Hola Minna. Ada yang bosen ketemu fic baru (lagi-lagi) saya? Semoga nggak ya.
.
Fic Collab with Searaki Icchy.
.
DISCLAIMER : TITE KUBO
.
RATE : M For Safe
.
Warning : OOC (banget), AU, Gaje, Misstypo (Nongol mulu), Gak karuan, semoga gak ngebosenin ^_^
.
Attention : Fic ini hanyalah fiksi belaka. Apalagi terdapat kesamaan atau kemiripan situasi atau tokoh atau apapun itu dengan cerita lain dalam bentuk apapun itu, adalah tidak disengaja. hehehe
.
.
.
Only Time
.
.
Hanya waktu yang bisa menjawab semuanya
.
.
"Apa kau mendengar suaraku, Rukia?"
Gadis mungil itu tersenyum ketika suara lemah kakak perempuan yang merupakan satu-satunya keluarga yang dia punya terbaring lemah di sebuah ranjang putih di dalam suatu kamar rumah sakit. Ruangan sederhana yang selalu Rukia kunjungi selama masa persalinan kakaknya tengah berlangsung masih tetap sama seperti saat pertama kali dia menginjakkan kakinya.
Rukia mendekati ranjang tempat kakaknya, Hisana, terbaring. Memandang wajah yang sedang tersenyum pilu ketika matanya menangkap sosoknya yang berusaha untuk tersenyum.
"Bagaimana keadaan bayiku?" Hisana kembali bertanya.
"Sangat sehat. Kakak tak perlu khawatir," jawab Rukia berusaha menenangkan. Diremasnya pelan tangan Hisana, memberikan semua kehangatan kasih sayang miliknya. "Bagaimana keadaanmu?"
"Luar biasa," Hisana tersenyum, berusaha untuk tidak membuat adik kecilnya khawatir.
Rukia hanya membalas senyuman yang terlihat rapuh itu. Berusaha agar dirinya tidak menangis namun ia tak bisa menyembunyikan kesedihan yang terlihat jelas di wajah mungilnya.
Disinilah Hisana, terbaring lemah, tak tahu kapan waktunya hidup akan berhenti berdetak.
Disinilah Rukia, menunggu dan tetap menunggu, hanya bisa berharap lemah untuk kesembuhan kakaknya yang ia tahu hal itu tidak akan pernah terjadi.
Salju perlahan turun melewati kaca jendela, menarik perhatian Rukia untuk kembali mendekat ke arahnya. Serpihan putih itu mulai berjatuhan turun, seperti serpihan air mata yang membeku.
Hisana mengamati punggung adiknya, memahami dengan sangat jelas betapa kuatnya Rukia mencoba menghadapi ini. Hal itu membuatnya menyadari seberapa besar kasih sayangnya terhadap Rukia, dan bagaimana hal seperti ini membuatnya tidak nyaman membayangkan dirinya akan meninggalkan gadis itu seorang diri. Hisana meraih sebuah kotak terbungkus kertas kado berwarna ungu sesuai warna mata adiknya. Beberapa jam lagi hari akan berganti, hari kelahiran Rukia. Hisana tidak pernah melupakan hadiah untuk adiknya selama ini, sejak ia harus menggantikan figure seorang ibu untuk Rukia.
Saat ini, Hisana akan memberikan hadiah terakhir untuk adik kecilnya, satu-satunya keluarga yang mampu membuat bertahan dalam dunia fana ini.
"Rukia," dipanggilnya kembali Rukia. "Ada yang ingin kuberikan padamu."
Rukia mengamati sebuah kotak kecil yang terpajang indah di tangan ringkih Hisana. Dahinya mengernyit tidak mengerti kenapa di saat seperti ini Hisana malah memberinya hadiah. "Ini untuk apa, Kak?"
"Hadiah ulang tahunmu. Happy sweet seventeen." Hisana tersenyum.
Rukia tersentak, ia lupa bahwa besok sudah merupakan hari kelahirannya. Kalau saja dia tidak perlu mengkhawatirkan keadaan Kakaknya, mungkin Rukia dengan senang hati menanti hadiah apa kali ini yang Hisana berikan kepadanya.
Tapi, kesembuhan Hisana terlalu penting dibandingkan dengan sekotak hadiah. Kalau bisa Rukia ingin berharap hadiah yang diberikan Tuhan untuknya adalah sebuah keajaiban, kesembuhan Hisana.
Rukia meraih bungkusan berwarna ungu tersebut, membukanya secara hati-hati pita yang mengikat di tengahnya lalu membuka tutup kotak itu. Rukia melihat sebuah ponsel lipat dengan motif ungu muda dengan keypad berwarna putih yang kontras dengan warna sampul depannya.
Rukia menatap Hisana dengan pandangan bertanya. Hisana hanya bisa membalasnya dengan berkata. "Bukankah dulu kau selalu mengeluh karena tidak punya ponsel?"
"Aku tidak mengeluh, Kak," bantah Rukia tersipu. "Waktu itu aku hanya bilang ingin punya ponsel," ralatnya.
Hisana terkikik pelan. "Bukankah itu sama saja dengan mengeluh?"
"Tentu saja tidak sama, mengeluh jauh beda dengan berharap."
Rona wajah Hisana sedikit berubah, tertawa membuatnya menjadi lebih sehat, meskipun hal ini tidak bertahan lama, tapi setidaknya Hisana ingin menghabiskan waktunya dengan berbincang-bincang dengan Rukia. Dia ingin menikmati moment ini, berdua bersama adiknya, memberikan seluruh cintanya untuk Rukia.
