"Aku bersedia memberikanmu apa saja agar kau percaya padaku."

"Benarkah? Kalau begitu—berikan kedua matamu."

:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:

NUN

:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:

Pair : MinMin (Shim Changmin DBSK x Lee Sungmin 'Super Junior')

Rate : T

Summary : Kekonyolan-demi kekonyolan yang terjadi dalam kehidupan Changmin, akankah membantunya ketika bertemu dengan seorang yeoja cantik. Lee Sungmin

Warning :Gender Switch (GS), typo(s), etc

Don't like don't read

No bash

:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:

:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:

.

...

CHAPTER 3

...

"Ohoookk... ohook! Yakh! Uuhuk! Uhuk! Shim... uhuk! Shim Changmin... lepaskan! Uhuk uhuk... uhukk!"

"Shim Changmin! Lepaskan dia! Ishh... kau gila. Yah! Lepaskan cepat!"

Akhirnya setelah Yunho dan Jaejoong datang, pergulatan yang hampir merebut nyawa seseorang siang itu di dalam kantin universitas bisa dihentikan. Changmin—sebagai tersangka—dan Junsu—sebagai korban—mereka berdua hanya bisa terduduk lemas. Yang satu menarik-ulur napasnya cepat dan terengah, sedang yang lain masih saja bernafsu untuk mencekik. Kedua wajah mereka memerah seperti kepiting rebus.

Sementara itu kerumunan yang beberapa waktu lalu sempat tercipta menghilang sedikit demi sedikit. Semua orang mundur tanpa sempat bertanya 'ada apa?' karena kini Jaejoong memasang wajah super garang kepada siapapun yang masih berani berdiri di dekat mereka dan berniat untuk tahu lebih jauh.

"Hentikan, boo~ kau menakuti banyak orang." Yunho berkata teramat lembut. Jangan tanya kenapa, tentu saja karena pria itu juga tak ingin mendapatkan tatapan 'kematian' sang kekasih.

"Biar saja. Memang itu tujuanku." Hardiknya sinis. "Dan kalian berdua—issh apa yang kalian lakukan tengah hari begini, hah?! Ingin membuat adegan film hantu?!" Suaranya tetap saja tinggi walaupun Yunho dengan setia mengusap lengannya berulang kali—bermaksud menenangkan, yang sepertinya hanya sebuah pekerjaan sia-sia.

"Bukan aku yang memulai. Kau lihat sendiri siapa yang jadi korban di sini." Junsu tak kalah kesal, kini ia hanya sedang membela diri.

"Kau—" Plak! Plakk! Plakkk! Jaejoong melancarkan serangan 'tapak mautnya' kepada Changmin yang tadi masih saja tidak merespon.

"Ah, Noona! Sakit! Apa yang kau lakukan?" Changmin mengelus punggungnya yang nyeri akibat pukulan tangan wanita berdarah dingin di sebelahnya.

"Aku tanya apa yang kau lakukan tadi? Ingin membunuh seniormu sendiri?" Kedua mata Jaejoong yang bulat mendadak menjadi semakin besar diameternya.

"Aku memang akan membunuhnya. Orang ini—dia merusak semua. Noona, kau tahu? Sekarang Lee Sungmin seperti tak ingin mengenalku lagi. Aku sudah kehilangan dia."

"Cih, apa kau dicampakkan di pinggir jalan?" Junsu bermaksud menyindir, tapi...

"Tidak hanya itu, dia bahkan memanggilku Changmin ssi!"

Ketiganya—Yunho, Jaejoong, dan Junsu—terdiam. Mencerna setiap kata yang keluar dari mulut pemuda paling tinggi di antara mereka itu. Tidak biasanya Changmin berkata dengan penuh emosi seperti saat ini. dia pemuda yang cukup 'datar' akan apapun. Walaupun memang tak jarang juga bertingkah kelewat batas. Tapi percayalah, hari ini Changmin terlihat amat sangat normal. Kali ini dia... marah? Tidak, Changmin lebih terlihat seperti sedang sedih. Itu yang mereka tangkap.

"Hyung... aku sudah menyakitinya. Apa yang harus kulakukan sekarang?" Suara Changmin melemah. Ia kembali duduk dan berusaha mengatur napas yang memburu.

Yunho melepaskan lengan Jaejoong, membiarkan kekasihnya mendekati sang magnae.

"Changmin-ah, sebenarnya apa yang terjadi?" Sangat berbeda dari beberapa menit lalu. Kini Jaejoong benar-benar terdengar seperti... seorang wanita. Ia menyentuh pundak Changmin dengan lembut.

Kini aura memelas menguak dari diri seorang Shim Changmin, "Dia... benar-benar seorang malaikat. Dia bahkan... sama sekali tidak menangis, berteriak memaki, ataupun memukulku. Demi Tuhan... aku bahkan berharap saat itu dia akan berbalik, memungut sebuah batu besar, dan melemparkannya tepat mengenai kepalaku. Noona... apa yang seperti itu bisa disebut manusia? Apakah Lee Sungmin benar-benar makhluk yang sama sepertimu? Seperti kita? Manusia tidak akan bersikap seperti itu jika terluka. Manusia akan memukul, mengumpat, bahkan membalas jika dirinya disakiti. Aku benar, kan?"

