"Scars have the strange power to remind us that our past is real."

Cormac McCarthy

.

Created by : jitan | Disclaimer : Resident Evil - Capcom | Rating : M.


.

.

BLACK INVITATION

EPILOGUE

.

.

.

"Ikutlah bersamaku ke Amerika, Jake Muller…"

Aku dapat melihat kedua pupil mata pria itu melebar, seakan terbelalak setelah mendengar kalimat itu. Jake Muller terdiam kaku menanggapi ajakanku agar ikut bersamanya ke Amerika, dan dalam beberapa hitungan setelahnya ia meringis sambil menggelengkan kepala. Jake terkekeh tanpa mengatakan apapun, mengapa tanggapannya begitu ambigu dan justru membingungkan? Dia tampak tidak percaya pada kalimat yang baru saja kukatakan. Tawanya hanya berlangsung sesaat. Pria ini menarik napas lalu menatapku yang masih berdiri di hadapannya, diam menunggu sebuah jawaban.

"Kau mengajakku pergi ke Amerika?" adalah kalimat pertama yang meluncur dari bibir Jake, "Lalu apa yang akan kau lakukan padaku setelahnya? Menawarkan agar aku bergabung bersama D.S.O, FBI, CIA, B.S.A.A, atau organisasi konyol lainnya? Oh c'mon Sherry!?"

Aku melepaskan kesepuluh jemari yang berada pada dadanya, melipat kedua tanganku dan siap untuk berargumen dengan pria dua puluh dua tahun ini, "Jake, dengar. Aku tidak tahu apa alasan-"

"Aku tidak sudi menjadi anjing pemerintah, supergirl." potongnya dengan nada tegas.

.

"Jake, aku tidak mengerti kenapa kau begitu benci pada pemerintah?"

"Huh, yang benar saja? Birokrasi, terikat sumpah juga kontrak, karir membosankan, harus berurusan dengan hal-hal merepotkan lain dengan status suruhan pemerintah? Hell no… Aku bukan tipe super hero yang membela Negara. Ugh membayangkannya saja sudah membuatku muak." Kedua alis Jake terangkat, ia meletakkan sebelah tangannya pada pinggang dan pandangannya menerawang ke atas untuk sesaat sebelum akhirnya kembali padaku, "Pilihanku sejak awal berbeda denganmu, dan hingga saat ini pun… Aku belum berubah pikiran untuk tunduk pada pemerintah, Sherry. Lagipula, jika menyinggung jumlah yang kuhasilkan sebagai mercs… Yeah, tidak tetap tapi jauh lebih baik dari pekerjaan-pekerjaan itu."

Aku menghela napas, menahan kesabaran.

"Jadi, meski aku sendiri yang mengajakmu bergabung…" aku masih mencoba. Berharap jawabannya berubah, "Kau tetap tidak akan ikut bersamaku, Jake?"

"No." Jake Muller menggelengkan kepala dengan tegas. Bagaimana pun keputusannya telah bulat, dia tidak sudi bekerja di bawah pemerintah.

Diam. Menutup mulutku rapat-rapat, aku menghela napas dan merasa berargumen dengannya tidak akan mengarah pada hasil positif. Apa ada cara lain yang dapat ia lakukan agar Jake Muller ikut bersamaku? Kami sempat kehilangan kontak selama beberapa bulan sebelum akhirnya dipertemukan secara kebetulan di Amozi. Melalui takdir, jika memang kata 'kebetulan' itu tidak ada. Aku mencemaskan nyawanya, dan aku yakin akan mengkhawatirkan keadaannya setiap ia terikat kontrak kerja bersama para mercenary lainnya… Terutama saat pekerjaan pria itu mengharuskan untuk menghindari seluruh kontak dengan dunia luar atau menjadi tentara bayaran dalam perang.

Aku takut…

Bagaimana jika suatu saat dia tidak pernah kembali?

.

"Sherry…"

Aku tersadar dari lamunan saat Jake Muller melingkarkan kedua tangan lalu membenamkan tubuhku ke dalam pelukannya. Merengkuh tubuhku dengan erat sementara dagunya bertumpu pada ujung kepalaku, kehangatan dalam dekapannya membuatku sedikit tenang. Mungkin ia tahu aku mengkhawatirkan keselamatannya? Pikiranku berkecamuk menyadari besok pagi aku akan segera pergi, pulang ke Amerika. Apa ada cara lain yang bisa membuatnya berubah pikiran, agar Jake berhenti dari pekerjaannya yang penuh resiko? Tentu… Ini bukan berarti pekerjaanku tidak berbahaya, namun setidaknya keadaan para agen dapat dipantau oleh kantor pusat.

"Jujur saja, supergirl…"Jake bergumam ketika aku masih asyik berkutat dengan berbagai pikiran yang berkecamuk, "Aku tidak terlalu menyukai raut wajahmu saat murung."

Belum sempat berpikir lebih jauh, Jake melonggarkan pelukan lalu sedikit membungkuk untuk menyamakan jarak pandang antar kami. Bola matanya yang berwarna biru jernih itu menatapku dengan pandangan penuh arti. Terdiam sesaat. Lalu tanpa ragu ia maju lalu meletakkan bibirnya hingga menyentuh keningku. Kecupannya perlahan turun pada pipi kiri dan berakhir ketika bertemu dengan bibirku… Mengadakan kontak dan membiarkan waktu yang terasa berhenti. Entah berapa lama kami terhanyut, sebelum akhirnya dia melepaskan pagutan lalu lagi-lagi…

Menatapku dengan senyuman khas Jake Muller.

