Yhay! Sesuai janji author chapter 8 update kilat ^_^

Terima kasih banyak kepada para readers yang sudi mampir untuk membaca, mereview ataupun memfollow. (^0^)! Author senang sekali jika para readers sekalian juga menikmati fict ini. . .

Special Thanks for: Putrie hehe, hinatauchiha69, RisufuyaYUI, Hime Heartfilia, heryani lindA, semy, Aira uchiha, gihan , .14, Yellow'Pink Konoha, Hyuga hime, Guest, winey-chan, Diane Ungu, Bonbon 0330, Dewi Natalia, kirei- neko.

Let's Find New Love, Hinata!

Disclaimer: Naruto selalu milik Masashi Kishimoto donk, kalau milik saya Cuma fict ini

Warning: OOC, school life, Geje-ness, agak berantakan, typo beterbaran, dll

Warna orange terkombinasi merah menyebar merata di langit indah kota Konoha, menimbulkan bias-bias pada tiap benda yang menatapnya juga bayang-bayang gelap pada sisi benda yang membelakangi sang mentari yang hendak kembali ke peraduan. Bel tanda berakhir pelajaran sudah berdentang selama beberapa menit yang lalu. Murid-murid Konoha Senior High School mulai beterbaran keluar kelas, menuju parkir atau langsung berjalan pulang bersama teman-temannya.

"Kau benar-benar mau pulang sendirian." Gaara menyedekapkan kedua tangannya. Mata turquoisnya tak bergerak ke manapun, memandang gadis bermata lavender yang jauh lebih pendek darinya.

"Aku bukan anak kecil lagi. Lagipula sekarang masih sore." Dengus si gadis. Kedua alisnya bertaut di antara sela-sela poni ratanya yang berwarna indigo.

"Kau tak mau menungguku selesai kegiatan klub, Hinata?" Tanya Gaara lagi, terdengar nada kecewa di dalamnya meskipun Sabaku muda itu berusaha menekan suaranya. Gadis bernama Hinata itu menggeleng perlahan, ada raut bersalah terpancar pada wajah ayunya yang sedikit menunduk.

"Gomenne, aku ingin cepat-cepat pulang untuk mempersiapkan makan malam." Tukas Hinata sembari memainkan telunjuknya. Sebentar kemudian ia melirik Gaara yang menghela napas panjang. Sejujurnya Hinata merasa bersalah karena tidak bisa menunggu Gaara sampai bubaran kegiatan klub basket. Terlalu lama, sekitar satu setengah jam.

Hinata baru tahu jika Gaara mengikuti klub olahraga yang berhubungan dengan bola berwarna orange serta adegan lempar, lompat dan berkelit seperti itu. Pantas saja tubuh Gaara mulai membentuk otot sehingga menambah kesan atletis pada bungsu Sabaku itu.

"Baiklah." Ujar Gaara kemudian yang membuat Hinata merasa lega.

"A-ano, Gaara kun mau makan apa untuk nanti malam?" Tanya Hinata sebagai penebus rasa bersalahnya. SI rambut merah terdiam sebentar tampak menimbang-nimbang. Menurutnya semua masakan Hinata selalu enak. Tetapi kalau soal makanan favoritnya. . .

"Tanshio." Putus Gaara yang ditanggapi Hinata dengan senyum lebar.

"Hai, nanti akan kubuatkan." Janji si gadis indigo. Gaara hanya tersenyum simpul sembari mendekati pemilik mata lavender itu. Hinata merasa tidak nyaman dengan posisi Gaara yang sudah berdiri tepat di hadapannya. Jujur ia masih belum bisa menerima Gaara sebagai pengisi hatinya. Baginya Gaara adalah sosok teman terbaik sekaligus kakak yang memperhatikannya. Salahkan saja persepsi orang-orang yang mengira dia dan Gaara berpacaran. Mereka masih berteman baik. Hello, Hinata bahkan belum menjawab pernyataan perasaan Gaara. Hinata belum mencintai sepupunya itu. Entah gadis itu belum cinta atau ia tidak bisa mencintai orang lain karena sebenarnya hati dan pikirannya sudah terkontaminasi oleh seseorang dengan aura gelap yang tampan, sedikit kasar dan errr. . .sexy, atau so damn hot mungkin. Siapa lagi kalau bukan si pemuda bermata obsidian dengan gelar Uchiha di belakang nama Sasuke.

"Ga-Gaara kun, latihannya akan segera dimulai." Ucap sebuah suara kikuk dari seorang gadis berambut coklat pendek. Suara tersebut sukses membuat tangan Gaara yang hampir menyentuh pipi tembem Hinata terhenti, sehingga Sabaku muda itu menghembuskan napas pelampiasan kekesalan. Sementara Hinata bernapas lega mendengar suara pertolongan tersebut.

"Iya, Matsuri. Aku akan segera kesana." Ujar Gaara ogah-ogahan sembari menoleh ke arah gadis yang memanggilnya, kemudian kembali menatap wajah Hinata.

"Nah, aku latihan dulu ya." Tangan Gaara menepuk-nepuk puncak kepala Hinata sembari sedikit mengacak-acaknya perlahan. Hinata hanya tersenyum kecil ketika dilihatnya sepupunya itu berbalik pergi diikuti oleh gadis mungil bernama Matsuri yang Hinata asumsikan sebagai manajer klub basket. Matsuri yang mengekori Gaara menoleh pada Hinata sekilas. Gadis berambut coklat pendek itu mengangguk seraya tersenyum kecil pada Hinata yang masih mematung. Meski sedikit kikuk, Hinata membalas salam perpisahan Matsuri dengan senyum terbaiknya. Berikutnya mata bulannya mengikuti sebentar sosok Matsuri yang berlari-lari kecil mengikuti langkah Gaara yang sudah cukup jauh.

"Tanshio ya?" Gumam Hinata lalu menimbang-nimbang bahwa bahan makanan untuk membuat menu kesukaan Gaara tersebut mungkin tidak dijual di grosir di dekat kediamannya juga sepanjang jalan perjalanan pulang. Bahan utama tanshio adalah lidah sapi segar yang jarang di temui di toko-toko daging biasa. Otak Hinata berpikir keras dimana bisa menemukan bahan tersebut hingga terlintas sebuah toko daging cukup besar yang arahnya berlainan dengan arah pulangnya selama ini.

