Crying Rain
.
.
.
Disclaimer: Not mine, Vocaloid belong to Yamaha and Crypton
Genre: Romance, Angst
Warnings: Shonen ai, drabble, death character, don't like dont read.
Pairing: AkaitoXKaito
.
.
.
#That Word
Kanker, kata itu terus berputar-putar di kepala Akaito. Pertama kali dia mendengar kata itu adalah ketika senseinya di Sekolah Dasar meninggal, Akaito dan teman-temannya yang berkunjung bisa mendengar para kerabat sensei mereka yang berkumpul, membicarakan penyebab kematian saudara mereka.
Akaito, dari kecil adalah anak yang cerdas, dia tahu apa arti dari kata itu.
Kanker, adalah penyakit mematikan, yang membunuh jutaan orang di dunia secara perlahan-lahan. Banyak diantara mereka yang mengalami rasa sakit yang luar biasa menjelang akhir hidup mereka. Saat membaca tentang penyakit itu di sebuah ensiklopedia di perpustakaan, mau tidak mau Akaito merasakan simpati bagi orang-orang yang terserang penyakit ini.
Tapi sekarang, saat dokter memberikan diagnosisnya kepada Kaito, bukan lagi perasaan simpati yang dia rasakan. Dunianya yang sempurna sejak dia bertemu dengan Kaito seakan-akan runtuh dalam sekejap.
Kenapa? Diantara banyak orang di dunia ini, kenapa harus Kaito? Dia baru empat belas tahun, jalan untuknya masih sangat panjang, dan demi Kamisama di atas sana, Akaito belum siap untuk melepaskan kebahagiannya sekarang. Dia tidak akan pernah siap.
Tapi seberapa keras pun dia memikirkannya, dia tidak bisa mengingkari kenyataan, hal itu disadarinya saat Kiyoteru keluar dari ruangan kecil tempat para dokter memeriksa pasien dengan membawa Kaito yang wajahnya pucat pasi.
.
.
#Time
Waktu terus mengalir, dan walaupun Kaito mencoba untuk meneruskan hidupnya dengan normal, dia tidak bisa. Tubuhnya semakin melemah seiring berjalannya waktu, satu tahun sejak dia dinyatakan menderita kanker darah, atau leukemia, dia tidak lagi bisa menahan serangan-serangan yang terus menderanya.
Tepat di hari kelulusannya di SMP, Kaito mengalami kecelakaan parah, dia tidak sengaja terjatuh dan menyebabkan lebam di tangan dan kakinya. Bagi orang biasa, mungkin hal itu tidak akan menjadi masalah, lebam dan luka lecet akan sembuh dengan sendirinya setelah beberapa hari. Tapi bagi penderita leukemia seperti Kaito, luka sekecil apapun bisa menjadi fatal dan bisa menyebabkan kematian. Jadi saat lukanya tidak segera menutup, para guru di sekolahnya segera membawanya ke rumah sakit.
Disaat seperti inilah Kaito merasa sangat tidak berguna, dia terbaring lemah di ranjang rumah sakit yang penuh bau antiseptik, sementara banyak orang di luar yang mengkhawatirkannya. Dia benci saat tidak bisa tersenyum untuk anak-anak di panti asuhan, dia benci saat dia membuat wajah Kiyoteru-san dan teman-temannya dipenuhi kekhawatiran, dan dia paling membenci saat-saat dimana Akaito selalu mencemaskannya sampai-sampai pemuda berambut merah itu tidak punya waktu untuk dirinya sendiri.
Tepat saat dia berpikir seperti itu, pintu ruangan tempatnya dirawat menjeplak terbuka, Kiyoteru dan Akaito menghambur masuk ke ruangan itu dengan terburu-buru.
"Kaito, kau tidak apa-apa?", sembur mereka bersamaan.