"Aku akan berusaha… Mencari cara agar kita bisa bersama, Sherry." ia begitu yakin saat mengatakan itu, dengan senyuman yang masih tersungging jelas di wajahnya. "Aku janji…"

.

.

Dan saat itu juga senyumnya menghilang.

Pelukannya terlepas dan jarak antar kami terbentang… Berjauhan satu sama lain. Aku kebingungan dan berusaha berjalan ke arahnya namun gagal, tubuhku seperti dirantai oleh sesuatu yang kasat mata. Gelap, hanya ada sorotan cahaya yang menyinari tubuhku dan tubuh Jake. Berdiri di salah satu sisi terpisah, aku melihat di seberang… Tubuh pria itu perlahan dililit kobaran api. Menyala-nyala dan merambat memenuhi seluruh anggota tubuh Jake Muller. Dia jatuh berlutut, memandangi kedua tangan yang terbakar bersama dengan organ-organ tubuh lainnya. Jake mengalihkan pandangan dan menatapku di seberang, ia merentangkan tangan. Berteriak, meminta tolong.

"SHERRY!" ratapannya terdengar nyaring dan memilukan.

Airmataku jatuh saat membalas panggilannya, berusaha bergerak, berlari atau melompat ke arah tubuh itu. Aku meneriakkan namanya berulang kali, menyuruhnya bertahan. Tapi aku sendiri tidak dapat bergerak, tidak bisa melakukan apa-apa! Aku berteriak sekeras mungkin untuk meminta bantuan yang nyatanya memang tidak pernah ada. Tangannya terus menggapai-gapai ke arahku sambil meraung. Panas tak tertahankan. Tapi kobaran itu tidak kunjung padam, justru mengoyaknya lebih jauh.

"SHEERRY!?"

Aku terpaku. Hanya mampu melihatnya mengais dengan sisa tenaga lalu ambruk dengan lilitan yang kini semakin menjalar hingga memenuhi seluruh sudut. Sisi seberangku kini tampak menyala-nyala dari lidah-lidah api, melahap seluruh tempat itu dan sosok Jake lenyap dari pandangan. Jake Muller tidak terlihat lagi, ia hilang ditelan kobaran api.

Dan aku tidak mampu menyelamatkannya…

.

.


February 10th, 2014 – Washington D.C – 01.20 AM

"JAAKEE!?"

Terduduk dengan tangan kanan yang teracung dan menggapai udara, Sherry Birkin tersadar. Detak jantungnya berdetak keras tidak terkontrol, napasnya naik turun dan pandangannya menatap kosong. Melihat sekitar ruangan kamar yang gelap, menyadari dia masih berada di atas tempat tidur. Tidak ada kobaran api, tidak ada tubuh Jake yang terbakar dan meminta tolong. Wanita itu mengerjap, berusaha mengatur napasnya sendiri. Dengan punggung tangannya ia mengusap kening, peluh dan airmata yang mengalir membuat keadaannya bertambah buruk.

Diraihnya gelas berisi air yang tersedia di samping tempat tidur, berhati-hati agar tidak terjatuh akibat tangannya yang masih gemetar. Di sebelahnya terdapat sebuah botol obat penenang, yang nyaris diambilnya sebelum berubah pikiran. Tidak. Dia tidak ingin bergantung pada butir-butir obat penenang itu, dia tidak ingin kalah dan lari dari ketakutannya sendiri. Sherry menenggak cairan tawar dalam gelas untuk menenangkan otot juga syaraf-syaraf yang menegang. Mimpi buruk, lagi-lagi ia memimpikan hal yang sama… Penyesalannya yang tidak pernah terbayar.

Gagal menyelamatkan Jake Muller.

.

Selesai minum dan meletakkan gelasnya kembali ke atas meja, Sherry terduduk kaku. Meringkuk di pinggiran ranjang dengan kedua kaki yang ditekuk, sementara kedua tangannya melingkar dan memeluk kakinya sendiri. Kedua kaki yang ditekuk ia gunakan sebagai penopang kepala, ia memejamkan mata. Napasnya sudah mulai teratur meski sekujur tubuhnya basah oleh keringat. Sherry enggan kembali tidur meski suasana di luar masih gelap. Dia tersiksa. Rasanya begitu menderita, terasa menyakitkan. Melihat Jake setiap hari dalam mimpi, terbakar dan tidak terselamatkan. Memikirkan hal itu saja membuat hatinya terkoyak, ia menghela napas dan berusaha sekuat tenaga agar tidak mulai terisak. Bagaimana mungkin ia bisa bertahan dan menganggap semuanya baik-baik saja?!

Dia sudah berusaha. Selama dua minggu penuh setelah insiden di Amozi dan Jake Muller dinyatakan tidak berhasil selamat- dengan Leon sebagai saksinya, Sherry Birkin tidak pernah percaya. Diam-diam ia mengumpulkan berbagai data mengenai aktivitas penerbangan di Amozi selama dua minggu berturut-turut, mencari nama Jake Muller di setiap data penerbangan. Menelepon tiap rumah sakit yang terdaftar di Amozi sekedar untuk menanyakan satu nama pasien yang tidak ditemukan dimana pun, setiap malam ia berjuang mencari keberadaan Jake. Tapi jawaban yang ia dapatkan selalu negatif.

'Kau pasti bisa melewatinya, Sherry. Kau bisa! Dan kau harus bisa.' adalah kalimat yang dikatakannya berulang kali dalam hati, wanita ini merapalkan kata demi kata seperti lantunan mantra. Sherry menundukkan kepala, masih dalam posisi meringkuk di atas tempat tidur dengan kedua kaki yang ditekuk. Entah berapa detik, berapa menit, ia tetap berada dalam posisi seperti itu. Diam seperti patung tak bernyawa.