Hinata yakin di toko tersebut ia bisa mendapatkan apa yang ia butuhkan dan untuk arah yang berlainan, hal itu sama sekali bukan masalah baginya. Hinata akan melakukan apapun untuk menebus kesalahannya. Selain itu, Hinata cukup kenal daerah yang akan ia tuju meski sekitar enam bulan lalu terakhir kalinya ia mengunjungi tempat tersebut. Meski arah yang akan di tempuhnya memutar dan tidak searah dengan jalan pulang yang sering ia tempuh, tetapi ada jalan pintas yang bisa membuat Hinata pulang ke rumah dengan lebih menghemat waktu. So, just do it. . .

Keadaan agak lenggang terlihat di sepanjang koridor. Hanya ada sedikit murid yang masih bertahan di sekolah sambil berlalu lalang. Namun suasana agak berbeda terlihat di lapangan luas sekolah Konoha. Di tempat sangaaat. . . lapang itu banyak murid berkerumun, tampak sibuk sekali membuat persiapan. Tentu saja, beberapa hari lagi pentas festival musim panas yang merupakan acara tahunan wajib di sekolah eksklusif tersebut akan di gelar. Dan setelah festival usai, bisa dibayangkan hari-hari libur yang segera menyongsong. Pantai berpasir putih yang melambai, es krim yang meleleh, orang-orang yang memanjakan diri berjemur di bawah teriknya matahari untuk membuat kulit mereka tampak lebih eksotik dan segala kenikmatan liburan musim panas pastinya sudah dinantikan oleh semua murid.

Hinata pun membayangkan liburan musim panasnya sembari berjalan pelan menapaki lantai dingin koridor. Tahun lalu, ia dan keluarganya berlibur ke Hawai atas ajakan ayahnya yang tidak terduga. Sungguh Hinata tidak pernah menyangka bahwa ayahnya yang selalu terlihat berwibawa dan tegas terhadap semua anaknya itu, terutama Hinata, tiba-tiba membelikan empat tiket berlibur ke pulau tropis semacam Hawai. Hiashi Hyuuga tidak banyak menunjukkan ekspressinya memang, tetapi ditinjau dari kalimat ayahnya yang mengatakan bahwa 'Ayah akan mengambil istirahat beberapa hari selama liburan. Jadi, ayah berpikir untuk sedikit menghabiskan waktu bersama keluarga.' Hinata tahu bahwa ayahnya yang tegas itu begitu mencintai keluarganya, anak-anaknya, yang merupakan warisan istrinya yang telah tiada. Ah, tidak ada alasan bagi Hinata untuk tidak menyayangi Ice Dad-nya itu.

Sembari sibuk tenggelam dalam imajinasinya, mata bulannya memperhatikan samping kirinya, mengamati panggung dadakan yang ditata di tengah lapangan. Anak-anak drama juga panitia pastinya sibuk luar biasa. Latihan drama dan mempersiapkan perayaan musim panas yang akan di gelar. Pastinya, agar para pemain drama lebih bisa menguasai panggung, maka panitia benar-benar mewujudkan panggung tersebut di tengah lapangan. Alih-alih membiasakan diri kepada para pemain untuk dipelototi berbagai pasang mata yang kebetulan lewat, Hinata tertawa kecil memikirkannya.

Dan untuk semua rasa penasaran Hinata, mengapa ia melihat Temari memasang perban kuning bertuliskan 'Don't Cross' mengitari panggung berukuran yeah. . . cukup besar itu meski drama tersebut hanya sebuah latihan. Lalu sejak kapan terdapat bangku bertumpuk mirip bangku yang biasanya digunakan untuk menonton secara live pertandingan sepak bola atau pertandingan American football diisi penuh oleh para gadis yang menjerit-jerit histeris. Bola mata pucat Hinata berputar dan mendapati apa penyebab 'keanehan' yang juga menjawab rasa penasarannya.

Mata bulat sewarna bulan milik Hinata mengikuti derap langkah seseorang yang kini berjalan angkuh menaiki panggung. Cowok berambut harajuku dengan lembaran naskah di tangannya. Sasuke yang telah berganti kostum, mau tak mau membuat Hinata terpana dan memandangi pemuda Uchiha itu cukup lama. Well, kostum yang dikenakan Sasuke berupa kaus berwarna kelabu, berkerah tinggi dengan resleting yang terbuka sebagian, sehingga mengekspos dada bidang putih semulus porselen dengan otot-otot atletisnya yang bisa membuat para perempuan memekik kegirangan melihatnya. Lalu untuk bawahannya adalah celana panjang gelap yang terbungkus kain warna biru keabu-abuan diikat oleh lilitan-lilitan entah apalah itu (pakaian Sasuke di Naruto shippuden). 'Uhg, so damn hot.' Pikir Hinata yang kemudian segera meralat pikirannya sendiri 'Whoa, apa yang kupikirkan?! Apa dia tidak bisa berpakaian dengan lebih 'normal'?' Kepala Hinata menggeleng dengan cepat sementara wajahnya sudah bersemu merah tanpa ia tahu mengapa.

Sasuke pun memperhatikannya. Gadis imut berambut indigo yang berdiri cukup jauh darinya sembari mengamati persiapan festival musim panas dengan wajah menggemaskannya yang seperti anak kecil. Gadis itu tampak lucu ketika kepalanya menggeleng-geleng dengan wajahnya yang tiba-tiba memerah sehingga membuat si Uchiha mau tak mau menarik sedikit bibirnya membentuk senyum kecil. 'Ah, jangan-jangan ia berpikiran mesum tentangku?' pikir Sasuke sembari menyeringai mesum. Bagaimanapun Sasuke tak bisa membenci Hinata, ia terlalu mencintainya. Sasuke adalah tipe possesif dan ia akan mendapatkan apa yang diinginkannya, meski tidak sekarang, ia akan menunggu saat yang tepat. Hell, ia tidak akan pernah menyerah tentang Hinata.