Kaito hanya tertawa kecil melihat hal itu, benar-benar, mereka berdua begitu memanjakannya, seakan-akan dia masih seperti delapan tahun yang lalu, anak kecil yang rapuh. Ya, tubuhnya memang lemah, tapi Kaito sama sekali tidak rapuh, semua orang tahu itu. Selama satu tahun ini dia tidak pernah sekalipun mengeluh atau menangis karena penyakitnya. Di saat apapun dia selalu ceria, tidak pernah memasang tampang sedih di depan orang lain. Mungkin karena dia tidak ingin orang lain mengkhawatirkannya, atau mungkin karena dia tidak ingin mengasihani diri sendiri, Kaito sendiri tidak yakin.
.
.
#Home
"Dasar bodoh, kau tidak bisa lebih hati-hati ya? Untung saja kau cepat dibawa kemari."
Kaito hanya tersenyum mendengar gerutuan Akaito. Diantara semua orang, mungkin Akaito yang paling mengkhawatirkannya.
"Kenapa kau malah nyengir dengan tampang bodoh begitu sih?", Akaito masih belum puas mengomeli 'saudara'nya itu, tapi tampang Kaito yang begitu polos membuatnya tidak bisa melanjutkan omelannya. Jadi dia hanya duduk di samping ranjang dan mengacak-acak rambut biru Kaito sampai berantakan.
"He...he..., aku senang nii-chan selalu mengkhawatirkanku."
"Dasar bodoh."
Akaito terdiam sejenak. Dia memandang Kaito dengan tatapan lembut, sesuatu yang tidak pernah dia lakukan untuk orang lain.
"Hei, Kaito..."
Kaito memandang 'kakak'nya itu dengan heran. Tidak biasanya Akaito bersikap seperti ini. Apa Akaito sedang ada dalam masalah?
"Seminggu lagi aku akan keluar dari panti asuhan..."
Kaito hanya bisa terdiam, dia sudah tahu suatu hari hal ini pasti terjadi. Akaito sudah lulus dari sekolahnya dan selama setahun ini dia bekerja untuk melanjutkan kuliah dan menyewa apartemen. Mungkin memang sudah saatnya untuk berpisah. Tidak apa-apa, Kaito berusaha menguatkan dirinya sendiri.
Tapi belum sempat Kaito mengatakan sesuatu, Akaito mendahuluinya.
"Apa kau mau ikut denganku?"
"Aa...", Kaito tergagap mendengar permintaan yang tiba-tiba itu.
Melihat ekspresi Kaito, Akaito segera menambahkan, "Kalau kau tidak mau, aku tidak akan memaksa, kalau kau lebih suka tinggal di panti-"
Akaito tidak bisa melanjutkan kata-katanya, Kaito telah bangkit dari tempat tidurnya, pemuda berambut biru itu memeluknya sangat erat.
"Aku mau, tentu saja aku mau tinggal bersamamu nii-chan!"
Satu kalimat itu membuat Akaito seakan menjadi orang yang paling berbahagia di dunia. Pemuda itu membalas pelukan Kaito. Senyum bahagia terukir diwajah mereka berdua.
Sementara itu, di luar ruangan, Kiyoteru hanya bisa menghela nafas pelan melihat mereka berdua. Beberapa hari yang lalu, Akaito meminta izinnya untuk membawa Kaito. Semula dia menentang ide itu, Akaito masih sangat muda, sementara Kaito adalah anak yang masih menjadi tanggung jawabnya, lagipula keadaan Kaito semakin melemah. Kiyoteru tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Tetapi melihat kesungguhan Akaito saat itu, dia hanya bisa bilang dia akan mengizinkan apabila Kaito setuju. Bahkan saat itu, Kiyoteru sudah yakin kalau Kaito tidak akan pernah menolak permintaan Akaito.
Tetapi saat melihat wajah bahagia mereka berdua, dia tidak bisa mengatakan apapun lagi, dia akan bahagia apabila 'anak-anak'nya bahagia. Walaupun begitu, senyum di bibirnya perlahan memudar saat dia mengingat kata-kata dokter satu tahun yang lalu, mungkin kebahagiaan mereka tidak akan bertahan lama.