Sendirian.

.

.


09.00 AM

Sherry Birkin perlahan membuka mata setelah mendengar alarm ponselnya berbunyi, rupanya tanpa disadari ia tertidur setelah kelelahan mengalami mimpi buruk. Seluruh tubuhnya terasa nyeri akibat posisi tidur yang buruk, duduk meringkuk. Tulang-tulangnya terdengar bergemeletuk ketika diregangkan, wanita ini perlahan memijat bagian leher yang terasa kaku karena terlalu lama menunduk. Setelah menonaktifkan bunyi alarm, ia mengecek ponsel dan mendapat satu pesan masuk dari Leon. Hari ini dia dijadwalkan menemui dokter untuk terapi rutin.

'Good morning sweetie, bagaimana tidurmu semalam? Ah, maaf sebelumnya. Hari ini sepertinya kau harus pergi terapi sendirian tanpa kehadiran si tampan Kennedy, pagi tadi F.O.S memberiku tugas mendadak (tepatnya di pagi buta, ini membuktikan sepertinya Hunnigan tidak pernah tidur atau pulang ke rumah?) Well... Kabari aku mengenai hasil pemeriksaanmu hari ini, oke? Take care, Sherry… - Leon-'

Sherry tersenyum tipis ketika membaca pesan singkat itu. Agen senior yang dianggapnya seperti saudara kandung bahkan figur seorang ayah ini tidak pernah absen menemani ketika ia menjalani proses pemulihan dari terapis psikolog beberapa waktu yang lalu. Leon dan Claire, perhatian mereka tidak pernah berubah meski telah melewati kurun waktu enam belas tahun. Demi orang-orang yang mencintainya ini pula, Sherry bertekad secepat mungkin pulih agar bisa ditugaskan kembali oleh D.S.O dan tidak membuat Leon maupun Claire khawatir pada keadaannya. Memiliki semangat baru di pagi hari, ia bergegas ke kamar mandi untuk merapikan diri dan bersiap-siap pergi.

.

Tepat saat ia selesai berpakaian dan mengambil barang-barang keperluannya untuk bertemu dokter, Sherry mendengar bel apartemennya berbunyi. Dia tidak memiliki janji dengan siapa pun pagi ini. Mungkin pengantar paket dari beberapa barang yang ia pesan lewat internet? Langkahnya terburu-buru mengambil ponsel dari sisi ranjang, ia bermaksud membukakan pintu sekaligus pergi menjalani pemeriksaan rutin setelah menerima isi paket tersebut. Sherry Birkin memutar kenop dan membuka daun pintu apartemennya, menyambut si pengantar paket. Jarak mereka hanya sekitar 30 sentimeter dan Sherry harus mendongak untuk melihat wajah tamunya.

"Sepertinya kau sedang terburu-buru?"

Mulut Sherry terbuka tidak percaya.

Dia tidak yakin pada apa yang dilihatnya, juga suara yang baru saja didengarnya. Sherry mundur beberapa langkah, lututnya terasa lemas dan tanpa sadar ia menjatuhkan ponsel hingga tergeletak di atas lantai. Kaku. Genggamannya pada kenop pintu adalah satu-satunya sumber penopang bobot tubuh agar tidak ikut terjatuh. Bukan pengantar paket, baginya sosok ini tampak tidak nyata… Layaknya hantu. Sosok tinggi di hadapannya terlihat tegap berdiri dan bersandar pada dinding pintu, sekilas menatap ponsel yang terjatuh dan terabaikan lalu pandangannya kembali pada Sherry Birkin.

"Apa aku terlihat seperti hantu, supergirl?" tanyanya lagi dengan seringai khas pria itu, menyadari wanita mungil di hadapannya mematung akibat rasa shock, "Atau mungkin seperti Ustanak?"

.

JAKE MULLER.

.

"Ja-Jake?! I-ini tidak mungkin…"

Jake Muller, keturunan dari Albert Wesker ini tengah berdiri di depan apartemennya dalam keadaan sehat seutuhnya. Dia tidak percaya, baru saja ia melepaskan harapan tentang Jake yang masih hidup. Apa ini nyata? Apa dia benar-benar Jake yang dikenalnya… yang dicintainya? Jemari Sherry terulur meraih wajah itu, meraba garis luka yang terpatri di wajah pria yang… Ia anggap sudah mati. Menyentuh permukaan kulit Jake yang terasa hangat, pikirannya tidak menentu. Bahkan berpikir jangan-jangan ini adalah mimpi buruk lain dan ia akan terbangun dalam keadaan menyedihkan seperti tadi malam.

Berlainan dengan raut kosong Sherry, Jake Muller hanya butuh sedikit kekuatan untuk merengkuh tubuh mungil itu dan merapatkan pelukannya. Butuh beberapa detik sampai Sherry Birkin membalas gestur dengan melingkarkan kedua tangannya pada leher pria itu, menyambut dekapannya setengah sadar… Dia masih mengingat persis aroma tubuh Jake, bentuk-bentuk otot solid yang dapat ia rasakan lewat tiap sentuhan, dan ia memang merasa tubuh pria dalam dekapannya adalah Jake Muller. 'Ya Tuhan, buatlah ini nyata. Bukan sekedar mimpi atau khayalan.' sahut Sherry berulang kali dalam hati. Genangan airmata dari kedua sudut matanya kini mengalir tidak tertahankan, dia tidak bisa merasakan apa-apa.

Antara bahagia dan terkejut membuatnya mati rasa.

"Kuharap dengan begini kau percaya pada kehadiran Jake Muller di depan apartemenmu, Sherry…" ujarnya sambil terus mendekap tubuh wanita itu.