Wanita itu tak tahu lagi apa yang harus dikatakan. Changmin terus saja mengoceh tentang detil-detil dan perbedaan antara manusia dan malaikat. Pemuda itu memang gila, namun hari ini Jaejoong melihat sesuatu yang berbeda dari biasanya dalam manik hitam Changmin. Entah apa... tapi seperti sebuah... kerinduan.

"Kau belum menemuinya lagi setelah itu, kan?" Kini Junsu yang berucap, wajahnya sudah tidak begitu memerah lagi. Berangsur normal. Ada rasa bersalah dalam nada pertanyaannya. Sepertinya kesalahpahaman memang terjadi saat ia tak sengaja kelepasan. Junsu memang sudah menduganya, bahwa wanita yang datang bersama Changmin tidak bodoh. Wanita itu hanya tidak bisa melihat. Hal itulah yang membuat dirinya terpancing mengatakan hal-hal yang sebenarnya sudah bisa menjadi suatu tanda tanya besar. Terlebih, mereka berdua baru saja saling mengenal.

Changmin menggeleng. "Aku tidak berani~" ucapnya lirih.

"Pergilah. Temui dia dan jelaskan semuanya. Kau tidak bisa membuat dirimu sendiri menjadi tidak jelas seperti ini." Jemari Jaejoong kini membelai kepala Changmin. Benar-benar seperti perlakuan seorang kakak perempuan.

"Bagaimana jika dia tidak mau bertemu denganku?" rengeknya.

"Bodoh. Kau ini laki-laki. Tidak pantas berkata seperti itu." Yunho menyambar yang langsung mendapatkan cubitan telak di di pahanya. Junsu mengulum senyum melihat penderitaan tersebut.

'Aiisshh... baiklah, aku diam saja.' rutuk Yunho dalam hati.

"Beri dia waktu. Tapi jangan terlalu lama. Walau bagaimanapun, kau harus tetap menjelaskan semua kesalahpahaman ini. Kulihat Lee Sungmin wanita yang sangat baik, dan aku percaya padamu. Ini hanya masalah waktu yang tidak tepat. Pertemuanmu dengannya, dan permainan bodoh kalian. Seharusnya tidak terjadi bersamaan. Aku juga wanita, jadi paham apa yang Sungmin rasakan saat ini."

Changmin hanya diam mencerna perkataan satu-satunya wanita di antara mereka ini. dia benar-benar bersyukur bahwa Jaejoong adalah kaum hawa. Setidaknya ia sangat tahu bagaimana cara 'mereka'—perempuan—bersikap.

Pemuda itu kemudian mengangguk. "Aku akan menemuinya."

"Changmin-ah..." Jaejoong kembali bersuara.

"Hmm?"

"Aku sudah menyukainya sejak saat itu. Jadi jangan lepaskan dia. Berjanjilah padaku."

Pada akhirnya siang itu kembali damai, dan senyuman terkembang menghiasi wajah Changmin.

:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:

Keberanian Changmin baru sampai batas memandang sosoknya dari kejauhan. Tidak terlalu jauh, namun masih memenuhi persyaratan dari jarak yang membuat seseorang tidak akan melihatnya.

Hey, Lee Sungmin kan memang tidak bisa melihat.

Tak banyak yang dilakukannya, selain melawan temperatur yang kian rendah. Dengan cuaca sedingin ini, hanya orang bodoh yang akan berdiri diam. Tapi... saat ini Changmin memang bisa dikatakan bodoh. Bibirnya sedikit mengering, menandakan suhu sudah menutup jalan kelembaban tubuh pada bagian tersebut. Matanya mulai merah dan berair, meningkatkan intensitas kedipan kelopak matapun tak banyak membantu penglihatan yang mulai tidak fokus.

Setiap jengkal otot dan persendiannya mulai melancarkan protes dengan kalimat imajiner 'Di sini sangat dingin Shim Changmin, bergeraklah!' padanya. Kini pilihan ada di tangannya, tetap di sini dan mati beku, atau pulang dan hidup lebih lama.

Dan, seorang Shim Changmin akhirnya memilih untuk menghampiri Sungmin yang sampai saat ini masih saja terlihat cantik.

Sementara itu... di sana, Sungmin berjalan perlahan tapi pasti untuk membereskan semua bekas-bekas pergumulannya dengan bunga-bunga indah di dalam kios. Ia hendak menutup kios kecil itu karena hari sudah mulai gelap. Dan sepertinya sudah tidak banyak lagi pelanggan yang berkunjung. Udara dingin mulai menampakkan keganasannya di luar sana, pikir Sungmin tak akan banyak orang yang akan turun ke jalan. Apalagi hanya sekedar membeli setangkai mawar merah atau orchid putih dari sana.

Tapi... lonceng yang menggantung di pintu tiba-tiba berdenting. Sungmin sejenak terkejut karena masih ada pengunjung.

"Selamat sore. Ada yang bisa saya bantu?" serunya begitu ramah.

Hening. Tak ada jawaban dari sana. Sungmin mengerutkan keningnya karena bingung. Sejenak merasa takut jika saja yang masuk itu adalah orang jahat. Dia berdoa semoga di luar sana tidak begitu senyap.