Jika saja bukan karena rasa gengsinya yang begitu tinggi juga pikiran buruk bahwa Hinata sudah memilih Gaara, mungkin Sasuke akan berjalan ke arahnya sekarang. Menggamit tangan mungilnya yang menghantarkan sensasi lembut nan hangat, lalu mengantarnya pulang. Ya Sasuke pasti akan meninggalkan segala kesibukan persiapan festival hanya untuk bisa menghabiskan sedikit waktu bersamanya. Menikmati memandang wajah imut menggemaskan itu, melihatnya tertawa, cemberut, dan hal yang paling disukainya. . . membuat Hinata merona merah padam ketika ia berhasil menggoda gadis itu.

"ACTION!" suara nyaring Temari membuat Sasuke memutus kontak mata serta pikirannya dari Hinata. 'Geez, ini waktunya latihan Sasuke, berhenti bermain-main.' Maki otak jenius Sasuke. Sekejap, Sasuke merubah gesture tubuhnya. Ia adalah seorang professional secara keseluruhan. Begitu menjiwai peran yang dimainkannya terutama karakter yang ia perankan tidak jauh berbeda dengan pembawaannya. Tokoh seorang ninja yang menjadi missing nin, berkarakter dingin dan terlalu keras kepala untuk mendengarkan orang lain dan menyukai berjalan di jalan kegelapan sendirian. Naruto yang menjadi lawan mainnya sudah muncul dengan kostum orange nge-jreng yang membuat Uchiha itu tertawa mencemooh dalam hati. 'Dobe terlihat semakin bodoh saja dengan kostum itu.'

Naruto dan Sasuke berada pada adegan bertarung. Bukan hal yang sulit bagi keduanya karena keduanya sudah menjadi teman saling hajar saat mereka masih hijau dan polos-polosnya. Keduanya saling bertarung seperti bukan drama saja melainkan bertarung sungguhan! Berbagai jurus dan serangan saling mereka lancarkan sembari menghindari serangan dari lawan masing-masing. Sasuke memiliki gerakan cepat serta tenaga yang kuat sedangkan Naruto memiliki insting yang bagus serta bersemangat dalam pertarungan. Hinata takjub melihat scene battle fighting tersebut, seperti film Ninja yang sering ia tonton. Namun kedua manik rembulannya lebih terfokus atau mungkin hanya tertuju pada sang ninja missing nin. Wajah datar nan dingin namun rupawan. Ekspressi tenang namun tersirat hawa menakutkan yang semakin menambah kesan cool pada pemuda bermarga Uchiha.

Pada sebuah kesempatan, Naruto menyerang Sasuke dengan hantaman pukulan. Sasuke mengelak dengan gerakan salto ke belakang, membuat suara-suara heboh pekikan fansgirl terdengar dari bangku penonton demi melihat baju si pemuda Uchiha yang berkibar-kibar memperlihatkan sebagian otot perut yang begitu menggiurkan. Kebisingan para penonton gadis tersebut sukses mengalahkan suara para pemain drama sendiri yang sudah difasilitasi dengan loudspeaker mini yang terletak dekat mulut mereka. Temari bahkan kewalahan berteriak-teriak menggunakan pengeras suara yang biasa dipakai para demonstran sedangkan Shikamaru hanya menutup telinganya dengan malas sambil sesekali menguap.

"SHUT UP YOUR FUCKING MOUTH ALREADY OR I SHALL SEND YOU ALL TO DAMN HELL, UNDERSTAND ?!"

Nah, teriakan terakhir cewek berkuncir empat tersebut sukses membuat suasana menjadi adem ayem. Tampak Shikamaru yang sudah membuka telinganya mengerjap-ngerjapkan matanya. Heran, sejak kapan kakak Gaara itu bisa lancar mengucapkan bahasa Inggris padahal selama ini ia meminta bantuan Shikamaru sebagai kamus berjalan baginya. Ckckck. . . dalam hati, Shikamaru mencatat ini baik-baik, 'Temari hanya lancar mengucapkan kalimat-kalimat umpatan dengan sangat baik.'

Sasuke yang berwajah stoic memandang jengah pada kumpulan gadis yang mengaku sebagai fansgirlnya. Detik berikutnya, ekor mata onyxnya menangkap sosok berambut indigo yang tampak menepuk dahinya sendiri. 'Ah, aku harus pulang.' Pikir Hinata lalu menatap sebentar pada panggung. Deg! Mata kelam obsidian itu juga menatapnya. Begitu intens dan penuh keinginan di dalamnya. Keinginan untuk memiliki, kepossesifan, sehingga membuat jantung Hinata berdebar keras. Hinata menelan ludah susah payah lalu dengan gaya yang sangat kikuk sekaligus panik gadis itu berlari ke arah gerbang dengan wajah bersemu merah.

'Dia lucu seperti biasa.' Batin Sasuke sembari mengikuti punggung mungil Hinata yang kian menjauh. Mungkin ia pulang, pikir Sasuke. Siapapun pasti pulang sekarang jika tidak ada kegiatan klub atau menjadi pemain drama juga menjadi panitia seperti dirinya sekarang. Namun, Sasuke tak dapat melepaskan pandangannya ketika gadis itu menghilang ke arah timur, bukan arah barat sebagaimana biasanya ia pulang. Alis Sasuke sedikit berkernyit. Sedikit banyak hal tersebut mengusik pikirannya. Entah kenapa ia merasakan firasat buruk dan firasat buruk seorang Uchiha selalu terbukti. Tetapi Hell, ia sekarang sedang latihan drama. .!

Hinata menghela napas panjang. Gadis itu menggerutu pelan saat mengingat kebodohannya yang meninggalkan Gaara dan memilih pulang sendirian. Kantung belanjaan berwarna coklat yang berada di pangkuannya di remasnya cukup erat karena udara malam yang terasa cukup dingin menggigiti kulitnya.

Meskipun sekarang ini belum larut malam, masih pukul enam tetapi suasana begitu sepi menemani tiap langkah perjalanannya. Lampu-lampu kota menyala dengan terang, tetapi hampir sebagian besar rumah, kafe, maupun bangunan-bangunan di kanan kiri jalan dalam keadaan tertutup. Apa mungkin orang-orang sedang ramai menuju ke tempat lapang untuk melihat kembang api? Ini musim panas. Tetapi bukankah perayaan musim panas kota Konoha sekitar satu minggu lagi, mengapa sesepi ini? Batin Hinata sembari memperhatikan sekitarnya.