Sherry tidak tahu pasti ini nyata atau khayalan.

"I-ini bukan cuma mimpi kan? Kau… Hidup," perkataannya pelan dan terbata-bata, "Tapi… Bagaimana bisa? Ba-Bagaimana mungkin?!"

"Che. Kau pasti lupa," Jake melepas pelukannya lalu membantu Sherry menghapus linangan airmata pada wajah menggunakan jemari, "Tubuhku terbuat seperti tank."

.

.


"Bagaimana mungkin kau bisa ada disini? Dan bagaimana caranya kau selamat dari ledakan?" pertanyaan itu tidak dijawab oleh Jake Muller yang sibuk melihat seisi ruangan dari tempat tinggal sosok supergirl yang menjadi partnernya di Lanshiang dan Amozi.

Sherry Birkin bahkan mencubit dirinya sendiri agar yakin ini bukan sekedar mimpi, Jake tanpa sungkan berjalan masuk ke dalam apartemennya lalu menutup pintu. Oh dan tentu saja, saat ini Sherry sudah melupakan janjinya bertemu dengan dokter psikolog untuk menjalani pemeriksaan rutin. Dia lupa total. Kalau memang kehadiran Jake Muller di dalam apartemennya sekedar halusinasi, Sherry bersumpah ia pasti akan dijejali sejumlah pemeriksaan yang jauh lebih berat di banding sebelumnya. Karena ini terlalu nyata. Jake menoleh ke arah sang supergirl yang tetap berdiri kaku, menatapnya seperti melihat sesuatu yang kasat mata. Dia terkekeh geli.

"Sebenarnya aku menyusulmu ke Amerika untuk menagih satu hal yang kau lupakan, supergirl…" perkataannya membuat kedua alis Sherry terangkat naik, "Kau berhutang padaku."

.

Hutang?

.

Sherry semakin tidak mengerti arah pembicaraan pria di hadapannya, "A-apa maksudmu?"

Jake menatap wanita itu dengan raut terkejut, namun terkesan menahan tawa.

"Uh, no. Kau melupakannya?" ia menggeleng lalu mengangkat kedua tangannya seakan-akan tidak percaya, "Perjanjianmu bersamaku ketika berada di Amozi, 'tidak ada pihak lain sekali pun dia bisa dipercaya'. Kau melanggar poin itu dan berhubungan dengan Claire Redfield. Ingat kan? Seperti yang sudah kukatakan waktu itu, tiap pelanggaran akan kuhitung… Dan sekarang aku datang untuk itu."

Yeah yeah… Pembicaraan khas Jake Muller, dan Sherry tahu pasti pada sifatnya yang satu ini.

.

"Tidak menjawab pertanyaan mengapa kau bisa ada disini dan malah menagih hutang? Great, Jake…" Sherry mendesah kehabisan kata-kata, "Jadi, apa maumu?"

Jake berhenti meneliti seisi ruangan dan mengalihkan pandangannya ke arah wanita itu.

"Aku sedang berpikir… Kira-kira hukuman apa yang pantas kuberikan?" Jake Muller tersenyum penuh arti dan menyadari lawan bicaranya tidak lagi mematung seperti tadi. Dengan tenang ia berjalan ke arah pintu lalu mengambil ponsel yang masih tergeletak di atas lantai. Tanpa menonaktifkannya terlebih dahulu, Jake mencabut paksa baterai telepon genggam yang kontan membuat Sherry terbelalak tidak percaya. Untuk apa dia melakukan hal itu?

"He-hei! Apa yang kau lakukan, Jake?!"

"Membantumu membayar hutang," jawabnya singkat.

Ia menaruh ponsel Sherry Birkin di sembarang tempat sementara matanya hanya tertuju pada sosok wanita itu. Dalam satu hitungan kedua tangan Jake telah berada pada pinggang Sherry lalu mengangkat tubuh itu tanpa kesulitan, menyangga bobot tubuhnya hingga setinggi pinggang. Dalam jarak sedekat itu Jake mampu menghirup aroma parfum yang dikenalkan Sherry Birkin ketika hendak bepergian, merasakan permukaan kulitnya yang lembut, deru napasnya yang naik turun, atau bobot tubuhnya yang ringan dibalik kemampuannya sebagai seorang agen rahasia. Oh God… Dia merindukan sosok mungil ini setengah mati.

.

"Apa aku masih terlihat seperti hantu?" guraunya.

Wanita ini tersenyum ketika jemarinya menghafal setiap lekuk wajah Jake. Terutama bekas luka yang terpatri pada pipi kirinya, ciri khas pria itu. Luka yang menandai masa lalu Jake yang berbahaya sebagai tentara bayaran. Berada sedikit di atas tinggi pria yang sedang menggendongnya, jantung Sherry berdegup kencang saat mereka bertatapan. Jake menanggapi ucapan Sherry dengan mengecup singkat pipi kirinya. 'Hantu tidak akan bisa melakukan ini, Sherry…' gumamnya dalam hati. Memandangi wajah Sherry Birkin yang tampak setengah terpejam, ia menunggu hingga bola mata keduanya saling bertatapan. Senyum pada wajah Jake Muller membuat Sherry melupakan segala trauma yang ia derita selama beberapa waktu yang lalu.

Ini gila, akal sehatnya seketika lenyap.

"Sudah kuputuskan apa hukuman untukmu, Sherry Birk-"Jake menghentikan ucapannya ketika tiba-tiba Sherry menutup mulut itu dengan sebuah kecupan yang tentu dibalasnya tanpa protes.

.