"Sun-nim (pelanggan), ada yang bisa saya bantu?" Sungmin bertanya sekali lagi. Masih berusaha tetap ramah.

Tapi keheningan masih saja menguasai. Wanita itu mundur selangkah karena mengaggap keadaan yang semakin ganjil.

"Siapa?" ujarnya tertahan.

Pelanggan yang datang itu berlangsung mendekat. Tidak begitu dekat, namun cukup bagi Sungmin untuk bisa menghirup aroma tubuhnya. Begitu familiar, namun tetap saja membuatnya gelisah.

Akn tetapi detik berikutnya ketakutan itu sirna, karena seseorang di sana akhirnya mengeluarkan suara yang tentu saja tak akan pernah Sungmin lupakan. "Noona, ini aku." katanya.

"Changmin ssi?" kelegaan yang masih diisi dengan siratan rasa kaget nampak pada perubahan air muka gadis itu. Entahlah. Detik pertama ia begitu senang karena khayalannya akan seorang pencuri masuk kedalam kios hilang, selanjutnya semakin bersemangat karena mengetahui dengan tepat siapa orang yang datang. Namun detik berikutnya, luka—jika bisa disebut seperti itu—kecil yang masih tersimpan terasa bagai mencubit hatinya lagi.

"Apa kau masih marah padaku?" Suara tersebut terdengar sedih di telinga Sungmin. Ada kehangatan tak biasa tiba-tiba menjalar dalam aliran darahnya.

"Apa yang kau lakukan di sini?" Seharusnya kalimat itu ducapkan dengan kasar untuk beberapa gadis normal—yang mengalami kejadian seperti Sungmin. Namun wanita itu berani bersumpah, dalam hidupnya sekalipun ia tak pernah bicara kasar bahkan kepada berandalan pasar sekalipun.

"Seharusnya... aku sudah tidak berhak menemuimu. Tapi... kenapa rasanya begitu sulit?"

Changmin sedang merayu? Jika mengingat kapasitas otaknya yang tidak memiliki ruang untuk sekedar mengeluarkan kalimat-kalimat indah, rasanya tidak mungkin. Jika kalian menyebutnya 'rayuan', yang tadi itu bahkan terdengar konyol.

"Ingin minta maaf? Jika benar begitu, sekarang pergilah. Kau sudah mendapatkannya. Aku memaafkanmu." Dingin. Tapi percayalah, dentingan melodi dari pita suaranya masih saja lembut.

"Tapi aku tidak melihat bahwa kau memaafkanku." Rengekan? Ya, terdengar seperti merajuk atau sejenisnya. Tak nampak sedikitpun kedewasaan dari nada bicara Changmin. Pemuda itu hanya memandang dengan wajah memelas. Dan tentu saja tidak bisa dilihat oleh Sungmin.

"Lalu aku harus bagaimana?" Sungmin mulai kehabisan cara untuk tetap tidak bersikap kasar. Demi Tuhan, Sungmin benci jika harus membentak. "Kau mau aku menandatangani sebuah pernyataan tertulis dengan darah?"

Changmin menganga, ia tak percaya kalimat semacam itu keluar dari mulut Sungmin. "N-noona, apa kau tidak merasa berlebihan bicara seperti itu? Aku sangat takut mendengarnya."

Hati Sungmin mencelos lagi. Rasanya tak jauh berbeda saat bicara dengan adiknya Hyukjae. Sangat mudah jika harus menggunakan ketegasan, tapi begitu sulit karena lawan bicaranya sudah mengeluh 'takut' dengan perkataan yang sama sekali memang tak pernah ingin Sungmin utarakan. Oh, hidupnya yang penuh dengan kelembutan membuatnya kesulitan menghadapi orang-orang seperti ini.

"Maaf." Hanya itu. Lidah Sungmin kelu. Ditambah memang dirinya tak tahu apa lagi yang harus diungkapkan.

Dingin. Tiba-tiba menyentuh lengannya. Sungmin tersentak pelan saat menyadari betapa buruk cuaca di luar. Lengan Changmin tak ubahnya seperti batu es. 'Berapa lama anak ini berada di luar tadi?' rasa khawatir kini mulai mengacaukan segalanya. "Noona, maafkan aku." ucap Changmin hati-hati.

"Aku sudah memaafkanmu, Shim Changmin. Jadi pergilah sekarang." Sungmin berujar frustasi.

"Bukan seperti itu." sahutnya parau. Jemarinya semakin mencengkeram erat pergelangan tangan Sungmin.

"Lalu kau mau seperti apa?"

"Percayalah padaku."

Sungmin diam. Percaya? Benar. Kata itu memang kunci dari segala kegelisahannya—kegelisahan mereka. Dirinya memang sudah memaafkan Changmin. Tak peduli salah paham apa yang akan dijelaskan pemuda itu padanya, Sungmin hanya ingin memaafkan. Dengan begitu seseorang akan tahu dengan pasti bahwa dia bukanlan gadis pendendam.

Tapi... percaya? Inilah masalah yang sebenarnya. Apakah Sungmin masih mau mempercayai seseorang yang sudah membuatnya sebagai bahan taruhan? Ah, tidak. Bukan seperti itu. Mungkin lebih tepat 'menjadikan dirinya sebagai objek yang penting' dalam sebuah permainan kecil.