Hinata mempercepat laju kakinya ketika merasakan udara semakin dingin menerpa kulit putihnya. Gang-gang sepi nan gelap menjadi momok tersendiri bagi Hinata. Apalagi terkadang ia berpapasan dengan pasangan muda mudi atau sekelompok genk remaja dengan pakaian aneh dan dandanan nyentrik pula. 'Tenang Hinata. Tidak usah pedulikan mereka. Tetap berjalan lurus dan usahakan tidak menoleh ke kanan atau ke kiri.' Suara di kepala Hinata terus memberi nasihat.

Hinata tahu bahwa jalan memutar yang dipilihnya kini mengalami banyak perubahan dibanding enam bulan lalu, terakhir kalinya ia lewat disini. Ini lebih mirip seperti jalan yang rawan. Gang gelap di kanan kiri, kafe remang-remang juga hotel yang Hinata yakini sebagai love hotel begitu banyak ia jumpai, seakan tempat itu disulap sebagai arena para kaum hedonis ataupun para pencari kenikmatan malam.

Terlalu tanggung bagi Hinata untuk kembali karena dengan begitu ia akan menghabiskan waktu sekitar setengah jam untuk berjalan menuju stasiun lalu naik shinkansen kemudian turun dan kembali berjalan sepuluh menit untuk sampai di kediamannya yang nyaman. Sedangkan jika Hinata meneruskan langkahnya, delapan menit lagi ia akan menjumpai halte bis yang bisa mengantarkannya pulang tepat di depan rumahnya dengan hanya menghabiskan waktu sekitar dua puluh menit.

"Waa, ada cewek manis sendirian." Hinata menoleh ke arah suara asing yang sepertinya ditujukan padanya. Mata putih lavendernya sedikit melebar demi melihat beberapa orang pria yang tampak bukan orang baik-baik keluar dari gelapnya gang yang berada di sebelah kirinya.

"Hei, manis, mau menemani kami." Seloroh seorang pria berambut coklat cepak. Meski samar, indera penciuman Hinata dapat menangkap aroma alcohol dari pria tersebut. Hinata mengambil langkah mundur sementara pria-pria berwajah sangar itu merangsek maju, seakan bernafsu hendak menerkam tubuh mungilnya.

"Kyaa! Lepas.!" Jerit Hinata ketika dengan tiba-tiba seseorang dari kumpulan berandalan itu menarik tangannya dengan paksa untuk masuk ke gang gelap tersebut. Sebuah pukulan Hinata sarangkan tepat ke perut lelaki tersebut, membuat musuhnya terhuyung ke belakang.

"Cih, gadis merepotkan!" Sentak pria yang baru saja mendapatkan pukulan Hinata. Hinata menggerakkan bola matanya berkeliling, menyadari kondisinya berada dalam bahaya terutama karena jumlah musuhnya yang berjumlah tujuh orang ditambah dengan keadaan sekitarnya yang sepi. Ia tidak yakin bakal menang menghadapi tujuh lelaki kekar tersebut meskipun ia menguasai beberapa ilmu bela diri. Apalagi sebagian dari mereka dalam keadaan mabuk yang pastinya akan semakin kalap jika dilawan. Pilihan yang terbaik bagi Hinata saat ini adalah. . . kabur!

SRET!

"Mau kemana cantik?" Seakan bisa mengetahui pikiran Hinata, beberapa orang sudah memblok akses jalan Hinata untuk kabur. Hinata meneguk ludah, menyadari dirinya yang terkepung. Orang-orang gila itu semakin merangsek maju, membuat area aman Hinata semakin menghilang saja. Mereka memaksa Hinata bergerak mundur menuju ujung gang yang buntu.

"Tenang saja, kami tidak akan menyakitimu kalau saja kau mau menurut, khukhukhu. . ." Seorang Pria berkepala plontos dengan tato naga di lengannya yang berotot membuat Hinata bergidik ngeri. Hinata yakin pria besar itu adalah pemimpin mereka. Hinata meneguk ludah melihat perawakan si pemimpin yang begitu besar dan berotot. Dengan lengan sebesar itu, kemungkinan bisa menjatuhkan seseorang dengan sekali pukul. 'Ini gawat' pikir Hinata.

"Hehehehe" Tawa rendah keluar dari mulut para pria yang mulai berjalan mendekati Hinata. Kali ini Hinata tidak akan mundur atau lebih tepatnya tak bisa mundur karena di belakangnya adalah tembok datar yang menjulang tinggi. Hinata mengambil napas, menghembuskannya perlahan. Kakinya terbuka pada posisi menyerang dan bertahan sekaligus dengan telapak tangan menghadap ke depan, bersiap sebagai perlawanan.

Salah seorang pria mendahului rekan-rekannya hendak menyentuhnya, namun tangan kotor itu berhasil ia tangkis dengan kantung belanjaannya disusul Jyuuken tepat di dada kiri pria brengsek tersebut. Melihat satu temannya limbung, pria-pria di belakangnya semakin kalap menuju Hinata, menyerang gadis bermata rembulan itu secara bersamaan.

Hinata memasang kuda-kuda, menangkis tiap serangan dan tangan-tangan yang berusaha menjamah tubuhnya, sebisanya. Sambil bergerak menghindar, beberapa kali telapak tangannya melancarkan jyuuken pada pria-pria beringas itu. 'Terlalu banyak' pikir Hinata yang mulai kewalahan menangkis dan melakukan serangan balik pada lawan-lawannya. Beberapa kali juga gadis itu menerima serangan karena ia tidak bisa menghadapi enam orang sekaligus. Jika terus seperti ini Hinata tidak akan bisa bertahan.

Sembari berkonsentrasi memukul jatuh musuh-musuhnya, Hinata dengan kakinya yang seperti penari bergerak gemulai menghindari serangan. Gadis itu berusaha membuka celah agar ia bisa terbebas dari kukungan pria-pria bejat tersebut. 'Sedikit lagi' pikir Hinata ketika hanya ada satu lawan yang kini menghalangi jalan keluarnya.