Merasakan sekali lagi kehadiran Jake Muller dalam hidupnya, setiap pagutan yang tercipta serupa dengan satu langkah melupakan penderitaan dan trauma. Melupakan malam-malam yang diisi dengan mimpi buruk, jemari wanita itu menjelajahi setiap sudut dan lekuk yang dapat ia raih. Kontak fisik dengan sosok mercenary ini tidak terelakkan lagi. Pagutan demi pagutan mewarnai reuni keduanya, menyadari mereka saling membutuhkan satu sama lain. Mengklaim bibir wanita ini sebagai miliknya tidak pernah cukup membuatnya puas. Dia tidak akan menahan diri lebih lama lagi, perlahan dan tanpa sedikit pun perlawanan Jake memboyong sosok supergirl pujaannya menuju ruangan, yang tak lain merupakan kamar tidur Sherry Birkin.

"Hukumanmu adalah menghindari kontak dengan orang lain, khususnya hari ini." seringainya dibalas dengan senyum hangat wanita itu, "Kau hanya akan berurusan dengan Jake Muller."

"Kau hanya membahas hutangku, Jake... Tidak adil." Sherry menanggapi dengan tawa kecil, sementara Jake membutuhkan lebih banyak tenaga untuk membawa tubuh itu menuju ruangan tidur. Dia harus memecah konsentrasi antara memperhatikan langkahnya atau justru membalas kecupan-kecupan kecil yang dilancarkan sang agen D.S.O pada sekeliling wajahnya, "Bagaimana denganku? Apa aku juga harus memberimu hukuman karena kau tidak memberi satu pun informasi, tentang kau yang… Hidup?"

"Oh yeah? Coba saja, tapi aku tidak yakin kau sanggup melakukan satu pun hukuman untukku," Jake terkekeh. Ia telah meletakkan tubuh Sherry di atas tempat tidur sementara kedua tangan Sherry Birkin masih tergantung pada belakang lehernya. Sambil tersenyum, ia mengamati tiap detil wajah wanita yang terbaring di bawahnya. Ia bersyukur. Bersumpah kalau ia mensyukuri keadaannya yang masih bisa bernapas hingga detik ini. Akhirnya takdir mempertemukan dirinya dengan Sherry sekali lagi, sekaligus berpikir ini adalah saat yang tepat untuk mengakhiri basa-basi.

"Damn, supergirl… Sekarang kupastikan kau akan menjalani proses 'hukumanmu' dengan… Sangat baik."

.

.

.


January 31th, 2014 – Amozi

Pandangan dari gelap gulita kini menerima secercah cahaya yang membiaskan bayangan meskipun terlihat kabur. Perlahan pupil matanya mampu menangkap fokus dan melihat keadaan sekitar. Jake Muller memincingkan mata ketika menatap langit-langit ruangan yang kosong, menoleh ke kanan dan kiri mencari sosok ibunya, juga rumahnya. Tidak ada dimana pun, ia hanya menemukan balutan perban di beberapa anggota tubuh, tangan kiri yang tersambung dengan sebuah infus, juga ECG (Electronic Cardio Graph) yang menampilkan grafik kehidupannya. Ini dimana? Ia seperti tersadar dari tidur panjang yang menyenangkan dan tidak ingin ia akhiri, Jake mendapati satu wanita berambut hitam yang dari posisi duduk di sebelah tempat tidurnya kini berdiri dengan raut wajah yang tampak tidak percaya.

"Dimana aku?" tanya Jake dengan suara serak, sudah lama ia tidak menggunakan suaranya untuk berbicara sepatah kata pun, entah berapa lama. Wanita berambut hitam itu bergumam tanpa menggunakan Bahasa Inggris, dan saat itulah Jake menyadari dimana ia berada. Ia menyodorkan segelas air pada sosok asing yang baru terbangun, menyuruh agar Jake meminumnya perlahan.

"Siapa kau?" ia menanyakan pertanyaan lain menggunakan bahasa Amozi setelah meneguk air mineral dalam gelas yang diberikan wanita itu.

"Namaku Leila, dan saat ini kau berada di rumahku." jawabnya lembut, "Aku perawat pribadi yang ditugaskan untuk menjagamu. Jangan khawatir, kau aman disini."

Kedua alisnya terangkat.

"Che. Seorang Jake Muller punya perawat pribadi, great…" Jake bergumam menggunakan Bahasa Inggris yang tidak dikenali si perawat lalu kembali berkomunikasi dengan bahasa lokal, "Sudah berapa lama aku disini?"

Wanita itu menunjuk sebuah kalender yang dilingkari manual setiap harinya, namun Jake tidak sanggup menghitungnya per hari. Untung wanita itu membantunya menjelaskan, "Hampir sebulan kau tidak sadarkan diri, Sir. Kau mengalami luka parah dan koma, tapi penyembuhanmu berlangsung cepat dan tidak normal. Suatu keajaiban melihatmu bertahan, sembuh, bahkan sadar setelah mengalami luka parah seperti itu. Apa kau ingat sesuatu?"

Jake terdiam, mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi.

.

Allan Groves tewas – lalu sebuah ledakan, ah ya… Ledakan yang membuat tubuhku terpental – penuh api Lalu ada seseorang berjubah – jubah panjang hitam – menyeretku dan… Gelap.

.

Dia tidak ingat, dia tidak tahu apa yang terjadi atau bagaimana ia bisa berada disini. Pikiran dan seluruh pertanyaan yang ia ajukan dalam hati tiba-tiba terpecah oleh kehadiran perawat pribadinya yang berambut hitam dan mengaku bernama Leila. Wanita itu membawa sebuah kotak logam yang ternyata sebuah koper, menaruhnya di atas ranjang tanpa sepatah kata pun. Koper logam itu tertutup dengan sebuah kunci bernomor kombinasi. Kemudian ia melihat sebuah amplop kecil yang ditempel di atas koper tersebut. Bertuliskan 'To : Wesker Junior', Jake mengeluarkan selembar kertas memo dari dalam amplop .