Wanita itu hanya bisa diam. Semakin kehilangan kata untuk membalas. 'Bagaimana ini?' lirihnya dalam hati. Jemarinya meremas ujung terusan rajutan berwarna coklat muda dengan bahan yang tebal dan hangat. Walau pakaian tersebut membuat dirinya terlihat lebih gemuk, namun sama sekali tak menghilangkan kesan manis di sana.

"Sungmin noona, kau mau kan mempercayaiku?" Changmin berujar. Bicara membuat hembusan napasnya sedikit banyak menggelitik kening Sungmin. Wanita itu sangat risih, namun tak juga merasa harus menampik kehangatannya.

"Aku tidak bisa memberikanmu hal yang lebih banyak dari memaafkan. Aku tak ingin menjanjikan apa-apa padamu. Kau paham maksudku, bukan?" Kini lengannya yang masih bebas juga terulur mendekap jemari Changmin yang masih bertengger di pergelangan tangan Sungmin.

"Aku... paham. Tapi... tak adakah keinginan untuk itu. Jika kau 'ingin' saja mempercayaiku, aku akan berusaha membuatnya jadi nyata."

"Maksudmu?"

"Aku akan membuatmu percaya padaku."

"Bagaimana jika kata 'ingin' itu saja tidak ada?"

"Aku akan tetap berusaha. Dua kali... tidak, dua puluh kali lipat lebih keras."

"Aku tidak mengerti maksudmu."

"Aku tahu kau paham maksudku, Noona."

Keduanya terdiam. Pembicaraan itu cukup aneh memang. Kecerdasan yang 'berbeda' berbaur menjadi suatu percakapan sederhana namun mungkin sarat akan sesuatu yang besar.

Sesaat kemudian, ekspresi Sungmin mengeras. "Lalu?"

"Aku bersedia memberikanmu apa saja agar kau percaya padaku." Changmin berujar dengan mantap. Berjuta keyakinan mengiringi kalimatnya tadi.

Sungmin menarik napas panjang, "Benarkah?" Kalau begitu—berikan kedua matamu."

Entah apa yang ada dalam pikiran Sungmin, suaranya pun terdengar menantang dan tanpa keraguan di dalam sana. Memutuskan untuk menjadikan sebuah perkara yang mungkin sederhana menjadi masalah besar. Mata? Ya... tentu saja. Hal paling diinginkannya saat ini adalah 'anugerah' Tuhan tadi. Dua pasang mata sehat, yang akan membawanya keluar dari kegelapan berkepanjangan bahkan semenjak masih dalam kandungan seseorang. Sungmin menginginkannya, sangat menginginkannya.

Tapi... memintanya pada seseorang? Apa itu wajar?

Dan gilanya... seseorang itu masih sehat dan tak memiliki alasan kuat untuk sekedar 'membagi' sedikit anggota tubuhnya kepada—mungkin—orang-orang yang membutuhkan.

Changmin menatap lekat objek indah di hadapannya.

"Hanya itu?"

HAH?!

"Aku akan memberikannya padamu. Mulai sekarang, kedua mata ini milikmu."

"Changmin ssi—"

"Untuk langkah pertama, berhenti memanggilku dengan akhiran 'bodoh' itu lagi."

:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:

Sepanjang lorong kampus gedung lantai tiga universitas orang-orang berhenti, mematung, memandang heran dengan pemandangan yang mereka lihat. Menyimpulkan masing-masing, mengolah spekulasi-spekulasi beragam di dalam kepala, dan menyimpannya dengan ekspresi takjub... ah, tidak, bingung lebih tepat, menyimpan dengan ekspresi bingung.

'Apa lagi yang dilakukan anak itu?'

Bahkan di kantin. Sekarang semua mata tertuju pada seorang pemuda tinggi yang berjalan sambil menutup kedua matanya dengan sehelai dasi panjang bercorak kelewat norak. Menggapai-gapai ke segala arah, menabrak apapun yang menghadang sepanjang jalan, sesekali terjatuh, namun kembali lagi berjalan perlahan. Terus... sampai akhirnya—

"Yah, Shim Changmin! Apa yang kau lakukan?"

Junsu berteriak dari meja di mana dirinya dan beberapa temannya duduk menikmati istirahat siang mereka. Yunho diam menganga, Jaejoong membulatkan matanya, Donghae berhenti mengaduk-aduk semangkuk ice cream yang telah mencair, dan Ryeowook seperti bersiap lari dari sana jika keadaan semakin memburuk.

Changmin berhasil menghampiri mereka dengan susah payah. Dengan hanya mengikuti suara Junsu yang berteriak padanya tadi. Ia duduk, kemudian mengatur napas agar kembali normal. Yang dilakukannya tadi ternyata begitu melelahkan.

Tangannya terulur melepas jalinan ujung penutup mata di belakang kepala. Membawanya kembali pada dunia yang terang benderang. Melegakan sekali.

"Hehe..." Changmin justru meringis bodoh saat menyadari seluruh wajah kini sudah menatap dan mengintimidasinya, menunggu sebuah penjelasan akan kelakukannya sedari tadi.

