A/N : yah akhirnya kuputuskan kalau aku membuat cerita baru... bukannya aku nggak mau melanjutkan cerita yang sebelumnya, tapi aku lagi bener-bener nggak ada ide... jadi mungkin akan hiatus... maaf... dan setting tempat ini di Inggris dan waktunya di abad pertengahan. selain itu mungkin aku mengupdate ini sebulan atau dua bulan sekali.
Warn
Gore, banyak pembunuhan, darah, kata-kata kasar dan lain-lain.
Rated
T
Genre
Suspense, crime, friendship, tragedy, adventure, angst dan romance.
Disclaimer
Aku nggak punya vocaloid
Info
"Abc" = percakapan
'Abc' = pikiran tokoh
Abc = flashback
Don't like? Don't read! Tombol back selau tersedia.
.
.
.
A Knight and a Prince
.
.
.
"Ah... ah hah hah" desah seorang gadis berambut pirang ke lelahan. Di tangan kanan gadis itu ada sebilah pedang yang bewarna merah. Namun dengan cepat luntur berkat hujan yang membasahi bumi pada saat itu.
Di depan gadis itu ada sesuatu yang berlumuran cairan hangat berwarna merah. Darah.
"Tuk"
"Bruk!" pedang yang di pegang gadis itu jatuh, begitu pula dengan gadis itu sendiri. Matanya yang semula berwarna merah, berangsur-angsur berubah warna menjadi biru gelap. Segelap malam yang hujan itu.
"Ah... hah... hah... uh... hiks... hiks... aku melakukannya... aku melakukannya... aku membunuhnya... aku membunuhnya... dengan ini aku bisa... bisa... bisa..." kata gadis itu terputus-putus dan berulang-ulang. Dengan perlahan gadis itu mengangkat mukanya, menghadap ke langit malam yang seolah-olah menangis bersamanya.
"Kenapa? Dengan... dengan ini aku bebas bukan? Tapi... tapi... kenapa aku menangis? Ukh... hiks hiks" kata gadis itu sambil terisak. Iapun menutup mukanya dengan ke dua tangannya yang basah akibat air hujan dan menangis dengan keras. Mengalahkan bunyi petir yang saat itu menyambar.
Hujanpun terus mengguyurnya dengan keras. Sementara itu air hujan juga menghapus beberapa percikan darah yang menempel di baju atau badan gadis itu. Pedang miliknya juga mulai memutih kembali.
Namun darah yang masih keluar dari tubuh yang sudah tak bernyawa itu justru makin banyak. Akibat air hujan itu, kini sekeliling tubuh gadis itu terbentuk aliran sungai kecil yang berwarna merah. Membuat gadis itu makin ketakutan dan menangis lebih keras lagi.
.
.
.
Sepuluh tahun kemudian
.
.
.
"Kau berhasil. Ini upahmu" kata seorang yang berpakaian mewah dengan senyum yang tak kunjung lepas dari mulutnya. Ia senang karena ia berhasil menyingkirkan orang yang menjadi penghalangnya. Berkat tangan seorang kesatria bayaran.
Sementara itu sang kesatria sendiri sedang membuka kantong yang berisi upahnya dan menghitungnya.
"Kurang... kau bilang upah yang kuterima adalah lima puluh keping emas. Tapi ini hanya dua puluh" kata kesatria itu datar. Seolah sudah tahu ini akan terjadi.
"Eh? Aku tak pernah berkata seperti itu! Penjaga! Habisi gadis keras kepala itu!" perintahnya pada para penjaga yang berbaju zirah. Dengan sigap merekapun menyerang kesatria yang ternyata seorang gadis itu dengan pedang dan tombak mereka.
Namun dengan sigap gadis itu mengambil pedang yang berukuran setengah badannya dari belakang punggungnya. Dan dengan sekali tebas gadis itu membuat para penjaga berbaju zirah itu terluka di bagian muka yang tidak tertutupi baju zirah itu.
"Aaaaaaaa!" teriak beberapa panjaga yang kesakitan.
"Sialan! Awas kamu! Heah!" seru seorang penjaga yang pipinya tertebas pedang gadis itu. Dengan emosi yang menggebu-gebu. Penjaga itu menyerang gadis itu tanpa berfikir panjang. Salah langkah.