"Akh!" Hinata meringis kesakitan saat sebuah pukulan keras menghajar punggungnya. Karena terlalu terfokus kepada orang yang ada di hadapannya, Hinata tidak menyadari musuh lain yang menyerangnya dari belakang. Tubuh Hinata agak terhuyung, tetapi gadis bermata rembulan itu berhasil mempertahankan keseimbangannya dengan salah satu tumpuan kakinya. Tanpa berpikir panjang, Hinata membuat gerakan berputar lalu menghempaskan Jyuuken pada lawan yang masih membelakanginya. Napas Hinata ngos-ngosan, peluh berjatuhan tanpa henti membasahi tubuhnya. Ia masih berdiri di posisi menyerangnya, namun staminanya hampir terkuras. Ia kepayahan.

"JDUAGH!"

"UUUGH…!"

Seseorang menendang Hinata dari samping kiri tanpa bisa Hinata perkirakan karena tubuhnya yang sudah melemah. Sebuah tendangan keras di perut yang membuat tubuhnya terpental membentur aspal.

"Uhuuk, uhuk." Hinata terbatuk-batuk dengan tubuh yang telah terkapar. Mata putihnya menangkap seseorang yang sudah menyarangkan serangan fatal di perutnya. Orang yang menendangnya tidak lain adalah si botak yang merupakan ketua berandalan tersebut.

Hinata merasakan tulang punggungnya begitu ngilu sehingga membuatnya tidak bisa segera bangkit. Tubuhnya ia paksa untuk sedikit mundur meski terseret-seret. Sial, pria-pria brengsek yang sudah ia kalahkan sudah mendapatkan kembali kekuatannya dan kini merangsek mendekatinya, menyusul ketuanya. Hinata tidak menyukai tampang jahat mesum mereka ketika melihat tubuh Hinata yang tergolek tak berdaya. Ketakutan menyergap kedua bola mata lavender itu.

"To-Tolong." Dengan sisa kekuatannya Hinata mencoba berteriak namun yang keluar hanya suara pelan bercampur rintihan. Sekelompok orang dihadapannya tertawa nista, Hinata ingin menangis sekarang. Ia tidak ingin berakhir disini dalam kondisi seperti ini. 'Kami sama. . . kumohon tolong aku.' Rintih Hinata dalam hati.

"Sayang sekali manis, tidak akan ada yang menolongmu sekarang. Tidak kusangka, gadis yang terlihat lemah sepertimu ternyata kuat juga." Desis si ketua sembari menyeringai mengamati lekuk tubuh Hinata yang begitu molek dalam balutan seragam SMA sailor. Hinata bergidik ngeri ketika membayangkan apa yang akan terjadi padanya. Ia sudah kehabisan tenaga dan juga harapan. Tidak mungkin ada yang menyelamatkannya sekarang. Karena itu Hinata memejamkan matanya kuat-kuat saat tangan kotor si ketua berandalan mendekat hendak menyentuhnya.

'BUAGH! UWWWAAHH!' Suara pekik kesakitan tersebut sukses membuat semua orang mengalihkan pandangan ke arah sumber suara. Mata sang pemimpin berandalan memicing ketika menoleh ke belakang dan mendapati salah seorang anak buahnya terkulai tak berdaya di dekat kaki seorang cowok yang memakai seragam SMA. Mata lavender Hinata yang terbuka separuh pun menangkap sosok yang bisa menjadi satu-satunya harapannya sekarang, meskipun Hinata agak berat mengakuinya. Mata onxy yang berkilat penuh amarah memandang tajam para berandalan yang berdiri memagari tubuh lemah Hinata. Wajah tampannya sangat dingin dan menakutkan lebih terlihat seperti iblis tampan yang hendak mencabik mangsa-mangsanya.

"Kalian. . ." Geram Sasuke seraya berjalan mendekat dengan begitu tenang. Entah karena aura kelam dari si cowok Uchiha atau karena tatapan membunuh dari mata onxynya hingga sekelompok berandalan itu tampak sedikit gentar.

"Jangan diam saja! Cepat hajar dia!" Bentak si pemimpin. Mendapat titah dari sang pemimpin, para berandal tersebut menyerbu secara bersamaan ke arah Sasuke dari berbagai arah. Sasuke masih tampak tenang, seolah bersiap dengan semua serangan tersebut. Sebuah kepalan tinju melayang dari arah kiri dekat wajahnya, namun begitu mudah dihindari oleh Sasuke. Dengan sebuah gerakan ringan, Sasuke berputar dan menghadiahi satu musuh di belakangnya dengan tendangan keras di wajah. Berhasil membuat satu musuhnya jatuh, instingnya memperingatkannya pada kayu balok yang hendak menuju kepalanya. Seperti sebelumnya, Sasuke berhasil berkelit dengan merunduk ke bawah. Lelaki yang menyerang Sasuke dengan balok kayul hanya bisa membulatkan matanya ketika si Uchiha memberikan serangan tak terduga, meninju rahangnya tepat dari bawah.

Hinata tak berkedip menatap bagaimana Sasuke menghadapi musuh-musuhnya tersebut. Posisi Hinata yang terkulai dengan kepalanya yang miring membuat gadis itu memperoleh sudut yang bagus untuk melihat bagaimana cepat dan tangkasnya si Uchiha memukul jatuh lawannya. Pukulan-pukulan maupun tendangan yang dilancarkan kepada Sasuke hanya menerpa angin ataupun tertangkis oleh tangan kekar Sasuke.

Hinata memekik ketika melihat dua lawan Sasuke mengeluarkan pisau lipat dari balik baju mereka. Kedua pria tersebut menyerang Sasuke dengan kilat pisau yang menari-nari meminta tumpahan darah. Berhasil menghindari salah satu penyerangnya, Sasuke menahan pisau lain yang meluncur dari samping kanannya dengan cara menekuk tangan musuhnya. Bunyi tulang yang patah disusul teriakan memilukan terdengar dari pria malang yang tangannya melintir setelah si cowok Uchiha memutuskan salah satu sendinya. Tanpa kesulitan yang berarti, Sasuke mengalahkan musuh-musuhnya dengan tangan kosong. Wajah si ketua genk terlihat marah melihat anak buahnya yang tidak becus menghadapi seorang bocah SMA sekaligus merasa sedikit takut dengan tatapan mata Sasuke yang benar-benar seperti malaikat kematian yang dengan senang hati mencabut nyawa mangsanya.