Disana tertulis 'Nomor registrasimu sebelum berkhianat akan membuka koper ini.'

"Fuck…" umpat Jake sambil meringis. Rupanya masih ada yang tersisa dari Black Spider? Jemarinya memutar nomor kombinasi dan memasukkan kode registrasi yang masih diingatnya, nomor 025.

Dan tentu saja, koper itu terbuka.

Leila melihat Jake membuka koper logam itu sebelum mata biru Jake melirik, seakan terganggu pada kehadirannya. Wanita berambut hitam itu mengangguk mengerti, lalu berjalan meninggalkan Jake seorang diri di dalam ruangan. Jake Muller melanjutkan kegiatannya membuka isi koper, ia hanya menemukan paspor, dan sebuah gadget sebesar ponsel, lengkap dengan headset dan baterai yang terpisah. Mungkin tuan penolong itu meninggalkan sebuah pesan disana? Tanpa pikir panjang Jake memasang baterai lalu mengaktifkan alat itu. Tepat seperti dugaannya, ia menerima sebuah rekaman pesan yang didengarkan lewat headset.

"Halo, Wesker Junior…" Jake merasa pernah mendengar suara pria itu entah dimana, "Entah kapan kau bisa mendengar rekaman suara ini, tapi… Senang mendengarmu bangun dari tidur panjang, dan tidak pernah terbayangkan kau akan terbangun dari koma setelah mengalami luka parah akibat ledakan itu. Kalau bukan karena efek C-Virus yang secara genetik diwariskan dari Albert Wesker, mungkin saat ini kau sudah menjadi seonggok mayat."

.

Sambil pesan suara itu terus berceloteh, Jake mengecek data pada paspornya. Paspor palsu yang ia gunakan bukan atas nama Jake Muller, salah satu perlengkapannya sebagai mercs agar tidak terlacak.

"Kau pasti bertanya-tanya siapa aku dan mengapa kau bisa selamat? Untuk itu bersyukurlah, karena aku menyelamatkanmu tepat sebelum markas Black Spider diledakkan. Kau terkapar akibat efek ledakan dari detonator yang kupasang di dalam kontainer, bom untuk membunuh Allan Groves. Ya, pria yang ingin kulenyapkan sejak lama." Jake mengembalikan paspornya ke dalam koper sambil terus mendengarkan, "Harus kuakui, kedatanganmu ke markas Black Spider adalah poin plus yang tak terduga. Dan bisa dibilang, aku yang telah merencanakan semuanya… Aku mengatur agar kau menerima tugas itu, termasuk memperhitungkan kemungkinanmu berkhianat dan memihak sang agen wanita. Gerakanmu terbaca dengan mudah.

Tanpa kau sadari kau telah berjalan pada garis peran yang telah kuberikan, peran seorang pengkhianat Black Spider. Dan aku berterima kasih untuk itu, JakeKau membuat tugasku membunuh Allan Groves menjadi lebih mudah. Kupikir meninggalkanmu mati bersama ledakan akan merusak keindahan 'permainan' yang sedang berjalan di dunia saat ini. Jadi setelah kau membantuku menghabisi Groves, giliranku untuk menyelamatkan nyawamu. Kita impas kan? Dan aku yakin peranmu belum selesai sampai disini… Jadi nikmatilah kebebasanmu, selagi kau bisa.

Have a good day, Wesker Junior."

.

Secara otomatis pesan yang baru saja didengarnya itu terhapus secara permanen. Jake melepas kedua headset dari lubang telinga lalu dengan emosi membanting gadget itu hingga terburai di lantai. Sh*t, apa-apaan ini… Jadi maksudnya ia sudah merencanakan semuanya dan aku adalah boneka yang bergerak sesuai dengan rencananya?! Sialan! Ia mengira-ngira siapa anggota Black Spider yang mampu melakukan hal itu, namun pikirannya langsung tertuju pada satu orang. Siapa lagi orangnya… Selain tangan kanan kepercayaan Allan Groves yang sudah berperilaku seperti anjing peliharaan?! Orang yang meregisterasi keanggotaannya di Black Spider, satu-satunya pria yang melihat rupanya sebelum Jake mengenakan seragam jubah hitam? Cuma ada satu orang.

A-002, dia orangnya.

Jake tidak habis pikir bagaimana mungkin abdi Groves yang setia itu ternyata seorang pengkhianat besar dalam organisasi, dan dia terpaksa ikut terlibat dalam rencananya. Ia meringis, bersumpah akan memberi pelajaran atas apa yang dilakukan A-002 terhadapnya pada kesempatan mendatang. Memanfaatkan Jake Muller memiliki harga tersendiri yang harus dibayar. Tapi untuk sementara ia harus menjalani masa pemulihan dari beberapa luka, kemudian dia memutuskan untuk pergi melacak keberadaan satu-satunya orang yang ingin ditemuinya... Wanita yang sama sekali tidak tahu bahwa Jake Muller masih hidup. Pria ini bertekad mencari Sherry Birkin.

.

.

.


February 10th, 2014 – Washington D.C

"Lalu intinya… Kau berhasil melacak keberadaanku disini, mengagumkan."

"Heh, aku bisa lolos dari kejaran si stalker Ustanak. Mencarimu bukan hal yang sulit."

Keduanya diam sesaat.

.

"Jadi ini hari pertamamu di Amerika?" lagi-lagi wanita itu bertanya untuk mengisi keheningan.