Gadis itu justru tetap diam ditempat melihat penjaga itu berlari ke arahnya dan berniat menusuknya dengan tombak yang ia pegang. Namun ketika penjaga itu hendak menusuknya, dengan cepat gadis itu menghindar dan menebas ke dua mata penjaga.
Dalam beberapa detik penjaga itu berteriak kesakitan dan memegangi ke dua matanya yang kini sudah menjadi buta. Dan tidak lama kemudian teriakkan penjaga itu terhenti dengan adanya sebilah pedang yang menembus baju zirah di dada kirinya.
Merasa lawannya sudah mati. Gadis itu menarik pedangnya kembali dan berbalik. Bersamaan dengan ambruknya penjaga itu. Mata gadis itu yang semula berwarna biru gelap berubah warna menjadi merah darah. Dan iapun berkata.
"Nah siapa yang mau jadi mangsa ku berikutnya?"
Mendengar itu beberapa penjaga manjadi sedikit ketakutan dan melangkah mundur. Namun sepertinya ada seseorang yang tidak senang dengan hal itu dan berteriak.
"Dasar bodoh! Kalian ada berlima! Sedangkan dia hanya sendiri! Kalian pasti bisa mengalahkan gadis brengsek itu!" mendengar itu para penjaga yang semula ketakutan menjadi berani dan menyerang gadis itu bersama-sama.
Benar-benar salah langkah.
Dan dalam sekejap lantai mansion itu berwarna merah.
.
.
.
"Ah... maafkan aku... aku akan membayar sesuai janjiku" kata pria berpakaian mewah itu. Walau begitu pakaian yang ia pakai sudah tidak utuh lagi, ditambah di seluruh tubuh pria itu sudah berlumuran darah. Bukan hanya dari darahnya sendiri. Namun juga dari darah para penjaga yang sudah di habisi oleh gadis itu.
Namun gadis yang seluruh tubuhnya sudah terlumuri darah itu tidak menjawab. Ia seperti menikmati melihat pria yang tadinya sombong itu terduduk ketakutan dan kesakitan.
Sementara itu di pemandangan di belakang gadis itu sangat mengerikan. Dengan darah di lantai, tembok, bahkan hingga ke langit-langit mansion itu. Selain itu ada beberapa tubuh yang sudah tak bernyawa yang terpotong-potong dengan tragisnya.
Dari yang sudah tak punya kepala, salah satu kakinya dipotong, kedua lengan di tebas hingga habis, serta badan yang terpotong menjadi dua. Belum lagi beberapa organ dalam yang tanpa sengaja terinjak.
"... bagaimana kalau aku bilang aku sudah tidak membutuhkan sisa tiga puluh keping emas itu?" kata gadis itu menantang. Mendengar itu sang pria yang ketakutan itu menjadi semakin ketakutan.
"K-kau bisa ambil apa saja yang ada di mansion ini! Asal jangan ambil nyawaku!" seru pria itu memelas. Sosoknya sekarang sangatlah memalukan untuk seorang bangsawan. Namun pria itu tak peduli. Satu hal yang ia pedulikan saat itu adalah keselamatan jiwanya.
"... aku tetap tak mau, jadi aku ambil saja nyawamu sebagai bayaran" kata gadis itu dan disaat yang bersamaan sang pria bangsawan itu sudah tak lagi bernyawa. "Cih... kau takkan jadi seperti ini apa bila kau menepati janjimu sejak awal" desis gadis itu sebal, sembari menendang tubuh pria yang sudah meninggal itu.
Setelah puas melihat mayat pria tersebut, gadis itupun berbalik dan melangkahi mayat para penjaga dengan muka datar. Setelah mencapai pintu mansion itu, gadis itu mengambil jubahnya yang sempat ia tanggalkan.
Gadis itupun memakai jubahnya yang bewarna hitam itu, dan mengibaskan pedang panjang di tangan kanannya ke tanah. Setelah melihat sudah tak ada lagi darah yang menempel di pedangnya, gadis itupun memasukkan kembali pedangnya ke sarungnya yang kini tersembunyi oleh jubah hitamnya.