.
.
#Our new life
Apartemen itu tidak begitu besar dan ruangan di dalamnya masih sangat kosong. Tapi Akaito berniat untuk mengisinya sedikit demi sedikit selama dia tinggal di sana. Dia mencari Kaito yang sudah menghilang dari sampingnya. Anak itu begitu bersemangat sehingga lupa akan keadaannya sendiri.
"Nii-chan!"
Dia melihat Kaito melongok dari salah satu kamar di apartemen itu.
"Ada apa lagi?"
"Kamar ini boleh buatku ya?"
"Terserah."
Sebenarnya Akaito memilih apartemen ini memang karena kamar itu, dengan jendela besar yang menghadap langsung ke beranda yang terbuka, memperlihatkan pemandangan langit terbuka dari lantai teratas gedung. Tapi dia tidak akan pernah mengakui kalau dia sengaja melakukan hal itu karena mengetahui Kaito sangat menyukai pemandangan langit. Setidaknya tidak di depan Kaito.
.
.
#Love
"Kiyo-chan, Kiyo-chan!"
Kiyoteru yang sedang duduk santai di ruang rekreasi sambil menikmati tehnya menunduk, memandang bocah kembar yang menatapnya dengan mata besar mereka yang berkaca-kaca.
"Ada apa Rin-chan, Len-kun?"
"Kemana Kai-chan pergi?"
Kiyoteru tersenyum pada mereka, Rin dan Len termasuk anak-anak yang paling akrab dengan Kaito. Pasti kepindahannya juga berpengaruh besar untuk mereka.
"Kaito-kun akan pindah bersama Akaito-kun, tapi kalian bisa menjenguknya kapan-kapan", Kiyoteru berusaha untuk menghibur mereka.
Tiba-tiba mata kedua bocah itu bercahaya, menyebabkan kebingungan Kiyoteru bertambah.
"Len-chan, akhirnya Kai-chan akan bersama dengan Akai-chan", Rin menarik lengan Len yang berada disampingnya dengan antusias.
Kiyoteru memutuskan untuk membiarkan kedua bocah itu berbicara sendiri.
"Benar Rin-chan, akhirnya Akai-chan mulai bergerak juga."
Kiyoteru menyemburkan teh yang baru diteguknya.
"A ... Apa yang kalian bicarakaaaaaan?!"
"Bukannya Akai-chan dan Kai-chan saling suka?", kembar berambut kuning itu menjawab serentak menyebabkan kegalauan Kiyoteru bertambah. Apa saja sih yang dilakukan Akaito dan Kaito sampai anak-anak saja bisa memikirkan hal seperti itu?
Kiyoteru tahu dari dulu mereka sangat akrab seperti saudara kandung, tapi apa memang benar seperti itu? Kiyoteru tidak tahu, apa memang hubungan mereka seperti itu? Dia yang dekat dengan mereka sejak kecil merasa kalau Akaito memang mempedulikan Kaito lebih dari siapapun di dunia, begitu juga sebaliknya. Tapi dia tidak pernah melihat sesuatu yang lebih dari itu. Atau mungkin dia memang tidak tahu?
Yah, bagaimanapun dia bohong kalau dia bilang dia tidak bisa melihat kemungkinan itu terjadi. Mereka menganggap keberadaan satu sama lain adalah hal yang mutlak. Dia hanya berharap kalau pilihannya untuk membiarkan mereka tidak akan menghancurkan salah satu dari mereka suatu hari nanti.
.
.
#Happiness
Sebenarnya apa itu kebahagiaan?
Dulu bagi Akaito, kebahagiaan berarti bisa mempunyai kehidupan biasa seperti orang-orang yang lewat di depan rumahnya bersama-sama dengan keluarga atau teman-teman mereka. Berharap mendapatkan perhatian dari orang tua layaknya anak-anak lain, bisa bermain dengan teman-teman sebayanya, tidak sepertinya yang terkurung sendirian di dalam rumah penuh debu tanpa teman seorangpun.