"Aku hanya sedang berlatih." ujarnya singkat. Kemudian mengeluarkan sekotak bekal dari dalam tas. Changmin membawa bekal? Sejak kapan?

"Changmin-ah, tadi kau sedang apa?" Jaejoong membuka pertanyaan, sudah sifat dasar wanita yang tidak bisa berlama-lama menyembunyikan rasa penasaran akan sesuatu.

"Kau tak mendengarkanku? Aku bilang... sedang berlatih, noona." Jawabnya dengan menekan kata 'berlatih' dari sana.

"Iya, aku dengar. Tapi untuk apa?" Jaejoong masih bersabar. Dia sudah biasa memperpanjang dialog untuk mendengarkan Changmin menjelaskan. Memang harus seperti itu. Untuk yang tidak tahan, jangan harap bisa mendapatkan informasi yang lengkap dari manusia yang satu ini.

Changmin memasukkan makanan ke dalam mulutnya besar-besar. Mengunyah seperti orang yang baru saja bertemu dengan makanan selama tiga hari. Ia menelan semua sebelum menjawab, "Aku akan memberikan mataku pada seseorang."

"Uhuk! Uhukk!" Donghae terbatuk, cairan manis itu salah masuk ke dalam tenggorokannya. Bukan karena ia bodoh, tapi terkejut dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Changmin.

"Yah! Kau bicara apa?!" Junsu yang tidak sabaran benar-benar kesal dengan kelakuan salah satu magnae-nya tersebut. Ingin sekali mencekik seperti yang pernah dilakukan anak itu padanya tempo hari.

Changmin menyerah, ia menghentikan sejenak kegiatan makan siangya. "Ck, kenapa tidak bisa sekali saja berhenti menggangguku saat makan, sih? Kalian ini. Aku sedang berlatih tadi. Menjadi orang buta ternyata sangat sulit. Sekarang aku jadi tahu bagaimana perasaan Sungmin noona dan orang-orang yang bernasib sama sepertinya. Benar-benar gelap, hyung. Kalian lihat kan tadi? Aku selalu saja menabrak sesuatu—siapa saja di depan."

Tenggorokannya serasa kering, ia melirik gelas Ryeowook yang masih cukup penuh, kemudian menenggaknya tanpa izin. "Kalian tahu? Semalam itu aku sudah menemui Lee Sungmin, dan dia memaafkanku."

"Benarkah itu? Kalau begitu syukurlah. Kalian sudah menyelesaikan kesalahpahaman ini." Jaejoong tersenyum lega mendengar pernyataan Changmin tadi.

Namun, pemuda itu justru menggeleng. "Tidak semulus itu, noona. Aku masih harus membuatnya kembali percaya padaku. Dan aku bersedia memberikan apa saja sebagai jalannya. Dia meminta sesuatu yang... yah, sepertinya memang wajar." Changmin bicara seakan semua itu bukan hal besar yang harus dipusingkan.

"Memang apa yang dia minta?" Kini suara tenor milik sorang laki-laki mungil di sebelahnya terdengar. Semua orang sudah menebak arah pembicaraan, namun masih saja berdoa bahwa pikiran mereka hanya terlalu jauh. Tidak mungkin meminta 'itu' kan?

"Kedua mataku."

Yeah~ semua orang membelalak tak percaya.

"Kau bercanda, kan?" Yunho tak peduli lagi dengan pembicaraan itu. Ia tak tahan lagi dengan semua pemikiran konyol Changmin. Setiap kali pemuda itu bicara, semua orang akan menunjukkan perhatian berlebih dan akhirnya justru kecewa karena hal-hal yang ia bawa hanya sebuah omong kosong.

Dan kali ini? Apa lagi? Mata? Dia akan memberikan matanya untuk seorang gadis buta hanya untuk mendapatkan kembali kepercayaannya? 'BERLEBIHAN!' pikir Yunho. 'Tidak sekalian saja kau bilang akan menyerahkan nyawamu?'

:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:

"Aku sedang menabung untuk biaya operasi. Jadi hari ini aku tidak ikut ya. Aku akan menghubungi kalian lagi."

Changmin pergi begitu saja. Meninggalkan kembali wajah-wajah cemas dan bingung di belakangnya.

"Jaejoong-ah, jangan khawatir. Anak itu pasti hanya main-main. Kau tahu bagaimana dia, kan?" Yunho mengusap pundak sang kekasih dengan lembut, menenangkan sosok yang terlihat begitu cemas itu.

"Justru karena aku tahu. Maka dari itu sangat mencemaskannya sekarang." Ucap Jaejoong lirih.

Di kediaman Sungmin...

"Noona, coba kau pegang ini." Changmin mengarahkan sebuah kalung berbandul permata kecil dan rantai putih yang cukup mengkilap bila terkena pantulan cahaya. "Bagaimana?"

"Sungmin menyentuhnya, merasakan dengan jemari-jemari halusnya. Tak butuh waktu lama untuk dirinya mengenali benda apa di sini, "Kalung?" ujarya.

"Hm. Bagaimana kau menggambarkannya?" Changmin bertanya lagi.

"Pasti indah... jika berkilau." Sungmin menyahut tanpa ekspresi yang berarti. Di dalam hatinya, ia hanya bingung dengan perlakuan Changmin.

