ini?
"Yumi! Ternyata kau ada di sini, syukurlah ..."
Iris mata hitam kelam bertemu dengan iris mata biru laut. Sorot datar melawan sorot penuh cinta. Sepasang kekasih bersatu dalam keretakan.
"Maaf, William. Aku hanya ingin menenangkan diri."
"Gara-gara kau menghilang, aku panik!" siswa Akademi Kadic kelas 11 itu meremas-remas rambut biru tua abnormalnya. Wajah ekspresifnya bertolak belakang dengan gadis berkebangsaan Jepang di hadapannya. "Aku bisa paham kalau kau ingin menenangkan diri setelah mendapatkan nilai jelek dalam fisika. Tapi ini ulang tahunmu, Yumi, ulang tahunmu yang keenam belas! Seharusnya kau menampakkan diri di hadapan aku dan teman-temanmu, bukannya menghilang seperti ini."
Lagi-lagi, Yumi menghela napas panjang. "Makanya, aku minta maaf. Oke?"
"Yah, kali ini kumaafkan," William kembali memancarkan senyum manisnya. "Hei, tempat ini ... aku nyaris tidak pernah berjalan-jalan ke pelosok taman Kadic! Akademi ini luas sekali!"
Pernyataannya disambut dengan cekikikan meledek. "Hei, kau sudah ada di sekolah ini sejak awal tahun ajaran, Will! Seharusnya kau tahu, kalau akademi ini memang luas."
"Iya, sih." Ia menatap pacarnya sejak enam bulan terakhir ini. "Tapi kalau aku berkunjung ke tempat ini kalau aku bosan, tidak apa-apa kan?"
Yumi terdiam, lama. William merasa canggung. "Hei, maaf kalau aku mengganggumu. Apa kau datang ke tempat ini ... karena ... aku?"
Ekspresi tak terbaca itu langsung digantikan dengan sebuah senyum manis dengan mata yang berbinar—mungkin memang tidak ada yang sadar kalau binar itu hanyalah buatan belaka, menggunakan dasar kenangan-kenangan membahagiakan yang sampai sekarang masih mampu membuatnya tersenyum senang. "Tidak, ada masalah lain. Yah, kadang aku memang pergi ke sini saat kita bertengkar, tapi tidak selalu. Intinya," ia menyilangkan kedua lengannya di depan dada, "ini tempat kesayanganku! Pohonku!"
Mereka berdua tertawa, dan saat tawa itu mereda, iris biru laut itu berubah menjadi lebih serius dan lebih romantis. "Selamat ulang tahun, Yumi."
William membungkuk sedikit dan memiringkan kepalanya, menyentuhkan bibirnya dengan bibir gadis itu dan merasakan kelembutannya. Tidak seperti pasangan-pasangan lain—bahkan dibandingkan dengan pacar-pacarnya yang sebelumnya—mereka jarang berciuman bibir seperti ini. Apalagi di tempat sehening ini. Pertama kalinya mereka berciuman adalah saat William menyatakan perasaannya pada Yumi, yang langsung diterima saat itu juga dan ditonton begitu banyak murid.
Rasanya manis. Yang ulang tahun siapa, yang bahagia siapa. Entah mengapa, pemuda itu jadi ingin tertawa sendiri mengingatnya.
Namun saat mereka saling menjauh untuk mengambil napas, pandangannya menangkap sebuah ukiran kecil tepat di batang pohon tempat ia menemukan Yumi, tepat di samping leher gadisnya yang agak bersandar ke pohon karena agak tertekan olehnya saat berciuman tadi. Dalam waktu sekejap mata, perasaan cemburu menyelimutinya.
Ulrich+Yumi.
.
.
"Ulrich itu siapa?"
Pasangan kekasih itu sudah berdiri agak saling menjauh. Yang ditanya hanya terdiam tanpa reaksi, sementara yang menanyakan masih terbakar api cemburu—atau malah amarah? William seharusnya sadar kalau kekasihnya adalah orang yang dalam sekali lirik langsung bisa menunjukkan bahwa ia memiliki masa lalu yang tidak mau diumbar, kemungkinan besar karena masa lalunya tidak membuatnya bahagia untuk membahasnya.
"Eh? Maksudmu—"
"YUMI!"