"Yeah begitulah…" jawab Jake malas. Ia membiarkan Sherry bersandar pada dadanya yang bidang sementara jemarinya sibuk memainkan rambut pirang wanita itu, "dan langsung berakhir di atas tempat tidur sang supergirl. Che, aku memang beruntung."

Dia tertawa saat Sherry Birkin menanggapi gurauan itu dengan melancarkan satu pukulan kecil pada perutnya. Membiarkan tubuh polos keduanya hanya dilapisi selembar selimut, mereka terlalu lelah untuk bergerak. Jake akhirnya berkesempatan menceritakan kabarnya selama satu bulan setelah peristiwa ledakan, menjelaskan keadaannya yang koma. Sekaligus menjawab mengapa wanita ini tidak pernah menemukan namanya tercantum di rumah sakit, atau mengapa Jake tidak terdaftar di catatan imigrasi manapun. Jake Muller menyembunyikan identitasnya dan bepergian menggunakan paspor palsu, kegiatan yang selalu dilakoninya sebagai mercenary.

"Aku benar-benar sempat melepaskan harapan kalau kau masih hidup, Jake. Karena tidak ada satu pun kabar, informasi, apapun…" Sherry mendongakkan kepalanya, menatap Jake. "Kau… Tidak tahu bagaimana bersyukurnya aku melihatmu lagi sekarang. Dan kau tahu? Dengan ini aku tidak akan mengalami mimpi buruk tentangmu setiap malam, dan tidak perlu lagi bertemu dengan para terapis-"

.

.

"Terapis?" Jake memotong, dan ia melihat Sherry menutup mulutnya, "Apa yang terjadi?"

Wanita itu diam, menimbang-nimbang untuk menceritakan terapi psikologis yang ia jalani. Tapi ia tahu tidak ada gunanya berbohong pada Jake Muller, disamping ia memang tidak berniat membohonginya.

"Hhh… Sebenarnya karena peristiwa di Amozi dan kabar mengenai kematianmu, aku mengalami trauma dan depresi berat. Keadaannya seperti saat aku kehilangan kedua orangtuaku… Jadi aku diharuskan menjalani terapi bersama dokter psikologis, Jake. Dan.. uh, no! Gawat! Ini gawat. Aku melupakan jadwal konsultasi hari ini!" mendadak tubuh Sherry terduduk dan bersiap-siap memungut satu per satu potongan pakaian yang tercecer di kamarnya.

"Na-nah… Wait, supergirl." Sebelum kedua kaki Sherry terjulur hingga menyentuh permukaan lantai, tangan Jake lebih dulu menarik tubuh itu dan menahannya pergi, "Memangnya siapa yang mengizinkanmu pergi?"

Jake menahan tubuh Sherry, sebelah tangannya merangkul tubuh wanita itu dari belakang.

"Bu-Bukan soal itu. Seharusnya aku pergi menemui terapis pukul sepuluh tadi, dan sekarang…" Sherry melirik ke arah jam dinding pada ruangan kamarnya, "Ugh sudah sangat terlambat. Tolong lepaskan aku, Jake! Aku harus segera mengabari rumah sakit untuk mengatur ula-"

"Lakukan itu besok, Sherry…" pria ini setengah memaksa. Mendekatkan bibirnya ke arah telinga, Jake berbisik, "Lagipula kau tidak akan membutuhkan pertemuan itu lagi mulai dari sekarang."

Sherry Birkin bergidik, bisikan suara itu seperti mantra yang membuatnya patuh. Ia pasrah membiarkan tubuhnya perlahan-lahan ditarik menjauhi sisi ranjang. Entah apa penyebabnya, baginya perkataan Jake Muller tidak terelakkan dan hanya mampu dituruti tanpa melawan. Wanita ini kemudian menoleh, hanya menemukan Jake Muller yang tersenyum puas sambil mendekap tubuh polosnya.

"Kau tidak butuh para terapis atau obat-obatan itu lagi," ucapnya setengah berbisik, menggodanya dengan memberi gigitan kecil pada pundak Sherry, "Aku adalah obat terbaik yang bisa kau dapatkan untuk menyembuhkan semua trauma itu."

.

Merasa tidak bisa menyerah pada perintahnya begitu saja, Sherry berbalik dan tiba-tiba mendorong tubuh pria yang masih mendekapnya dari posisi duduk hingga akhirnya jatuh terlentang. Jake sedikit terkejut pada perubahan sifat wanita itu, namun tidak protes atau bertanya sepatah kata pun. Yang penting Sherry Birkin membatalkan niatnya untuk pergi, pikirnya. Memandang paras cantik wanita itu berada di atasnya sambil tersenyum, membuat Jake bertanya-tanya.

"Aku punya satu permintaan," ujar Sherry Birkin dengan lembut sambil meletakkan satu kecupan kecil ke atas bibir Jake, "Katanya ini bagian dari penyembuhan trauma, Jake. Dan… Karena kau adalah obat yang paling mujarab, aku yakin kau pasti bisa melakukannya."

Pria ini menyunggingkan senyum lebar.

"Sure," Jake berkata dengan yakin, "Aku memang lebih baik dari semua dokter atau terapis itu, Sherry. Katakan saja permintaanmu, akan kulakukan."

"Sebenarnya…" raut Sherry berubah lebih serius, membuat Jake diam demi mendengarkan ucapan wanita itu dengan sungguh-sungguh, "Karena mengira kau sudah mati, dan aku harus berusaha melupakanmu… Semalam aku menghapus satu-satunya foto yang kusimpan di dalam ponsel, foto kita berdua di Amozi."