Lengan Changmin terulur memakaikan benda itu di leher jenjang Sungmin, membuat pemiliknya berjengit kaget. Namun tak berusaha menepis kasar atau apapaun yang akan membuat pemuda itu kecewa. "Kau akan segera tahu bagaimana indahnya kalung ini. Karena nanti kau akan melihatnya dengan kedua mata milikku, kupastikan kau juga akan setuju bahwa benda di lehermu ini indah. Sangat indah. Jadi simpan baik-baik ya. Aku akan sangat sedih jika kau menghilangkannya." Changmin tersenyum bahagia saat melihat bahwa perhiasan tersebut sangat cocok di leher Sungmin. Untuk kali ini, pilihannya sudah pasti tepat.

Berbeda dengan ekspresi pria tampan itu, Sungmin justru memperlihatkan raut wajah yang sedih. Bagaimana bisa anak itu mengatakan dengan mudahnya perihal 'mata'? Kalau seperti ini terus, apakah dia akan benar-benar memberikan gadis tersebut kedua mata yang sehat?

"Ini pasti mahal." ujarnya pelan.

Changmin menggeleng, "Tidak. Ini milik ibuku dulu. Dia mengatakan untuk memberikannya kepada seorang wanita yang kelak akan membuatku bahagia. Dan kurasa kau benar-benar cocok memakainya, noona."

Hari berikutnya...

"Noona, kau pegang ini." Changmin begitu bersemangat saat memasuk kios yang sebenarnya masih menyisakan beberapa pelanggan di sana. Namun ia tak peduli, sesuatu yang ada di tangannya lebih penting, dan Sungmin harus segera mengetahuinya.

Sungmin yang kebingungan karena Changmin datang secara tiba-tiba, hampir saja menjatuhkan sebuket Iris dari tangannya. Untung saja tidak terjadi, mengingat dirinya sangat berhati-hati dengan makhluk-makhluk indah dan menyejukkan tersebut. Terlebih, tidak banyak stock dari jenis itu yang bisa ia dapat di musim dingin seperti ini.

"A-apa?" Tangannya memegang sebuh benda kotak yang sangat kaku dan tipis. Seperti sebuah... kartu. "Ini apa?" tanyanya penasaran.

"Aku sudah mendaftarkan diriku sebagai pendonor kornea yang sehat. Hmm... dan sepertinya besok kita bisa ke rumah sakit untuk melihat apakah aku bisa segera memberikannya padamu. Di sini tertulis bahwa setiap anggota bisa mendonorkan organ tubuh walaupun tidak dalam keadaan... eung... kau tahu lah..."

Sungmin buru-buru melepas benda yang ada dalam genggamannya tersebut, menjatuhkannya kemudian menjauh seakan 'kartu' itu adalah sesuatu yang berbahaya dan harus dijauhi. Sedang Changmin memperhatikan tingkah sang gadis dengan raut wajah bingung.

"Noona, kenapa—"

"Hentikan, Shim Changmin. Hentikan semuanya. Kau ingin membawaku sampai kamana kali ini, hah?!" Sungmin berteriak. Yang tentu saja membuat beberapa pelanggan di dalam tokonya menoleh penasaran.

"Aku—" Changmin mencoba bicara lagi.

"Pergilah, aku sibuk." ujarnya kemudian.

Dengan cepat wanita itu kembali sibuk dengan pekerjaannya. Membuat semua seperti sedia kala, seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Semua orang di dalam sana mengerti dengan situasi tersebut, kemudian memilih untuk tidak menjadi pihak yang suka menguping, ataupun mencampuri urusan orang lain.

Dua hari kemudian...

Changmin benar-benar membawa wanita itu ke rumah sakit. Walaupun berkali-kali ditolak, namun pada akhirnya dia bisa membawa Sungmin ke tempat itu. Mendaftar, menunggu beberapa menit, kemudian masuk ke dalam ruang pemeriksaan.

Kejadiannya sudah dapat ditebak, saat mengetahui siapa yang akan mendonorkan mata, pihak rumah sakit terkejut. Pasalnya tak pernah ada kasus yang seperti ini. Pendonor hanya akan diambil korneanya saat sudah meninggal dunia.

Tapi ini?

Well, tak ada yang akan percaya. Bahkan dokter di sana menganggap Changmin gila pada awalnya, sampai dibuktikan dengan kesediaan menandatangani sebuah berkas-berkas penting untuk proses transplantasi. Changmin mengesahkan surat-surat itu dengan satu goresan penuh keyakinan di atas selembar kertas.

Tapi Sungmin...

Saat gadis itu diminta juga untuk membubuhkan stempel di sana, matanya justru mengalirkan sebuah cairan bening yang cukup deras.

"S-Sungmin noona. Ada apa?" Changmin bertanya panik. Sedari tadi wanita itu memang sudah diam seribu bahasa. Tapi saat ini, ia terisak pelan. Dokter yang memang saat itu tengah berada di ruangan bersama keduanya pun akhirnya memutuskan untuk memberi pasangan itu waktu. Sungguh pemandangan yang aneh. Biasanya adegan seperti ini hanya ada di dalam bagian kandungan. Si lelaki menenangkan kekasihnya yang menangis saat akan melakukan aborsi. Bukan di bagian pemeriksaan mata.