Salju masih turun melintasi jendela kamar, menemani Rukia dan Hisana. Mereka mengobrol bersama, bersikap seakan-akan mereka masih akan tetap bersama seperti sedia kala. Setiap detik jarum jam yang berdenting sangat penting, Rukia tidak ingin menghabiskan tiap menitnya. Bersama dengan Hisana, dengan orang yang paling ia sayangi melebihi hidupnya, dengan Kakak yang selalu mengorbankan diri sendiri demi kebahagiaan dirinya.
"Mungkin egois bagiku jika memintamu hal ini, Rukia."
Rukia menggeleng. "Aku tidak mengganggapnya egois, Kak. Aku akan mengabulkannya jika hal itu membuatmu senang," ucapnya tulus.
"Terima kasih." Hisana tersenyum mendengar penyataan tulus itu. "Kalau begitu, maukah kau mendengarkan permintaanku ini, Rukia?" tanyanya.
"Tentu saja, apapun itu aku tidak akan pernah menolaknya."
Hisana menggenggam kedua tangan Rukia, meremasnya sedikit agar adiknya tidak kaget ketika mendengar permintaannya. "Jika waktuku tiba, aku ingin kau menjaga bayiku, merawatnya seperti anak kandungmu sendiri, memberinya kasih sayang yang sama seperti aku menyayangimu."
Rukia langsung menggeleng keras, dia tidak suka dengan awal kalimat yang Hisana katakan. "Jangan bicara seperti orang sekarat, Kak."
"Tapi, aku memang orang sekarat, kan?"
"Aku tahu, tapi aku tidak suka mendengarnya."
Hisana tersenyum samar. "Anggap dia seperti putri kandungmu sendiri, dia tidak perlu tahu siapa ibu kandungnya, cukup buat dia menjadi seseorang sepertimu."
Rukia kembali menggeleng. "Tidak, dia akan menjadi seorang pejuang tangguh sepertimu, Kak."
Hisana bahagia mendengarnya. Tentu saja dia ingin bayinya menjadi seseorang yang lebih baik daripada dirinya. Hisana ingin Rukia merawatnya, memberinya kasih sayang, memberinya perlindungan agar bayinya tidak perlu merasa kesusahan seperti dirinya dulu menghidupi Rukia. Memang hal ini permintaan yang sangat egois, apalagi Rukia baru saja menginjak usia 17 tahun, usia yang terbilang terlalu muda untuk menjadi seorang ibu.
Namun Hisana yakin Rukia akan menjadi ibu yang sangat baik bagi anaknya.
Tangannya ingin menyentuh wajah Rukia, membelainya untuk yang terakhir kalinya. Hisana akan merindukan sentuhan ini, dia akan merindukan suara Rukia, semuanya yang ada di dalam diri adiknya. "Kau akan mengabulkan permintaanku?"
Rukia meraih tangan itu, lebih menekan ke wajahnya. "Tentu saja, kak."
Hisana lega mendengarnya. "Apa kau sudah memikirkan nama untuknya? Aku ingin kau yang memberikan nama untuknya, Rukia."
Rukia teringat ketika dia berbicara berdua bersama Hisana tentang nama apa yang akan mereka berikan ketika mereka mempunyai anak. Obrolan itu terjadi beberapa bulan sebelum Hisana masuk rumah sakit. Mereka berbicara dengan penuh tawa, melontarkan beberapa nama konyol yang lucu, nama-nama unik yang mungkin tidak akan pernah terpikirkan oleh orang lain. Dan kala itu, Rukia teringat ada satu nama yang terpatri di hatinya ketika Hisana menyebutnya. Sebuah nama yang melambangkan sinar kemerahan mewakili semangat hidup mereka berdua.
Rukia tersenyum tulus, dia sudah memutuskan. "Akari," gumamnya pelan, mengejutkan kakaknya. "Dia akan menjadi cahaya kehidupan bagiku, dan juga untukmu, Kak."
"Akari, yah…" Hisana memejamkan kedua matanya sejenak, membayangkan bagaimana anaknya tumbuh besar menjadi seorang gadis manis. Dia bisa merasakan ketika Akari tumbuh besar, dengan wajah lugu khas miliknya, menunggu seseorang untuk menghampirinya. Tanpa sadar, ia menangis karena tahu Hisana tidak akan ada di sana ketika Akari tumbuh besar.
Rukia mengusap air mata yang perlahan mengalir dari pelipis mata Hisana. Gadis itu tidak mengucapkan apa-apa, tidak juga menangis. Rukia tidak akan menambahkan beban Hisana, meskipun saat ini hatinya ingin sekali menjerit, Rukia tidak akan menunjukkannya, tidak di depan Kakaknya.
"Terima kasih Rukia," Hisana mencoba tersenyum, mencoba menghilangkan sisa air mata. "Aku ingin istirahat sebentar. Apa kau mau mengecek keadaan bayiku?" pintanya.
Rukia tidak ingin meninggalkan Hisana walau hanya semenit. Karena ia tahu ia bisa saja kehilangan Hisana kapanpun Rukia mengalihkan pandangannya. Ada sesuatu dalam suara Hisana yang membuatnya enggan untuk pergi, dan Hisana memahaminya.
"Aku ingin tidur sebentar saja, mataku agak lelah karena menangis," jelasnya.
Rukia tidak mau pikiran buruk terus menguasainya. Dia tidak meninggalkan Hisana terlalu lama, Rukia masih akan bertemu dengannya lagi. Itu pasti.
Rukia beranjak dari kasur Hisana, "Aku akan membawa Akari kemari, istirahatlah."
Ketika Rukia beranjak untuk meraih gagang pintu kamar, langkahnya terhenti mendengar gumaman rendah Hisana. "Kau tahu bahwa aku selalu sayang padamu kan, Rukia?"