"Berhenti kau, atau gadis ini akan terluka!" Bersamaan dengan teriakan tersebut, Hinata merasakan tarikan kuat pada rambut panjangnya yang telah berantakan. Sang pemimpin berandalan menyeringai licik sembari mendekatkan belatinya pada leher mulus Hinata. Gerakan Sasuke terhenti seketika. Salah satu musuh yang masih berada dalam kunci-annya di lepaskannya begitu saja hingga pria tersebut terkulai sambil terbatuk-batuk hebat, efek dari kuncian maut Sasuke yang membelit lehernya.

"Lepaskan dia." Ujar Sasuke berusaha menyembunyikan kecemasannya yang begitu besar. Tetapi rupanya si botak tersebut mengetahui satu-satunya kelemahan Sasuke tersebut, Hinata.

"Akan kulepaskan gadismu tersayang ini asalkan kau bersedia untuk dihajar. Khekhekhe. . ." Mata bulan Hinata membola mendengar perkataan pria brengsek yang kini menyanderanya. Kepalanya menggeleng penuh ketakutan. Dengan ragu ditatapnya mata onxy Sasuke yang juga menatapnya. Ia bisa melihat kilat kecemasan di mata itu meski wajah dingin Sasuke mengisyaratkan padanya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Sasuke akan menyelamatkannya, itulah yang disampaikan bola mata obsidian itu pada cerulean lavendernya.

Mata Sasuke menyipit tajam ketika pria di hadapannya tersenyum penuh kemenangan. Wajah Sasuke yang masih menunjukkan raut dingin tampak berpikir keras. Ia dihadapkan pada pilihan yang sulit! Kalaupun ia dihajar, ia sama sekali tidak percaya bahwa pria brengsek itu akan melepaskan Hinata sesuai omongannya. Bisa jadi sesudah Sasuke terkapar tak berdaya, pria itu bersama anak buahnya akan lebih leluasa menyerang Hinata yang juga sudah tak berdaya. Opsi kedua sama buruknya. Ia tidak bisa menghajar pria yang sekarang menyandera Hinata sementara pria itu mempunyai belati yang kapan saja siap menyakiti kehidupan gadisnya itu. Tunggu dulu, gadisnya? Benar, Hinata masih menjadi gadisnya tidak peduli gadis itu sekarang mengacuhkannya. Bukankah seorang Uchiha akan mendapatkan apa yang diinginkannya? Dan bagaimana bisa Sasuke akan membuat Hinata menjadi miliknya jika gadis itu mati di hadapannya?

Melihat Sasuke yang terdiam, membuat si pemimpin berandalan melebarkan seringainya terutama ketika dilihatnya anak buahnya yang telah limbung mulai mendapatkan lagi kekuatannya, meski sebagian besar dalam keadaan luka parah setelah melawan Hinata yang dilanjutkan dengan melawan Sasuke. Mereka kembali berdiri. Tertawa sinis mengelilingi Sasuke yang tidak mengubah posisinya. Hinata menatap Sasuke takut-takut. Apakah Sasuke benar-benar membiarkan dirinya dihajar demi menebus keselamatan Hinata?

Hinata sangat tahu bahwa Uchiha selalu mempunyai harga diri yang sangat tinggi, terutama cowok Uchiha yang saat ini berada di hadapannya. Uchiha adalan klan paling bergengsi yang tidak akan mau merendahkan diri terhadap orang lain terutama kepada orang yang dianggap berstatus lebih rendah. Dengan asumsi semacam itu, mustahil jika Sasuke akan merelakan dirinya dihajar oleh orang-orang nista macam mereka. Hal tersebut sama saja dengan membiarkan kehormatannya diinjak-injak atau mungkin lebih seperti mencoretkan arang ke muka seorang Uchiha. Mana ada Uchiha yang akan melakukan hal bodoh memalukan begitu?

Namun, detik berikutnya Hinata memekik keras ketika dilihatnya tubuh Sasuke yang dipukuli bertubi-tubi oleh orang-orang nista itu. Tidak ada tangkisan atau perlawanan dari Sasuke, hanya posisi bertahan yang digunakan oleh pemuda bermarga Uchiha itu hanya untuk sekedar melindungi bagian-bagian vitalnya. Hanya bertahan tanpa menyerang sedikitpun. Bagaimana mungkin Sasuke mau mengorbankan dirinya sampai sejauh itu? Tanpa bisa Hinata cegah, air bening mengalir deras dari cerulean rembulannya.

"Lihat, lihat! Dia kekasih yang sangat baik, bukan, Hm?!" Ejek ketua genk sembari menjambak rambut Hinata dan memaksa Hinata melihat adegan pemukulan di depannya.

'Buagh! Argh!' Tonjokan mampir ke pipi porselen Sasuke dan mencetak bekas lebam di sana

'Duagh! Duagh!' Hegh! Tendangan demi tendangan mendarat kasar di tubuh atletis Sasuke dan pastinya mencetak luka memar di balik seragamnya.

Suara-suara ramai itu menjadi melodi menakutkan di telinga Hinata. Pukulan dan tendangan berkali-kali mampir ke tubuh Sasuke tanpa henti. Seolah para berandalan itu melampiaskan segala kekesalan mereka yang sudah dibuat babak belur oleh cowok berambut pantat ayam yang sok jadi jagoan.

Air mata tidak kunjung berhenti dari manik lavender Hinata yang membeliak lebar, menyaksikan tubuh Sasuke tergolek disana dengan berbagai macam luka lebam juga noda darah yang mengotori seragamnya yang telah awut-awutan. Jika Sasuke memang pria brengsek yang meninggalkannya di malam berhujan, pemuda itu tidak akan datang kemari dan menanggung semua luka atas harga keselamatan Hinata. Sasuke mencintainya, sangat . . . itu satu-satunya alasan mengapa pemuda Uchiha itu mengesampingkan harga diri dan martabat tinggi sebagai klan Uchiha yang terhormat.