"Aku ingin pulang. Kumohon. Bawa aku pulang dari sini."

Tak ada kalimat lain lagi. Sungmin semakin terisak dan menangis pilu sekarang. Membuat Changmin semakin panik. Dan solusinya... adalah cepat-cepat membawa gadis itu pulang.

Di pelataran rumah sakit...

Changmin lega karena akhirnya Sungmin berhenti menangis. Kini mereka berdiri diam di salah satu sisi halaman rumah sakit dengan naungan sebuah pohon ek besar dan rindang.

Lengan mereka bertautan. Perkembangan yang sangat pesat, mengingat beberapa hari ini Sungmin bahkan tak ingin berlam-lama bicara dengan pemuda itu. Dan kabar baiknya, saat ini cengkeraman mereka didahului oleh si wanita cantik.

"Noona, kau baik-baik saja?" Well, pada level ini Changmin benar-benar terlalu bodoh untuk memahami situasi. Seharusnya pertanyaan seperti itu sudah tak boleh lagi diutarakan. Karena kenapa? Karena siapapun akan sadar bahwa Sungmin bukanlah orang jahat yang akan memanfaatkan situasi untuk mendapatkan apa yang tidak ia miliki. Yang dalam hal ini adalah matanya.

"Maafkan aku... sudah cukup hukuman ini. Aku tak sanggup lagi." Lirihannya tanpa sadar menorehkan luka kecil di dalam hati seorang Shim Changmin.

"Apa maksud perkataanmu?" Changmin benar-benar BODOH!

"Pabbo-ya!" Lengan Sungmin langsung melingkar di tubuh Changmin dan memeluknya dengan erat. Sangat... kuat. Seakan tak ingin lagi kehilangan. "Pabbo! Shim Changmin, pabbo!" Kepalan tangannya yang bebas memukul dada bidang Changmin berkali-kali.

Changmin akhirnya menyerah, diam, dan lebih memilih untuk balas memeluk sosok bidadari di dekatnya kini. Kerinduan selama beberapa hari akibat kesalahan konyolnya pun langsung terbalaskan. Dia ingin sekali tak melepaskan lagi pelukan itu. Biarlah semua orang memandang mereka tak senang. Toh bermesraan di tempat umum tak pernah dilarang.

"Berhentilah menghukumku. Aku sudah menyerah. Aku bahkan menyerah jauh sebelum kau mengatakan akan memberikan kedua matamu. Tolong jangan lakukan lagi. Changmin-ah... aku tak akan meminta apapun darimu. Aku percaya padamu. Jadi jangan pernah berpikir untuk memberikan apa-apa lagi padaku. Aku percaya. Aku percaya padamu." Rengkuhan Sungmin semakin erat, membagi semua rasa tak terucap ke dalam hati seorang Shim Changmin. Kini wanita itu sudah tak mau lagi menahan diri.

Entah anugerah apa yang tiba-tiba masuk ke dalam raga pria tinggi itu. Changmin seakan baru terbangun dari delusinya. Semua inti sari kejadian selama beberapa hari ini langsung terangkum sempurna di dalam kepala dan jalan pikiran ajaibnya. Benar-benar manusia luar biasa, sangat akurat dan dengan waktu yang tepat. Lihatlah! Sungmin sampai dibuatnya tak berdaya dengan kepolosan Changmin. Ketegarannya jatuh begitu saja hanya dengan bermain dengan bagian tubuh bernama 'mata'.

"Aku benar-benar akan memberimu segalanya. Apapun keinginanmu. Tapi bukan bermaksud membuatmu menangis seperti ini. Aku minta maaf, aku benar-benar tidak tahu jika hal ini menyakitimu." Changmin berusaha meredam tangis seseorang di dada. Tidak benar-benar menangis sebenarnya, hanya saja... isakan itu membuatnya tidak nyaman.

"Kau mencintaiku. Katakan saja seperti itu! Semua akan berakhir. Dan aku tak perlu secemas ini. Kenapa kau justru memilih jalan yang sulit? Bodoh! Kau benar-benar bodoh!"

'Cinta?' Changmin membatin. Kehangatan yang baru dan lebih melegakan langsung menyergap setiap aliran darahnya. Benar! Changmin mencintainya. Kenapa sulit sekali mengucap kata itu? Bukankah setiap wanita sangat memujanya? Ungkapkan seromantis mungkin, dan kalian akan langsung melihat senyum orang terkasih merekah begitu tulus dari bibirnya.

Kini berganti Changmin yang memeluk wanita itu dengan penuh rasa. Semakin erat dan tak akan sudi melepasnya lagi. "Noona, aku mencintaimu. Aku sangat mencintaimu."

"Hm." Sungmin mengangguk dalam pelukan. "Saranghae... Shim Changmin yang bodoh, aku mencintaimu. Ya Tuhan, aku sangat mencintai orang bodoh ini!"

:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:

.

.

.

.

.

"Noona, aku akan melancarkan mogok makan jika besok kau menolak lagi untuk berkencan. Aku lebih butuh perhatian dari bunga-bunga itu~" Suara Changmin saat ini jauh dari kesan pria dewasa. Suatu kebiasaan baru yang selalu ada kala dirinya tengah bersama sang bidadari hati. Me...re...ngek...