Akhirnya pertahanan diri Rukia runtuh, ia tak kuasa menahan air mata yang keluar dari bola matanya, mencemari sinar ungu yang berpendar. "Aku tahu…" tentu saja Rukia tahu, dia tidak akan hidup dalam kebahagiaan jika Hisana tidak menyayanginya sampai sekarang. Rukia tidak akan pernah menjadi Rukia yang sama jika saja Hisana tidak memberikannya kasih sayang secara utuh. "Aku juga sayang padamu…" tangisan Rukia semakin mengalir deras. "Selalu…"
Bibir Hisana menyunggingkan sebuah senyuman, nafasnya yang berhembus lemah perlahan menghilang dari celah hidungnya, perutnya kini sudah tidak naik-turun, jantungnya sudah tidak lagi berdetak. Dia telah pergi.
Rukia tak kuasa untuk tidak berbalik menuju Hisana, melihat kakaknya terbaring tenang di atas ranjang. Wajahnya tak lagi menapakkan ekspresi. Hisana hanya tidur dalam keabadian.
Rukia berusaha untuk tidak lagi menangis. Dia sudah mengantisipasi ketika saat ini terjadi. Dia tidak akan mengucapkan selamat tinggal kepada Kakaknya, seperti Hisana yang tak pernah mengucapkan selamat tinggal untuknya. Rukia percaya mereka akan bertemu lagi suatu saat nanti, dalam kehidupan mereka yang baru, di mana mereka berdua hidup bahagia.
"Aku akan menjaga Akari. Aku akan membahagiakannya, aku janji." Rukia mengatakan itu bukan hanya karena permintaan Hisana, Rukia melakukannya demi hidupnya yang masih berjalan. Karena kematian bukanlah akhir dari kehidupan, seperti pepatah lama yang pernah Hisana katakan kepadanya, "Ketika seseorang meninggalkan bumi, akan ada orang lain yang menggantikannya seperti bayi yang lahir dan menciptakan kehidupan baru."
Akari-lah sekarang kehidupannya, menggantikan Hisana. Dan Rukia-lah yang akan menjaganya. Dalam hatinya Rukia bertekad, ia akan memegang sumpah itu sampai mati.
.
*KIN*ICCHY*
.
5 tahun kemudian
.
Seorang gadis cilik berusia 5 tahun terlihat berlari menelurusi lorong apartemen yang berada di Karakura. Bocah mungil itu tertawa begitu senang karena dia tidak bisa dikejar oleh orang yang mengejarnya. "Kau tidak akan pernah bisa menangkapku, Rukia-chan~!" serunya senang. Suaranya bergema di seluruh penjuru ruangan.
"Hei, panggil aku dengan sebutan 'Ibu'!" seru Rukia—yang kini tumbuh menjadi wanita dewasa yang mandiri—tersengal-sengal.
Gadis kecil itu hanya tertawa kencang, masih sibuk berlari menjauh dari jangkauan Rukia. Rambut hitamnya bergelombang ketika berlari mengikuti arah, pipinya bulat menggemaskan. Dia senang menggoda Rukia dengan mengajaknya bermain kejar-kejaran dengan Rukia yang menjadi setannya. "Ayo, Ibu coba tangkap aku! Atau kalau tidak Ibu akan tetap jadi setannya!" serunya terkikik.
"Ayolah Akari! Berbaiklah sedikit denganku!" pinta Rukia kehabisan nafas. Sudah hampir setengah jam dia berlari mengejar gadis kecil itu, Akari, mengutuk pelan karena kaki kecil itu ternyata mempunyai kekuatan yang tak terduga.
"Akari, Ibu harus segera berangkat kerja." Rukia pun akhirnya menyerah. "Baiklah aku mengaku kalah! Kau memang lebih pandai berlari dari Ibu!" serunya setengah hati.
Tentu saja Rukia tidak pernah serius ketika melawan anak kesayangannya. Meski baru menginjak umur 5 tahun, Akari mempunyai harga diri terlalu tinggi untuk ukuran seorang bocah dan tidak terlalu suka menerima kekalahan. Pernah suatu hari, ketika mereka bermain tebak-tebakan, Rukia selalu menjawab pertanyaan Akari dengan tepat dan akhirnya Akari menangis tanpa henti karena tidak terima dirinya kalah. Sejak saat itu, Rukia harus selalu tidak terlalu terlihat kuat di depan putri mungilnya karena ia tidak ingin mendengar teriakan nyaring Akari seharian. Rukia sempat berpikir, kira-kira sifat tidak mau kalah Akari datang dari siapa? Dirinya atau Hisana?
Rukia menarik lengan baju, melihat jam tangan yang melingkar di lengan kirinya. Waktu sudah menunjukkan pukul satu siang, sudah waktunya dia untuk kembali ke tempat kerja. "Akari, Ibu harus berangkat kerja!" teriaknya memanggil. "Kemarilah dan beri Ibu ciuman, sayang!"
Akari muncul dari anak tangga, dengan cepat menghampiri Rukia. Rukia membungkuk untuk menerima ciuman selamat jalan dari Akari. "Hati-hati di jalan, Ibu~" ujarnya dengan suara cempreng khas miliknya. "Apa kau akan membelikanku Taiyaki saat pulang nanti?"
Rukia mengacak pelan rambut putrinya. "Ibu akan membelikannya jika hari ini kau bersikap baik bersama Shirayuki-baasan," ucapnya.
Akari mengangguk, lalu nyengir ala kuda. "Tentu saja! Aku janji akan jadi anak yang baik!"