Teriakan itu memecah kecanggungan yang ada di antara mereka. Siapa lagi yang bisa berteriak seperti itu kalau bukan Odd Della Robbia yang juga ikut mencari salah satu sahabatnya? Jeremie Belpois dan Aelita Stones yang mengikutinya hanya bisa menghela napas panjang saat mereka tahu teriakan laki-laki pecinta ungu itu berhasil mengganggu kedekatan sepasang kekasih dan akhirnya berjalan mendekati Yumi.
"Kau ini pergi, mengapa tidak memberitahukan kami, sih?" Odd menyilangkan kedua lengannya di dada. "Kami mencarimu ke mana-mana, tahu! Dan kau juga, William," matanya menatap tajam dengan kepala yang menengadah sedikit, "kalau kau sudah menemukan Yumi, beri tahu kami secepatnya! Untung kita bertemu di sini."
"Iya, aku minta maaf, Odd," Yumi memasang wajah bersalah. William malah tidak peduli sama sekali dengan pertanyaan yang diajukan temannya barusan.
"Odd, Ulrich itu siapa?"
SHUU.
Hanya ada suara angin yang masih asyik menari bersama dedaunan dan bangau-bangau kertas yang tergantung di dahan-dahan pohon—William baru menyadari kehadiran mereka saat menjauh dari pacarnya dan memperhatikan baik-baik pohon berukiran nama seorang laki-laki yang tidak ia kenal dipasangkan dengan nama gadisnya.
"Ia sahabat kami juga," remaja berambut sewarna permen karet memecah keheningan. "Ulrich adalah bagian dari kelompok kecil kami sebelum kau datang ke Kadic, dan juga mantan teman sekamar Odd. Salah satu murid yang menjadi incaran banyak gadis di sekolah ini, dan juga kapten tim sepak bola sekolah." Melihat wajah kaget pemuda berambut biru tua di hadapannya, Aelita langsung menambahkan deskripsinya. "Tentu saja, saat ia masih menjadi kapten, prestasi tim sepak bola Kadic sangat bagus."
William mengerutkan kening. "Lalu, dia ke mana sekarang? Pindah sekolah?"
Jeremie menggelengkan kepalanya cepat. "Kata dokter, serangan jantung mendadak. Ia ... meninggal di tempat tidurnya di asrama, tepat setahun yang lalu. Masih memegang kotak kado untuk Yumi, dan isinya adalah pernyataan perasaan Ulrich untuknya."
"Dan itulah alasannya mengapa aku pindah ke kamar Jeremie," Odd ikut berbicara dengan nada sedih, "terlalu banyak kenangan di sana. Jadi jangan heran kalau di ulang tahun Yumi hari ini ... kami agak merasa sedih juga."
Perlahan, Jeremie menatap ke arah Yumi yang masih membeku, menatap kosong ke arah bangau-bangau kertas yang mulai memudar. Banyak di antara mereka yang sudah lapuk dan menghilang atau jatuh dan menjadi sampah. "Yumi, kau ... sering ke tempat ini?"
Gadis berkebangsaan Jepang itu hanya mengangguk singkat. Pertanyaan kembali dilanjutkan. "Lalu bangau-bangau kertas ini ... dan ukiran di pohon itu ..."
"Aku hanya tidak bisa mencoret tulisannya begitu saja," nada datar bergetar dari pita suaranya, berusaha menyembunyikan aura ratapan yang ingin memberontak menjadi air mata. "Bohong kalau aku berkata kalau aku tidak pernah mencintai Ulrich. Kalau memang kami tidak saling mencintai, bangau-bangau kertas itu tidak akan pernah ada di sana."
Giliran William yang membuka suara, diiringi dengan getar keraguan. "Apa kau ... masih memiliki perasaan untuknya? Jawab yang jujur saja."
Yumi sendiri balas menatap William dengan getir. Tangan kanannya menggenggam erat charm bracelet yang tidak pernah tidak melingkari pergelangan tangan kirinya, sepanjang pengetahuan pacarnya. "Aku minta maaf, William. Aku sudah mencintainya sejak kami pertama kali bertemu dua tahun lalu. Namun untuk berharap kepada seribu bangau kertas ternyata adalah hal bodoh." Ia kembali menatap ke arah ukiran di pohon. "Tuhan tidak mengabulkan permohonan kami berdua, padahal jumlahnya sudah genap seribu buah. Ia malah mengambil Ulrich dariku begitu saja."