Sungmin tersenyum sambil tangannya masih mengumpulkan tangkai-tangkai tulip yang sangat indah. Dia begitu bahagia karena akhirnya bisa memanen beberapa dengan penerapan teknologi stimulasi pertumbuhan tanaman. Musim dingin memang membuatnya memutar otak untuk bisa tetap membuat kiosnya dipenuhi warna-warna indah. "Memang apa yang akan kita lakukan saat berkencan?" tanyanya.

Changmin terlihat berpikir, "Jalan-jalan... sambil bergandengan tangan."

"Kita melakukannya setiap hari, bukan?" Sungmin terkekeh geli.

"Tapi kita bisa sambil berwisata kuliner." Changmin belum mau kalah.

"Kau sudah membuatku membeli buku visual berbagai resep makanan. Apa belum cukup untukmu?"

Pria itu mulai kehabisan akal. "Ehmm... kita... ah! Kita bisa mengunjungi tempat-tempat indah, kan? Tidak benar-benar indah sebenarnya, musim dingin memang menyebalkan. Tapi.. yang penting kita bisa melihat-lihat sesuatu yang bagus di luar sana."

Hening sejenak...

"Changmin-ah, aku tidak akan bisa melihat semuanya..." Pekerjaannya pun terhenti. Sungmin kini memasang wajah yang entah menyiratkan apa. Tapi sepertinya bukan sesuatu yang baik.

Changmin yang sadar karena untuk yang kesekian kalinya salah bicara langsung saja mengulurkan tangan meraih bahu Sungmin. "N-noona... aku minta maaf. Aku tidak bermaksud—isshh mulut ini benar-benar tidak bisa dijaga!" Pria itu memukul-mukul mulutnya sendiri.

Karena tak ada respon apapun, Changmin akhirnya memeluk Sungmin. Memberikan seluruh kehangatan dan permintaan maaf melalui panas tubuhnya.

Sungmin balas memeluk, "Gwenchana, maaf membuatmu cemas lagi. Entah kenapa semenjak bersamamu aku merasa begitu melewati batas 'kesempurnaan' yang seharusnya tidak boleh kusentuh. Aku semakin sombong saja." wanita itu tersenyum.

Changmin meregangkan sedikit jarak mereka. Memindahkan kedua tangannya untuk menangkup wajah sang kekasih. "Batas apa? Kekasihku ini memang sempurna. Wajah ini sempurna, senyum ini sempurna, dan mata ini, walaupun masih saja terhalang oleh kabut hitam, bagiku tetap sangat sempurna."

"Apa kau sedang merayu? Dari mana kau belajar bicara gombal seperti itu, Shim Changmin?"

"Eeey... ini lebih baik dari yang dilakukan oleh Junsu hyung. Karena sama sekali tidak ada kebohongannya." Changmin tersenyum lebar mendengar kalimatnya sendiri. "Aku sudah pernah mengatakan bahwa kedua mata ini milikmu, kan? Jadi... kemanapun kita akan pergi, kau bisa melihat seluruh keindahannya melalui kedua mataku."

Ups!

Lengan Sungmin berpindah dan segera mengalungkannya ke leher kekar Changmin. 'Meminta lebih, eoh?' dan kucing mana yang akan menolak ikan segar?

Dengan gerakan tidak cepat, namun tidak juga terlalu lambat, Changmin menyentuh bibir delima tersebut dengan mulutnya. Sejenak merasakan kehangatan dan kelembutan, beberapa detik, sampai akhirnya semua mendadak lebih liar. Lebih panas karena cumbuannya bergerak, membawa sang kekasih terbuai hingga tak bisa lepas walaupun terpaksa harus menghemat oksigen yang merupakan kebutuhan dasar. Lumatan itu berangsur sangat lama... begitu indah... dan bahkan penuh dengan cinta dan candu.

Berapa lama mereka akan melakukannya?

Yeah, tidak masalah jika ingin sedikit lebih lama. Toh kios itu sedang sepi pelanggan. Kkk~

.

.

.

.

Namun di lain sisi, mereka tak sadar ada dua mata kecil yang mengamati sedari tadi. Kemudian berbalik, setelah wajahnya memerah.

"Ya ampun, orang dewasa memang benar-benar tidak tahu tempat."

Hyukjae berlari dan memilih kembali bermain di luar saja. Sampai keadaan aman dan terkendali untuk seorang bocah sepertinya.

THE END

A/n : Ya ampun, maaf karena mengupdate begitu lama, dan juga memutuskan untuk mengakhirinya. #bow

Tapi, sesuai permintaan kan? Tidak ada konflik yang terlalu berat. Hehe...

Terima kasih untuk yang sudah membaca dan menyukai pair dan fic ini.

Oh ya, walapun author penganut ideology berkarya tanpa batas, tapi author juga memiliki banyak keterbatasan, membuat fanfict sesuai feel yang

didapat, jadi author sangat - sangat mohon ma'af jikalau tidak dapat mengabulkan semua permintaan dari kalian. Namun author teramat sangat

berterimakasih dan mencintai kalian semua yang rela meluangkan waktunya kemari.

Mari hargai karya, mari berkarya.

Saranghae, yeorobun!