"Hentikan! Hentikan!" Teriak Hinata sementara cairan bening membasahi mata lavendernya yang menyiratkan kesedihan juga luka yang begitu dalam.

"Jangan sakiti, Sasuke kun!" Lagi. Hinata berteriak. Sasuke masih di sana, bertahan terhadap semua pukulan yang menghajar seluruh tubuhnya. Setidaknya Sasuke bertahan agar jangan sampai ia menutup mata.

"Hahhaha. . . terus hajar bocah brengsek itu sepuas kalian!" Geram si pemimpin sembari tertawa sadis menunjuk-nunjuk Sasuke dengan belatinya.

"Hentikan, brengsek!" BUAGH! Sebuah tinju Hinata layangkan kuat-kuat pada dagu pria yang menyanderanya, membuatnya terbebas dari kekangan pria berbau tak sedap itu. Tentunya Hinata tidak menyia-nyiakan saat pemimpin berandalan itu menjauhkan benda tajam yang sedari tadi mengancam urat lehernya. Kini Hinata terbebas dan ia harus menolong Sasuke. Meski kakinya agak limbung karena terkilir tetapi gadis itu memaksakan kakinya untuk berlari menerjang pada kumpulan orang-orang yang masih menganiaya Sasuke. Kedua tangan Hinata membentuk posisi melancarkan jurus 64 pukulan yang diajarkan kakaknya, Neji, beberapa hari lalu. Meskipun Hinata belum sempurna menguasai jurus itu tetapi ia akan melakukannya, sekarang!

"Hyaahh. !" Kemarahan mengonsumsi jiwa Hinata. Sifat marah dan pendendam bukanlah sesuatu yang pernah menghinggapi jiwa polos seperti jiwa milik seorang Hyuuga Hinata. Tetapi demi melihat orang yang sangat dicintainya dianiaya tepat di depan matanya, perasaan itu muncul seketika. Seperti halnya setan yang terbangun dari tidur lelapnya, perasaan ingin menghanguskan segala sesuatu yang menyakitinya.

Para pria yang menghajar Sasuke menyadari Hinata yang berlari menyerang ke arah mereka. Mereka pun mengacuhkan Sasuke yang telah terluka cukup parah dan bersiap menghadapi serangan si gadis violet.

"8 pukulan." Telapak tangan Hinata mendapatkan sasaran pertamanya dengan memberikan 8 pukulan sekaligus pada titik-titik vital yang membuat musuhnya jatuh tak berkutik.

"16 pukulan. 24 pukulan. . ." Hinata terus menambah intensitas pukulannya pada setiap lawannya yang bergiliran menyerangnya. Tangan mungil yang biasanya memberikan belaian seorang ibu itu kini lihai bergerak seperti mesin penghenti urat nadi musuh-musuhnya. Jyuuken Hinata berhasil menotok titik-titik penting yang membuat para musuhnya ambruk karena tak bisa bergerak juga kesakitan karena pukulan Hinata cukup bertenaga.

"Hah . . . Hhaah. . ." Hinata mengatur napasnya. Kakinya gemetaran setelah menguras hampir seluruh sisa tenaganya. Keringatnya bercucuran tak tertahankan. Enam orang terkapar tak berdaya di sekelilingnya. Mereka mungkin tak akan bisa bangkit lagi dalam waktu yang cukup lama. Mata lavender Hinata bergelinyir ke belakang, mendapati Sasuke yang bertumpu dengan kedua lututnya dalam keadaan memprihatinkan bahkan sampai terbatuk-batuk mengeluarkan sedikit darah. Hinata berusaha mendekati Sasuke meskipun kepalanya berkedut hebat. Rasa nyeri menyergap seluruh inderanya setiap kali ia membuat gerakan sekecil apapun.

"Sas-Sasuke kun." Bisik Hinata ketika ia telah jatuh terduduk di depan pemuda Uchiha yang tepi bibirnya berdarah akibat luka sobek. Sasuke tak bergeming, hanya menatap wajah Hinata yang berjarak beberapa centi saja dari wajahnya. Obsidian bertemu dengan mutiara putih, saling terhanyut dalam pikiran masing-masing. Mengikuti instingnya, tangan mungil Hinata bergerak perlahan menyentuh luka di pipi Sasuke, membuat sang Uchiha sedikit meringis namun ia merasa nyaman dengan sentuhan lembut Hinata. Jemari Hinata yang lentik mengusap sisa warna merah di sudut bibir Sasuke, dilakukannya dengan penuh kelembutan dan kasih sayang.

"Syukurlah. . . syukurlah kau baik-baik saja." Ujar Hinata sembari terisak. Bahu gadis itu bergetar hebat. Tanpa berpikir apapun, Sasuke menarik gadis rapuh itu dalam pelukannya, menghirup aroma lavender yang begitu ia sukai. Bibir Sasuke menyunggingkan senyum penuh kelegaan. Betapa ia merindukan untuk memeluk tubuh mungil Hinata yang hangat juga rambut panjang indigo-nya yang begitu halus untuk dibelai.

"Ugh, sial!" Suara geraman itu berasal dari sosok besar yang mulai bangkit berdiri. Obsidian Sasuke menangkap bayang sang ketua berandalan yang berlari ke arah Hinata membawa belati di tangannya dengan kecepatan yang bisa ditangkap matanya.

'TRANG!' Bunyi besi yang beradu dengan benda padat terdengar di kegelapan. Hinata membulatkan matanya, kepalanya secara reflek menoleh ke arah sumber suara. Sebuah pisau terlempar jauh dari pemiliknya setelah Sasuke menendang lengan musuh terakhir yang tersisa. Tidak hanya itu, dengan tangkasnya si pemuda Uchiha segera membekuk si pria besar dan tanpa kesulitan berarti memberi pukulan keras tepat di tengkuk sehingga ketua berandalan itupun jatuh pingsan, terkapar di tanah. Sasuke hanya menatapnya datar lalu bergumam, "It's over."