Beberapa tahun setelah itu, dia akhirnya mendapatkan semua yang diinginkannya. Ditemukan oleh Kiyoteru, menemukan tempat tinggal yang layak, memiliki keluarga besar, bertemu Kaito dan diselamatkan olehnya. Mungkin Kaito sendiri tidak tahu, tapi kehadirannya saja bisa membuat Akaito keluar dari kegelapan yang selalu mengurungnya.
Dan sekarang, dia bahkan bisa tinggal bersama dengan Kaito. Memiliki orang yang selalu memperhatikan dan mengaguminya, yang bisa membuatnya senang dan sedih melalui hal-hal kecil yang dulu sama sekali tidak pernah dipikirkannya, bisa menangis dan tertawa bersamanya.
Jadi saat inilah dia bisa merasakan apa itu kebahagiaan, saat-saat yang dijalani dengan orang yang paling berharga bagi kita, itulah kebahagiaan. Dia tidak akan meminta lebih banyak lagi, tetapi hari-hari mulai berlalu dengan cepat. Dia tidak tahu sampai kapan Kaito akan bertahan, bulan demi bulan berlalu begitu cepat sehingga mau tidak mau dia selalu meminta agar Kamisama bisa menghentikan waktu, agar dia bisa bersama cahayanya lebih lama lagi.
.
.
#Sky
Kaito memandang langit dari jendela kamarnya di rumah mereka yang baru. Ketika memandang langit yang begitu luas itu, dia teringat akan masa kecilnya. Pada hari-hari awalnya di panti asuhan, dia selalu meringkuk di dekat jendela kamarnya, memandang langit di siang hari yang sama, yang mungkin tidak akan pernah berubah sampai kapanpun. Dulu yang dia pikirkan adalah betapa indahnya warna biru itu, seandainya dia bisa terbang ke sana dan meninggalkan dunia yang begitu kejam. Tetapi langit yang dilihatnya itu seakan-akan mengejeknya, anak yang begitu kecil dan lemah, anak yang tidak punya siapapun, selalu sendirian. Jadi dia ingin membuktikan bahwa dia bisa mengarungi langit itu biarpun sendirian, dia tidak pernah memikirkan rasa takut karena dia tidak lagi memiliki apapun di dunia ini.
Tapi sekarang, saat memandang langit yang sama birunya, dia bisa merasakan rasa takut yang amat besar menggerogoti tubuhnya. Bukan rasa takut akan rasa sakit, sejak kecil dia biasa berkompromi dengan rasa sakit. Yang membuatnya begitu takut saat ini adalah dia akan meninggalkan Akaito, tidak akan pernah lagi berbicara dengannya, tidak akan bisa lagi menyentuh tangan kakaknya yang hangat. Meninggalkan Akaito sendirian lagi.
Apa Akaito akan merasa sedih?
Apa Akaito akan marah padanya?
Apa Akaito akan terus mengingatnya, atau malah akan melupakannya?
Semua itu membuatnya semakin takut. Masa depannya sudah pasti adalah kematian, tapi masa depan Akaito tidak pasti, dan dia takut akan ketidakpastian itu.
Tapi dia akan menahan rasa takut ini sekarang, karena dia tahu Akaito juga merasakan rasa takut yang sama. Dan rasa takutnya akan menyebabkan luka yang lebih besar bagi Akaito. Jadi dia membiarkan semua perasaan itu menguap di langit, bersama dengan awan-awan yang melayang di atas sana.
.
.
#Dark
Keadaan pemuda berambut merah itu sedang tidak baik, sudah berminggu-minggu Kaito dirawat di rumah sakit dan keadaannya semakin memburuk. Dan dia tahu dari ekspresi para dokter dan perawat kalau keadaan Kaito tidak akan pernah membaik lagi.
Saat telepon genggamnya berbunyi dan melihat nomor Kaito tertera di layarnya, Akaito tahu ada sesuatu yang tidak beres. Dia segera menekan tombol dan menemukan suara seseorang yang bukan Kaito menjawab dengan panik.