Iapun memakai tudung jubahnya dan membuka pintu mansion.
.
.
.
Beberapa hari kemudian
.
.
.
"Apa kau dengar? Si Butcher (1) hitam berulah kembali!" seru salah seorang pelayan kerajaan berambut hijau kebiruan.
"Benarkah? Kali ini siapa korbannya?" tanya temannya yang berambut merah ber-ahoge.
"Kali ini yang menjadi korban adalah bangsawan Arthur (2) ! Beserta para pengawalnya" serunya lagi.
"Apa? Bangsawan Arthur?" tanya teman merahnya tak percaya.
"Benar! Kudengar ketika di temukan, tubuh para pengawal dan bangsawan Arthur sudah tidak utuh lagi. Selain itu lalat yang..." penjelas pelayan berambut hijau kebiruan itu terhenti ketika seorang anak lelaki datang dan memarahi mereka.
"Hatsune! Furukawa! Jangan bergosip! Sebentar lagi raja mau mendiskusikan sesuatu di ruang rapat! Segera siapkan teh untuk para tamu dan raja!" seru anak laki-laki itu kesal. Mendengar itu pelayan yang bernama Hatsune dan Furukawa menundukkan kepalanya malu dan meminta maaf pelan.
Mendengar itu anak laki-laki hanya bisa mendesah dan pergi. Bagaimapun juga Hatsune dan Furukawa baru bekerja selama beberapa minggu di istana. Jadi masih belum bisa menyesuaikan diri di istana yang disiplin.
Setelah tidak terdengar lagi bunyi langkah kaki. Pelayan yang bernama Hatsune dan Furukawa mengangkat kembali kepalanya dan melihat kearah pemuda itu pergi dengan muka merah.
"Wah... seperti biasa pangeran Len selalu terlihat tampan dan gagah" kata Hatsune.
"Jangan lupa tegas" tambah Furukawa.
"Tapi walau begitu sayang sekali kalau pangeran sudah punya tunangan(3)" kata Hatsune lagi.
"I... jangan bilang kamu cemburu Miku!" seru Furukawa kaget.
"E-eh? Aku tidak cemburu! Lagi pula aku hanya pelayan dan hanya seorang wanita biasa!" seru Hatsune panik.
"Hayooo! Miku punya sedikit "rasa" sama pangeran Len! Mau dikemanakan pria biru itu?" tanya Furukawa.
"Aku tidak punya "rasa" sama pangeran! Dan namanya itu Kaito! Bukan pria biru!" seru Hatsune makin panik. Namun Furukawa jadi makin senang menggodanya.
.
.
.
"Semua sudah hadir?" tanya seorang pria berambut pirang terang serta biru terang pada para tamu.
"Sudah baginda Leon" jawab sang perdana menteri.
"Baiklah, semua pasti tahu kenapa aku memanggil kalian ke mari" kata sang raja, Leon.
"Ya, si Butcher hitam berulah kembali. Dan kali ini yang menjadi korban adalah bangsawan Arthur beserta para pengawalnya" jawab anaknya. Len. "Sayang sekali padahal tuan Arthur adalah penyuplai persenjataan yang bagus" tambahnya dan menghela nafas berat. Bagi kerajaan, kehilangan bangsawan Arthur bagai kehilangan senjata untuk perang. Walaupun ada penyuplai senjata lain selain bangsawan Arthur. Namun tak ada yang sebagus senjata yang disuplai olehnya.
Mendengar itu raja Leon hanya bisa menghela nafas juga.
"Bagaimanapun juga kita harus menangkap si Butcher hitam! Ini sudah yang kesepuluh kali! Selain itu juga pembunuhan juga jadi sering terjadi di desa!" seru salah seorang menteri berambut merah tegas.
"Walau ada beberapa saksi yang melihat sesosok manusia berjubah hitam yang keluar dengan berlumuran darah keluar dari mansion para bangsawan yang di bunuh, kita tidak dapat memastikan kalau itu adalah orang yang sama. Jadi untuk sementara kita harus tenang Ted" balas menteri lainnya yang berambut sama dengannya namun berbeda jender itu.
