AUTUMN IN PARIS – KYUMIN VERSION

Cast :

Lee Sungmin as Sungmin Dupont / Lee Sungmin

Cho Kyuhyun as Kyuhyun

and Other Characters

Lee Sungmin adalah milik Cho Kyuhyun, dan Cho Kyuhyun adalah selingkuhan saya .. ^_^

Ini adalah FF Remake dari novel Tetralogi 4 Musim karya ILLANA TAN. ada sedikit Perubahan latar belakang untuk penyesuaian cast-nya.

sekali lagi, ini bukan karya asli author. saya cuma edit dan publish ulang. hehehe

smoga pada suka ya ? monggo silahkan dibaca .. mian kalo panjang ..

SUMMARY

Lee Sungmin menyukai Paris dan musim gugur. Ia mengira sudah memiliki segalanya dalam hidup, sampai ia bertemu Cho Kyuhyun yang susah ditebak dan selalu membangkitkan rasa penasarannya sejak awal.

Cho Kyuhyun benci Paris dan musim gugur. Ia datang ke Paris untuk mencari orang yang menghancurkan hidupnya. Namun ia tidak menduga akan terpesona pada Lee Sungmin, gadis yang cerewet tapi bisa menenangkan jiwa dan pikirannya, juga mengubah dunianya.

Sungmin maupun Kyuhyun sama sekali tidak menyadari benang yang menghubungkan mereka dengan masa lalu, adanya rahasia yang menghancurkan segala harapan, perasaan, dan keyakinan. Ketika kebenaran terungkap, tersingkap pula arti putus asa, arti tak berdaya. Kenyataan juga begitu menyakitkan hingga mendorong salah satu dari mereka ingin mengakhiri hidup.

Seandainya masih ada harapan - sekecil apapun - untuk mengubah kenyataan, ia bersedia menggantungkan seluruh hidupnya pada harapan itu.

Hingga akhirnya mereka berpisah dan Kyuhyun kembali lagi ke Korea untuk bisa menyembuhkan lukanya dan mencoba hidup normal tanpa Sungmin. Dan hingga akhirnya Sungmin menerima telepon kalau Kyuhyun dalam keadaan koma, semuanya terhempas dan meninggalkan luka yang semakin mendalam.

PROLOG

Jalanan sepi.

Langit gelap.

Angin musim gugur bertiup kencang.

Ia merapatkan jaket yang dikenakannya, namun tubuhnya tetap saja menggigil. Bukan karena angin, karena saat ini ia sama sekali tidak bisa merasakan apa pun. Sepertinya saraf-sarafnya sudah tidak berfungsi. Ia tidak bisa melihat, tidak bisa mendengar, tidak bisa bersuara, dan tidak bisa merasakan apa-apa.

Kecuali rasa sakit di hatinya. Ia bisa merasakan yang satu itu. Sakit sekali...

Butuh tenaga besar untuk menyeret kakinya dan maju selangkah. Sebelah tangannya terangkat ke dada, mencengkeram bagian depan jaket. Tangan yang lain terjulur ke depan dan mencengkeram pagar besi jembatan. Pagar besi itu seharusnya terasa dingin di tangannya yang telanjang, tapi nyatanya ia tidak merasakan apa pun walaupun ia mencengkeram pagar besi itu sampai buku-buku jarinya memutih.

Matanya menatap kosong ke bawah. Permukaan sungai terlihat tenang seperti kaca besar berwarna hitam yang memantulkan cahaya dari lampu-lampu di tepi jalan.

Air sungai itu pasti dingin sekali. Ia pasti akan mati kedinginan bila terjun ke sungai itu. Mati beku.

Ia hanya perlu membiarkan dirinya jatuh. Setelah itu seluruh tubuhnya akan membeku. Rasa sakit ini juga akan membeku. Ia tidak akan merasakannya lagi.

CHAPTER 1

Ruangan itu sudah sepi sejak satu jam yang lalu. Semua lampu sudah dimatikan, kecuali yang terdapat di sudut ruangan dekat jendela. Lampu di sana masih menyala karena masih ada seseorang di sana. Gadis yang menempati meja di dekat jendela itu sebenarnya tidak benar-benar membutuhkan penerangan karena ia tidak sedang bekerja.