Rukia menghela nafas lega. Bayi yang dulu ia rawat dengan penuh cinta dan kasih sayang kini telah tumbuh menjadi seorang gadis yang sangat cantik. Akari seperti jelmaan Hisana ketika muda, kemiripan itu semakin kontras saat warna matanya terlihat seperti warna mata Hisana. Sinar kelabu itu sangat mirip dengan almarhum Kakaknya, hanya saja Akari terlalu ceria dan bersemangat dibandingkan Hisana yang lebih keibuan.
Dicubitnya dengan gemas pipi Akari, "Jangan terlalu merepotkan bibi Shirayuki, yah Akari," pesannya sebelum ia berdiri dan bergegas untuk pergi. Akari melambaikan kedua tangannya mengiringi kepergian Rukia. Kantor tempatnya bekerja tidak jauh dari apartemennya,karena itu ketika istirahat siang hadir, Rukia lebih suka pulang ke rumah dan makan bersama Akari. Jika masih ada waktu Rukia akan bermain sebentar dengan gadis kecil itu.
Cuaca hari ini tidak terlalu dingin seperti biasa. Tak terasa sudah 5 tahun berlalu sejak kepergian Hisana. Hari ini, tanggal 13 januari, beberapa jam lagi merupakan waktu yang sama ketika Kakaknya menghembuskan nafas untuk yang terakhir kali. Hari yang selalu Rukia kenang sebagai awal kelahiran Akari. Awal kehidupan baru yang Rukia hadapi.
Meskipun Akari lahir tanggal 13, Rukia selalu menganggap bayi mungil itu lahir di hari yang sama dengan hari kelahirannya, 14 Januari. Karena ketika ia mendapatkan Akari, hanya terpaut beberapa menit sebelum hari kelahirannya. Sejak saat itu, Rukia selalu menganggap hari ulang tahun Akari sama seperti ulang tahunnya. Dia yakin Hisana tidak akan keberatan dengan keputusannya. Lagipula Rukia tidak ingin merayakan kebahagiaan di hari yang sama ketika Kakaknya menutup mata, rasanya tidak akan begitu nyaman untuk dirayakan.
Diraihnya sebuah ponsel ungu muda yang dulu Hisana berikan kepadanya. Rupanya sejak ia mempunyai ponsel untuk pertama kalinya 5 tahun lalu, Rukia tidak pernah menggantinya dengan yang baru. Ponsel berwarna violet itu tidak pernah lepas dari genggaman Rukia dan untungnya sampai sekarang tidak pernah ada kerusakan yang serius. Rukia tidak peduli meskipun tekhnologi kini semakin canggih dengan kehadiran ponsel-ponsel terbaru, dia tetap memilih ponsel kesayangannya. Rukia akan terus menggunakannya sampai ponsel itu berhenti menyala, karena baginya itu adalah merupakan benda penghubungnya dengan Hisana. Bahkan Rukia tidak pernah mengganti gambar depan ponselnya, sebuah foto dirinya dengan Hisana yang sedang tersenyum lucu di depan kamera. Ponsel inilah harta karunnya, lebih berharga daripada uang sekalipun. Ya, Rukia sudah memutuskannya.
Terlalu terlena oleh kenangan masa lalu, Rukia tidak menyadari seorang bocah menubruknya. Dengan sukses bokongnya mendarat di aspal, ponsel ungunya terjatuh tepat di samping tubuhnya. "Aduh…" rintihnya sambil menggosok bagian yang sakit.
"Maafkan aku!" seru bocah lelaki itu, usianya kira-kira lebih tua 5 tahun dari Akari.
Rukia langsung iba ketika mengira bocah itu membantunya berdiri. "Apa kau terluka?" tanyanya khawatir, namun bocah itu langsung lari tanpa menoleh ke belakang.
Butuh beberapa menit untuk Rukia ketika ia menyadari bahwa ponsel ungu yang jatuh karena tubrukan itu ternyata sudah berada di dalam genggaman bocah yang menubruknya. Tanpa hitungan menit, Rukia langsung melesat mengejar pencuri itu.
"Hei, tunggu dulu kau!" dengan sekuat tenaga Rukia berteriak meminta tolong kepada siapa saja yang mendengarkan teriakannya. Dia harus mendapatkan ponsel itu kembali. Tidak! Itu adalah hartanya yang paling berharga. Rukia bahkan rela jika harus menebusnya dengan uang yang lebih banyak dari harga ponsel itu sendiri jika itu bisa membuat ponselnya kembali ke tangannya.
Bocah kecil itu berlari seperti Akari, tidak, larinya bahkan jauh lebih cepat. Rukia sampai harus mengeluarkan tenaga ekstra agar bisa mengejarnya. Dia tidak akan menyerah demi mendapatkan miliknya kembali.
"Berhenti kau bocah!" teriaknya kembali melengking. Rukia tidak menyadari kalau bocah itu membawanya mengitari gang-gang kecil, berputar dan berbelok ke tempat terpencil yang Rukia tidak pernah tahu kalau tempat itu ada. Dia bahkan tidak peduli bahwa pengejarannya malah membawanya ke sebuah tempat yang tidak pernah didatangi oleh siapapun—kecuali penghuni daerah tersebut.
Rukia tahu tempat ini, itu menyadarkannya dari pengejaran bocah pencuri yang sudah melesat maju menghilang dari balik celah gang. Tentu saja dia tahu di mana dia sekarang, tempat ini sesuai dengan rumor yang sering ia dengar dari rekan kerjanya.
"Apa kau tahu? Di sebelah timur Karakura ada sebuah daerah yang katanya dihuni oleh orang-orang menengah bawah yang kebanyakan adalah komplotan penjahat. Para pencuri, penculik, atau pemerkosa yang sering meresahkan warga sekitar semuanya tinggal di daerah itu. Nama daerah itu…"
"Rukongai…" bisik Rukia lirih.