"Memang benar kata tuan Ted dan nona Teto, kita harus menangkapnya, namun kita juga harus tenang menghadapi si Butcher hitam itu" kata raja Leon membenarkan kedua menterinya yang bersaudara itu.
"Walau begitu, ayah. Aku berfikir... bagaimana... bagaimana kalau kita mengajak si Butcher hitam itu menjadi kawan kita?" usul Len sedikit ragu dengan yang diucapkannya. Dan benar saja, Len mendapat pandangan aneh dari seluruh menteri dan para pengawal yang ada di ruangan itu.
"Apa maksudmu?" tanya seorang pengawal perempuan yang berbaju zirah lengkap pada Len.
"Yah... kalian semua tahu kalau aku juga datang ke tempat "penjanggalan" itu. Dari caranya membunuh, hampir semuanya dengan cara memotong-motong tubuh lawannya. Selain itu hasil dari pemotongan tubuh itu juga "halus", selain itu baju zirah yang di pakai para pengawal juga terpotong. Padahal kita tahu baju zirah yang dipakai para pengawal bangsawan berkualitas bagus. Jadi, menurutku yang membunuh mereka adalah orang yang sama dan tentu saja pedang yang dipakainya sangat tajam" kata Len sambil menghembuskan nafasnya panjang. Dan melanjutkan penjelasannya tadi.
"Dan lagi beberapa tombak dan pedang yang mereka gunakan juga ikut terpotong" tambah Len dan menyelesaikan penjelasannya yang panjang tadi.
"Lalu? Kenapa pangeran ingin si Butcher hitam menjadi kawan?" tanya pengawal berbaju zirah lengkap itu lagi.
"Nona Meiko, aku berfikir jika si Butcher hitam itu punya kemampuan yang sama dengan sepuluh prajurit tingkat atas, maka aku tak mau menyianyiakan bakatnya itu. Apa lagi kalau dia bisa melatih beberapa pengawal kita. Dapat dipastikan kita dapat memenangi setiap perang yang ada" jelas Len lagi.
"... wah wah bagus juga pemikiran mu Len, namun walau begitu kita tetap harus waspada. Kalau-kalau dia itu sebenarnya penyusup dari kerajaan seberang" kata raja Leon. Memang benar, pada saat itu kerajaan miliknya sedang perang dingin dengan kerajaan lain yang letaknya hanya di seberang lautan.
Tinggal menunggu waktu saja sebelum perang akan benar-benar terjadi. Mendengar itu Lenpun berpangku tangan.
"Memang benar kata ayah, namun... aku punya perasaan kalau sebenarnya si Butcher hitam itu sebetulnya hanya kesepian" kata Len sedikit mendesah. Terbayangkan olehnya sosok belakang si Butcher hitam yang tertutupi oleh jubah hitamnya.
"Ahahaha! Jangan bercanda! Pangeran, aku tahu kalau tiga tahun lagi kau akan naik tahta, namun apa kau lupa? Si Butcher hitam juga membunuh beberapa warga kita?" tanya seseorang yang sedari tadi diam.
"Aku tahu... namun setelah kuselidiki ternyata warga yang ia bunuh itu adalah para perampok dan pencuri. Jadi selama ini ia tidak membunuh warga yang tidak berdosa. Mungkin ia membunuh para perompak dan pencuri itu untuk pertahanan diri" jelas Len lagi.
"Lalu? Bagaimana dengan para bangsawan yang ia bunuh itu?" tanyanya lagi.
"Tuan Kamui, aku tahu kalau kau kesal. Namun sepertinya ia punya motif tersendiri. Selain itu juga, ini juga bukan pembunuhan yang di karenakan dendam dengan para bangsawan" kata Len sedikit capek menjawab pertanyaan.
"Oh ya? Lalu dengan motif apa?" tanya Kamui lagi dengan nada menantang.
"Entah sepertinya si Butcher hitam itu di panggil oleh para bangsawan itu. Buktinya beberapa jam sebelum kita menemukan jasad tuan Arthur. Kita juga mendapatkan kabar kalau ada bangsawan lain yang juga meninggal" jawab Len pelan.