Lee Sungmin duduk bersandar di kursi dengan kedua tangan dilipat di depan dada. Keningnya berkerut dan matanya menyipit menatap lekat-lekat ponsel yang tergeletak di meja kerjanya. Ia menggigit bibir dan tidak habis pikir kenapa ponsel imut dengan berbagai macam hiasan gantung itu tidak berdering, tidak berkelap-kelip, tidak bergetar, tidak melakukan apa pun!

Ia memutar kursi menghadap jendela besar dan memandang ke bawah, memerhatikan mobil-mobil yang berseliweran di jalan raya kota Paris dengan tatapan menerawang. Langit sudah gelap. Ia melirik jam tangan dan mendesah. Jam tujuh lewat. Dengan sekali sentakan ia memutar kembali kursinya menghadap meja kerja.

"Ke mana saja kau?" desis sungmin sambil mengetuk-ngetuk ponselnya dengan kukunya yang dicat pink.

"Kau bicara dengan ponsel?"

Sungmin mengangkat wajah dan menoleh. Élise Lavoie yang baru masuk ke ruangan tersenyum kepadanya. Élise manis yang berambut pirang emas sebahu, bermata hijau, dan berhidung berbintik-bintik itu berusia 29 tahun, beberapa tahun lebih tua daripada Sungmin, tapi secara fisik wanita itu tidak terlihat seperti wanita Eropa seusianya. Perawakannya kurus, kecil, dan dengan wajah seperti gadis remaja. Di satu sisi Élise menyukai kenyataan itu—siapa yang tidak suka punya wajah awet muda? Tapi di sisi lain ia dongkol setengah mati kalau ada orang yang menganggap remeh dirinya karena berpikir ia masih remaja ingusan.

"Sudah selesai siaran?" tanya Sungmin ringan sambil mencondongkan tubuh ke depan, menumpukan kedua siku di meja dan bertopang dagu.

Élise mengangguk dan berjalan ke meja kerjanya yang persis di depan meja Sungmin. "Bukankah kau sudah selesai siaran sejak...," ia melirik jam dinding, "satu setengah jam yang lalu?" tanya Élise dengan alis terangkat.

Sungmin mendesah. "Memang," jawabnya lemas. Ia menunduk dan menyandarkan kening di meja, lalu mendesah keras sekali lagi.

Mereka berdua sama-sama penyiar di salah satu stasiun radio paling populer di Paris. Élise lebih senior daripada Sungmin dan siaran utama yang ditanganinya adalah Je me souviens…, yaitu acara yang membacakan surat-surat dari para pendengar, semenSungmin Sungmin membawakan program lagu-lagu populer dan tangga lagu mingguan.

"Hei, kenapa lesu begitu?" tanya Élise sambil mengetuk-ngetuk pelan kepala Sungmin dengan bolpoin. "Bukankah biasanya kau paling suka hari Jumat?"

Sungmin mengangkat kepala dan tersenyum muram. Hari Jumat memang hari yang paling disukainya karena hari Jumat adalah awal akhir pekan yang ditunggu-tunggu. Tapi hari ini jadi pengecualian. Ia sedang tidak gembira atau bersemangat.

"Ooh... aku mengerti," kata Élise tiba-tiba dan tersenyum. "Belum menelepon rupanya."

Sungmin menggigit bibir dan mengangguk lemah. Ia kembali melirik ponselnya. Lalu seakan sudah membulatkan tekad, ia mendengus dan meraih ponsel itu. "Lupakan saja," katanya tegas, lebih kepada dirinya sendiri. Dengan gerakan acuh tak acuh ia melemparkan ponselnya ke dalam tas tangan dan berdiri dari kursi.

"Élise, ayo kita pulang sekarang," katanya. "Duduk mengasihani diri sendiri juga tidak ada gunanya."

Élise menatap temannya dengan bingung. "Yang mengasihani diri sendiri itu siapa?"

Lima belas menit kemudian, Sungmin dan Élise sudah berada dalam lift kaca yang membawa mereka turun ke lantai dasar. Sungmin berdiri membelakangi pintu lift dan menikmati pemandangan malam kota Paris yang terbentang di depan mata. Pada awal perceraian orangtuanya dua belas tahun lalu, ia tinggal bersama ibunya di Seoul. Empat tahun kemudian, ketika berumur enam belas, ia memutuskan pindah ke Paris dan tinggal bersama ayahnya. Sejak saat itu, Paris menjadi hidupnya.