"Halo, apakah ini keluarga Shion Kaito?"
"Ya, ada apa dengan Kaito?", dia bisa menangkap getaran dalam suaranya sendiri.
"Tadi keadaan Shion-san memburuk, jadi tolong anda segera datang kemari."
Akaito segera berlari mendengar kalimat itu, tidak mempedulikan ponselnya yang terjatuh di jalan. Tujuannya hanya satu tempat, rumah sakit.
Saat melihat dokter yang menggeleng pelan di depan pintu kamar Kaito, hatinya mencelos. Tapi dia memberanikan diri masuk ke ruangan itu.
.
.
#A little more
Kaito tahu waktunya tidak akan lama lagi, dia bisa melihatnya, seseorang yang datang menjemputnya. Pemandangan itu membuatnya takut, tapi dia tahu dia tidak bisa menghindar. Dia bisa merasakan sakit disekujur tubuhnya semakin menguat. Dia tidak akan bisa bertahan lebih lama.
Sedikit lagi.
Dokter pernah berkata kalau dia bisa hidup selama beberapa tahun ini merupakan keajaiban. Seharusnya dia tidak bisa bertahan lebih lama dari beberapa bulan setelah dokter mengatakan dia menderita kanker stadium akhir. Tapi dia bertahan hingga tiga tahun ini.
Karena itu tolong sedikit lebih lama lagi.
Dia ingin bisa bertahan sedikit lagi. Akaito tidak ada di sini. Dia tidak bisa meninggalkannya begitu saja, Akaito akan marah padanya. Akaito akan sendirian, tidak ada yang lebih menyedihkan dan menderita daripada hidup seorang diri. Kaito pernah merasakan itu dimasa kecilnya, demikian pula kakaknya. Saat itu Akaito adalah orang pertama yang mengajaknya bicara, yang terus ada di sampingnya walaupun Kaito tidak pernah membalas ucapannya sekalipun. Dan sekarang Kaito tidak akan pernah meninggalkannya sendiri tanpa mengatakan sesuatu padanya.
Beri aku waktu sedikit lagi.
Ketika dokter memasang alat bantu pernafasan dan melakukan tindakan darurat, pandangannya sudah mulai mengabur. Dia tidak bisa melihat. Tapi telinganya masih bisa mendengar. Seseorang berlari terburu-buru di lorong rumah sakit, menuju kearahnya, dan dia tahu pasti siapa orang itu.
"Kaito."
Suaranya begitu pelan dan tenang. Mungkin dokter sudah memberitahukan kalau sekarang adalah waktu perpisahan.
"Nii-chan ... lihat...", dia bahkan tidak bisa berbicara dengan benar. Tubuhnya terlalu lemah untuk itu.
Tampaknya Akaito mengerti, dia segera mendekat dan menggenggam tangannya.
Tangan itu gemetar, tapi kemudian menggenggam erat jemari Kaito yang lemah.
"Kaito ... jangan bicara lagi, aku ... aku di si-"
Kaito mengerang pelan, indra pendengarnya juga sudah tidak berfungsi, dia tidak bisa menangkap kata-kata Akaito.
"A ... Aku, nii-chan ... aku ... me-"
Aku menyayangimu.
Aku akan selalu bersamamu.
Aku akan menunggu.
Suaranya hilang. Kaito mencoba berbicara lagi, tapi tidak ada satu katapun yang terucap.
Tiba-tiba Kaito bisa merasakan Akaito yang mengeratkan genggaman tangannya. Dia tahu, Kaito tersenyum, Akaito bisa menangkap kata-katanya.
Dia menutup matanya, merasakan kehangatan terakhir yang perlahan-lahan mulai menghilang . Dalam kegelapan dia merasa bisa mendengar suara Akaito.
Aku juga menyayangimu Kaito.
.
.