Terlalu fokus mengejar pencuri malah membawa menuju jurangnya sendiri. Tanpa sadar tubuh Rukia gemetar, ia tahu bagaimana reputasi daerah itu. Bahkan polisi pun enggan masuk kemari, sanggupkah Rukia memasukinya? Sanggupkah Rukia merelakan ponsel miliknya?
Tidak! Itu adalah pemberian Kakak! Ponsel itu lebih penting, jauh lebih penting! Batik Rukia berteriak, menyemangatkan dirinya sendiri bahwa ponsel itu sangat berarti untuknya. Rukia tidak akan takut hanya karena memasuki daerah berbahaya itu, dia bisa menjaga dirinya sendiri dari orang-orang jahat. Setelah mendapatkan kembali apa yang menjadi miliknya, Rukia akan keluar dari sana.
Rencana sudah disusun, Rukia pun melangkah maju dengan harapan. Yang sayangnya, harapan itu hanya bertahan kurang dari 5 menit. Baru saja Rukia melangkah masuk, dia sudah dicegat oleh dua pria yang menjulang tinggi di hadapannya.
"Siapa kau?" tanya salah satu pria dengan suara kasar, menciutkan keberanian Rukia. Pria tinggi itu berambut merah seperti nanas dengan tato yang melingkari hampir seluruh tubuhnya. Sorot mata pria itu mengancam sekaligus penasaran ketika memperhatikan Rukia dari ujung kaki hingga atas kepala.
Bibir Rukia tidak berani membuka karena disudutkan oleh dua pria jangkung yang tidak tahu sedang memikirkan apa untuk nasibnya. Dengan susah payah akhirnya ia menjawab. "A-aku hanya ingin mengambil kembali ponselku yang diambil oleh salah satu orang yang tinggal di sini," jelasnya.
Pria berambut merah itu melirik ke arah temannya yang masih memelototi Rukia. Pria berambut biru jabrik itu menggeram tak terima oleh pernyataan Rukia. "Jadi kau mau bilang kalau salah satu penduduk kami mengambil ponselmu?"
Rukia tidak akan bergeming hanya karena didesak seperti ini. Dia akan terus maju sampai miliknya kembali. "Aku tidak tahu bocah itu tinggal di sini atau tidak, tapi aku melihat dengan mata kepalaku sendiri kalau dia lari kemari," jelasnya.
"Kami tidak melihat siapapun yang masuk kemari," kata pria berambut merah. "Lebih baik kau segera keluar sebelum kau menyesal dengan apa yang akan kami lakukan padamu," ancamnya.
Rukia hampir bergidik mendengar ancaman yang kedengarannya tidak bercanda. Kalau saja ponsel itu bukan pemberian dari Hisana, dan bukan merupakan benda terakhir yang Hisana berikan padanya, mungkin Rukia akan dengan senang hati merelakannya.
Tapi, tidak! Rukia tidak akan menyerah begitu saja.
"Aku hanya ingin mencari orang yang mengambil ponselku. Setelah dia ditemukan aku akan dengan senang hati pergi dari tempat menyeramkan ini."
Jelas dua pria bertubuh tinggi kekar itu tak senang dengan penyataan Rukia. Namun, dalam diam mereka mengagumi bahwa ada seorang gadis mungil yang kekuatannya tidak sepadan dengan mereka berdua berani menentang mereka.
Mereka saling melirik satu sama lain, sepertinya mengirimkan telepati dengan lirikan mata, dan beberapa saat setelah itu tanpa basa-basi mereka mengangkat Rukia.
Kaget sekaligus takut dengan apa yang terjadi pada dirinya kemudian, Rukia pun meronta sekuat tenaga. "Hei, apa yang kalian lakukan? Lepaskan aku!"
Genggaman tangan kedua pria yang mengangkatnya mengencang. Pria berambut biru mendesis pelan. "Diam kalau masih mau selamat, perempuan!"
Rukia pun bungkam. Dia tidak pernah dibentak oleh seseorang seumur hidupnya. Jantungnya berdebar keras saat tidak tahu Rukia mau dibawa ke mana oleh dua pria itu. Mereka hanya berjalan lurus, tidak ada belok-belok ke jalan yang sempit, hanya lurus, mengikuti jalan panjang yang membentang menuju sebuah mansion besar yang tertutup rumah-rumah kumuh.
Rukia mengernyit heran, di dalam daerah yang terbilang sunyi dan dipadati oleh orang-orang bawah, bagaimana bisa sebuah mansion berdiri megah di sana? Tidak mau berpikir terlalu jauh sekaligus masih berharap bahwa ponselnya akan kembali, Rukia berdoa dalam hati semoga Tuhan masih mau melindunginya.
.
*KIN*ICCHY*
.
Mata Rukia melebar ketika mereka sampai di depan pintu gerbang. Mansion itu ternyata jauh lebih besar dan lebih indah dari yang Rukia bayangkan. Beberapa meter setelah ia memasuki sederetan rumah-rumah kumuh dan orang-orang yang terbilang sangat memprihatinkan, ia mendapati diri terpesona oleh keanggunan sebuah mansion megah yang berdiri di antara kerumunan rumah-rumah kumuh di daerah Rukongai.
Dahi Rukia kembali mengernyit. Kira-kira siapa yang menghuni mansion indah ini? Pikirannya terus melayang meninggalkan tubuhnya, bahkan tidak melawan saat kedua pemuda itu menggiringnya masuk melintasi taman-taman indah dengan campuran berbagai macam jenis bunga. Ada bunga daisy, bunga poppy, bunga mawar, bahkan sampai lily putih yang merupakan bunga kesukaan Rukia.