Bunyi denting halus membuyarkan lamunan Sungmin. Mereka sudah tiba di lantai dasar. Sungmin keluar dari lift dan melambaikan tangan kepada temannya. Ia memarkir mobilnya di lapangan parkir di luar gedung sementara mobil Élise sendiri diparkir di basement. Sungmin tidak mendapat fasilitas parkir di basement karena ia tidak biasanya mengendarai mobil ke mana-mana. Ia lebih suka naik Metro, walaupun ia harus ekstra hati-hati terhadap tukang copet. Tetapi pagi ini hujan turun cukup lebat, jadi terpaksa ia naik mobil.

Sungmin menunggu sampai pintu lift menutup dan membalikkan badan. Ia baru saja akan melangkah ketika melihat seorang laki-laki berdiri di dekat meja resepsionis di lobi gedung. Langkah kakinya terhenti dan ia menahan napas, tapi hanya sesaat. Ia lalu memutuskan mengabaikan orang itu dan kembali melangkah.

Laki-laki itu melihat Sungmin berjalan terburu-buru ke arah pintu utama. Ia tersenyum dan melambai, tapi Sungmin mengabaikannya dan mempercepat langkah.

"Mademoiselle Lee."

Sungmin mendengar panggilan laki-laki itu, tapi pura-pura tidak mendengar. Ia keluar dari gedung dan melangkah cepat ke tempat mobilnya diparkir, berusaha keras mengabaikan bunyi langkah kaki yang menyusulnya. Angin musim gugur menerpa wajahnya dan Sungmin merapatkan jaket yang dikenakannya.

"Mademoiselle Lee, tunggu sebentar."

Ketika ia hampir sampai di tempat parkir Mercedes biru kecilnya, Sungmin mengeluarkan kunci mobil. Terdengar bunyi pip dua kali tanda pintu mobil sudah terbuka dan ia cepat-cepat masuk. Ia baru akan menutup pintu ketika gerakannya tertahan.

"Bisa tunggu sebentar, Mademoiselle?" tanya laki-laki itu sambil menahan pintu mobil. "Kenapa buru-buru?"

"Mau apa?" tanya Sungmin dengan nada sama sekali tidak ramah. Ia menatap lawan bicaranya dengan tatapan yang dia harap berkesan tajam dan menusuk.

Sungmin tidak pernah tertarik dengan pria Eropa pada umumnya, dengan rambut pirang, mata biru, dan kulit putih. Tidak, ia lebih memilih yang berkulit agak gelap dan rambut gelap, atau setidaknya cokelat. Tetapi anehnya ia menganggap laki-laki jangkung berambut pirang yang berdiri di sampingnya ini menarik.

Laki-laki itu terkekeh pelan dan menunduk. Rambutnya yang dipotong rapi jatuh menutupi dahinya. "Aku sedang bertanya-tanya apakah kau mau menemaniku makan malam."

Dasar laki-laki Prancis! Sungmin menggerutu dalam hati. Ia mendengus kesal dan melirik orang di sampingnya. Laki-laki itu sedang membetulkan letak kacamata yang bertengger di hidungnya dan seulas senyum penuh percaya diri tetap tersungging di bibirnya, seakan yakin Sungmin takkan menolak ajakannya. Dasar playboy!

Karena Sungmin tidak menjawab, pria itu menambahkan, "Aku yang traktir, tentu saja. Kau boleh memilih restaurannya."

Sungmin berusaha terlihat tidak peduli, tapi akhirnya ia tidak tahan lagi dan berseru, "Brengsek kau, Sebastien Giraudeau! Ke mana saja kau selama ini? Kenapa tidak meneleponku?"

Senyum Sebastien Giraudeau melebar, sama sekali tidak terpengaruh omelan Sungmin.

"Aku mau makan jajangmyeon!" kata Sungmin ketus. Ia bersedekap dan menatap lurus ke mata Sebastien.

Di Paris ini ada satu bistro kecil tidak terkenal yang menjadi kesukaan Sungmin karena mereka menyajikan masakan Korea, khususnya jajangmyeon kesukaannya. Bistro itu terletak di sebuah jalan kecil yang agak sepi dan lumayan jauh dari pusat kota. Tidak banyak orang yang tahu keberadaan bistro itu kecuali beberapa orang yang menjadi langgangan tetapnya, seperti Sungmin. Selain ibunya, satu-satunya yang dirindukan Sungmin dari Korea adalah makanannya. Bukannya Sungmin pemilih soal makanan, tapi kadang-kadang ia bosan dengan makanan Prancis dan Jajangmyeon yang sederhana itu bisa menjadi semacam kemewahan baginya.