Iris biru tua telah kehilangan sinar kebahagiaannya, digantikan oleh kekecewaan. "Mengapa kau tidak pernah menceritakannya?"
Manik itu kembali memandang ke arah tiga orang yang selalu bersama itu. "Mengapa kalian tidak pernah menceritakannya padaku?"
Jeremie hanya tersenyum getir. "Membicarakan Ulrich adalah masalah yang sangat sensitif, tahu. Kepergiannya telah membawa efek besar, terutama mungkin untuk tim sepak bola kita. Atau mungkin Sissi, yang dulu selalu mengejar Ulrich."
"Tapi tentu saja kami juga tahu," Aelita melanjutkannya, "kalau semua senyum yang Yumi buat adalah palsu. Aku tahu betapa mereka saling mencintai satu sama lain, namun tidak berani untuk menyatakan perasaannya masing-masing. Sampai sekarang, Yumi sering sekali memainkan charm bracelet yang selalu ia pakai itu, karena itu hadiah dari Ulrich tahun lalu."
"Mengapa bisa seperti itu?"
"Waktu masih awal-awal, keduanya sama-sama tidak berani menyatakan perasaan masing-masing. Tapi suatu hari, Yumi mengalami kecelakaan dan koma selama delapan bulan—makanya dia sampai sekarang masih kelas 10, bukan kelas 11 sepertimu. Mungkin saat itulah, Ulrich mulai membuat bangau-bangau kertasnya. Kami bahkan tidak pernah tahu kalau dia membuatnya."
"Lalu saat Yumi sadar, mengapa Ulrich tidak menyatakan perasaannya?"
"Masalah lain datang," Jeremie ganti menjelaskan. "Katakanlah, Ulrich sama sekali tidak mengingat siapa Yumi. Saat akhirnya ia jatuh cinta lagi pada Yumi, ia memutuskan untuk menyatakan perasaannya saat ingatannya sudah kembali. Ternyata, walaupun sudah ingat, dia malah tidak sempat untuk memberitahukan orangnya."
Perlahan, William agak merasa rendah diri. Ia bisa mengerti mengapa kekasihnya begitu kesulitan untuk mencintai orang lain. Namun andai saja Yumi mau bicara, mungkin ia tidak akan marah. Malah, ia akan membantunya untuk melupakan Ulrich.
"Aku mengerti sekarang," ia tersenyum kecil. "Yumi, aku—"
Sang gadis ulang tahun sudah pergi lagi, tanpa ada yang mengetahui persisnya kapan dan ke mana ia pergi.
.
.
A/N: Lemme shout this first. KYAAAAAAAA!
Akhirnya, setelah kurang lebih setahun sejak Burned Wings yang tidak dilanjutkan akibat keberadaan plot hole (masalah yang simpel dan nyesek dalam waktu bersamaan). Demi bangkit secara utuh dari keterpurukan, aku memutuskan untuk melakukan riset, survei, dan pematangan ide cerita (caelah bahasanya euy!). Jadi kali ini, aku perlu kasih tahu ke kalian kalau aku punya janji untuk menyelesaikan cerita ini, maksimal saat liburan akhir semester berakhir.
Yang sekarang aku minta dari kalian hanya saran. Pendapat. Review yang agak manisan dan bermutu sedikit, bukan cuma maksa update. Aku nggak butuh banyak review. Yang aku butuhkan adalah kata-kata bahwa adegan tertentu perlu dipertahankan atau ditingkatkan kualitasnya, itu cukup. Oke? Gimme a concrit please!
Dan seperti di warning, kujelaskan sedikit. Cerita ini akan beraliran fantasi, tepatnya terinspirasi dari Alice in Wonderland, dengan tokoh utama Yumi. Cuma agar lebih nyambung, prolog ini disediakan untuk mereka yang sudah membaca Euforia, Elegi, Memori, dan Bangau Kertas terlebih dahulu. Nah, sekarang, biarkan aku menulis dan membiarkan otakku berfantasi, oke?
See you in Chapter 01: Welcome to Mystery!
Dream out Loud! =)
P.S: EEMBK nggak masuk polling IFA 2012? Nggak masalah. Yang penting, Code Lyoko masuk ke Best Fandom Non-mainstream! Jangan lupa memilih di .nr, oke?