Setibanya di dalam mansion, Rukia lebih tercengang lagi. Mansion ini lebih pantas menjadi kediaman Kaisar dibandingkan kediaman para penjahat. Rukia disuguhkan sebuah bola lampu kristal yang tergantung di atasnya dengan langit-langit luas dengan ukiran gaya yunani kuno. Perabotan di sana pun tak kalah dengan barang-barang antik yang selalu ia lihat di museum Karakura. Tidak, Rukia yakin ia pernah melihat hampir semua barang-barang antik itu di museum!
Oh ya, aku kan sedang ada di rumah penjahat… batinnya mendesah. Sudah pasti itu barang curian. Kalau bukan, apa lagi yang bisa menjelaskan barang-barang itu berada di sini?
Rukia masih tidak diberikan kesempatan untuk berjalan sendiri. Dua pria itu masih mengangkatnya menuju lantai 2, mereka pun berbelok ke sisi kanan mansion, membuka sebuah pintu besar yang sepertinya merupakan sebuah ruang kerja.
Rukia harus menutup matanya karena dari pintu berkayu mahoni tersebut mengeluarkan sebuah cahaya yang menyilaukan. Begitu silaunya sampai wanita itu tidak berani membuka matanya.
"Siapa perempuan itu?"
Rukia mendengar suara asing. Yang pasti bukan dua pria yang mengangkatnya yang berbicara. Wanita itu berasumsi bahwa ada pria yang sedang berada di ruang tersebut.
"Dia orang Karakura," sahut suara pria berambut merah. "Sepertinya dia tidak mau pergi sebelum ponselnya ditemukan," sambungnya.
"Ponsel?" ulang pria itu, lalu ada jeda sebelum ia kembali berkata. "Mungkinkah ponsel yang baru kau berikan ini adalah milik perempuan itu?"
Rukia tidak tahu dengan siapa pria itu bertanya, tapi sepertinya ponsel yang pria itu maksud adalah ponsel miliknya. Semoga saja miliknya. Perlahan Rukia membuka kedua matanya, berusaha memfokuskan arah pandangan. Perlahan muncul sebuah gambar ruangan itu, cahaya sudah tidak lagi membutakan matanya.
Matanya menangkap seorang pria berambut sangat nyentrik, jauh lebih nyentrik dari cahaya yang tadi menyilaukannya. Pria itu duduk di kursi kerja, memunggungi Rukia dan kedua pria di sampingnya. Di samping pria yang sedang duduk itu ada seorang bocah laki-laki yang Rukia kenali sebagai pencuri ponselnya.
"Kau!" Rukia hampir saja berlari menghampiri bocah itu, ingin sekali memarahinya karena sudah melakukan perbuatan yang seharusnya tidak boleh bocah itu lakukan. Kalau saja kedua pria yang masih di sampingnya ini tidak menahannya…
Bocah itu terlihat ketakutan saat melihat Rukia, kaget karena perempuan itu berhasil menemukannya. Tindakan yang sangat nekat memang, namun Rukia tidak akan mundur begitu saja.
"Itu dia, Ichigo!" seru bocah itu sambil menunjuk Rukia. "Dia perempuan yang mengejarku!"
Apa-apaan? Kenapa Rukia merasa dirinya yang menjadi penjahat di sini?
Pria bernama Ichigo itu memutar kursi, kini Rukia bisa melihat sosoknya. Sial, pria itu sangat tampan (kalau saja bukan orang jahat, mungkin Rukia akan tertarik padanya), tubuhnya begitu bidang dengan setelan baju serba hitam. Warna matanya cokelat terang, sesuai dengan rambut orangenya. Sayang, pria itu memiliki kerutan permanen di dahinya.
Ichigo mengamati Rukia dari atas sampai bawah, persis seperti yang dilakukan kedua pria sebelumnya. Setelah puas mengamati, dia melirik ke pemuda berambut merah.
"Kenapa kau membawanya kemari, Renji?" tanya pria itu.
Renji—pria berambut merah—menjawab, "Seperti yang kubilang tadi, dia tidak akan mau keluar sebelum ponselnya kembali."
Ichigo kembali mengamati ponsel berwarna ungu muda itu di tangannya. Memperhatikannya dengan rinci, apa yang menyebabkan perempuan mungil itu sampai mau membahayakan nyawanya hanya demi seonggok ponsel tua ini?
Rukia tidak tahan untuk berada di sini lebih lama lagi, dia harus bisa mendapatkan kembali ponselnya. Setelah itu mungkin dia akan menghubungi polisi untuk memberikan keluhan tentang keamanan Karakura, mungkin saja mereka akan menangkap para penjahat yang berkeliaran di sini.
"Aku hanya ingin ponselku kembali," kata Rukia pelan.
Ichigo menatap lurus Rukia. Mencermati dengan lebih teliti. Pandangannya seakan menembus langsung, seperti menelanjangi tubuh Rukia yang terbalutkan kain. Pria itu mengamatinya seperti berusaha sedang membaca pikirannya saat ini.
Pria itu tersenyum. Tidak, dia menyeringai. "Untuk apa aku mengembalikan ponsel ini kepadamu, nona?" tanyanya dengan pandangan bingung, "Ponsel ini sudah berada di tanganku. Bukankah itu artinya ponsel ini sudah menjadi milikku?"
Rukia terkesiap. "Sejak kapan ponsel itu jadi milikmu, sialan!" makinya gusar.
Ichigo memuji keberanian Rukia. Wanita itu memakinya dengan penuh perasaan. "Sejak ponsel ini berada di tanganku, ponsel ini telah menjadi milikku. Seharusnya kau jaga bicaramu, perempuan."
Walaupun Rukia masih takut dan gemetar, tetapi ia masih akan terus memperjuangkan apa yang menjadi miliknya. Dia tahu tidak akan mudah membujuk penjahat untuk memberikan kembali ponselnya, dia harus bernegosiasi dengan pria itu.