Lain halnya dengan Sebastien. Laki-laki itu tidak terlalu suka Jajangmyeon atau masakan Korea. Singkatnya, ia tidak terlalu suka makanan lain selain makanan Eropa. Sewaktu membiarkan Sungmin memilih, ia tahu benar Sungmin akan memilih bistro ini karena gadis itu penggemar berat jajangmyeon. Tidak apa-apa. Kali ini Sebastien mengalah. Ia lebih suka melihat Lee Sungmin yang sibuk makan jajangmyeon dengan gembira daripada Sungmin yang pura-pura tidak mengenal dirinya. Karena itu Sebastien harus puas dengan kimchi yang dipesannya. Setidaknya makanan itu kelihatannya lumayan.

"Jadi," kata Sungmin dengan mulut yang masih agak penuh. Ia mengunyah sebentar, menelan, lalu melanjutkan, "Ke mana saja kau seminggu terakhir ini? Kalau kau masih ingat, waktu itu kau janji mau menjemputku di bandara. Kau tahu berapa lama aku menunggu? Kalau tidak bisa menjemput, kau kan bisa menelepon? Bukankah itu salah satu alasanmu membeli ponsel? Untuk menelepon?"

Sebastien tidak segera menjawab. Ia menahan senyum dan berusaha meyakinkan dirinya sendiri sekali lagi bahwa ia lebih suka Lee Sungmin yang cerewet daripada Sungmin Dupont yang pura-pura tidak mengenalnya.

"Aku tahu apa yang sedang kaupikirkan. Jangan coba-coba mengataiku cerewet," ancam Sungmin sambil meraih makan jajangmyeon nya dan menatap Sebastien dengan mata disipitkan.

Mereka berdua sudah berteman sejak Sungmin pindah ke Paris. Mereka bertemu untuk pertama kalinya ketika Sebastien diajak menghadiri pesta pembukaan restoran baru ayah Sungmin di Quartier Latin. Sebastien pernah mengaku pada Sungmin bahwa pada awalnya ia berpikir gadis itu anak angkat karena Sungmin berbeda sekali dengan ayahnya. Ayah Sungmin, Monsieur Dupont, adalah tipikal orang Eropa, jangkung, tampan, dengan rambut cokelat terang, hidung mancung, mata kelabu, dan kulit putih pucat, sedangkan putrinya, Lee Sungmin, memiliki ciri-ciri dominan orang Asia, dengan rambut hitam yang dipotong pendek dan kulit yang putih, tapi tidak pucat. Sebenarnya kalau diperhatikan dengan saksama, Sungmin juga memiliki mata kelabu dan hidung mancung seperti ayahnya. Begitu pula dengan tinggi badannya yang melebihi rata-rata tinggi badan orang Asia. Gabungan antara unsur Timur dan Barat membuat Lee Sungmin memiliki wajah yang unik, menarik, dan tidak mudah dilupakan.

Pada awalnya Sebastien tidak terlalu peduli pada Sungmin karena menganggap gadis itu hanya orang asing yang belum bisa berbahasa Prancis, tapi ia salah. Bahasa Prancis Sungmin tanpa cela dan Sebastien langsung kagum, apalagi setelah tahu selain bahasa Prancis dan Korea, gadis itu juga menguasai bahasa Inggris. Bahasa Inggris Sebastien yang orang Prancis buruk sekali, sampai-sampai dia malu pada gadis Asia ini. Sebastien kemudian menganggap Sungmin seperti adiknya sendiri dan mereka berdua sangat cocok. Mungkin karena mereka punya kesamaan nasib. Mereka berdua anak tunggal, orangtua mereka sudah bercerai walaupun masih berhubungan baik, dan mereka tinggal bersama ayah mereka.

"Halo? Kau mau mulai menjelaskan sekarang atau mau menunggu sampai salju turun?"

Sebastien mengangkat wajah dan mendapati Sungmin sedang menatapnya dengan alis terangkat.

"Baiklah, aku minta maaf," kata Sebasiten hati-hati dan menyunggingkan senyum seribu watt-nya. "Aku minta maaf karena tidak bisa menjemputmu di bandara. Aku juga minta maaf karena tidak menghubungimu."

"Kau ke mana saja seminggu terakhir ini?"