#End
Dia hanya bisa memandang sosok pucat itu tanpa mengatakan sepatah katapun. Pandangan matanya kosong, walaupun dia bisa melihat, tapi semua hal disekitarnya terasa kosong. Bahkan ketika para perawat dan dokter masuk dengan tergesa-gesa ke ruangan itu dan seseorang menyeretnya keluar, dia tidak bisa merasakan apapun.
Setelah beberapa menit penuh ketegangan, semua orang yang ada di ruangan kecil itu terdiam, hingga suara seorang dokter memecahkan keheningan itu.
"Pasien Shion Kaito, waktu kematian 12.05"
Shion Kaito telah pergi dari dunia ini diusianya yang ketujuh belas, untuk selamanya.
.
.
#Memory of You
Dia tidak bisa pergi kemanapun lagi, di dunia ini tidak ada lagi tempat yang ingin dikunjunginya. Semua tempat terlihat sama baginya, bagi Akaito, dunia telah kehilangan warnanya, semua yang ada disekitarnya hanya kehampaan. Walaupun orang berlalu lalang di tengah kota menciptakan kebisingan yang luar biasa, suara itu tidak lagi mencapai telinganya. Di antara kegelapan dan kekosongan itu, dia terus berjalan ke tempat yang dulunya dia sebut rumah.
Rumah, apa aku masih bisa menyebutnya seperti itu?
Baginya rumah adalah Kaito. Saat Kaito tersenyum padanya, saat Kaito memanggil namanya, saat Kaito menyentuhnya. Baginya sesuatu yang disebut rumah itu sudah menghilang, tidak akan pernah kembali lagi.
Dia berjalan ke kamar Kaito. Kamar itu begitu kosong, Kaito tidak punya banyak barang, tidak seperti remaja seumurannya yang seharusnya terus menumpuk barang-barang tidak berguna di kamarnya. Sekarang dia menyesal Kaito tidak melakukan itu, tidak banyak barang yang bisa mengingatkannya akan Kaito. Sekarang Kaito hanya ada dalam ingatannya, ingatan yang begitu jelas bagaikan luka yang menganga lebar.
"Aku ingin bisa terus bersama-sama seperti ini."
Wajah tersenyum Kaito selalu membuatnya merasakan kehangatan di sekujur tubuhnya, tapi saat ini ingatan akan wajah polos penuh senyum itu hanya membuat luka yang dirasakannya semakin membesar. Rasa sakit itu terus bertambah tanpa bisa dikendalikannya, rasa sakit yang dia sendiri tidak tahu dari mana asalnya.
"Karena namaku Akaito, berarti kau adalah Kaito."
Ingatan saat dia pertama kali mendengar suaranya terbayang dalam benaknya.
Apa kau tidak sadar Kaito, aku memberikanmu nama itu bukan hanya agar aku tidak akan pernah melupakanmu. Ketika aku memberikan nama yang merupakan bagian dari namaku, aku sudah memberikan separuh dari jiwaku untukmu, supaya kau tidak akan pernah bisa meninggalkanmu. Agar kau bisa berada di sampingku, selamanya.
Dan dalam ruangan kosong itu, dalam keheningan itu, dia hanya bisa membisikkan sesuatu yang paling diinginkannya, sesuatu yang tidak akan pernah lagi didapatkannya seberapa besarpun dia berusaha atau meminta. Tapi selama berjam-jam, dia terus memohon, terus berbisik seakan-akan apabila dia terus melakukan itu, rasa sakitnya akan menghilang.
Ketika akhirnya suaranya menghilang, ketika akhirnya dia tidak bisa lagi menahan berat tubuhnya dan terjatuh di lantai kamar yang keras, sesuatu yang terus ditahannya sejak masih kecil, semua yang dimilikinya, semua beban dan rasa kesepian hingga rasa ketakutan itu mengalir keluar dari sudut matanya.
Di antara debu-debu yang beterbangan di penjuru ruangan itu, dia bisa mendengar gema suara dalam hatinya yang terus meneriakkan kata-kata itu.