"Aku akan membayar harga ponsel itu, kau boleh mengambil seluruh uangku, bahkan seluruh tabunganku kalau perlu, aku hanya ingin ponselku kembali," ujarnya lemah, nadanya penuh dengan permohonan. "Kumohon…"
Ichigo mengamati dengan lurus. Wanita ini begitu ngotot ponselnya kembali, membuatnya penasaran sebenarnya ada apa dengan ponsel ini sampai wanita itu rela memberikan seluruh uangnya.
"Memangnya apa makna ponsel ini untukmu, perempuan? Bukankah ponsel ini sudah terlalu tua dan sudah sangat ketinggalan jaman? Kau bisa membeli ponsel yang baru yang lebih canggih daripada ponsel butut ini," kata Ichigo.
Ichigo melihat sekilas cahaya redup yang terpancar di mata Rukia. "Ponsel itu adalah hadiah dari Kakakku sebelum dia meninggal. Ponsel itu adalah segalanya untukku," katanya sedih. Rukia sudah tidak peduli jika ia menangis di depan orang-orang tidak beradab ini.
Ichigo tidak membalas, ia hanya menoleh ke arah bocah, mengacak pelan rambutnya. "Apakah kau sudah minta maaf kepada Kakak ini sebelum kau mengambil ponselnya?" tanyanya lembut.
Bocah itu mengangguk singkat. Ichigo kembali mengacak rambutnya, "Sekarang pulanglah ke rumah, Ibumu pasti khawatir," katanya begitu perhatian, "dan jangan melakukan hal seperti ini lagi, mengerti?" perintahnya itu membuat Rukia heran.
Bocah itu mengangguk singkat, lalu menghilang ketika pintu tertutup. Ichigo pun kembali menatap ke depan, memberikan perintah yang sama untuk kedua pria di sisi Rukia. "Kalian boleh keluar, aku bisa mengurus sendiri perempuan ini."
Renji dan pria berambut biru itu mengangguk kemudian ikut menghilang. Suasana mendadak hening seperti kuburan. Dia lebih baik diapit oleh dua orang tadi daripada ditinggal berdua dengan pria ini. Pria bernama Ichigo ini memang tidak mengancamnya, namun tatapannya ketika menatap Rukia memberinya kesan bahwa pria itu sanggup memakannya jika Rukia melakukan tindakan yang tidak disukainya. Tanpa sadar sekujur badan Rukia kembali gemetar, ia harus bisa membujuk pria itu mengembalikan ponselnya lalu keluar dari tempat ini.
"Ngg…" sial! Suara Rukia tercekat di kerongkongan. "Bi-bisakah kau mengembalikan ponselku? Aku tahu kau tidak akan memberikannya dengan mudah. Aku akan membayarnya jika itu yang kau minta," ucapnya yang disusul oleh tawa mencibir dari Ichigo. Rukia merengut bingung, apa kata-katanya tadi terdengar lucu? "Apa yang kau tertawakan?"
"Rasanya uang saja tidak akan cukup untuk membayar ponsel tua ini," bibirnya kembali tersenyum sinis. "Ponsel ini sepertinya sangat penting bagimu, mungkin lebih berharga daripada nyawamu sendiri. Untuk itu, kau harus memberikan sesuatu yang lebih penting dari ponsel ini, itulah syaratku jika kau ingin ponselmu kembali."
Rukia hampir saja menganga. Pria ini ternyata adalah seorang penjahat yang sama sekali tidak mempunyai belas kasihan! Seringai yang muncul dari celah bibir tipis pria itu begitu menyebalkan, apalagi setelah tahu seberapa besar harga ponsel itu di mata Rukia. Berengsek!
"Apa yang kau mau dariku?" tanya Rukia ketus. Dia harus terlihat kuat.
"Hmmm, biarkan aku berpikir…" Ichigo mengetukkan jarinya di atas meja. Matanya berputar untuk berpikir. Dia tersenyum saat sudah menemukan apa yang ia inginkan.
Sepertinya bermain-main sebentar dengan wanita mungil itu bukan hal yang buruk. Ichigo berdiri menghampiri wanita bertubuh mini di depannya. Dia tertegun ketika melihat warna mata ungu Rukia dari dekat, ternyata lebih cantik dan lebih bercahaya jika dilihat dari jarak sedekat ini. Wajah mungil milik Rukia, rasanya mungkin menggiurkan ketika pria itu menyentuhnya.
Tanpa sadar tangan Ichigo terangkat, ingin membelai wajah manis itu. Membuat Rukia mundur beberapa langkah. "Apa yang kau lakukan?" tanya wanita itu bingung.
"Menyentuhmu," jawab Ichigo blak-blakan. "Tidak boleh?"
"Tidak."
"Ah, dingin sekali~" Ichigo mendengus. Tidak tertarik untuk bermain-main lebih jauh. Bukan kebiasaannya untuk menggoda wanita, dan seperti wanita itu sendiri juga tidak ingin bermain-main dengannya. Oke, saatnya untuk kembali ke topik utama. "Apa yang bisa kau berikan padaku untuk ponsel ini?"
Rukia berpikir sejenak. "Aku bisa membayarmu dengan uang. Berapa yang kau minta?"
"Kau punya berapa?"
Rukia kembali menghitung jumlah uang yang saat ini ia punya. Bulan ini pengeluarannya tidak terlalu besar jadi masih ada beberapa sisa uang yang Rukia simpan di tabungan. Sisa uang itu sebenarnya ingin Rukia pakai untuk merayakan hari ulang tahun Akari dan dirinya, namun karena ada kejadian tak terduga seperti ini, seperti Rukia harus menabung untuk perayaan tahun depan. Tapi Rukia tidak bodoh dengan memberikan semua uangnya, dia perlu berbohong.