"Seoul."

Sungmin mengerjapkan mata. "Seoul? Korea?"

Sebastien mengangguk. "Waktu itu ayahku sedang ada di Seoul untuk urusan kerja. Hari Sabtu lalu, hari kau kembali ke Paris, aku mendapat telepon yang mengabarkan ayahku tiba-tiba jatuh pingsan di tengah rapat."

"Oh."

Sebastien mengangkat sebelah tangan. "Tidak usah cemas," selanya cepat ketika melihat raut wajah Sungmin berubah prihatin. "Ayahku hanya kelelahan dan jantungnya memang dari dulu sedikit bermasalah. Jadi aku harus langsung terbang ke Seoul untuk menggantikannya. Aku sudah pernah cerita tentang rencana pembangunan hotel di sini yang bekerja sama dengan Seoul, bukan?"

Sungmin mengangguk. Ia ingat Sebastien pernah menyebut-nyebut tentang proyek itu. Perusahaan arsitek ayah Sebastien akan bekerja sama dengan perusahaan Korea untuk membangun hotel di Paris. Sebastien adalah salah satu arsitek yang terlibat dalam proyek ini.

"Karena ayahku harus beristirahat beberapa hari di rumah sakit, aku yang harus melanjutkan pekerjaannya," Sebastien meneruskan. "Aku tidak punya banyak waktu luang untuk menelepon. Ditambah lagi perbedaan waktu yang besar antara Korea dan Prancis. Aku tidak bisa menemukan waktu yang cocok untuk menghubungimu."

"Di mana ayahmu sekarang?"

"Sudah sehat dan kembali bekerja seperti biasa," sahut Sebastian, lalu mengangkat bahu dan tersenyum lebar. "Ayahku itu tipe orang yang tidak bisa diam."

Sungmin mengangguk-angguk, lalu menunduk memandang makanannya. Ia agak menyesali sikap gegabahnya. Marah-marah sendiri sebelum tahu apa yang sebenarnya terjadi.

"Bagaimana kabar ibumu?" tanya Sebastien mengalihkan pembicaraan.

Sungmin mengangkat wajahnya. "Eomma? Seperti biasa. Masih sibuk mendesain perhiasan dan aksesori."

"Belum menikah lagi?"

Sungmin mengangkat bahu. "Belum. Sepertinya eommaku tidak berniat menikah lagi. Sama seperti Daddy, kurasa."

"Ada kabar baru apa lagi dari Korea?" tanya Sebastien. Ia memang tidak mengenal keluarga Sungmin yang ada di Korea, tapi ia suka mendengar gadis itu bercerita. Lee Sungmin memiliki suara yang jernih dan menyenangkan. Tidak heran ia dengan mudah diterima menjadi penyiar utama program radio populer di salah satu stasiun radio paling terkenal di Paris.

"Kabar baru apa ya?" gumam Sungmin sambil menekan-nekan bibirnya dengan ujung Sumpit. "Aku bertemu sepupuku."

"Sepupumu yang mana?"

"Yang tinggal di Jepang. Aku baru tahu ternyata pacarnya artis," sahut Sungmin, lalu mendadak mengalihkan pembicaraan, "Ngomong-ngomong soal pacar, bagaimana dengan Korea? Kau bertemu gadis Korea cantik di sana?"

Sebastien menjentikkan jarinya. "Ah, aku hampir lupa memberitahumu."

"Apa?" Sungmin mengerutkan kening dan langsung waswas. Tadi ia hanya sekadar bertanya, tidak sungguh-sungguh ingin mendengar kisah cinta Sebastien dengan gadis Korea atau gadis mana pun.

"Aku punya teman di Korea," Sebastien memulai. "Namanya Cho Kyuhyun."

Cho Kyuhyun. Hmm... Sepertinya bukan nama perempuan, pikir Sungmin.

"Dia juga arsitek dan dia akan bergabung dalam proyek pembangunan hotel ini. Arsitek Korea yang sebelumnya bertanggung jawab dalam proyek ini mendadak menarik diri dari pekerjaan ini. Karena itu perusahaan pihak Korea mengusulkan agar Kyuhyun yang menggantikannya.

"Tetapi ketika aku dan ayahku bermaksud menemuinya di Seoul, kami diberitahu dia sedang berada di Paris. Aku berhasil menghubunginya dan berjanji akan meneleponnya lagi kalau aku sudah kembali ke Paris.