Jangan pergi, Kaito...
.
.
#Rain
Hari itu hujan deras, hari dimana Kaito dimakamkan. Satu per satu orang berpakaian hitam mulai mendatangi lokasi pemakaman, Kiyoteru ada di sana, diantara para penghuni panti asuhan yang sedang menangis tanpa henti. Anak-anak itu terus menangis seakan tidak ada hari esok, mengiris-iris hatinya setajam pisau. Dia bisa mendengarkan dengan jelas teriakan Len dan Rin diantara anak-anak itu.
Saat peti itu diturunkan ke dalam lubang dan para petugas pemakaman mulai menguburnya dengan tanah, Kiyoteru membiarkan air matanya mengalir. Membiarkannya jatuh bersama hujan deras ini, biarlah saat ini waktu mereka berhenti untuk berduka, menandai kepergian salah satu anggota keluarga mereka yang berharga. Dan besok, saat waktu mereka mulai mengalir kembali, mereka akan tersenyum lagi, bersama dengan ingatan akan dia yang sudah pergi selamanya.
Pemuda berambut merah itu ada di sana, di antara pepohonan dan batu-batu makam, tidak sanggup lagi mendekat. Diantara isak tangis yang teredam oleh suara hujan, dia bisa mendengar suara peti yang mulai diturunkan. Dia tidak melihat ke arah itu, tidak, dia tidak sanggup. Melihat orang yang paling disayanginya, orang yang paling berharga dalam hidupnya mulai terkubur dalam gelapnya bumi. Waktu orang tuanya meninggal saat dia kecil dulu, Akaito tidak menangis, dia hanya bisa menatap kepergian mereka dengan pandangan dingin.
Saat ini, dia juga tidak menangis, tidak bisa. Dia hanya menatap kosong saat orang-orang mulai meninggalkan makam. Ketika semua orang sudah pergi, dia berjalan ke sana.
Dia menatap gundukan tanah hitam yang dibasahi air hujan, ingin rasanya dia meraung-raung, menggali kembali tanah di bawahnya untuk membebaskan Kaito.
Tapi dia tidak bisa.
Apapun yang dilakukannya saat ini, kegelapan dalam hatinya tidak akan berkurang.
Karena cahayanya sudah menghilang, kembali ke langit yang tidak bisa dia raih.
Jadi dia duduk di samping makam, memeluk batu yang berukirkan nama dan masa hidup orang yang paling dicintainya. Terus di sana sampai hari mulai menggelap. Tetesan air hujan yang semakin deras mulai menyakitinya, tapi dia tidak peduli, karena saat ini air matanya mulai tumpah. Dia membiarkannya karena saat ini adalah saat terakhir dia melakukannya.
Kaito sudah menghilang, tetapi lautan ingatan tentang Kaito masih terus menghantuinya, bagaikan aliran air yang tidak pernah berhenti. Terus menghujani setiap detik dalam hidupnya.
Dan dia tahu, hujan ini tidak akan pernah berhenti.
.
.
END
.
.
A/N:
Lagi-lagi saya membunuh karakter di fict saya, entah kenapa rasanya tangan saya yang bergerak sendiri dan jadi fail begini . Berhubung fict ini sudah tamat, mungkin saya akan bikin fict lain dengan pair berbeda, mungkin KiyoteruXKaito atau YuumaXKaito.
Semua review sudah dibales lewat PM. Buat Sillo-san yg ga login, reviewnya dibales di sini aja ya:
Soal ga ada tokoh cewek di sini, itu karena Author kebingungan buat masukin tokoh baru di sini, entah kenapa cerita jadi terlalu fokus pada Akaito-Kaito . Dan iya, Akaito memang pedo #plaak
Arigatou gozaimasu udah review^ ^
Terima kasih buat semua yang sudah baca dan review chapter 1, semua review kalian, semua kritik dan saran sangat berharga buat Author abal ini, jadi tolong masukannya untuk chapter ini juga ya^ ^