Tubuh Sasuke berbalik dan mendapati wajah hime-nya yang menatapnya cemas. Sedikit merundukkan tubuhnya, Sasuke mengulurkan tangannya pada Hinata yang masih terdiam. Si gadis bermata lavender menerima uluran tangan Sasuke namun kakinya yang terasa mati rasa menahannya untuk tidak bisa berdiri. Secara reflek, si pemuda Uchiha menangkap tubuh mungil yang hampir terhuyung itu lalu mengangkatnya ke gendongannya sehingga membuat Hinata memeluk leher Sasuke untuk menyeimbangkan tubuhnya.

"Sa-Sasuke kun." Wajah Hinata sudah merona merah sekarang, mendapati Sasuke menggendongnya ala bridal style.

"Waktunya untuk pergi." Sembari menyandarkan kepala Hinata ke dada bidangnya, Sasuke mulai berjalan sambil menjaga posisi Hinata agar tetap merasa nyaman. Dari jarak sedekat ini, Hinata bisa mencium wangi maskulin menghanyutkan yang membuatnya nyaman. Gadis itu juga bisa merasakan lekuk dada atletis dari balik kemeja seragam Sasuke. Dan oh, apakah yang berdetak kencang ini? Hinata bisa mendengar debaran keras Sasuke dan ketika gadis itu sedikit mendongak, tampak gurat murah muda tipis di pipi porcelain sang pemuda Uchiha meskipun di situ juga tercetak lebam bekas tonjokan. Demi melihat beberapa cetakan luka memar di wajah rupawan Sasuke, hati Hinata pun mencelos. Karena siapa pangeran Konoha Senior High school itu kini berada di sini dan sekarang malah menggendongnya karena kaki Hinata yang seolah lumpuh setelah menguras semua staminanya. Padahal Sasuke sendiri juga berada pada kondisi yang seharusnya menyulitkannya untuk sekedar berdiri, apalagi dengan beban Hinata yang berada di pangkuannya.

"Ke-kenapa kau menolongku?" Tanya Hinata dengan bibirnya yang bergetar. Sasuke melirik gadis yang berada di gendongannya sekilas lalu menjawab pertanyaan tersebut dengan nada datar yang begitu menekan, "you're always be mine, Hinata."

Hinata membulatkan mata bulannya, agak tergagap mendengar penuturan Sasuke. "Seenaknya sendiri." Tukas Hinata yang terdengar parau.

"Ya. Itulah aku." Ujar Sasuke seolah tak peduli dengan sifat egoisnya.

"Padahal kau mempunyai Karin, hiks. . . hiks. . . mengapa masih meng-klaimku sebagai milikmu?" Isakan gadis Hyuuga tersebut sukses memantik emosi Sasuke. Langkah Sasuke terhenti seketika, memandangi Hinata dengan obsidiannya yang memancarkan kemarahan juga keposessifan. Bagaimana bisa Hinata menuduhnya bersama Karin jika dia sendiri terang-terangan bersama si rambut merah Gaara?

"Kau sendiri bagaimana, kau terang-terangan berselingkuh dengan sepupumu sendiri di depanku?" Ejek Sasuke sembari menggeram kesal. Hinata tercekat. Sasuke cemburu? Jadi selama ini Sasuke selalu memperhatikan Hinata dan Gaara?

"Aku tidak selingkuh. Ka-kami hanya berteman." Elak Hinata mencoba meluruskan kesalahpahaman Sasuke.

"Oh, ya?! Lalu mengapa dia menciummu?!" Suara Sasuke meninggi. Jelas sekali dia cemburu berat. Hime-nya dicium orang lain. Miliknya disentuh orang selain dirinya.

"Bu-bukankah Sasuke kun yang selingkuh. Sa-sasuke kun tidur dengan Karin san dan melakukan 'itu' dengannya." Hinata ikut menaikkan oktaf suaranya.

"Hinata, demi apapun aku tidak menyentuh wanita itu seujung jaripun!" Ujar Sasuke yang hampir meledak.

"Aku mencintaimu seharusnya kau tahu itu." Lanjut Sasuke dengan raut marah yang membuat Hinata melebarkan matanya. Ya, Sasuke mencintainya dan Hinata pun memiliki perasaan yang sama.

"Bo-Bohong." Ujar Hinata, begitu rapuh dan ragu. Hinata hanya membohongi dirinya sendiri dan sayangnya Sasuke mengetahui dengan sangat jelas bahwa gadis itu masih sangat mencintainya.

"Oh, shut up already." Dengan kalimat tersebut Sasuke membungkam mulut Hinata. Mata lavender Hinata membulat ketika bibir Sasuke sudah menindih bibir mungilnya. Sasuke yang menciumnya lembut namun posesif, agak tergesa-gesa dan penuh dengan cinta. Hinata memberontak perlahan dalam gendongan Sasuke yang membuat Sasuke semakin terangsang dan memperdalam ciumannya. Ada sedikit rasa asin darah bercampur dengan rasa manis peppermint dari bibir Sasuke yang entah mengapa membuat Hinata terbuai. Tanpa sadar, Hinata terhanyut pada permainan bibir Sasuke yang masih menekan bibir mungilnya. Kedua tangan Hinata bergerak melingkari leher kokoh Sasuke secara perlahan.

Di malam yang semakin larut, keduanya berciuman untuk waktu yang cukup lama. Hanya gelapnya malam dan bulan purnama yang bersinar terang yang menjadi saksi seberapa manis ciuman kedua insan itu.

It was feel good and warm though the air was very cold

The dark surrounding us and the shinny moonlight given its light all over us. . .

To Be Continued

Nah, Sasu-Hina sudah mulai baikan, kan? Jadi sharingannya bisa di-non aktifkan semua kan? Shuriken-nya bisa disimpan kembali, oke? Heheheh. . . ^-^

Karena sudah baikan, kayaknya chapter depan mungkin sudah chapter final, Ending. :

Oya, karena saat ini masa liburan selama beberapa hari ke depan, author mungkin akan update lagi, um. . . sekitar sebulan atau dua bulan. /(_ _) Gomennasai. . .

Dan sebagai penutup, ijinkanlah author untuk menyampaikan sepatah dua kata perpisahan (lebay, plak!) "Well, met liburan minna! v Hope you all will have a GREAT holiday. . . See you next chap ^-^

Boofh!

Mind to RnR?