Sungmin menunggu kelanjutannya. Ia masih belum mengerti arah pembicaraan Sebastien.

"Jadi tadi aku meneleponnya dan memintanya datang ke sini," kata Sebastien ringan.

Sungmin mengerutkan kening. "Ke sini? Maksudmu sekarang?"

Sebastien mengangguk. "Ya. Kau tidak keberatan, bukan? Kau pasti akan menyukainya. Dia orang yang menyenangkan."

Keberatan? Tentu saja Sungmin keberatan dan ia mengatakannya langsung kepada Sebastien. "Kenapa kau tidak menemuinya besok atau hari lain? Hari ini aku sedang tidak ingin berkenalan dengan orang asing."

Sebastien heran melihat Sungmin mendadak kesal. "Kyuhyun bisa berbahasa Prancis. Sangat lancar. Kau tidak usah cemas," tambahnya, salah mengerti alasan kekesalan Sungmin.

"Kau kira aku keberatan dengan orang yang tidak bisa berbahasa Prancis?" balas Sungmin jengkel. "Kau yang selalu merasa semua orang di dunia harus bisa berbahasa Prancis. Tapi masalahnya bukan itu. Aku hanya... Ah, sudahlah! Lupakan saja."

Sebastien memperbaiki letak kacamatanya dengan bingung.

Sungmin tahu Sebastien mengharapkan penjelasan. Sebenarnya Sungmin kesal karena Sebastien seenaknya saja mengajak temannya bergabung dengan mereka. Sudah lama ia tidak bertemu dengan Sebastien dan hari ini Sungmin ingin mengobrol berdua saja dengannya. Memangnya Sebastien tidak bisa menemui orang itu setelah makan malam? Memangnya Sebastien tidak mengerti perasaannya?

"Tapi kupikir..." Sebastien baru akan menjelaskan ketika ponselnya berbunyi. "Halo? Oh, Kyuhyun. Sudah sampai?"

Sebastien berpaling ke arah pintu dan Sungmin dengan enggan mengikuti arah pandangnya. Ia melihat seorang pria berwajah Asia memasuki bistro sepi itu sambil memandang ke sekeliling ruangan. Sebastien melambaikan tangan. Pria itu melihatnya dan tersenyum.

"Aku akan berkenalan dengannya, tapi aku tidak akan lama," kata Sungmin cepat. "Hari ini aku sedang tidak ingin berbasa-basi. Aku capek."

Sebastien tidak menjawab karena temannya sudah tiba di meja mereka.

"Sebastien, apa kabar? Senang bertemu lagi," sapa Kyuhyun gembira. Bahasa Prancis-nya lancar, tidak terdengar logat asing sedikit pun.

Sebastien berdiri, merangkul dan menepuk-nepuk punggung temannya. "Aku juga senang bertemu denganmu lagi."

Sungmin memerhatikan Cho Kyuhyun dengan cermat. Laki-laki itu masih muda, usianya pasti sebaya Sebastien, sekitar akhir dua puluhan. Bertubuh jangkung, setinggi Sebastien, dan sedikit lebih kurus daripada Sebastien. Rambut hitamnya agak panjang—belum termasuk gondrong, syukurlah, karena Sungmin benci laki-laki berambut gondrong—tapi sangat bergaya. Mungkin itu model yang sedang trendi di Korea. Cocok dengan bentuk wajahnya. Matanya kecil, hidungnya mancung, dan dagunya kecil. Secara keseluruhan Cho Kyuhyun memiliki wajah yang menyenangkan... dan menarik. Sungmin langsung memberi nilai tujuh setengah untuknya.

Namun ada sesuatu yang mengganggu...

Sungmin mengerutkan kening. Laki-laki bernama Cho Kyuhyun ini sepertinya tidak asing. Tidak, Sungmin yakin betul ia tidak pernah bertemu laki-laki itu sebelumnya, tetapi ada sesuatu yang terasa tidak asing dari diri Cho Kyuhyun.

"Kenalkan, ini temanku, Lee Sungmin."

Sungmin mengalihkan pandangan dan mendapati Sebastien sedang menatapnya.

"Sungmin, ini Cho Kyuhyun," Sebastien melanjutkan. "Teman baikku dari Korea."

TBC..

Chapter 1 has published .. *tebar koin*

Eotte ? mau dilanjut ?
Review Please .. :D Gomawo .. *Bow*