Dan rautnya tiba-tiba berubah menjadi berseri-seri seperti mempermainkan pria dua puluh tahun di sampingnya, "Jadi… Kupikir sekarang sebagai sebuah proses penyembuhan trauma, kita harus mengambil satu lagi foto kenangan! Foto kita berdua tentunya… Kau sudah setuju untuk membantuku, kan? Non-negotiable, Jake."

"Oh sh*t…" mendengar permintaan itu kontan membuat Jake Muller mengerang, ia memejamkan mata dan menepuk kepalanya sendiri.

Dalam hati ia menyesali kenapa ia begitu yakin dan mengiyakan semuanya begitu cepat?! Tampaknya ucapan Leon benar soal 'women'… Mereka memang tidak terduga. Dia melihat Sherry Birkin hanya terkekeh sambil menahan tawa, menikmati raut wajah Jake yang frustasi.

"Damn! Bunuh saja aku, Sherry…" Jake meraung protes, "Tidak, tidak dengan pose-pose konyol di depan kamera itu lagi!"

.

.

THE END

(Special thanks to : Lina dan otak fangirlingnya)

.

.

.


February 11th, 2014 - Unknown Place

Pria bertubuh tegap ini menerima panggilan masuk ketika sedang berjalan menuju sebuah ruangan, layar monitornya menampilkan sebuah nomor. Setelah beberapa percakapan biasa yang dimulai dari si penelepon, ia mulai berani mengajukan pertanyaan ketika sampai pada ruangannya.

"Aku masih tidak mengerti alasan Anda menyuruhku menyelamatkan Jake Muller," pria ini duduk dan meletakkan telepon di telinga kirinya, "Tapi anak Albert Wesker itu sudah siuman, dan dikabarkan pergi ke Amerika Serikat menyusul Sherry Birkin."

"Aaron… Kau belum paham?" dari balik speaker ponsel terdengar sebuah balasan, "Bocah Wesker itu adalah sampel hidup dari Anti-C, sekaligus satu-satunya makhluk hidup yang memiliki kesamaan genetik dengan ayahnya ; Albert Wesker. Dalam papan catur permainan bio-terorisme ini… Jake Muller adalah salah satu pion penting yang sayang jika dibiarkan mati begitu saja."

"Ngomong-ngomong, Arthur Lodge ditemukan bunuh diri di losmen sederhana. Padahal aku sudah mengatur janji untuk menjemputnya, mungkin dia tidak sepenuhnya tega membocorkan data pemerintah dan merasa bersalah karena itu? Benar-benar tolol." Aaron mendengus sementara jarinya mengetuk-ngetuk pinggiran koper logam yang tertutup di atas meja kerjanya, "Aku sudah mendapatkan sampel darah Jake Muller, juga sampel G-Virus yang diambil Groves dari Sherry Birkin. Dan kabar baik lainnya… Aku sempat mendapatkan sampel darah Allan Groves yang ia suntikkan untuk, ugh… Mantan anak dan istrinya yang telah berubah menjadi infected."

Terdengar suara tawa dari si penelepon, Aaron hanya menyeringai dalam diam.

.

"Kerja bagus, Aaron…" jawab pria itu, "Rencana kita sementara ini berlangsung mulus tanpa hambatan sedikit pun, tapi kau juga pasti sudah dengar kabarnya kan? Rosette Taylor telah berhasil dilenyapkan…"

"Yes, Sir… Wanita tua itu akan mengganggu rencana kita, membungkam mulutnya lebih cepat akan lebih menguntungkan. Lalu apa yang akan Anda lakukan sekarang, setelah semua sampel yang kita butuhkan sekarang telah terkumpul?"

Aaron mendengar pria itu berdeham, memberi jeda percakapan dengan keheningan sesaat sebelum ia melanjutkan dengan nada datar, "Tidak perlu khawatir. Aku sudah menghubungi orang yang paling tepat untuk mengerjakan pekerjaan selanjutnya, Aaron… Dia tampak tertarik pada rencana kita dan memutuskan untuk bekerjasama. Kau pasti mengenal nama wanita misterius itu.

Dia… Ada Wong."

.

.

.


Author's Note :

Chapter enam belas alias EPILOGUE selesai! Sekaligus tanda cerita Black Invitation ini TAMAT! *lempar bunga, nangis terharu akhirnya tamat juga…*

Jake dan Sherry akhirnya happy ending, karena kalau Jake beneran mati tampaknya saya akan dikutuk banyak orang, hahahaha (tapi memang Jake tidak direncanakan mati duluan kok.) Dan yang terakhir adalah pembicaraan Aaron alias A-002 dengan… penelepon Ada Wong di Lady in Red. Sekaligus spoiler Lady in Red 2 yang baru ada niat doang buat dibuat (baru niat loh ya, belum ada idenya).

Special thanks buat Nona fangirling yang udah bantuin saya, berkat ketikan yang isinya romance semua itu akhirnya saya bisa bernapas lega, hahaha. *traktiran menyusul, jangan nagih tiap detik ya Non XD

.

CK-Ace : So... After the epilogue, you won't shoot me, rite? Put down your gattling gun, Ace! xD

.

Semoga dengan chapter epilogue ini semuanya jadi jelas dan puas karena berakhir happy ending!

Terima kasih sebesar-besarnya untuk para readers yang selalu kasih support lewat review (Foetida, Roquezen, Red Apple 790, Saika Tsuruhime, sist Fika, gan Ray, vanbrugman89, gan zenobia, Shiina Yuki, Allucard Trigun, satsukiyurami, CK-Ace, etc) semua fave dan follow, termasuk buat secret readers sekalian. Mohon maaf kalau masih ada cerita yang nanggung, atau hal-hal lainnya… Dan akhir kata, saya mohon dukungannya di cerita-cerita mendatang (kalau ada). :D

-jitan-