"Aku hanya punya 100.000…"
Hening…
"100.000? Apakah aku terlihat mau hanya dengan uang 100.000?"
Rukia merengut. "Memangnya aku anak orang kaya?"
"Apa orang tuamu tidak memberimu uang?"
"Orang tuaku sudah meninggal!" lagi-lagi Rukia menyadari kilau mata Ichigo berubah. Apakah dengan menyinggung orang tuanya akan membuat lelaki itu berubah pikiran?
Sepertinya tidak, karena Ichigo hanya bergumam, "Aku sedang memeras orang susah," desahnya menggeleng.
Melihat pria itu lengah, inilah kesempatan Rukia untuk merebut ponselnya dari tangan pria itu. Dengan gesit wanita itu menyikut pinggang yang ramping itu. Ternyata tidak ada salahnya belajar belajar diri, setidaknya hal itu berguna seperti sekarang.
Tercengang kaget karena serangan tiba-tiba, Ichigo tersungkur sambil memegang pinggang yang baru saja Rukia sikut. Pria itu merintih pelan karena serangan Rukia benar-benar kena tulangnya. Sialan, dia mana sangka ternyata perempuan ini akan menyerangnya.
Pelajaran yang harus Ichigo ingat: Jangan pernah menganggap enteng wanita yang sedang nekat.
Bangga dengan dirinya yang sanggup menjatuhkan pria tinggi itu, Rukia langsung merebut paksa ponselnya dari tangan Ichigo. Tanpa basa-basi ia melesat keluar, hatinya mencelos girang karena mansion ini untungnya sedang tidak dijaga oleh satu orang pun. Mungkin saat siang hari daerah itu sepi. Ini harus dimanfaatkan oleh Rukia sebaik-baiknya.
Dan benar saja, setiap langkahnya berlari, tidak ada satu orangpun yang mengejarnya. Dia terbebas! "Terima kasih, para Dewa!" serunya girang, berlari sekencang-kencang, sejauh-jauhnya dari daerah terkutuk. "Aku tidak akan melangkahkan kakiku lagi ke sana! Tidak akan pernah!" Teriaknya bersumpah.
Rukia tidak akan pernah mau terlibat dengan daerah menyeramkan itu. Dia akan berusaha lebih berhati-hati menjaga ponselnya agar tidak terjatuh lagi di tangan yang salah.
.
*KIN*ICCHY*
.
Ichigo masih terbatuk-batuk berkat sikutan keras wanita mungil yang baru saja kabur dari tempatnya. Ini merupakan satu-satunya kejadian memalukan yang tidak akan pernah ia ceritakan kepada siapapun. Ichigo lebih baik babak belur dihajar ribuan orang daripada mengaku kalah oleh seorang wanita.
Rasa nyeri masih mengumpul di antara pinggangnya. "Sialan, dia menyikutnya keras sekali…" gumamnya kesal, dan semakin bertambah kesal karena perempuan itu juga berhasil merebut ponselnya. "Sialan!"
Terdengar suara pintu terbuka, menampakkan seorang pria berambut hitam, wajahnya begitu pucat, ia menatap Ichigo yang masih berlutut.
"Apa yang kau lakukan Ichigo?" tanya pria itu tenang.
"Aku dihajar seorang wanita…" Ichigo ingin merobek mulutnya sendiri karena dengan bodohnya menjawab dengan kebenaran yang memalukan.
"Wanita yang tadi dibawa Renji dan Grimmjow?"
"Ya." Ichigo mulai bangkit, rasa sakitnya mulai berkurang. "Sudahlah, lupakan perempuan itu. Toh, aku tidak akan ketemu lagi." Entah kenapa nada dalam suara itu terdengar kecewa.
Kenapa dia malah penasaran dengan wanita yang berhasil mengalahkan dirinya dengan cara memalukan itu? Benar-benar… menyebalkan!
.
*KIN*ICCHY*
.
TBC
.
Icchy Note : Secuil kata dari saya : Selamat ... (ini aku ga tahu km publishnya pagi, siang, malem, subuh, hahaha nanti tulis aja sesuai kapan kmu publish/update) semuanya . Singkat kata, tiba2 aku pengen buat fic dengan tema seperti ini, mungkin idenya pasaran, tapi yah, kayaknya seru kalau dijadikan sebuah fic... Anyway, aku ajak Kin untuk bikin fic ini menjadi sebuah fic collab (karena memang sudah niatku), dan kebetulan Kin menerima, jadi ya akhirnya kita sepakat untuk buat fic ini... Lastly, Fic ini Icchy dedikasikan buat RK-Hime, karena Icchy ga bisa lanjutin Fic For You Only... so, this fic is for you... Dan buat semuanya yg menunggu Fic Icchy, maaf karena Icchy udah hapus semua fic yg masih on-going di FFn, saya memutuskan untuk melanjutkannya di note FB... Enjoy this fic, oche~
Holaa minnaa ehehhe ini Kin...
hmm sebenernya saya mau publish ini sekalian ama fic saya, tapi ternyata saya gak dapet waktu yang tepat. mungkin baru malam ini atau besok saya bisa update sisa fic saya ehehehe...
yaph, memang sih agak borongan jadinya kalo saya ambil fic ini, tapi saya tertarik sama ceritanya eheheh jadi ya saya pengen banget bisa ikut bikin fic ini bareng senior yang udah lama di ffn eheheh... tapi yaa untuk chap pertama ini semuanya Icchy yang bikin eheheh
jadi, ada yang mau lanjutan? bolee review? eheheh...