"Jadi... ada kemungkinan kalau si Butcher hitam itu adalah seorang pembunuh bayaran?" tanya Ted yang sedari tadi diam. Mendengar itu Len hanya bisa mengangguk.
"Memang benar, kemungkinan itu juga ada. Selanjutnya aku mau nona Meiko memperketat penjagaan dan tangkap orang yang kemungkinan punya ciri-ciri yang sama dengan apa yang para saksi lihat, namun kalau bisa jangan di bunuh" perintah raja Leon. Mendengar itu Meiko hanya mengangguk paham.
"Dan Len entah bagaimana kamu bisa berfikir seperti itu. Namun hal itu patut di pertimbangkan. Pertemuan ini kita akhiri di sini!" ucap raja Leon tegas. Dan bersamaan itu pula, para menteri dan para pengawal membubarkan diri. Terkecuali Len yang masih berfikir tentang si Butcher hitam itu.
.
.
.
Sementara itu di sebuah kaki gunung yang berkabut. Terlihat sesosok gadis berambut pirang pendek sedang berdiri di depan sebuah rumah yang terlihat sangat rapuh. Dan sewaktu-waktu mampu ambruk bila diterpa angin kencang.
Gadis itupun menaruh sebuah kantong ke depan pintu rumah yang sudah rapuh itu. Dan mengetuk pelan pintu rumah itu.
"S-sebentar!" jawab pemilik rumah itu. Tak menyangka kalau akan ada tamu di pagi hari itu. Dengan cepat gadis itu memakai tudungnya dan sedikit berlari kecil ke arah kuda hitamnya yang berdiri dengan tegap. Sudah siap untuk berlari sewaktu-waktu. Dengan cepat gadis itu menaiki kuda hitamnya dan berkata.
"Ayo Josephine" dengan cepat kuda hitam itu berlari kedepan meninggalkan kantong itu beserta pemilik rumah yang barusaja membuka pintunya. Pemilik rumah itu terlihat sedikit kesal karena merasa ditipu oleh orang tak dikenal.
Namun ketika pemilik rumah itu hendak menutup pintu rumah. Manik matanya melihat sebuah kantung yang tertinggal atau sengaja ditinggal. Karena penasaran. Pemilik rumah itu mengambil kantung itu dan membukanya.
Dalam beberapa menit pemilik rumah itu tak bisa berkutik melihat isi kantung itu yang ternyata adalah dua puluh keping emas. Namun setelah sadar iapun berteriak kesenangan.
"Anak-anak! Kita bisa makan dan memperbaiki rumah kita!" serunya kegirangan. Mendengar itu anak pemilik rumah itu langsung berlarian menuju arah suara yang tidak lain adalah ibunya. "Nak! Dengan ini kita dapat membangun sebuah toko milik kita sendiri!" serunya lagi sembari memperlihatkan isi kantong pada anak-anaknya.
Melihat itu anak pemilik rumah itu menjadi bingung namun dengan cepat berganti dengan seruan kebahagian. Hari itu keluarga kecil itu hanya bisa bersorak bahagia dan tentu saja berterima kasih pada orang tak dikenal itu.
Sementara itu, orang tak di kenal itu, memperhatikan keluarga kecil itu dari bukit yang tak begitu jauh dari tempatnya itu. Namun tak ada senyum di mukanya. Ia hanya merasa puas membuat sebuah keluarga berbahagia.
"Ayo Jo" katanya sambil menarik kekang kudanya kekanan dan pergi, meninggalkan keluarga yang berbahagia itu.
.
.
.
Bersambung
.
.
.
A/n : gaje? Menakutkan? Banyak darah? Review please... oya omong-omong anggap saja satu keping emas sama saja sepuluh juta rupiah.
.
.
.
(1) Sebutan untuk gadis pirang itu, butcher artinya penjagal.
(2) Bangsawan Arthur bukan vocaloid. Cuma asal saja aku ngambil namanya.
(3) Di Inggris dulu para bangsawan biasa menunangkan anaknya di umur yang sangat muda. Bahkan ada yang sudah bertunangan di umur lima (laki-laki) dan tiga (perempuan) tahun.